Previous
Next

2003

Undang-Undang Panas Bumi (UU 27 thn 2003)

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 27 Tahun 2003 Tentang Panas Bumi :
                      UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
                              NOMOR      27     TAHUN 2003
                                        TENTANG
                                       PANAS BUMI


                     DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA


                            PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,


Menimbang   : a.    bahwa panas bumi adalah sumber daya alam yang dapat diperbarui,
                   berpotensi besar, yang dikuasai oleh negara dan mempunyai peranan
                   penting sebagai salah satu sumber energi pilihan dalam keanekaragaman
                   energi   nasional   untuk    menunjang    pembangunan   nasional   yang
                   berkelanjutan demi terwujudnya kesejahteraan rakyat;

             b. bahwa pemanfaatan panas bumi relatif ramah lingkungan, terutama karena
                   tidak memberikan kontribusi gas rumah kaca, sehingga perlu didorong
                   dan dipacu perwujudannya;

             c.    bahwa pemanfaatan panas bumi akan mengurangi ketergantungan
                   terhadap bahan bakar minyak sehingga dapat menghemat cadangan
                   minyak bumi;

             d. bahwa peraturan perundang-undangan yang sudah ada belum dapat
                   menampung kebutuhan perkembangan pengelolaan hulu sumber daya
                   panas bumi sehingga undang-undang tentang panas bumi ini dapat
                   mendorong kegiatan      panas   bumi bagi    kelangsungan   pemenuhan
                   kebutuhan energi nasional;

             e. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud pada huruf a,
                   huruf b, huruf c, dan huruf d, dan sebagai pelaksanaan ketentuan Pasal
                   33 ayat (2) dan ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
                   Tahun 1945 serta untuk memberikan landasan hukum bagi langkah-langkah
                   pembaruan dan penataan kembali penyelenggaraan pengelolaan dan
                   pemanfaatan sumber daya panas bumi, dipandang perlu membentuk Undang-
                   undang tentang Panas Bumi;


Mengingat    : Pasal 5 ayat (1), Pasal 20 ayat (1), dan Pasal 33 ayat (2) dan ayat (3) Undang-
               Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 ;



                              Dengan Persetujuan Bersama
                DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA


                                     MEMUTUSKAN :

Menetapkan    : UNDANG-UNDANG TENTANG PANAS BUMI.




                                            BAB I
                                  KETENTUAN UMUM

                                         Pasal 1

                 Dalam Undang-undang ini yang dimaksud dengan:

                 1. Panas Bumi adalah sumber energi panas yang terkandung di dalam air
                     panas, uap air, dan batuan bersama mineral ikutan dan gas lainnya yang
                     secara genetik semuanya tidak dapat dipisahkan dalam suatu sistem
                     Panas    Bumi    dan     untuk   pemanfaatannya     diperlukan    proses
                     penambangan.

                 2. Badan Usaha adalah setiap badan hukum yang dapat berbentuk badan
                     usaha milik negara, badan usaha milik daerah, koperasi, atau swasta
                     yang didirikan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan
                     yang berlaku, menjalankan jenis usaha tetap dan terus-menerus, bekerja
                     dan berkedudukan dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.

                 3. Survei Pendahuluan adalah kegiatan yang meliputi pengumpulan,
                     analisis dan penyajian data yang berhubungan dengan informasi kondisi
                     geologi, geofisika, dan geokimia untuk memperkirakan letak dan adanya
                     sumber daya Panas Bumi serta Wilayah Kerja.
 4. Eksplorasi adalah rangkaian kegiatan yang meliputi penyelidikan geologi,
      geofisika, geokimia, pengeboran uji, dan pengeboran sumur eksplorasi
      yang bertujuan untuk memperoleh dan menambah informasi kondisi
      geologi bawah permukaan guna menemukan dan mendapatkan
      perkiraan potensi Panas Bumi.

 5. Studi Kelayakan adalah tahapan kegiatan usaha pertambangan Panas
      Bumi untuk memperoleh informasi secara rinci seluruh aspek yang
      berkaitan untuk menentukan kelayakan usaha pertambangan Panas
      Bumi, termasuk penyelidikan atau studi jumlah cadangan yang dapat
      dieksploitasi.

 6. Eksploitasi adalah rangkaian kegiatan pada suatu wilayah kerja tertentu
      yang meliputi pengeboran sumur pengembangan dan sumur reinjeksi,
      pembangunan fasilitas lapangan dan operasi produksi sumber daya
      Panas Bumi.

 7. Usaha Pertambangan Panas Bumi adalah usaha yang meliputi kegiatan
      eksplorasi, studi kelayakan, dan eksploitasi.

 8. Izin Usaha Pertambangan Panas Bumi, selanjutnya disebut IUP, adalah
      izin untuk melaksanakan Usaha Pertambangan Panas Bumi.

 9. Wilayah Kerja Pertambangan Panas Bumi, selanjutnya disebut Wilayah
      Kerja, adalah wilayah yang ditetapkan dalam IUP.

10.   Wilayah Hukum Pertambangan Panas Bumi Indonesia adalah seluruh
      wilayah daratan, perairan, dan landas kontinen Indonesia.

11.   Iuran Tetap adalah iuran yang dibayarkan kepada negara sebagai
      imbalan atas kesempatan eksplorasi, studi kelayakan, dan eksploitasi
      pada suatu Wilayah Kerja.

12. Iuran Produksi adalah iuran yang dibayarkan kepada negara atas hasil
      yang diperoleh dari Usaha Pertambangan Panas Bumi.

13.   Mineral Ikutan adalah bahan mineral selain minyak dan gas bumi yang
      ditemukan dalam fluida dan/atau dihasilkan dalam jumlah yang memadai
      pada kegiatan pengusahaan Panas Bumi serta tidak memerlukan
      penambangan dan produksi secara khusus sebagaimana diatur dalam
      proses penambangan mineral lainnya.
14.   Pemanfaatan Langsung adalah kegiatan usaha pemanfaatan energi
      dan/atau fluida Panas Bumi untuk keperluan nonlistrik, baik untuk
      kepentingan umum maupun untuk kepentingan sendiri.

15. Pemanfaatan Tidak Langsung untuk tenaga listrik adalah kegiatan usaha
      pemanfaatan energi Panas Bumi untuk pembangkit tenaga listrik, baik
      untuk kepentingan umum maupun untuk kepentingan sendiri.

16. Pemerintah adalah Pemerintah Pusat yang terdiri atas Presiden dan para
      menteri yang merupakan perangkat Negara Kesatuan Republik
      Indonesia.

17.   Menteri adalah menteri yang bertanggung jawab di bidang Panas Bumi.

18.   Pemerintah Daerah adalah kepala daerah beserta perangkat daerah
      otonom yang lain sebagai badan eksekutif daerah.


                          BAB II
                   ASAS DAN TUJUAN


                         Pasal 2

 Penyelenggaraan kegiatan pertambangan Panas Bumi menganut asas
 manfaat, efisiensi, keadilan, kebersamaan, optimasi ekonomis dalam
 pemanfaatan sumber daya, keterjangkauan, berkelanjutan, percaya dan
 mengandalkan pada kemampuan sendiri, keamanan dan keselamatan,
 kelestarian fungsi lingkungan hidup, serta kepastian hukum.


                         Pasal 3

 Penyelenggaraan kegiatan pertambangan Panas Bumi bertujuan:

 a. mengendalikan pemanfaatan kegiatan pengusahaan Panas Bumi untuk
      menunjang pembangunan yang berkelanjutan serta memberikan nilai
      tambah secara keseluruhan; dan

 b. meningkatkan pendapatan negara dan masyarakat untuk mendorong
      pertumbuhan perekonomian nasional demi peningkatan kesejahteraan
      dan kemakmuran rakyat.


                       BAB III
 PENGUASAAN PERTAMBANGAN PANAS BUMI

                       Pasal 4

(1)   Panas Bumi sebagai sumber daya alam yang terkandung di dalam
      Wilayah Hukum Pertambangan Panas Bumi Indonesia merupakan
      kekayaan nasional, yang dikuasai oleh negara dan digunakan untuk
      sebesar-besar kemakmuran rakyat.

(2)   Penguasaan Pertambangan Panas Bumi oleh negara sebagaimana
      dimaksud pada ayat (1) diselenggarakan oleh Pemerintah dan
      Pemerintah Daerah.

(3)    Semua data dan informasi yang diperoleh sesuai dengan ketentuan
      dalam    IUP    merupakan     data     milik   negara   dan   pengaturan
      pemanfaatannya dilakukan oleh Pemerintah.

                          BAB IV
             KEWENANGAN PENGELOLAAN
             PERTAMBANGAN PANAS BUMI

                      Bagian Kesatu
                Kewenangan Pemerintah

                         Pasal 5
Kewenangan Pemerintah dalam pengelolaan pertambangan Panas Bumi
meliputi :

        a. pembuatan        peraturan      perundang-undangan       di   bidang
             pertambangan Panas Bumi;

        b. pembuatan kebijakan nasional;

        c. pembinaan pengusahaan dan pengawasan pertambangan
             Panas Bumi pada wilayah lintas provinsi;

        d. pemberian izin dan pengawasan pertambangan Panas Bumi
             pada wilayah lintas provinsi;

        e. pengelolaan informasi geologi dan potensi Panas Bumi;

        f. inventarisasi dan penyusunan neraca sumber daya dan
             cadangan Panas Bumi nasional.


                      Bagian Kedua
            Kewenangan Pemerintah Daerah

                         Paragraf 1
                  Kewenangan Provinsi

                          Pasal 6

(1)   Kewenangan provinsi dalam pengelolaan pertambangan Panas Bumi
      meliputi:

      a.   pembuatan peraturan perundang-undangan di daerah di bidang
           pertambangan Panas Bumi;

      b. pembinaan pengusahaan dan pengawasan pertambangan Panas
           Bumi di wilayah lintas kabupaten/kota;

      c. pemberian izin dan pengawasan pertambangan Panas Bumi di
           wilayah lintas kabupaten/kota;

      d. pengelolaan informasi geologi dan potensi Panas Bumi di wilayah
           lintas kabupaten/kota;

      e. inventarisasi dan penyusunan neraca sumber daya dan cadangan
           Panas Bumi di provinsi.


(2)   Kewenangan       provinsi   sebagaimana    dimaksud     pada    ayat   (1)
      dilaksanakan     sesuai     dengan    ketentuan   peraturan    perundang-
      undangan yang berlaku.


                         Paragraf 2
              Kewenangan Kabupaten/Kota


                          Pasal 7

(1)   Kewenangan kabupaten/kota dalam pengelolaan pertambangan Panas
      Bumi meliputi:

      a. pembuatan peraturan perundang-undangan di daerah di bidang
           pertambangan Panas Bumi di kabupaten/kota;

      b.   pembinaan dan pengawasan pertambangan Panas Bumi di
           kabupaten/kota;

      c. pemberian izin dan pengawasan pertambangan Panas Bumi di
           kabupaten/kota;
      d.   pengelolaan informasi geologi dan potensi Panas Bumi di
           kabupaten/kota;

      e. inventarisasi dan penyusunan neraca sumber daya dan cadangan
           Panas Bumi di kabupaten/kota;

      f.   pemberdayaan masyarakat di dalam ataupun di sekitar Wilayah
           Kerja di kabupaten/kota.

(2)   Kewenangan kabupaten/kota sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
      dilaksanakan    sesuai   dengan    ketentuan   peraturan   perundang-
      undangan yang berlaku.


                         BAB V
                     WILAYAH KERJA

                         Pasal 8

Wilayah Kerja yang akan ditawarkan kepada Badan Usaha diumum-kan
secara terbuka.


                         Pasal 9

(1)   Menteri, Gubernur, dan Bupati/Walikota sesuai dengan kewenangan
      masing-masing melakukan penawaran Wilayah Kerja dengan cara
      lelang.

(2)   Batas dan luas Wilayah Kerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8
      ditetapkan oleh Pemerintah.

(3)    Ketentuan mengenai pedoman, batas, koordinat, luas wilayah, tata
      cara, dan syarat-syarat mengenai penawaran, prosedur, penyiapan
      dokumen lelang, dan pelaksanaan lelang sebagaimana dimaksud
      pada ayat (1) diatur dengan peraturan pemerintah.


                         BAB VI
  KEGIATAN OPERASIONAL DAN PENGUSAHAAN

                      Bagian Kesatu
                  Kegiatan Operasional

                        Pasal 10

(1)   Kegiatan operasional Panas Bumi meliputi:
      a.    Survei Pendahuluan;
      b.    Eksplorasi;
      c.    Studi Kelayakan;
      d.    Eksploitasi; dan
      e.    Pemanfaatan.

(2)   Pemerintah dan/atau Pemerintah Daerah sesuai dengan kewenangan
      masing-masing        melakukan   Survei    Pendahuluan     sebagaimana
      dimaksud pada ayat (1) huruf a.

(3)    Pemerintah dapat menugasi pihak lain untuk melakukan Survei
      Pendahuluan sebagaimana dimaksud pada ayat (2).

(4)    Eksplorasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dapat
      dilakukan oleh Pemerintah.
(5)   Eksplorasi, Studi Kelayakan, dan Eksploitasi sebagaimana dimaksud
      pada ayat (1) huruf b, huruf c, dan huruf d dilakukan oleh Badan
      Usaha.

(6)   Pemanfaatan Langsung yang berkaitan dengan pemanfaatan energi
      Panas Bumi diatur dengan peraturan pemerintah.

(7)   Pemanfaatan tidak langsung yang berkaitan dengan pemanfaatan
      energi Panas Bumi untuk pembangkit tenaga listrik untuk kepentingan
      umum atau kepentingan sendiri dilakukan sesuai dengan ketentuan
      peraturan    perundang-undangan           yang   berlaku   di   bidang
      ketenagalistrikan.


                     Bagian Kedua
                     Pengusahaan

                           Pasal 11

(1)   Pengusahaan sumber daya Panas Bumi meliputi:
      a.    Eksplorasi;
      b.    Studi Kelayakan; dan
      c.    Eksploitasi.

(2) Pengusahaan sumber daya Panas Bumi sebagaimana dimaksud pada
      ayat (1) dilakukan secara terpadu atau dalam satu kesatuan atau
      dalam keadaan tertentu dapat dilakukan secara terpisah.
(3)   Pengusahaan sumber daya Panas Bumi sebagaimana dimaksud pada
      ayat (1) dilakukan oleh Badan Usaha setelah mendapat IUP dari
      Menteri, Gubernur, dan Bupati/Walikota sesuai dengan kewenangan
      masing-masing.


                          Pasal 12
Dalam melaksanakan pengusahaan sumber daya Panas Bumi sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 11, Badan Usaha harus mengikuti kaidah-kaidah
keteknikan, kemampuan keuangan dan pengelolaan yang sesuai dengan
standar nasional, serta menjunjung tinggi etika bisnis.


                          Pasal 13

(1)   Luas Wilayah Kerja untuk Eksplorasi yang dapat diberikan untuk
      satu IUP Panas Bumi tidak boleh melebihi 200.000 (dua ratus ribu)
      hektar.

(2)   Badan Usaha wajib mengembalikan secara bertahap sebagian atau
      seluruhnya dari Wilayah Kerja kepada Pemerintah atau Pemerintah
      Daerah.

(3) Ketentuan mengenai luas Wilayah Kerja yang dapat dipertahankan pada
      tahap Eksploitasi dan perubahan Luas Wilayah IUP pada setiap
      tahapan Usaha Pertambangan Panas Bumi diatur dengan peraturan
      pemerintah.


                      Bagian Ketiga
                Eksplorasi dan Eksploitasi


                          Pasal 14

(1)   Pemegang IUP wajib menyampaikan rencana jangka panjang
      Eksplorasi    dan    Eksploitasi    kepada   Menteri,   Gubernur,    dan
      Bupati/Walikota sesuai dengan kewenangan masing-masing yang
      mencakup      rencana    kegiatan      dan   rencana    anggaran    serta
      menyampaikan besarnya cadangan.

(2)   Penyesuaian terhadap rencana jangka panjang Eksplorasi dan
      Eksploitasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan dari
      tahun ke tahun sesuai dengan kondisi yang dihadapi.
                      Bagian Keempat
                 Pemanfaatan Mineral Ikutan


                           Pasal 15

Pemanfaatan Mineral Ikutan yang terkandung dalam Panas Bumi dapat
dilakukan secara komersial oleh pemegang IUP atau pihak lain sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.


                           BAB VII
                   PENGGUNAAN LAHAN


                           Pasal 16

(1)   Kegiatan Usaha Pertambangan Panas Bumi dilaksanakan di dalam
      Wilayah Hukum Pertambangan Panas Bumi Indonesia.

(2)   Hak atas Wilayah Kerja tidak meliputi hak atas tanah permukaan bumi.

(3)   Kegiatan Usaha Pertambangan Panas Bumi tidak dapat dilaksanakan
      di :

      a. tempat pemakaman, tempat yang dianggap suci, tempat umum,
             sarana dan prasarana umum, cagar alam, cagar budaya, serta
             tanah milik masyarakat adat;

      b.     lapangan dan bangunan pertahanan negara serta tanah di
             sekitarnya;

      c. bangunan bersejarah dan simbol-simbol negara;

      d. bangunan, rumah tinggal, atau pabrik beserta tanah pekarangan
             sekitarnya;

      e. tempat lain yang dilarang untuk melakukan kegiatan usaha sesuai
             dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.


(4)   Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dapat dilaksanakan
      dalam hal diperoleh izin dari instansi Pemerintah, persetujuan
      masyarakat dan perseorangan yang berkaitan dengan hal tersebut.


                           Pasal 17

(1)   Dalam hal akan menggunakan bidang-bidang tanah hak, tanah negara,
      atau kawasan hutan di dalam Wilayah Kerja, pemegang IUP yang
        bersangkutan wajib terlebih dahulu mengadakan penyelesaian dengan
        pemegang hak atau pemakai tanah di atas tanah negara sesuai
        dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

(2)    Penyelesaian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan secara
        musyawarah dan mufakat dengan cara jual beli, tukar-menukar, ganti
        rugi yang layak, pengakuan atau bentuk penggantian lain kepada
        pemegang hak atau pemakai tanah di atas tanah negara.


                         Pasal 18

Pemegang hak atas tanah diwajibkan mengizinkan pemegang IUP untuk
melaksanakan Usaha Pertambangan Panas Bumi di atas tanah yang
bersangkutan apabila:

a. sebelum kegiatan dimulai, terlebih dahulu memperlihatkan IUP atau
      salinannya yang sah, serta memberitahukan maksud dan tempat
      kegiatan yang akan dilakukan;

b. dilakukan terlebih dahulu penyelesaian atau jaminan penyelesaian yang
      disetujui oleh pemegang hak atas tanah atau pemakai tanah di atas
      tanah negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17.


                         Pasal 19

(1)    Dalam hal pemegang IUP telah diberi Wilayah Kerja, terhadap bidang-
        bidang tanah yang dipergunakan langsung untuk kegiatan usaha dan
        areal pengamanannya, diberikan hak pakai sesuai dengan ketentuan
        peraturan perundang-undangan yang berlaku dan wajib memelihara
        serta menjaga bidang tanah tersebut.

(2)    Dalam hal pemberian Wilayah Kerja sebagaimana dimaksud pada ayat
        (1) meliputi areal yang luas di atas tanah negara, bagian-bagian tanah
        yang belum digunakan untuk kegiatan usaha dapat diberikan kepada
        pihak lain oleh menteri yang tugas dan tanggung jawabnya meliputi
        bidang agraria atau pertanahan dengan mengutamakan masyarakat
        setempat setelah mendapatkan rekomendasi dari Menteri.


                         Pasal 20
Penyelesaian penggunaan tanah hak dan tanah negara sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 18 dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.


                        BAB VIII
                       PERIZINAN


                        Pasal 21

(1)   IUP dikeluarkan oleh Menteri, Gubernur, dan Bupati/Walikota sesuai
      dengan kewenangan masing-masing.

(2)   IUP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib memuat ketentuan
      sekurang-kurangnya:
      a. nama penyelenggara;
      b. jenis usaha yang diberikan;
      c. jangka waktu berlakunya izin;
      d. hak dan kewajiban pemegang izin usaha;
      e. Wilayah Kerja; dan
      f.   tahap pengembalian Wilayah Kerja.

(3)   Setiap IUP yang telah diberikan wajib digunakan sesuai dengan
      peruntukannya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (1) dan
      ayat (2).

(4) IUP dapat dialihkan kepada Badan Usaha afiliasi dengan persetujuan
      Menteri, Gubernur dan Bupati/Walikota sesuai dengan kewenangan
      masing-masing.


                        Pasal 22

(1)   Jangka waktu IUP terdiri atas:

      a. jangka waktu Eksplorasi berlaku paling lama 3 (tiga) tahun sejak
           IUP diterbitkan dan dapat diperpanjang paling banyak 2 (dua) kali
           masing-masing selama 1 (satu) tahun;

      b. jangka waktu Studi Kelayakan berlaku paling lama 2 (dua) tahun
           sejak jangka waktu Eksplorasi berakhir;

      c. jangka waktu Eksploitasi berlaku paling lama 30 (tiga puluh) tahun
           sejak jangka waktu Eksplorasi berakhir dan dapat diperpanjang.
(2)    Pemegang       IUP   dapat mengajukan     perpanjangan waktu   izin
      Eksploitasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c kepada
      Menteri, Gubernur, dan Bupati/Walikota sesuai dengan kewenangan
      masing-masing paling cepat 5 (lima) tahun dan paling lambat 3 (tiga)
      tahun sebelum izin Eksploitasi berakhir.

(3)    Dalam hal tidak melaksanakan kegiatan Eksploitasi dalam jangka
      waktu paling lama 2 (dua) tahun sejak jangka waktu Eksplorasi
      berakhir, pemegang IUP        wajib mengembalikan seluruh Wilayah
      Kerjanya.


                         Pasal 23

IUP berakhir karena:
a.    habis masa berlakunya;
b.    dikembalikan;
c.    dibatalkan; atau
d.    dicabut.


                         Pasal 24

(1)   Pemegang IUP dapat menyerahkan kembali IUP dengan pernyataan
      tertulis kepada Menteri, Gubernur, dan Bupati/Walikota sesuai dengan
      kewenangan masing-masing disertai alasan yang jelas.

(2)   Pengembalian IUP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dinyatakan
      sah setelah disetujui oleh Menteri, Gubernur, dan Bupati/Walikota
      sesuai dengan kewenangan masing-masing.


                         Pasal 25

(1)   Menteri, Gubernur, dan Bupati/Walikota sesuai dengan kewenangan
      masing-masing dapat mencabut IUP apabila pemegang IUP:

      a.   melakukan pelanggaran terhadap salah satu persyaratan yang
           tercantum dalam IUP; atau

      b. tidak memenuhi persyaratan yang ditetapkan berdasarkan undang-
           undang ini.

(2)   Sebelum melaksanakan pencabutan IUP sebagaimana dimaksud pada
      ayat (1), Menteri, Gubernur, dan Bupati/Walikota sesuai dengan
      kewenangan masing-masing terlebih dahulu memberikan kesempatan
        selama jangka waktu 6 (enam) bulan pada pemegang IUP untuk
        memenuhi persyaratan yang ditetapkan.


                          Pasal 26

Dalam hal jangka waktu yang ditentukan dalam IUP telah berakhir dan
permohonan       perpanjangan       IUP   tidak   diajukan   atau    permohonan
perpanjangan IUP tidak memenuhi persyaratan, IUP tersebut berakhir.


                          Pasal 27

(1)     Dalam hal IUP berakhir karena alasan sebagaimana dimaksud dalam
        Pasal 25, pemegang IUP wajib memenuhi dan menyelesaikan segala
        kewajibannya     sesuai   dengan    ketentuan    peraturan   perundang-
        undangan yang berlaku.

(2)    Kewajiban pemegang IUP sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
        dianggap telah dipenuhi setelah mendapatkan persetujuan dari
        Menteri, Gubernur, dan Bupati/Walikota sesuai dengan kewenangan
        masing-masing.

(3)    Menteri, Gubernur, dan Bupati/Walikota sesuai dengan kewenangan
        masing-masing menetapkan persetujuan pengakhiran IUP setelah
        pemegang IUP melaksanakan pelestarian dan pemulihan fungsi
        lingkungan di Wilayah Kerjanya serta kewajiban lainnya sebagaimana
        dimaksud pada ayat (1).


                           BAB IX
      HAK DAN KEWAJIBAN PEMEGANG IZIN USAHA
             PERTAMBANGAN PANAS BUMI

                       Bagian Kesatu
Hak Pemegang Izin Usaha Pertambangan Panas Bumi

                          Pasal 28

Pemegang IUP berhak :

a. melakukan kegiatan Usaha Pertambangan Panas Bumi berupa
      Eksplorasi, Studi Kelayakan, dan Eksploitasi di Wilayah Kerjanya;

b. menggunakan data dan informasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4
      ayat (3) selama jangka waktu berlakunya IUP di Wilayah Kerjanya;
c. dapat memperoleh fasilitas perpajakan sesuai dengan ketentuan
      peraturan perundang-undangan perpajakan yang berlaku.


                       Bagian Kedua
              Kewajiban Pemegang Izin Usaha
                  Pertambangan Panas Bumi

                         Pasal 29

Pemegang IUP wajib:
a. memahami dan mematuhi peraturan perundang-undangan di bidang
      keselamatan dan kesehatan kerja, perlindungan lingkungan, serta
      memenuhi standar yang berlaku;
b.    mengelola lingkungan hidup mencakup kegiatan pencegahan dan
      penanggulangan pencemaran serta pemulihan fungsi lingkungan hidup
      dan melakukan reklamasi;
c. mengutamakan pemanfaatan barang, jasa, serta kemampuan rekayasa
      dan rancang bangun dalam negeri secara transparan dan bersaing;
d.    memberikan dukungan terhadap kegiatan-kegiatan penelitian dan
      pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi Panas Bumi;
e. memberikan dukungan terhadap kegiatan penciptaan, pengembangan
      kompetensi, dan pembinaan sumber daya manusia di bidang Panas
      Bumi;
f.    melaksanakan program pengembangan dan pemberdayaan masyarakat
      setempat;
g. memberikan laporan tertulis secara berkala atas rencana kerja dan
      pelaksanaan kegiatan Usaha Pertambangan Panas Bumi kepada
      Menteri, Gubernur, dan Bupati/Walikota sesuai dengan kewenangan
      masing-masing.


                          BAB X
                   PENERIMAAN NEGARA

                         Pasal 30

(1)    Pemegang IUP wajib membayar penerimaan negara berupa pajak dan
       Penerimaan Negara Bukan Pajak sesuai dengan ketentuan peraturan
       perundang-undangan yang berlaku.
(2)    Penerimaan negara berupa pajak sebagaimana dimaksud pada ayat
      (1) terdiri atas:
      a. pajak;
      b. bea masuk dan pungutan lain atas cukai dan impor;
      c. pajak daerah dan retribusi daerah.

(3)   Penerimaan Negara Bukan Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat
      (1) terdiri atas:

      a. pungutan negara berupa Iuran Tetap dan Iuran Produksi serta
           pungutan negara lainnya sesuai dengan ketentuan peraturan
           perundang-undangan yang berlaku;

      b. bonus.

(4)   Ketentuan lebih lanjut mengenai jenis dan tarif Penerimaan Negara
      Bukan Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur dengan
      peraturan pemerintah.

(5)   Penerimaan negara berupa pajak dan Penerimaan Negara Bukan
      Pajak merupakan penerimaan Pemerintah dan Pemerintah Daerah
      yang pembagiannya sebagai berikut.

      a.   Penerimaan negara berupa pajak, pembagiannya ditetapkan
           sesuai     dengan    ketentuan   peraturan   perundang-undangan
           perpajakan yang berlaku;

      b. Penerimaan Negara Bukan Pajak yang berasal dari Iuran Tetap
           dan      Iuran   Produksi,   pembagiannya    ditetapkan   dengan
           perimbangan 20% (dua puluh persen) untuk Pemerintah dan 80%
           (delapan puluh persen) untuk Pemerintah Daerah.
(6)   Bagian Pemerintah Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (5) huruf
      b dibagi dengan perincian sebagai berikut:

      a. provinsi yang bersangkutan sebesar 16% (enam belas persen);

      b. kabupaten/kota penghasil sebesar 32% (tiga puluh dua persen);

      c. kabupaten/kota lainnya dalam provinsi yang bersangkutan sebesar
           32% (tiga puluh dua persen).


                            BAB XI
           PEMBINAAN DAN PENGAWASAN
                          Pasal 31

(1)    Tanggung jawab pembinaan dan pengawasan atas pekerjaan dan
        pelaksanaan kegiatan usaha terhadap ditaatinya ketentuan peraturan
        perundang-undangan yang berlaku berada pada Menteri, Gubernur,
        dan Bupati/Walikota sesuai dengan kewenangan masing-masing.

(2)      Gubernur   dan   Bupati/Walikota   wajib   melaporkan pelaksanaan
        penyelenggaraan Usaha Pertambangan Panas Bumi di wilayahnya
        masing-masing setiap 6 (enam) bulan sekali kepada Pemerintah.


                          Pasal 32

Pembinaan dan pengawasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31
meliputi:
a. Eksplorasi;
b. Eksploitasi;
c. keuangan;
d. pengolahan data Panas Bumi;
e. konservasi bahan galian;
f.    keselamatan dan kesehatan kerja;
g. pengelolaan lingkungan hidup dan reklamasi;
h.    pemanfaatan barang, jasa, teknologi, serta kemampuan rekayasa dan
      rancang bangun dalam negeri;
i.    pengembangan tenaga kerja Indonesia;
j.    pengembangan lingkungan dan masyarakat setempat;
k.    penguasaan, pengembangan, dan penerapan teknologi pertambangan
      Panas Bumi;
l.    kegiatan lain di bidang kegiatan Usaha Pertambangan Panas Bumi
      sepanjang menyangkut kepentingan umum;
m. pengelolaan Panas Bumi;
n. penerapan kaidah keekonomian dan keteknikan yang baik.


                          Pasal 33

Ketentuan lebih lanjut mengenai pembinaan dan pengawasan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 31 dan Pasal 32 diatur dengan peraturan pemerintah.


                          BAB XII
                       PENYIDIKAN

                         Pasal 34

(1)   Selain Penyidik Pejabat Polisi Negara Republik Indonesia, Pejabat
      Pegawai Negeri Sipil tertentu yang lingkup tugas dan tanggung
      jawabnya meliputi kegiatan Usaha Pertambangan Panas Bumi diberi
      wewenang khusus sebagai Penyidik sebagaimana dimaksud dalam
      undang-undang yang mengatur mengenai hukum acara pidana untuk
      melakukan     penyidikan      tindak   pidana   dalam    kegiatan   Usaha
      Pertambangan Panas Bumi.

(2)   Penyidik Pegawai Negeri Sipil sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
      berwenang:
      a. melakukan pemeriksaan atas kebenaran laporan atau keterangan
           yang diterima berkenaan dengan tindak pidana dalam kegiatan
           Usaha Pertambangan Panas Bumi;

      b. melakukan pemeriksaan terhadap orang atau badan yang diduga
           melakukan tindak pidana dalam kegiatan Usaha Pertambangan
           Panas Bumi;

      c. memanggil orang untuk didengar dan diperiksa sebagai saksi atau
           tersangka    dalam    perkara     tindak   pidana   kegiatan   Usaha
           Pertambangan Panas Bumi;

      d. menggeledah tempat dan/atau sarana yang diduga digunakan
           untuk   melakukan     tindak      pidana   dalam    kegiatan   Usaha
           Pertambangan Panas Bumi;

      e.   melakukan pemeriksaan sarana dan prasarana kegiatan Usaha
           Pertambangan Panas Bumi            dan menghentikan penggunaan
           peralatan yang diduga digunakan untuk melakukan tindak pidana;

      f.   menyegel dan/atau menyita alat kegiatan Usaha Pertambangan
           Panas Bumi yang digunakan untuk melakukan tindak pidana
           sebagai alat bukti;

      g. mendatangkan orang ahli yang diperlukan dalam hubungan-nya
           dengan pemeriksaan perkara tindak pidana dalam kegiatan Usaha
           Pertambangan Panas Bumi; atau

      h. menghentikan penyidikan perkara tindak pidana dalam kegiatan
           Usaha Pertambangan Panas Bumi.
(3) Penyidik Pegawai Negeri Sipil sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
      memberitahukan dimulainya penyidikan perkara pidana kepada
      Pejabat Polisi Negara Republik Indonesia sesuai dengan ketentuan
      peraturan perundang-undangan yang berlaku.

(4)   Penyidik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib menghenti-kan
      penyidikannya dalam hal peristiwa sebagaimana dimaksud pada ayat
      (2) huruf a tidak terdapat cukup bukti dan/atau peristiwanya bukan
      merupakan tindak pidana.

(5)   Pelaksanaan kewenangan sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
      dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan
      yang berlaku.


                          BAB XIII
                   KETENTUAN PIDANA


                          Pasal 35

Setiap orang yang melakukan kegiatan Usaha Pertambangan Panas Bumi
tanpa IUP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (3) dipidana dengan
pidana penjara paling singkat 6 (enam) bulan dan paling lama 6 (enam)
tahun dan/atau pidana denda paling sedikit        Rp 2.000.000.000,00 (dua
miliar rupiah) dan paling banyak Rp 50.000.000.000,00 (lima puluh miliar
rupiah).


                          Pasal 36

Pemegang IUP yang dengan sengaja meninggalkan Wilayah Kerjanya tanpa
menyelesaikan kewajibannya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 huruf
a, huruf b, huruf c, huruf d, huruf e, huruf f, atau huruf g dipidana dengan
pidana kurungan paling lama     6 (enam) bulan.
                          Pasal 37

Setiap     orang   yang   mengganggu   atau   merintangi   kegiatan   Usaha
Pertambangan Panas Bumi dari pemegang IUP sehingga pemegang IUP
terhambat dalam melaksanakan kegiatan Usaha Pertambangan Panas Bumi
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 dipidana dengan pidana kurungan
paling lama 6 (enam) bulan atau denda paling banyak Rp 100.000.000,00
(seratus juta rupiah).
                      Pasal 38

(1)   Tindak Pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 adalah
      kejahatan.

(2)   Tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 dan Pasal 37
      adalah pelanggaran.


                      Pasal 39

Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35, Pasal 36,
dan Pasal 37 dilakukan oleh Badan Usaha, ancaman pidana denda yang
dijatuhkan kepada Badan Usaha tersebut ditambah dengan 1/3 (sepertiga)
dari pidana denda.


                      Pasal 40

Selain dapat dijatuhi pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 39, pelaku
tindak pidana dapat dijatuhi pidana tambahan berupa:

a. perampasan barang yang digunakan dalam melakukan tindak pidana;

b. perampasan keuntungan yang diperoleh dari tindak pidana;

c. kewajiban membayar biaya yang timbul akibat tindak pidana.


                      BAB XIV
              KETENTUAN PERALIHAN


                      Pasal 41

Pada saat undang-undang ini berlaku, semua kontrak kerja sama
pengusahaan sumber daya Panas Bumi yang telah ada sebelum berlakunya
undang-undang ini, dinyatakan tetap berlaku sampai berakhirnya masa
kontrak.


                      Pasal 42

Pada saat undang-undang ini berlaku pembinaan          dan pengawasan
terhadap pelaksanaan kontrak kerja sama pengusahaan pertambangan
                  Panas Bumi yang ditandatangani sebelum berlakunya undang-undang ini
                  dialihkan kepada Pemerintah.


                                         BAB XV
                                 KETENTUAN PENUTUP


                                        Pasal 43

                  Dengan berlakunya undang-undang ini, segala ketentuan yang bertentangan
                  dengan undang-undang ini dinyatakan tidak berlaku.
                                        Pasal 44

                  Undang-undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.


                  Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan undang-
                  undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik
                  Indonesia.




                                             Disahkan di Jakarta
                                             pada tanggal 22 Oktober 2003

                                             PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

                                                             ttd.
                                             MEGAWATI SOEKARNOPUTRI


Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 22 Oktober 2003

SEKRETARIS NEGARA REPUBLIK INDONESIA,
                         ttd.
          BAMBANG KESOWO




          LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2003 NOMOR 115
 Salinan sesuai dengan
         aslinya
Deputi Sekretaris Kabinet
  Bidang Hukum dan
 Perundang-undangan,




Lambock V. Nahattands


Silahkan download versi PDF nya sbb:
panas_bumi_(uu_27_thn_2003)_27.pdf
(ogi/Carapedia)
Tambahkan komentar baru
Komentar Sebelumnya (0)
Belum ada komentar untuk produk ini.