Previous
Next

1985

Undang-Undang Pajak Bumi Dan Bangunan (UU 12 thn 1985)

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 1985 Tentang Pajak Bumi Dan Bangunan :
LEMBARAN NEGARA
REPUBLIK INDONESIA
No. 68, 1985 (FINEK. PAJAK. AGRARIA. Bangunan. Ekonomi. Uang. Penjelasan dalam Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3312)

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 12 TAHUN 1985
TENTANG
PAJAK BUMI DAN BANGUNAN

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang: a. bahwa pajak merupakan salah satu sumber penerimaan negara yang sangat penting
artinya bagi pelaksanaan dan peningkatan pembangunan nasional sebagai pengamalan Pancasila yang
bertujuan untuk meningkatkan kemakmuran dan kesejahteraan rakyat, dan oleh karena itu perlu dikelola
dengan meningkatkan peranserta masyarakat sesuai dengan kemampuannya;
b. bahwa bumi dan bangunan memberikan keuntungan dan/atau kedudukan sosial.ekonomi yang lebih
baik bagi orang atau badan yang mempunyai suatu hak atasnya atau memperoleh manfaat dari padanya,
dan oleh karena itu wajar apabila mereka diwajibkan memberikan sebagian dari manfaat atau
kenikmatan yang diperolehnya kepada negara melalui pajak;
c. bahwa sesuai dengan amanat yang terkandung dalam Garis-garis Besar Haluan Negara Tahun 1983
perlu diadakan pembaharuan sistem perpajakan, sehingga dapat mewujudkan peranserta dan
kegotongroyongan masyarakat sebagai potensi yang sangat besar dalam pembangunan nasional;
d. bahwa sistem perpajakan yang berlaku selama ini, khususnya pajak kebendaan dan pajak kekayaan,
telah menimbudkan beban pajak berganda bagi masyarakat, dan oleh karena itu perlu diakhiri melalui
pembaharuan sistem perpajakan yang sederhana, mudah, adil, dan memberi kepastian hukum;
e. bahwa untuk mencapai maksud tersebut di atas perlu disusun Undang-undang tentang Pajak Bumi
dan Bangunan;

Mengingat:    1. Pasal 5 ayat (1), Pasal 20 ayat (1), dan Pasal 23 ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945;
2. Undang-undang Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok Pemerintahan di Daerah. (Lembaran
Negara Tahun 1974 Nomor 38, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3037);
3. Undang-undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan
(Lembaran Negara Tahun 1983 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3262);

Dengan Persetujuan
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA

MEMUTUSKAN:

Dengan Mencabut:
1. Ordonansi Pajak Rumah Tangga 1908 (personeele Belasting Ordonnantie 1908, Staatsblad Tahun
1908 Nomor 13) Sebagaimana Telah Beberapa Kah Diubah, Terakhir Dengan Peraturan Pemerintah
Pengganti Undang-undang Nomor 19 Tahun 1959 (lembaran Negara Tahun 1959 Nomor 112, Tambahan
Lembaran Negara Nomor 1868) Yang Dengan Undang-undang Nomor 1 Tahun 1961 (lembaran Negara
Tahun 1961 Nomor 3, Tambahan Lembaran Negara Nomor 2124) Telah Ditetapkan Menjadi
Undang-undang;
2. Ordonansi Verponding Indonesia 1923 (inlandsche Verpondings Ordonnantie 1923, Staatsblad Tahun
1923 Nomor 425) Sebagaimana Telah Beberapa Kah Diubah, Terakhir Dengan Algemeene
Verordeningen Binnenlandsche Bestuur Java En Madoera (staatsblad Tahun 1931 Nomor 168);
3. Ordonansi Verponding 1928 (verpondings Ordonnantie 1928, Staatsblad Tahun 1928 Nomor 342)
Sebagaimana Telah Beberapa Kali Diubah, Terakhir Dengan Undang-undang Nomor 29 Tahun 1959
(lembaran Negara Tahun 1959 Nomor 74, Tambahan Lembaran Negara Nomor 1882);
4. Ordonansi Pajak Kekayaan 1932 (ordonnantie Op De Vermogens Belasting 1932, Staatsblad Tahun
1932 Nomor 405), Sebagaimana Telah Beberapa Kali Diubah, Terakhir Dengan Undang-undang Nomor
8 Tahun 1967 (lembaran Negara Tahun 1967 Nomor 18, Tambahan Lembaran Negara Nomor 2827);
5. Ordonansi Pajak Jalan 1942 (weggeld Ordonnantie 1942, Staatsblad Tahun 1941 Nomor 97)
Sebagaimana Telah Beberapa Kali Diubah, Terakhir Dengan Algemeene Verordening Oorlogsmisdrijven
(staatsblad Tahun 1946 Nomor 47);
6. Pasal 14 Huruf J, K, Dan 1 Undang-undang Nomor 11 Drt Tahun 1957 Tentang Peraturan Umum
Pajak Daerah (lembaran Negara Tahun 1957 Nomor 56, Tambahan Lembaran Negara Nomor 1287)
Yang Dengan Undang-undang Nomor 1 Tahun 1961 (lembaran Negara Tahun 1961 Nomor 3, Tambahan
Lembaran Negara Nomor 2124) Telah Ditetapkan Menjadi Undang-undang;
7. Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 11 Tahun 1959 Tentang Pajak Hasil Bumi
(lembaran Negara Tahun 1959 Nomor 104, Tambahan Lembaran Negara Nomor 1860) Yang Dengan
Undang-undang Nomor 1 Tahun 1961 (lembaran Negara Tahun 1961 Nomor 3, Tambahan Lembaran
Negara Nomor 2124) Telah Ditetapkan Menjadi Undang-undang;

Menetapkan: UNDANG-UNDANG TENTANG PAJAK BUMI DAN BANGUNAN.

BAB I
KETENTUAN UMUM

Pasal 1
Yang dimaksud dalam Undang-undang ini dengan:
1. Bumi adalah permukaan bumi dan tubuh bumi yang ada di bawahnya;
2. Bangunan adalah konstruksi teknik yang ditanam atau dilekatkan secara tetap pada tanah dan/atau
perairan;
3. Nilai Jual Obyek Pajak adalah harga rata-rata yang diperoleh dari transaksi jual beli yang terjadi secara
wajar, dan bilamana tidak terdapat transaksi juai beli, Nilai Jual Obyek Pajak ditentukan melalui
perbandingan harga dengan obyek lain yang sejenis, atau nilai perolehan baru, atau Nilai Jual Obyek
Pajak pengganti;
4. Surat Pemberitahuan Obyek Pajak adalah surat yang digunakan oleh wajib pajak untuk melaporkan
data obyek pajak menurut ketentuan undang-undang ini;
5. Surat Pemberitahuan Pajak Terhutang adalah surat yang digunakan oleh Direktorat Jenderal Pajak
untuk memberitahukan besarnya pajak terhutang kepada wajib pajak.

BAB II
OBYEK PAJAK

Pasal 2
(1) Yang menjadi obyek pajak adalah bumi dan/atau bangunan.
(2) Klasifikasi obyek pajak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur oleh Menteri Keuangan.

Pasal 3
(1) Obyek Pajak yang tidak dikenakan Pajak Bumi dan Bangunan adalah obyek pajak yang:
a. digunakan semata-mata untuk melayani kepentingan umum di bidang ibadah, sosial, kesehatan,
pendidikan dan kebudayaan nasional, yang tidak dimaksudkan untuk memperoleh keuntungan;
b. digunakan untuk kuburan, peninggalan purbakala, atau yang sejenis dengan itu;
c. merupakan hutan lindung, hutan suaka alam, hutan wisata, taman nasional, tanah penggembalaan
yang dikuasai oleh desa, dan tanah negara yang belum dibebani suatu hak;
d. digunakan oleh perwakilan diplomatik, konsulat berdasarkan asas perlakuan timbal balik;
e. digunakan oleh badan atau perwakilan organisasi internasional yang ditentukan oleh Menteri
Keuangan.
(2) Obyek pajak yang digunakan oleh negara untuk penyelenggaraan pemerintahan, penentuan
pengenaan pajaknya diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.
(3) Batas nilai jual Bangunan Tidak Kena Pajak ditetapkan sebesar Rp2.000.000,- (dua juta rupiah) untuk
setiap satuan bangunan.
(4) Batas nilai jual Bangunan Tidak Kena Pajak sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) akan disesuaikan
dengan suatu faktor penyesuaian yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan.

BAB III
SUBYEK PAJAK

Pasal 4
(1) Yang menjadi subyek pajak adalah orang atau badan yang secara nyata mempunyai suatu hak atas
bumi, dan/atau memperoleh manfaat atas bumi, dan/atau memiliki, menguasai, dan/atau memperoleh
manfaat atas bangunan.
(2) Subyek pajak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) yang dikenakan kewajiban membayar pajak
menjadi wajib pajak menurut Undang-undang ini.
(3) Dalam hal atas suatu obyek pajak belum jelas diketahui wajib pajaknya, Direktur Jenderal Pajak dapat
menetapkan subyek pajak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) sebagai wajib pajak.
(4) Subyek pajak yang ditetapkan sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) dapat memberikan keterangan
secara tertulis kepada Direktur Jenderal Pajak bahwa ia bukan wajib pajak terhadap obyek pajak
dimaksud.
(5) Bila keterangan yang diajukan oleh wajib pajak sebagaimana dimaksud dalam ayat (4) disetujui, maka
Direktur Jenderal Pajak membatalkan penetapan sebagai wajib pajak sebagaimana dimaksud dalam ayat
(3) dalam jangka waktu satu bulan sejak diterimanya surat keterangan dimaksud.
(6) Bila keterangan yang diajukan itu tidak disetujui, maka Direktur Jenderal Pajak mengeluarkan surat
keputusan penolakan dengan disertai alasan-alasannya.
(7) Apabila setelah jangka waktu satu bulan sejak tanggal diterimanya keterangan sebagaimana
dimaksud dalam ayat (4), Direktur Jenderal Pajak tidak memberikan keputusan, maka keterangan yang
diajukan itu dianggap disetujui.

BAB IV
TARIF PAJAK

Pasal 5
Tarif pajak yang dikenakan atas obyek pajak adalah sebesar 0,5% (lima persepuluh persen).

BAB V
DASAR PENGENAAN DAN CARA MENGHITUNG PAJAK

Pasal 6
(1) Dasar pengenaan pajak adalah Nilai Jual Obyek Pajak.
(2) Besarnya Nilai Jual Obyek Pajak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) ditetapkan setiap tiga tahun
oleh Menteri Keuangan, kecuali untuk daerah tertentu ditetapkan setiap tahun sesuai perkembangan
daerahnya.
(3) Dasar penghitungan pajak adalah Nilai Jual Kena Pajak yang ditetapkan serendah-rendahnya 20%
(dua puluh persen) dan setinggi-tingginya 100% (seratus persen) dari Nilai Jual Obyek Pajak.
(4) Besarnya persentase Nilai Jual Kena Pajak sebagaimana dimaksud dalam` ayat (3) ditetapkan
dengan Peraturan Pemerintah dengan memperhatikan kondisi ekonomi nasional.

Pasal 7
Besarnya pajak yang terhutang dihitung dengan cara mengalikan tarif pajak dengan Nilai Jual Kena
Pajak.

BAB VI
TAHUN PAJAK, SAAT, DAN TEMPAT YANG
MENENTUKAN PAJAK TERHUTANG

Pasal 8
(1) Tahun pajak adalah jangka waktu satu tahun takwim.
(2) Saat yang menentukan pajak yang terhutang adalah menurut keadaan obyek pajak pada tanggal 1
Januari.
(3) Tempat pajak yang terhutang:
a. untuk daerah Jakarta, di wilayah Daerah Khusus Ibukota Jakarta;
b. untuk daerah lainnya, di wilayah Kabupaten Daerah Tingkat II atau Kotamadya Daerah Tingkat II yang
meliputi letak obyek pajak.

BAB VI
PENDAFTARAN, SURAT PEMBERITAHUAN OBYEK PAJAK,
SURAT PEMBERITAHUAN PAJAK TERHUTANG, DAN
SURAT KETETAPAN PAJAK

Pasal 9
(1) Dalam rangka pendataan, subyek pajak wajib mendaftarkan obyek pajaknya dengan dengan mengisi
Surat Pemberitahuan Obyek Pajak.
(2) Surat Pemberitahuan Obyek Pajak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus diisi dengan jelas,
benar, dan lengkap serta ditandatangani dan disampaikan kepada Direktorat Jenderal Pajak yang
wilayah kerjanya meliputi letak obyek pajak, selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari setelah tanggal
diterimanya Surat Pemberitahuan Obyek Pajak oleh subyek pajak.
(3) Pelaksanaan dan tata cara pendaftaran obyek pajak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat
(2) diatur lebih lanjut oleh Menteri Keuangan.

Pasal 10
(1) Berdasarkan Surat Pemberitahuan Obyek Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1),
Direktur Jenderal Pajak menerbitkan Surat Pemberitahuan Pajak Terhutang.
(2) Direktur Jenderal Pajak dapat mengeluarkan Surat Ketetapan Pajak dalam hal-hal sebagai berikut:
a. apabila Surat Pemberitahuan Obyek Pajak tidak disampaikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9
ayat (2) dan setelah ditegor secara tertulis tidak disampaikan sebagaimana ditentukan dalam Surat
Tegoran;
b. apabila berdasarkan hasil pemeriksaan atau keterangan lain ternyata jumlah pajak yang terhutang
lebih besar dari jumlah pajak yang dihitung berdasarkan Surat Pemberitahuan Obyek Pajak yang
disampaikan oleh wajib pajak.
(3) Jumlah pajak yang terhutang dalam Surat Ketetapan Pajak sebagaimana dimaksud dalam ayat (2)
huruf a, adalah pokok pajak ditambah dengan denda administrasi sebesar 25% (dua puluh lima persen)
dihitung dari pokok pajak.
(4) Jumlah pajak yang terhutang dalam Surat Ketetapan Pajak sebagaimana dimaksud dalam ayat (2)
huruf b adalah selisih pajak yang terhutang berdasarkan hasil pemeriksaan atau keterangan lain dengan
pajak yang terhutang yang dihitung berdasarkan Surat Pemberitahuan Obyek Pajak ditambah denda
administrasi sebesar 25% (dua puluh lima persen) dari selisih pajak yang terhutang.

BAB VIII
TATA CARA PEMBAYARAN DAN PENAGIHAN

Pasal 11
(1) Pajak yang terhutang berdasarkan Surat Pemberitahuan Pajak Terhutang sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 10 ayat (1) harus dilunasi selambat-lambatnya 6 (enam) bulan sejak tanggal diterimanya
Surat Pemberitahuan Pajak Terhutang oleh wajib pajak.
(2) Pajak yang terhutang berdasarkan Surat Ketetapan Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10
ayat (3) dan ayat (4) harus dilunasi selambat-lambatnya 1 (satu) bulan sejak tanggal diterimanya Surat
Ketetapan Pajak oleh wajib pajak.
(3) Pajak yang terhutang yang pada saat jatuh tempo pembayaran tidak dibayar atau kurang dibayar,
dikenakan denda administrasi sebesar 2% (dua persen) sebulan, yang dihitung dari saat jatuh tempo
sampai dengan hari pembayaran untuk jangka waktu paling lama 24 (dua puluh empat) bulan.
(4) Denda administrasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) ditambah dengan hutang pajak yang
belum atau kurang dibayar ditagih dengan Surat Tagihan Pajak yang harus dilunasi selambat-lambatnya
1 (satu) bulan sejak tanggal diterimanya Surat Tagihan Pajak oleh wajib pajak.
(5) Pajak yang terhutang dibayar di Bank, Kantor Pos dan Giro, dan tempat lain yang ditunjuk oleh
Menteri Keuangan.
(6) Tata Cara pembayaran dan penagihan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat (2), ayat (3), ayat
(4), dan ayat (5) diatur oleh Menteri Keuangan.

Pasal 12
Surat Pemberitahuan Pajak Terhutang, Surat Ketetapan Pajak, dan Surat Tagihan Pajak merupakan
dasar penagihan pajak.

Pasal 13
Jumlah pajak yang terhutang berdasarkan Surat Tagihan Pajak yang tidak dibayar pada waktunya dapat
ditagih dengan Surat Paksa.

Pasal 14
Menteri Keuangan dapat melimpahkan kewenangan penagihan pajak kepada Gubernur Kepala Daerah
Tingkat I dan/atau Bupati/Walikotamadya Kepala Daerah Tingkat II.

BAB IX
KEBERATAN DAN BANDING

Pasal 15
(1) Wajib pajak dapat mengajukan keberatan pada Direktur Jenderal Pajak atas:
a. Surat Pemberitahuan Pajak Terhutang;
b. Surat Ketetapan Pajak.
(2) Keberatan diajukan secara tertulis dalam bahasa Indonesia dengan menyatakan alasan secara jelas.
(3) Keberatan harus diajukan dalam jangka waktu 3 (tiga) bulan sejak tanggal diterimanya surat
sebagaina dimaksud dalam ayat (1) oleh wajib pajak, kecuali apabila wajib pajak dapat menunjukkan
bahwa jangka waktu itu tidak dapat dipenuhi karena keadaan di luar kekuasaannya.
(4) Tanda penerimaan Surat Keberatan yang diberikan oleh pejabat Direk-torat Jenderal Pajak yang
ditunjuk untuk itu atau tanda pengiriman Surat Keberatan melalui pos tercatat menjadi tanda bukti
penerimaan Surat Keberatan tersebut bagi kepentingan wajib pajak.
(5) Apabila diminta oleh wajib pajak untuk keperluan pengajuan keberatan, Direktur Jenderal Pajak wajib
memberikan secara tertulis hal-hal yang menjadi dasar pengenaan pajak.
(6) Pengajuan keberatan tidak menunda kewajiban membayar pajak.

Pasal 16
(1) Direktur Jenderal Pajak dalam jangka waktu paling lama 12 (dua belas) bulan sejak tanggal Surat
Keberatan diterima, harus memberikan keputusan atas keberatan yang diajukan.
(2) Sebelum surat keputusan diterbitkan, wajib pajak dapat menyampaikan alasan tambahan atau
penjelasan tertulis.
(3) Keputusan Direktur Jenderal Pajak atas keberatan dapat berupa menerima seluruhnya atau sebagian,
menolak atau menambah besarnya jumlah pajak yang terhutang.
(4) Dalam hal wajib pajak mengajukan keberatan atas ketetapan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10
ayat (2) huruf a, wajib pajak yang bersangkutan harus dapat membuktikan ketidak benaran ketetapan
pajak tersebut.
(5) Apabila jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) telah lewat dan Direktur Jenderal Pajak
tidak memberikan suatu keputusan, maka keberatan yang diajukan tersebut dianggap diterima.

Pasal 17
(1) Wajib pajak dapat mengajukan banding kepada badan peradilan pajak terhadap keputusan yang
ditetapkan oleh Direktur Jenderal Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (6) dan Pasal 16
ayat (3) dalam jangka waktu 3 (tiga) bulan sejak tanggal diterimanya surat keputusan oleh wajib pajak
dengan dilampiri salinan surat keputusan tersebut.
(2) Permohonan banding diajukan secara tertulis dalam bahasa Indonesia.
(3) Pengajuan permohonan banding tidak menunda kewajiban mambayar pajak.

BAB X
PEMBAGIAN HASIL PENERIMAAN PAJAK
Pasal 18
(1) Hasil penerimaan pajak merupakan penerimaan negara yang dibagi antara Pemerintah Pusat dan
Pemerintah Daerah dengan imbangan pembagian sekurang-kurangnya 90% (sembilan puluh persen)
untuk Pemerintah Daerah Tingkat II dan Pemerintah Daerah Tingkat I sebagai pendapatan daerah yang
bersangkutan.
(2) Bagian penerimaan Pemerintah Daerah sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), sebagian besar
diberikan kepada Pemerintah Daerah Tingkat II.
(3) Imbangan pembagian hasil penerimaan pajak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2)
diatur dengan Peraturan Pemerintah.

BAB XI
KETENTUAN LAIN-LAIN

Pasal 19
(1) Menteri Keuangan dapat memberikan pengurangan pajak yang terhutang:
a. karena kondisi tertentu obyek pajak yang ada hubungannya dengan subyek pajak dan/atau karena
sebab-sebab tertentu lainnya;
b. dalam hal obyek pajak terkena bencana alam atau sebab lain yang luar biasa.
(2) Ketentuan mengenai pemberian pengurangan pajak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur
oleh Menteri Keuangan.

Pasal 20
Atas permintaan wajib pajak Direktur Jenderal Pajak dapat mengurangkan denda administrasi karena
hal-hal tertentu.

Pasal 21
(1) Pejabat yang dalam jabatannya atau tugas pekerjaanya berkaitan langsung dengan obyek pajak,
wajib:
a. menyampaikan laporan bulanan mengenai semua mutasi dan perubahan keadaan obyek pajak secara
tertulis kepada Direktorat Jenderal Pajak yang wilayah kerjanya meliputi letak obyek pajak;
b. memberikan keterangan yang diperlukan atas permintaan Direktorat Jenderal Pajak.
(2) Kewajiban memberikan keterangan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf b, berlaku pula bagi
pejabat lain yang ada hubungannya dengan obyek pajak.
(3) Dalam hal pejabat sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) terikat oleh kewajiban untuk
memegang rahasia jabatan, kewajiban untuk merahasiakan itu ditiadakan sepanjang menyangkut
pelaksanaan Undang-undang ini.
(4) Tata cara penyampaian laporan dan permintaan keterangan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
dan ayat (2) diatur oleh Menteri Keuangan.

Pasal 22
Pejabat yang tidak memenuhi kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21, dikenakan sanksi
menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Pasal 23
Terhadap hal-hal yang tidak diatur secara khusus dalam Undang-undang ini, berlaku ketentuan dalam
Undang-undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan serta
peraturan perundang-undangan lainnya.

BAB XII
KETENTUAN PIDANA

Pasal 24
Barang siapa karena kealpaannya:
a. tidak mengembalikan/menyampaikan Surat Pemberitahuan Obyek Pajak kepada Direktorat Jenderal
Pajak;
b. menyampaikan Surat Pemberitahuan Obyek Pajak, tetapi isinya tidak benar atau tidak lengkap
dan/atau melampirkan keterangan yang tidak benar;
sehingga menimbulkan kerugian pada Negara, dipidana dengan pidana kurungan selama-lamanya 6
(enam bulan) atau denda setinggi-tingginya sebesar 2 (dua) kali pajak yang terhutang.

Pasal 25
(1) Barang siapa dengan sengaja:
a. tidak mengembalikan/menyampaikan Surat Pemberitahuan Obyek Pajak kepada Direktorat Jenderal
Pajak;
b. menyampaikan Surat Pemberitahuan Obyek Pajak, tetapi isinya tidak benar atau tidak lengkap
dan/atau melampirkan keterangan. yang tidak benar;
c. memperlihatkan surat palsu atau dipalsukan atau dokumen lain yang palsu atau dipalsukan
seolah-olah benar;
d. tidak memperlihatkan atau tidak meminjamkan surat atau dokumen lainnya;
e. tidak menunjukkan data atau tidak menyampaikan keterangan yang diperlukan;
sehingga menimbulkan kerugian pada Negara, dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya 2 (dua)
tahun atau denda setinggi-tingginya sebesar 5 (lima) kali pajak yang terhutang.
(2) Terhadap bukan wajib pajak yang bersangkutan yang melakukan tindakan sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1) huruf d dan huruf e, dipidana dengan pidana kurungan selama-lamanya 1 (satu) tahun
atau denda setinggi-tingginya Rp2.000.000,- (dua juta rupiah).
(3) Ancaman pidana sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilipatkan dua apabila seseorang melakukan
lagi tindak pidana di bidang perpajakan sebelum lewat 1 (satu) tahun, terhitung sejak selesainya
menjalani sebagian atau seluruh pidana penjara yang dijatuhkan atau sejak dibayarnya denda.

Pasal 26
Tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 dan Pasal 25 tidak dapat dituntut setelah lampau
waktu 10 (sepuluh) tahun sejak berakhirnya tahun pajak yang bersangkutan.

Pasal 27
(1) Tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 dan Pasal 25 ayat (2) adalah pelanggaran.
(2) Tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 ayat (1) adalah kejahatan.

BAB XIII
KETENTUAN PERALIHAN

Pasal 28
Terhadap Iuran Pembangunan Daerah (Ipeda), Pajak Kekayaan (PKk), Pajak Jalan, dan Pajak Rumah
Tangga (PRT) yang terhutang untuk tahun pajak 1985 dan sebelumnya berlaku ketentuan peraturan
perundang-undangan perpajakan yang lama sampai dengan tanggal 31 Desember 1990.

Pasal 29
Dengan berlakunya Undang-undang ini, peraturan pelaksanaan yang telah ada di bidang luran
Pembangunan Daerah (ipeda) berdasarkan Undang-undang Nomor 11 Prp Tahun 1959 tentang Pajak
Hasil Bumi, tetap berlaku sampai dengan tanggal 31 Desember 1990 sepanjang tidak bertentangan dan
belum diatur dengan peraturan pelaksanaan yang baru berdasarkan Undang-undang ini.

Pasal 30
Terhadap obyek pajak dalam bidang penambangan minyak dan gas bumi serta dalam bidang
penambangan lainnya, sehubungan dengan Kontrak Karya dan Kontrak Bagi Hasil yang masih berlaku
pada saat berlakunya Undang-undang ini, tetap dikenakan Iuran Pembangunan Daerah (Ipeda)
berdasarkan ketentuan-ketentuan dalam perjanjian Kontrak Karya dan Kontrak Bagi Hasil yang masih
berlaku.

BAB XIV
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 31
Undang-undang ini mulai berlaku pada tanggal 1 Januari 1986.

Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-undang ini dengan
penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.

Disahkan di Jakarta
pada tangal 27 Desember 1985
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
SOEHARTO
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 27 Desember 1985
MENTERI/SEKRETARIS NEGARA
REPUBLIK INDONESIA

SUDHARMONO, S.H.


Silahkan download versi PDF nya sbb:
pajak_bumi_bangunan_(uu_12_thn_1985)_12.pdf
(ogi/Carapedia)
Tambahkan komentar baru
Komentar Sebelumnya (0)
Belum ada komentar untuk produk ini.