Previous
Next
  • Home
  • »
  • Undang-Undang
  • »
  • 2009
  • » Undang-Undang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (UU 27 thn 2009)

2009

Undang-Undang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (UU 27 thn 2009)

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 27 Tahun 2009 Tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah :
               UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
                       NOMOR 27 TAHUN 2009
                              TENTANG
  MAJELIS PERMUSYAWARATAN RAKYAT, DEWAN PERWAKILAN RAKYAT,
DEWAN PERWAKILAN DAERAH, DAN DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH


              DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

                  PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,


Menimbang:   a. bahwa untuk melaksanakan kedaulatan rakyat atas dasar
                kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan
                dalam permusyawaratan/perwakilan, perlu mewujudkan
                lembaga permusyawaratan rakyat, lembaga perwakilan
                rakyat, dan lembaga perwakilan daerah yang mampu
                mengejawantahkan nilai-nilai demokrasi serta menyerap
                dan memperjuangkan aspirasi rakyat dan daerah sesuai
                dengan tuntutan perkembangan kehidupan berbangsa dan
                bernegara;
             b. bahwa untuk mewujudkan lembaga permusyawaratan
                rakyat, lembaga perwakilan rakyat, dan lembaga
                perwakilan daerah sebagaimana dimaksud dalam huruf a,
                perlu menata Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan
                Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan
                Perwakilan Rakyat Daerah;
             c. bahwa untuk mengembangkan kehidupan demokrasi
                dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah, perlu
                mewujudkan lembaga perwakilan rakyat daerah sebagai
                penyelenggara pemerintahan daerah bersama-sama dengan
                pemerintah daerah yang mampu mengatur dan mengurus
                urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat
                setempat berdasarkan aspirasi masyarakat dalam sistem
                Negara Kesatuan Republik Indonesia;
             d. bahwa dalam rangka peningkatan peran dan tanggung
                jawab   lembaga     permusyawaratan  rakyat, lembaga
                perwakilan rakyat, lembaga perwakilan daerah sesuai
                dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
                Tahun 1945, Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2003
                tentang     Susunan      dan     Kedudukan     Majelis
                Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat,
                Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat
                Daerah perlu diganti;

                                                           e. bahwa . . .
                                    -2-


               e. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud
                  dalam huruf a, huruf b, huruf c, dan huruf d, perlu
                  membentuk      Undang-Undang      tentang     Majelis
                  Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat,
                  Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat
                  Daerah;

Mengingat:     Pasal 1 ayat (2), Pasal 2, Pasal 3, Pasal 5 ayat (1), Pasal 7A,
               Pasal 7B, Pasal 8, Pasal 9, Pasal 11, Pasal 13, Pasal 18
               ayat (3), Pasal 19, Pasal 20 ayat (1), Pasal 20A, Pasal 21,
               Pasal 22B, Pasal 22C, Pasal 22D, Pasal 22E ayat (2), ayat (3)
               dan ayat (4), Pasal 23E, Pasal 23F, Pasal 24C ayat (2), dan
               Pasal 37 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
               Tahun 1945;


                        Dengan Persetujuan Bersama

             DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA
                                     dan
                     PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

                              MEMUTUSKAN:

Menetapkan: UNDANG-UNDANG TENTANG MAJELIS PERMUSYAWARATAN
            RAKYAT,  DEWAN    PERWAKILAN   RAKYAT,  DEWAN
            PERWAKILAN DAERAH, DAN DEWAN PERWAKILAN RAKYAT
            DAERAH.

                                         BAB I
                                    KETENTUAN UMUM
                                           Pasal 1
                Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan:
                1. Majelis Permusyawaratan Rakyat, selanjutnya disingkat
                   MPR,    adalah     Majelis   Permusyawaratan  Rakyat
                   sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar
                   Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
                2. Dewan Perwakilan Rakyat, selanjutnya disingkat DPR,
                   adalah Dewan Perwakilan Rakyat sebagaimana dimaksud
                   dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
                   Tahun 1945.

                                                                 3. Dewan . . .
                    -3-

3. Dewan Perwakilan Daerah, selanjutnya disingkat DPD,
   adalah Dewan Perwakilan Daerah sebagaimana dimaksud
   dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
   Tahun 1945.
4. Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, selanjutnya disingkat
   DPRD, adalah Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
   sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar
   Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
5. Komisi Pemilihan Umum, Komisi Pemilihan Umum
   provinsi, dan Komisi Pemilihan Umum kabupaten/kota,
   selanjutnya disingkat KPU, KPU provinsi, dan KPU
   kabupaten/kota adalah KPU, KPU provinsi, dan KPU
   kabupaten/kota sebagaimana dimaksud dalam undang-
   undang mengenai penyelenggara pemilihan umum.
6. Badan Pemeriksa Keuangan, selanjutnya disingkat BPK,
   adalah lembaga negara yang bertugas memeriksa
   pengelolaan dan pertanggungjawaban keuangan negara
   sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar
   Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
7. Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara, selanjutnya
   disingkat APBN, adalah rencana keuangan tahunan
   pemerintahan negara yang ditetapkan dengan undang-
   undang.
8. Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah, selanjutnya
   disingkat APBD, adalah rencana keuangan tahunan
   pemerintahan daerah yang ditetapkan dengan peraturan
   daerah.
9. Hari adalah hari kerja.

                             BAB II
                              MPR

                      Bagian Kesatu
                  Susunan dan Kedudukan

                             Pasal 2

MPR terdiri atas anggota DPR dan anggota DPD yang dipilih
melalui pemilihan umum.

                             Pasal 3

MPR merupakan lembaga permusyawaratan rakyat yang
berkedudukan sebagai lembaga negara.

                                          Bagian Kedua . . .
                     -4-

                        Bagian Kedua
                     Tugas dan Wewenang

                            Pasal 4

MPR mempunyai tugas dan wewenang:
a.    mengubah dan menetapkan Undang-Undang              Dasar
      Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
b.    melantik Presiden    dan/atau   Wakil   Presiden    hasil
      pemilihan umum;
c.    memutuskan usul DPR untuk memberhentikan Presiden
      dan/atau Wakil Presiden dalam masa jabatannya, setelah
      Mahkamah Konstitusi memutuskan bahwa Presiden
      dan/atau Wakil Presiden terbukti melakukan pelanggaran
      hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi,
      penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan
      tercela dan/atau terbukti bahwa Presiden dan/atau Wakil
      Presiden tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden
      dan/atau Wakil Presiden;
d.    melantik Wakil Presiden menjadi Presiden apabila
      Presiden mangkat, berhenti, diberhentikan, atau tidak
      dapat melakukan kewajibannya dalam masa jabatannya;
e.    memilih Wakil Presiden dari 2 (dua) calon yang diusulkan
      oleh Presiden apabila terjadi kekosongan jabatan Wakil
      Presiden dalam masa jabatannya; dan
f.    memilih Presiden dan Wakil Presiden apabila keduanya
      mangkat, berhenti, diberhentikan, atau tidak dapat
      melakukan kewajibannya dalam masa jabatannya secara
      bersamaan, dari 2 (dua) pasangan calon presiden dan
      wakil presiden yang diusulkan oleh partai politik atau
      gabungan partai politik yang pasangan calon Presiden
      dan Wakil Presidennya meraih suara terbanyak pertama
      dan kedua dalam pemilihan umum sebelumnya, sampai
      berakhir masa jabatannya.


                            Pasal 5

(1)   Dalam melaksanakan tugas dan wewenang sebagaimana
      dimaksud dalam Pasal 4, MPR menyusun anggaran yang
      dituangkan dalam program dan kegiatan sesuai dengan
      ketentuan peraturan perundang-undangan.


                                                 (2) Dalam . . .
                     -5-

(2)   Dalam    menyusun   program   dan    kegiatan MPR
      sebagaimana dimaksud pada ayat (1), untuk memenuhi
      kebutuhannya, MPR dapat menyusun standar biaya
      khusus dan mengajukannya kepada Pemerintah untuk
      dibahas bersama.

(3)   Pengelolaan anggaran MPR sebagaimana dimaksud pada
      ayat (1) dilaksanakan oleh Sekretariat Jenderal MPR
      sesuai   dengan   ketentuan  peraturan    perundang-
      undangan.

(4)   MPR menetapkan pertanggungjawaban pengelolaan
      anggaran MPR dalam peraturan MPR sesuai dengan
      ketentuan peraturan perundang-undangan.

(5)   MPR melaporkan pengelolaan anggaran sebagaimana
      dimaksud pada ayat (3) melalui Sekretariat Jenderal MPR
      kepada publik pada akhir tahun anggaran.


                         Bagian Ketiga
                         Keanggotaan

                            Pasal 6

(1)   Keanggotaan    MPR    diresmikan    dengan    keputusan
      Presiden.

(2)   Masa jabatan anggota MPR adalah 5 (lima) tahun dan
      berakhir pada saat anggota MPR yang baru mengucapkan
      sumpah/janji.

                            Pasal 7

(1)   Anggota    MPR   sebelum   memangku     jabatannya
      mengucapkan sumpah/janji secara bersama-sama yang
      dipandu oleh Ketua Mahkamah Agung dalam sidang
      paripurna MPR.

(2)   Anggota    MPR     yang   berhalangan  mengucapkan
      sumpah/janji    secara   bersama-sama   sebagaimana
      dimaksud pada ayat (1) mengucapkan sumpah/janji yang
      dipandu oleh pimpinan MPR.

(3)   Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengucapan
      sumpah/janji sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan
      ayat (2) diatur dengan peraturan MPR tentang tata tertib.


                                                    Pasal 8 . . .
                       -6-


                              Pasal 8

Sumpah/janji sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 sebagai
berikut:
        "Demi Allah (Tuhan) saya bersumpah/berjanji:
bahwa saya, akan memenuhi kewajiban saya sebagai
anggota/ketua/wakil ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat
dengan sebaik-baiknya dan seadil-adilnya, sesuai dengan
peraturan perundang-undangan, dengan berpedoman pada
Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945;
bahwa saya dalam menjalankan kewajiban akan bekerja
dengan    sungguh-sungguh, demi  tegaknya   kehidupan
demokrasi, serta mengutamakan kepentingan bangsa dan
negara daripada kepentingan pribadi, seseorang, dan
golongan;
bahwa saya akan memperjuangkan aspirasi rakyat dan daerah
yang saya wakili untuk mewujudkan tujuan nasional demi
kepentingan bangsa dan Negara Kesatuan Republik
Indonesia."

                        Bagian Keempat
                   Hak dan Kewajiban Anggota

                            Paragraf 1
                           Hak Anggota

                              Pasal 9

Anggota MPR mempunyai hak:
a. mengajukan usul pengubahan pasal Undang-Undang
   Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
b. menentukan      sikap     dan   pilihan   dalam   pengambilan
   keputusan;
c. memilih dan dipilih;
d. membela diri;
e. imunitas;
f.   protokoler; dan
g. keuangan dan administratif.


                                                     Paragraf 2 . . .
                      -7-

                          Paragraf 2
                       Kewajiban Anggota

                            Pasal 10

 Anggota MPR mempunyai kewajiban:
 a. memegang teguh dan mengamalkan Pancasila;
 b. melaksanakan Undang-Undang Dasar Negara Republik
    Indonesia Tahun 1945 dan menaati peraturan perundang-
    undangan;
 c. mempertahankan dan memelihara kerukunan nasional
    dan menjaga keutuhan Negara Kesatuan Republik
    Indonesia;
 d. mendahulukan kepentingan negara di atas kepentingan
    pribadi, kelompok, dan golongan; dan
 e. melaksanakan peranan sebagai wakil rakyat dan wakil
    daerah.

                         Bagian Kelima
               Fraksi dan Kelompok Anggota MPR

                            Paragraf 1
                              Fraksi

                            Pasal 11

(1)   Fraksi adalah pengelompokan anggota         MPR    yang
      mencerminkan konfigurasi partai politik.

(2)   Fraksi dapat dibentuk oleh partai politik yang memenuhi
      ambang batas perolehan suara dalam penentuan perolehan
      kursi DPR.

(3)   Setiap anggota MPR yang berasal dari anggota DPR harus
      menjadi anggota salah satu fraksi.

(4)   Fraksi dibentuk untuk mengoptimalkan kinerja MPR dan
      anggota dalam melaksanakan tugasnya sebagai wakil
      rakyat.

(5)   Pengaturan internal fraksi sepenuhnya menjadi urusan
      fraksi masing-masing.

(6)   MPR menyediakan sarana bagi kelancaran tugas fraksi.

                                                   Paragraf 2 . . .
                       -8-

                            Paragraf 2
                        Kelompok Anggota

                             Pasal 12

(1)   Kelompok Anggota adalah pengelompokan anggota MPR
      yang berasal dari seluruh anggota DPD.

(2)   Kelompok     Anggota     dibentuk    untuk   meningkatkan
      optimalisasi dan efektivitas kinerja MPR dan anggota dalam
      melaksanakan tugasnya sebagai wakil daerah.

(3)   Pengaturan internal Kelompok Anggota          sepenuhnya
      menjadi urusan Kelompok Anggota.

(4)   MPR menyediakan sarana bagi kelancaran tugas Kelompok
      Anggota.

                         Bagian Keenam
                        Alat Kelengkapan

                             Pasal 13

Alat kelengkapan MPR terdiri atas:
a.    pimpinan; dan
b.    panitia ad hoc MPR.

                             Paragraf 1
                             Pimpinan

                             Pasal 14

(1)   Pimpinan MPR terdiri atas 1 (satu) orang ketua yang
      berasal dari anggota DPR dan 4 (empat) orang wakil ketua
      yang terdiri atas 2 (dua) orang wakil ketua berasal dari
      anggota DPR dan 2 (dua) orang wakil ketua berasal dari
      anggota    DPD,     yang    ditetapkan   dalam    sidang
      paripurna MPR.
(2)   Pimpinan MPR yang berasal dari DPR sebagaimana
      dimaksud pada ayat (1) dipilih secara musyawarah untuk
      mufakat dan ditetapkan dalam rapat paripurna DPR.

(3)   Dalam hal musyawarah untuk mufakat sebagaimana
      dimaksud pada ayat (2) tidak tercapai, pimpinan MPR yang
      berasal dari DPR dipilih dari dan oleh anggota DPR dan
      ditetapkan dalam rapat paripurna DPR.

                                               (4) Pimpinan . . .
                        -9-


(4)   Pimpinan MPR yang berasal dari DPD sebagaimana
      dimaksud pada ayat (1) dipilih secara musyawarah untuk
      mufakat dan ditetapkan dalam sidang paripurna DPD.

(5)   Dalam hal musyawarah untuk mufakat sebagaimana
      dimaksud pada ayat (4) tidak tercapai, pimpinan MPR yang
      berasal dari DPD dipilih dari dan oleh anggota DPD serta
      ditetapkan dalam sidang paripurna DPD.
(6)   Selama pimpinan MPR sebagaimana dimaksud pada
      ayat (1) belum terbentuk, sidang MPR pertama kali untuk
      menetapkan pimpinan MPR dipimpin oleh pimpinan
      sementara MPR.

(7)   Pimpinan sementara MPR sebagaimana dimaksud pada
      ayat (6) adalah Ketua DPR sebagai Ketua Sementara MPR
      dan Ketua DPD sebagai Wakil Ketua Sementara MPR.

(8)   Pimpinan MPR ditetapkan dengan keputusan MPR.


                              Pasal 15

(1) Pimpinan MPR bertugas:
      a. memimpin sidang MPR dan menyimpulkan hasil sidang
         untuk diambil keputusan;
      b. menyusun rencana kerja dan mengadakan pembagian
         kerja antara ketua dan wakil ketua;
      c. menjadi juru bicara MPR;
      d. melaksanakan putusan MPR;
      e. mengoordinasikan       anggota MPR             untuk
         memasyarakatkan Undang-Undang Dasar           Negara
         Republik Indonesia Tahun 1945;
      f.   mewakili MPR di pengadilan;
      g. menetapkan arah dan kebijakan umum anggaran MPR;
         dan
      h. menyampaikan laporan kinerja pimpinan dalam sidang
         paripurna MPR pada akhir masa jabatan.

(2)   Ketentuan mengenai tata cara pelaksanaan tugas pimpinan
      MPR sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan
      peraturan MPR tentang tata tertib.

                                                  Pasal 16 . . .
                       - 10 -



                                Pasal 16

(1)   Pimpinan MPR berhenti dari jabatannya karena:
      a.   meninggal dunia;
      b.   mengundurkan diri; atau
      c.   diberhentikan.

(2)   Pimpinan MPR diberhentikan sebagaimana dimaksud pada
      ayat (1) huruf c apabila:
      a. diberhentikan sebagai anggota DPR atau anggota DPD;
         atau
      b. tidak dapat melaksanakan tugas secara berkelanjutan
         atau berhalangan tetap sebagai pimpinan MPR.

(3)   Dalam hal pimpinan MPR berhenti dari jabatannya
      sebagaimana dimaksud pada ayat (1), pimpinan MPR
      diganti oleh anggota yang berasal dari DPR atau DPD
      sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (1), ayat (2),
      ayat (3), ayat (4), dan ayat (5) paling lambat 30 (tiga puluh)
      hari sejak pimpinan MPR berhenti dari jabatannya.

(4)   Penggantian pimpinan MPR sebagaimana dimaksud pada
      ayat (3) ditetapkan dengan keputusan pimpinan MPR dan
      dilaporkan dalam sidang paripurna MPR berikutnya atau
      diberitahukan secara tertulis kepada anggota MPR.


                                Pasal 17

(1)   Dalam hal salah seorang pimpinan MPR atau lebih
      berhenti dari jabatannya, pimpinan MPR lainnya
      mengadakan musyawarah untuk menentukan pelaksana
      tugas sementara sampai terpilihnya pengganti definitif.

(2)   Dalam hal pimpinan MPR dinyatakan sebagai terdakwa
      karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan
      pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih, pimpinan MPR
      yang bersangkutan tidak boleh melaksanakan tugasnya.

(3)   Dalam hal pimpinan MPR sebagaimana dimaksud pada
      ayat (2) dinyatakan tidak terbukti melakukan tindak
      pidana berdasarkan putusan pengadilan yang telah


                                                    memperoleh . . .
                      - 11 -

      memperoleh kekuatan hukum tetap, pimpinan MPR yang
      bersangkutan melaksanakan tugasnya kembali sebagai
      pimpinan MPR.


                               Pasal 18
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemberhentian dan
penggantian pimpinan MPR diatur dengan peraturan MPR
tentang tata tertib.


                            Paragraf 2
                       Panitia Ad Hoc MPR

                               Pasal 19

(1)    Panitia ad hoc MPR terdiri atas pimpinan MPR dan paling
       sedikit 5% (lima persen) dari jumlah anggota dan paling
       banyak 10% (sepuluh persen) dari jumlah anggota yang
       susunannya mencerminkan unsur DPR dan unsur DPD
       secara proporsional dari setiap fraksi dan Kelompok
       Anggota MPR.

(2)    Anggota sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diusulkan
       oleh unsur DPR dan unsur DPD dari setiap fraksi dan
       Kelompok Anggota MPR.


                               Pasal 20

(1)    Panitia ad hoc MPR sebagaimana dimaksud dalam
       Pasal 19 ayat (1) melaksanakan tugas yang diberikan oleh
       MPR.

(2)    Setelah terbentuk, panitia ad hoc MPR segera
       menyelenggarakan   rapat  untuk    membahas    dan
       memusyawarahkan tugas yang diberikan oleh MPR.


                               Pasal 21

(1)    Panitia ad hoc MPR bertugas:
       a. mempersiapkan bahan sidang MPR; dan
       b. menyusun rancangan putusan MPR.


                                                 (2) Panitia . . .
                    - 12 -



(2)   Panitia ad hoc MPR melaporkan pelaksanaan tugas
      sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dalam sidang
      paripurna MPR.

(3) Panitia ad hoc MPR dibubarkan setelah tugasnya selesai.


                             Pasal 22

Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pembentukan,
susunan, dan tugas panitia ad hoc MPR diatur dengan
peraturan MPR tentang tata tertib.


                       Bagian Ketujuh
              Pelaksanaan Tugas dan Wewenang

                         Paragraf 1
              Perubahan Undang-Undang Dasar
            Negara Republik Indonesia Tahun 1945

                             Pasal 23

(1)   MPR berwenang mengubah dan menetapkan Undang-
      Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

(2)   Dalam mengubah Undang-Undang Dasar Negara Republik
      Indonesia Tahun 1945 sebagaimana dimaksud pada
      ayat (1), anggota MPR tidak dapat mengusulkan
      pengubahan terhadap Pembukaan Undang-Undang Dasar
      Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan bentuk
      Negara Kesatuan Republik Indonesia.


                             Pasal 24

(1)   Usul pengubahan pasal Undang-Undang Dasar Negara
      Republik Indonesia Tahun 1945 diajukan oleh sekurang-
      kurangnya 1/3 (satu pertiga) dari jumlah anggota MPR.

(2)   Setiap usul pengubahan diajukan secara tertulis dengan
      menunjukkan secara jelas pasal yang diusulkan diubah
      beserta alasannya.

                                                   Pasal 25 . . .
                    - 13 -

                             Pasal 25

(1)   Usul pengubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik
      Indonesia Tahun 1945 diajukan kepada pimpinan MPR.

(2)   Setelah menerima usul pengubahan sebagaimana
      dimaksud pada ayat (1), pimpinan MPR memeriksa
      kelengkapan persyaratannya yang meliputi:
      a. jumlah pengusul sebagaimana      dimaksud     dalam
         Pasal 24 ayat (1); dan
      b. pasal yang diusulkan diubah dan alasan pengubahan
         sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat (2).

(3)   Pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
      dilakukan paling lama 30 (tiga puluh) hari sejak usul
      pengubahan diterima.


                             Pasal 26

Dalam pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25
ayat (3), pimpinan MPR mengadakan rapat dengan pimpinan
fraksi dan pimpinan Kelompok Anggota MPR untuk membahas
kelengkapan persyaratan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 25 ayat (2).


                             Pasal 27

(1)   Dalam    hal   usul    pengubahan   tidak    memenuhi
      kelengkapan persyaratan sebagaimana dimaksud dalam
      Pasal 25 ayat (2), pimpinan MPR memberitahukan
      penolakan usul pengubahan secara tertulis kepada pihak
      pengusul beserta alasannya.

(2)   Dalam hal usul pengubahan dinyatakan oleh pimpinan
      MPR memenuhi kelengkapan persyaratan sebagaimana
      dimaksud dalam Pasal 25 ayat (2), pimpinan MPR wajib
      menyelenggarakan sidang paripurna MPR paling lambat
      60 (enam puluh) hari.

(3)   Anggota MPR menerima salinan usul pengubahan yang
      telah memenuhi kelengkapan persyaratan paling lambat
      14 (empat belas) hari sebelum dilaksanakan sidang
      paripurna MPR.

                                                 Pasal 28 . . .
                   - 14 -




                            Pasal 28

Dalam sidang paripurna MPR sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 27 ayat (2) dilakukan kegiatan sebagai berikut:
a. pengusul menjelaskan usulan yang diajukan beserta
    alasannya;
b.    fraksi dan Kelompok Anggota MPR memberikan
      pemandangan umum terhadap usul pengubahan; dan
c.    membentuk panitia ad hoc untuk       mengkaji    usul
      pengubahan dari pihak pengusul.


                            Pasal 29

(1)   Dalam sidang paripurna MPR berikutnya panitia ad hoc
      melaporkan hasil kajian sebagaimana dimaksud dalam
      Pasal 28 huruf c.

(2)   Fraksi dan Kelompok Anggota MPR       menyampaikan
      pemandangan umum terhadap hasil       kajian panitia
      ad hoc.

                            Pasal 30

(1)   Sidang paripurna MPR sebagaimana dimaksud dalam
      Pasal 29 ayat (1) dihadiri oleh sekurang-kurangnya
      2/3 (dua pertiga) dari jumlah anggota MPR.

(2)   Sidang paripurna MPR sebagaimana dimaksud pada
      ayat (1) dapat memutuskan pengubahan pasal Undang-
      Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945,
      dengan persetujuan sekurang-kurangnya 50% (lima
      puluh persen) dari jumlah anggota ditambah 1 (satu)
      anggota.

                            Pasal 31

Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengambilan
keputusan terhadap usul pengubahan Undang-Undang Dasar
Republik Indonesia Tahun 1945 diatur dengan peraturan MPR
tentang tata tertib.


                                            Paragraf 2 . . .
                    - 15 -

                           Paragraf 2
            Pelantikan Presiden dan Wakil Presiden
                    Hasil Pemilihan Umum

                             Pasal 32

MPR melantik Presiden dan Wakil Presiden hasil pemilihan
umum dalam sidang paripurna MPR.


                             Pasal 33

(1)   Pimpinan MPR mengundang anggota MPR untuk
      menghadiri sidang paripurna MPR dalam rangka
      pelantikan Presiden dan Wakil Presiden hasil pemilihan
      umum.

(2)   Pimpinan MPR mengundang pasangan calon Presiden dan
      Wakil Presiden terpilih untuk dilantik sebagai Presiden
      dan Wakil Presiden dalam sidang paripurna MPR.

(3)   Dalam sidang paripurna MPR sebagaimana dimaksud
      dalam Pasal 32, pimpinan MPR membacakan keputusan
      KPU mengenai penetapan pasangan calon Presiden dan
      Wakil Presiden terpilih hasil pemilihan umum Presiden
      dan Wakil Presiden.

(4)   Pelantikan Presiden dan Wakil Presiden dilakukan dengan
      bersumpah menurut agama atau berjanji dengan
      sungguh-sungguh di hadapan sidang paripurna MPR.

(5)   Dalam hal MPR tidak dapat menyelenggarakan sidang
      sebagaimana dimaksud pada ayat (4), Presiden dan Wakil
      Presiden bersumpah menurut agama atau berjanji dengan
      sungguh-sungguh di hadapan rapat paripurna DPR.

(6)   Dalam hal DPR tidak dapat menyelenggarakan rapat
      sebagaimana dimaksud pada ayat (5), Presiden dan Wakil
      Presiden bersumpah menurut agama atau berjanji dengan
      sungguh-sungguh di hadapan pimpinan MPR dengan
      disaksikan oleh pimpinan Mahkamah Agung.

(7)   Berita Acara Pelantikan Presiden dan Wakil Presiden
      ditandatangani oleh Presiden dan Wakil Presiden serta
      pimpinan MPR.

                                               (8) Setelah . . .
                    - 16 -

(8)   Setelah mengucapkan sumpah/janji Presiden dan Wakil
      Presiden, Presiden menyampaikan pidato awal masa
      jabatan.

                             Pasal 34

Sumpah/janji Presiden dan Wakil Presiden sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 33 sebagai berikut:

Sumpah Presiden (Wakil Presiden):

      "Demi Allah, saya bersumpah akan memenuhi kewajiban
Presiden Republik Indonesia (Wakil Presiden Republik
Indonesia)   dengan    sebaik-baiknya   dan   seadil-adilnya,
memegang teguh Undang-Undang Dasar dan menjalankan
segala undang-undang dan peraturannya dengan selurus-
lurusnya serta berbakti kepada nusa dan bangsa."

Janji Presiden (Wakil Presiden):
      "Saya    berjanji  dengan     sungguh-sungguh    akan
memenuhi kewajiban Presiden Republik Indonesia (Wakil
Presiden Republik Indonesia) dengan sebaik-baiknya dan
seadil-adilnya, memegang teguh Undang-Undang Dasar dan
menjalankan segala undang-undang dan peraturannya dengan
selurus-lurusnya serta berbakti kepada nusa dan bangsa."


                         Paragraf 3
       Pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden
                  dalam Masa Jabatannya

                             Pasal 35

(1)   MPR hanya dapat memberhentikan Presiden dan/atau
      Wakil Presiden dalam masa jabatannya menurut Undang-
      Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

(2)   Pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden
      sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diusulkan oleh DPR.


                             Pasal 36

(1)   MPR wajib menyelenggarakan sidang paripurna MPR
      untuk memutuskan usul DPR mengenai pemberhentian
      Presiden dan/atau Wakil Presiden pada masa jabatannya

                                                   paling . . .
                    - 17 -

      paling lambat 30 (tiga puluh) hari sejak MPR menerima
      usul sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 ayat (2).

(2)   Usul DPR sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 ayat (2)
      harus dilengkapi dengan putusan Mahkamah Konstitusi
      bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden terbukti
      melakukan     pelanggaran     hukum    baik   berupa
      pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan,
      tindak pidana berat lainnya, maupun perbuatan tercela;
      dan/atau terbukti bahwa Presiden dan/atau Wakil
      Presiden tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden
      dan/atau Wakil Presiden.


                             Pasal 37

(1)   Pimpinan MPR mengundang Presiden dan/atau Wakil
      Presiden untuk menyampaikan penjelasan yang berkaitan
      dengan    usulan  pemberhentiannya    dalam    sidang
      paripurna MPR sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36
      ayat (1).

(2)   Apabila Presiden dan/atau Wakil Presiden tidak hadir
      untuk menyampaikan penjelasan, MPR tetap mengambil
      keputusan terhadap usul pemberhentian Presiden
      dan/atau Wakil Presiden sebagaimana dimaksud dalam
      Pasal 36 ayat (1).

(3)   Keputusan MPR terhadap usul pemberhentian Presiden
      dan/atau Wakil Presiden sebagaimana dimaksud pada
      ayat (2) diambil dalam sidang paripurna MPR yang
      dihadiri sekurang-kurangnya 3/4 (tiga perempat) dari
      jumlah anggota dan disetujui oleh sekurang-kurangnya
      2/3 (dua pertiga) dari jumlah anggota yang hadir.


                             Pasal 38

(1)   Dalam hal MPR memutuskan memberhentikan Presiden
      dan/atau Wakil Presiden atas usul DPR, Presiden
      dan/atau Wakil Presiden berhenti dari jabatannya.

(2)   Dalam hal MPR memutuskan tidak memberhentikan
      Presiden dan/atau Wakil Presiden atas usul DPR,
      Presiden dan/atau Wakil Presiden melaksanakan tugas
      dan kewajibannya sampai berakhir masa jabatannya.

                                           (3) Keputusan . . .
                    - 18 -

(3)   Keputusan MPR sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan
      ayat (2) ditetapkan dengan ketetapan MPR.

                             Pasal 39

Dalam hal Presiden dan/atau Wakil Presiden mengundurkan
diri sebelum diambil keputusan MPR sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 37 ayat (3), sidang paripurna sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 36 ayat (1) tidak dilanjutkan.


                          Paragraf 4
          Pelantikan Wakil Presiden Menjadi Presiden

                             Pasal 40

Jika Presiden mangkat, berhenti, diberhentikan, atau tidak
dapat melakukan kewajibannya dalam masa jabatannya, ia
digantikan oleh Wakil Presiden sampai berakhir masa
jabatannya.

                             Pasal 41

(1)   Jika terjadi kekosongan jabatan Presiden, MPR segera
      menyelenggarakan sidang paripurna MPR untuk melantik
      Wakil Presiden menjadi Presiden.

(2)   Dalam hal MPR tidak dapat mengadakan sidang
      sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Presiden
      bersumpah menurut agama atau berjanji dengan
      sungguh-sungguh di hadapan rapat paripurna DPR.

(3)   Dalam hal DPR tidak dapat mengadakan rapat
      sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Presiden
      bersumpah menurut agama atau berjanji dengan
      sungguh-sungguh di hadapan pimpinan MPR dengan
      disaksikan oleh pimpinan Mahkamah Agung.


                             Pasal 42

Sumpah/janji Presiden        sebagaimana   dimaksud      dalam
Pasal 41 sebagai berikut:
Sumpah Presiden:
       "Demi Allah, saya bersumpah akan memenuhi
kewajiban Presiden Republik Indonesia dengan sebaik-baiknya
dan seadil-adilnya, memegang teguh Undang-Undang Dasar


                                                       dan . . .
                     - 19 -

dan menjalankan segala undang-undang dan peraturannya
dengan selurus-lurusnya serta berbakti kepada nusa dan
bangsa."

Janji Presiden:
       "Saya berjanji dengan sungguh-sungguh akan
memenuhi kewajiban Presiden Republik Indonesia dengan
sebaik-baiknya dan seadil-adilnya, memegang teguh Undang-
Undang Dasar dan menjalankan segala undang-undang dan
peraturannya dengan selurus-lurusnya serta berbakti kepada
nusa dan bangsa."

                              Pasal 43
Presiden sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41 ayat (1)
ditetapkan dengan ketetapan MPR.


                              Pasal 44

Setelah mengucapkan sumpah/janji, Presiden menyampaikan
pidato pelantikan.


                          Paragraf 5
            Pemilihan dan Pelantikan Wakil Presiden

                              Pasal 45

(1)   Dalam hal terjadi kekosongan Wakil Presiden, MPR
      menyelenggarakan sidang paripurna dalam waktu paling
      lambat 60 (enam puluh) hari untuk memilih Wakil
      Presiden.

(2)   Presiden mengusulkan 2 (dua) calon wakil presiden
      beserta kelengkapan persyaratan kepada pimpinan MPR
      paling lambat 14 (empat belas) hari sebelum
      penyelenggaraan sidang paripurna MPR.

(3)   Dalam sidang paripurna sebagaimana dimaksud pada
      ayat (1), MPR memilih satu di antara 2 (dua) calon wakil
      presiden yang diusulkan oleh Presiden.

(4)   Dua calon wakil presiden yang diusulkan sebagaimana
      dimaksud pada ayat (2) wajib menyampaikan pernyataan
      kesiapan pencalonan dalam sidang paripurna MPR
      sebelum dilakukan pemilihan.


                                                (5) Calon . . .
                     - 20 -

(5)   Calon wakil presiden yang memperoleh suara terbanyak
      dalam pemilihan di sidang paripurna MPR ditetapkan
      sebagai Wakil Presiden.

(6)   Dalam hal suara yang diperoleh tiap-tiap calon sama
      banyak, pemilihan diulang 1 (satu) kali lagi.

(7)   Dalam hal pemilihan sebagaimana dimaksud pada
      ayat (6) hasilnya tetap sama, Presiden memilih salah satu
      di antara calon wakil presiden.


                              Pasal 46

(1)   MPR melantik Wakil Presiden sebagaimana dimaksud
      dalam Pasal 45 ayat (5) atau ayat (7) dalam sidang
      paripurna MPR dengan bersumpah menurut agama atau
      berjanji dengan sungguh-sungguh di hadapan sidang
      paripurna MPR.

(2)   Dalam hal MPR tidak dapat mengadakan sidang
      paripurna sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Wakil
      Presiden bersumpah menurut agama atau berjanji dengan
      sungguh-sungguh di hadapan rapat paripurna DPR.

(3)   Dalam hal DPR tidak dapat mengadakan rapat paripurna
      sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Wakil Presiden
      bersumpah menurut agama atau berjanji dengan
      sungguh-sungguh di hadapan pimpinan MPR dengan
      disaksikan oleh pimpinan Mahkamah Agung.

                              Pasal 47

Sumpah/janji Wakil Presiden sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 46 sebagai berikut:
Sumpah Wakil Presiden:
       "Demi Allah, saya bersumpah akan memenuhi
kewajiban Wakil Presiden Republik Indonesia dengan sebaik-
baiknya dan seadil-adilnya, memegang teguh Undang-Undang
Dasar dan menjalankan segala undang-undang dan
peraturannya dengan selurus-lurusnya serta berbakti kepada
nusa dan bangsa."
Janji Wakil Presiden:
      "Saya berjanji dengan sungguh-sungguh akan
memenuhi kewajiban Wakil Presiden Republik Indonesia
dengan sebaik-baiknya dan seadil-adilnya, memegang teguh


                                           Undang-Undang . . .
                     - 21 -

Undang-Undang Dasar dan menjalankan segala undang-
undang dan peraturannya dengan selurus-lurusnya serta
berbakti kepada nusa dan bangsa."

                              Pasal 48

Wakil Presiden terpilih sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45
ditetapkan dengan ketetapan MPR.


                           Paragraf 6
      Pemilihan dan Pelantikan Presiden dan Wakil Presiden

                              Pasal 49

Dalam hal Presiden dan Wakil Presiden mangkat, berhenti,
diberhentikan, atau tidak dapat melakukan kewajibannya
dalam masa jabatannya secara bersamaan, pelaksana tugas
kepresidenan adalah Menteri Luar Negeri, Menteri Dalam
Negeri, dan Menteri Pertahanan secara bersama-sama.


                              Pasal 50

(1)   Apabila Presiden dan Wakil Presiden mangkat, berhenti,
      diberhentikan, atau tidak dapat melakukan kewajibannya
      dalam masa jabatannya secara bersamaan sebagaimana
      dimaksud dalam Pasal 49, MPR menyelenggarakan sidang
      paripurna paling lambat 30 (tiga puluh) hari sejak
      Presiden dan Wakil Presiden mangkat, berhenti,
      diberhentikan, atau tidak dapat melakukan kewajibannya
      dalam masa jabatannya secara bersamaan.

(2)   Paling lama 3 (tiga) kali 24 (dua puluh empat) jam sejak
      Presiden dan Wakil Presiden mangkat, berhenti,
      diberhentikan, atau tidak dapat melakukan kewajibannya
      dalam masa jabatannya secara bersamaan sebagaimana
      dimaksud pada ayat (1), pimpinan MPR memberitahukan
      kepada partai politik atau gabungan partai politik yang
      pasangan calon presiden dan wakil presidennya meraih
      suara terbanyak pertama dan kedua dalam pemilihan
      umum sebelumnya untuk mengajukan pasangan calon
      presiden dan wakil presiden.

(3)   Paling lama 7 (tujuh) hari sejak diterimanya surat
      pemberitahuan dari pimpinan MPR, partai politik atau
      gabungan partai politik sebagaimana dimaksud pada


                                                   ayat (2) . . .
                     - 22 -

      ayat (2) menyampaikan calon presiden           dan   wakil
      presidennya kepada pimpinan MPR.

(4)   Pasangan calon presiden dan wakil presiden yang
      diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik
      yang meraih suara terbanyak pertama dan kedua dalam
      pemilihan umum sebelumnya sebagaimana dimaksud
      pada ayat (3), menyampaikan kesediaannya secara
      tertulis yang tidak dapat ditarik kembali.

(5)   Calon presiden dan wakil presiden yang diajukan
      sebagaimana dimaksud pada ayat (3) harus memenuhi
      persyaratan sebagaimana diatur dalam undang-undang
      mengenai pemilihan umum presiden dan wakil presiden.

(6)   Ketentuan mengenai tata cara verifikasi terhadap
      kelengkapan dan kebenaran dokumen administrasi
      pasangan calon presiden dan wakil presiden yang
      diajukan diatur dengan peraturan MPR tentang
      tata tertib.


                              Pasal 51

(1)   Pemilihan 2 (dua) pasangan calon presiden dan wakil
      presiden dalam sidang paripurna MPR sebagaimana
      dimaksud dalam Pasal 50 ayat (1) dilakukan dengan
      pemungutan suara.

(2)   Pasangan calon presiden dan wakil presiden yang
      memperoleh suara terbanyak dalam sidang sebagaimana
      dimaksud pada ayat (1), ditetapkan sebagai Presiden dan
      Wakil Presiden terpilih.

(3)   Dalam hal suara yang diperoleh setiap pasangan calon
      presiden dan wakil presiden sebagaimana dimaksud
      pada ayat (1) sama banyak, pemungutan suara diulangi
      1 (satu) kali lagi.

(4)   Dalam hal hasil pemungutan suara ulang sebagaimana
      dimaksud pada ayat (3) tetap sama, MPR memutuskan
      untuk mengembalikan kedua pasangan calon presiden
      dan wakil presiden kepada partai politik atau gabungan
      partai politik pengusul untuk dilakukan pemilihan ulang
      oleh MPR.

                                                  (5) Dalam . . .
                     - 23 -

(5)   Dalam hal MPR memutuskan sebagaimana dimaksud
      pada ayat (4), berlaku ketentuan sebagaimana dimaksud
      dalam Pasal 50 ayat (3), ayat (4), ayat (5), dan ayat (6).

                              Pasal 52

(1)   MPR melantik Presiden dan Wakil Presiden terpilih
      sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 ayat (2) dalam
      sidang paripurna MPR dengan bersumpah menurut
      agama atau berjanji dengan sungguh-sungguh di
      hadapan sidang paripurna MPR.

(2)   Dalam hal MPR tidak dapat mengadakan sidang
      sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Presiden dan Wakil
      Presiden bersumpah menurut agama atau berjanji dengan
      sungguh-sungguh di hadapan rapat paripurna DPR.

(3)   Dalam hal DPR tidak dapat mengadakan rapat
      sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Presiden dan Wakil
      Presiden bersumpah menurut agama atau berjanji dengan
      sungguh-sungguh di hadapan pimpinan MPR dengan
      disaksikan oleh pimpinan Mahkamah Agung.


                              Pasal 53

Sumpah/janji Presiden dan Wakil Presiden sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 52 sebagai berikut:

Sumpah Presiden (Wakil Presiden):

       "Demi Allah, saya bersumpah akan memenuhi
kewajiban Presiden (Wakil Presiden) Republik Indonesia
dengan sebaik-baiknya dan seadil-adilnya, memegang teguh
Undang-Undang Dasar dan menjalankan segala undang-
undang dan peraturannya dengan selurus-lurusnya serta
berbakti kepada nusa dan bangsa."

Janji Presiden (Wakil Presiden):

       "Saya berjanji dengan sungguh-sungguh akan
memenuhi kewajiban Presiden (Wakil Presiden) Republik
Indonesia   dengan     sebaik-baiknya   dan   seadil-adilnya,
memegang teguh Undang-Undang Dasar dan menjalankan
segala undang-undang dan peraturannya dengan selurus-
lurusnya serta berbakti kepada nusa dan bangsa."


                                                   Pasal 54 . . .
                    - 24 -

                             Pasal 54

Presiden dan Wakil Presiden terpilih sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 51 ditetapkan dengan ketetapan MPR.


                             Pasal 55

Setelah mengucapkan sumpah/janji, Presiden menyampaikan
pidato pelantikan.

                       Bagian Kedelapan
                   Pelaksanaan Hak Anggota

                         Paragraf 1
                        Hak Imunitas

                             Pasal 56

(1)   Anggota MPR mempunyai hak imunitas.

(2)   Anggota MPR tidak dapat dituntut di depan pengadilan
      karena pernyataan, pertanyaan, dan/atau pendapat yang
      dikemukakannya baik secara lisan maupun tertulis di
      dalam sidang atau rapat MPR ataupun di luar sidang
      atau rapat MPR yang berkaitan dengan tugas dan
      wewenang MPR.

(3)   Anggota MPR tidak dapat diganti antarwaktu karena
      pernyataan, pertanyaan, dan/atau pendapat yang
      dikemukakannya baik di dalam sidang atau rapat MPR
      maupun di luar sidang atau rapat MPR yang berkaitan
      dengan tugas dan wewenang MPR.

(4)   Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak
      berlaku   dalam    hal   anggota   yang    bersangkutan
      mengumumkan materi yang telah disepakati dalam rapat
      tertutup untuk dirahasiakan atau hal lain yang dimaksud
      dalam ketentuan mengenai rahasia negara sesuai dengan
      ketentuan peraturan perundang-undangan.


                          Paragraf 2
                        Hak Protokoler

                             Pasal 57

(1)   Pimpinan dan anggota MPR mempunyai hak protokoler.


                                             (2) Ketentuan . . .
                    - 25 -


(2)   Ketentuan mengenai tata cara pelaksanaan hak
      protokoler sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur
      dalam peraturan perundang-undangan.


                        Paragraf 3
               Hak Keuangan dan Administratif

                             Pasal 58

(1)   Pimpinan dan anggota MPR mempunyai hak keuangan
      dan administratif.

(2)   Hak keuangan dan administratif pimpinan dan anggota
      MPR sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disusun oleh
      pimpinan MPR dan diatur sesuai dengan ketentuan
      peraturan perundang-undangan.



                             Pasal 59
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pelaksanaan hak
anggota MPR diatur dengan peraturan MPR tentang tata tertib.



                     Bagian Kesembilan
           Persidangan dan Pengambilan Keputusan

                          Paragraf 1
                         Persidangan

                             Pasal 60

(1)   MPR bersidang sedikitnya sekali dalam 5 (lima) tahun di
      ibu kota negara.

(2)   Persidangan MPR diselenggarakan untuk melaksanakan
      tugas dan wewenang MPR sebagaimana dimaksud dalam
      Pasal 4.

                             Pasal 61

Ketentuan mengenai tata cara persidangan diatur dengan
peraturan MPR tentang tata tertib.


                                                Paragraf 2 . . .
                     - 26 -




                          Paragraf 2
                    Pengambilan Keputusan
                              Pasal 62

Sidang MPR dapat mengambil keputusan apabila:
a. dihadiri sekurang-kurangnya 2/3 (dua pertiga) dari jumlah
   anggota MPR dan disetujui oleh sekurang-kurangnya
   50% (lima puluh persen) ditambah 1 (satu) anggota dari
   seluruh anggota MPR untuk mengubah dan menetapkan
   Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
   Tahun 1945;
b. dihadiri sekurang-kurangnya 3/4 (tiga perempat) dari
   jumlah anggota MPR dan disetujui oleh sekurang-
   kurangnya 2/3 (dua pertiga) dari jumlah anggota MPR yang
   hadir    untuk   memutuskan        usul   DPR    tentang
   pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden;
c. dihadiri sekurang-kurangnya 50% (lima puluh persen) dari
   jumlah anggota MPR ditambah 1 (satu) anggota MPR dan
   disetujui oleh sekurang-kurangnya 50% (lima puluh
   persen) dari jumlah anggota ditambah 1 (satu) anggota
   MPR yang hadir untuk sidang selain sebagaimana
   dimaksud dalam huruf a dan huruf b.



                              Pasal 63

(1)   Pengambilan keputusan dalam sidang sebagaimana
      dimaksud dalam Pasal 62 terlebih dahulu diupayakan
      dengan cara musyawarah untuk mufakat.

(2)   Dalam hal cara pengambilan keputusan sebagaimana
      dimaksud pada ayat (1) tidak tercapai, keputusan diambil
      melalui pemungutan suara.

(3)   Dalam hal keputusan berdasarkan pemungutan suara
      sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak tercapai,
      dilakukan pemungutan suara ulang.

(4)   Dalam hal pemungutan suara ulang sebagaimana
      dimaksud pada ayat (3) hasilnya masih belum memenuhi



                                                ketentuan . . .
                    - 27 -

      ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), berlaku
      ketentuan:
      a. pengambilan keputusan ditangguhkan sampai sidang
         berikutnya; atau
      b. usul yang bersangkutan ditolak.

                             Pasal 64

Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengambilan
keputusan sidang MPR diatur dengan peraturan MPR tentang
tata tertib.

                      Bagian Kesepuluh
                   Penggantian Antarwaktu

                             Pasal 65

(1)   Penggantian antarwaktu anggota MPR dilakukan apabila
      terjadi penggantian antarwaktu anggota DPR atau
      anggota DPD.

(2)   Pemberhentian dan pengangkatan sebagai akibat
      penggantian antarwaktu anggota MPR diresmikan dengan
      keputusan Presiden.


                       Bagian Kesebelas
                         Penyidikan

                             Pasal 66

(1)   Pemanggilan      dan    permintaan keterangan untuk
      penyidikan terhadap anggota MPR yang disangka
      melakukan tindak pidana harus mendapat persetujuan
      tertulis dari Presiden.

(2)   Dalam hal persetujuan tertulis sebagaimana dimaksud
      pada ayat (1) tidak diberikan oleh Presiden dalam waktu
      paling lambat 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak
      diterimanya permohonan, proses pemanggilan dan
      permintaan keterangan untuk penyidikan sebagaimana
      dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan.

(3)   Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak
      berlaku apabila anggota MPR:
      a. tertangkap tangan melakukan tindak pidana;


                                              b. disangka . . .
                   - 28 -

      b. disangka melakukan tindak pidana kejahatan yang
         diancam dengan pidana mati atau pidana seumur
         hidup atau tindak pidana kejahatan terhadap
         kemanusiaan dan keamanan negara berdasarkan
         bukti permulaan yang cukup; atau
      c. disangka melakukan tindak pidana khusus.

                            BAB III
                             DPR

                      Bagian Kesatu
                  Susunan dan Kedudukan

                            Pasal 67

DPR terdiri atas anggota partai politik peserta pemilihan
umum yang dipilih melalui pemilihan umum.


                            Pasal 68
DPR    merupakan    lembaga    perwakilan     rakyat    yang
berkedudukan sebagai lembaga negara.


                       Bagian Kedua
                          Fungsi

                            Pasal 69

(1)   DPR mempunyai fungsi:
      a. legislasi;
      b. anggaran; dan
      c. pengawasan.

(2)   Ketiga fungsi sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
      dijalankan dalam kerangka representasi rakyat.


                            Pasal 70
(1)   Fungsi legislasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 69
      ayat (1) huruf a dilaksanakan sebagai perwujudan DPR
      selaku pemegang kekuasaan membentuk undang-
      undang.
(2)   Fungsi anggaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 69
      ayat (1) huruf b dilaksanakan untuk membahas dan
      memberikan persetujuan atau tidak memberikan

                                            persetujuan . . .
                    - 29 -

      persetujuan terhadap rancangan undang-undang tentang
      APBN yang diajukan oleh Presiden.

(3)   Fungsi pengawasan sebagaimana dimaksud dalam
      Pasal 69 ayat (1) huruf c dilaksanakan melalui
      pengawasan atas pelaksanaan undang-undang dan APBN.

                       Bagian Ketiga
                    Tugas dan Wewenang

                             Pasal 71

DPR mempunyai tugas dan wewenang:
a.    membentuk undang-undang yang dibahas           dengan
      Presiden untuk mendapat persetujuan bersama;
b.    memberikan persetujuan atau tidak memberikan
      persetujuan terhadap peraturan pemerintah pengganti
      undang-undang yang diajukan oleh Presiden untuk
      menjadi undang-undang;
c.    menerima rancangan undang-undang yang diajukan oleh
      DPD berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat
      dan daerah, pembentukan dan pemekaran serta
      penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam
      dan sumber daya ekonomi lainnya, serta yang berkaitan
      dengan perimbangan keuangan pusat dan daerah;
d.    membahas rancangan undang-undang sebagaimana
      dimaksud dalam huruf c bersama Presiden dan DPD
      sebelum diambil persetujuan bersama antara DPR dan
      Presiden;
e.    membahas rancangan undang-undang yang diajukan oleh
      Presiden atau DPR yang berkaitan dengan otonomi
      daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan
      pemekaran serta penggabungan daerah, pengelolaan
      sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya,
      serta perimbangan keuangan pusat dan daerah, dengan
      mengikutsertakan DPD sebelum diambil persetujuan
      bersama antara DPR dan Presiden;
f.    memperhatikan pertimbangan DPD atas rancangan
      undang-undang tentang APBN dan rancangan undang-
      undang yang berkaitan dengan pajak, pendidikan, dan
      agama;
g.    membahas bersama Presiden dengan memperhatikan
      pertimbangan DPD dan memberikan persetujuan atas


                                             rancangan . . .
                   - 30 -

     rancangan undang-undang tentang APBN yang diajukan
     oleh Presiden;
h.   melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan undang-
     undang dan APBN;
i.   membahas dan menindaklanjuti hasil pengawasan yang
     disampaikan oleh DPD terhadap pelaksanaan undang-
     undang mengenai otonomi daerah, pembentukan,
     pemekaran, dan penggabungan daerah, hubungan pusat
     dan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber
     daya ekonomi lainnya, pelaksanaan APBN, pajak,
     pendidikan, dan agama;
j.   memberikan      persetujuan    kepada Presiden   untuk
     menyatakan perang, membuat perdamaian dan perjanjian
     dengan    negara    lain,   serta  membuat   perjanjian
     internasional lainnya yang menimbulkan akibat yang luas
     dan mendasar bagi kehidupan rakyat yang terkait dengan
     beban keuangan negara dan/atau mengharuskan
     perubahan atau pembentukan undang-undang;
k.   memberikan pertimbangan kepada        Presiden   dalam
     pemberian amnesti dan abolisi;
l.   memberikan pertimbangan kepada Presiden dalam hal
     mengangkat duta besar dan menerima penempatan duta
     besar negara lain;
m. memilih   anggota        BPK   dengan     memperhatikan
   pertimbangan DPD;
n.   membahas dan menindaklanjuti hasil pemeriksaan atas
     pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara yang
     disampaikan oleh BPK;
o.   memberikan   persetujuan kepada        Presiden atas
     pengangkatan dan pemberhentian        anggota Komisi
     Yudisial;
p.   memberikan persetujuan calon hakim agung yang
     diusulkan Komisi Yudisial untuk ditetapkan sebagai
     hakim agung oleh Presiden;
q.   memilih   3  (tiga)  orang hakim konstitusi dan
     mengajukannya kepada Presiden untuk diresmikan
     dengan keputusan Presiden;
r.   memberikan persetujuan terhadap pemindahtanganan
     aset negara yang menjadi kewenangannya berdasarkan
     ketentuan peraturan perundang-undangan dan terhadap
     perjanjian yang berakibat luas dan mendasar bagi


                                              kehidupan . . .
                     - 31 -

      kehidupan rakyat yang terkait dengan beban keuangan
      negara;
s.    menyerap,      menghimpun,       menampung,          dan
      menindaklanjuti aspirasi masyarakat; dan
t.    melaksanakan tugas dan wewenang lain yang diatur
      dalam undang-undang.


                              Pasal 72

(1)   DPR dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya
      berhak meminta pejabat negara, pejabat pemerintah,
      badan    hukum,    atau    warga   masyarakat untuk
      memberikan keterangan tentang suatu hal yang perlu
      ditangani demi kepentingan bangsa dan negara.

(2)   Setiap pejabat negara, pejabat pemerintah, badan hukum,
      atau warga masyarakat wajib memenuhi permintaan DPR
      sebagaimana dimaksud pada ayat (1).

(3)   Setiap pejabat negara, pejabat pemerintah, badan hukum,
      atau warga masyarakat yang melanggar ketentuan
      sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dikenakan
      panggilan paksa sesuai dengan ketentuan peraturan
      perundang-undangan.

(4)   Dalam hal panggilan paksa sebagaimana dimaksud pada
      ayat (3) tidak dipenuhi tanpa alasan yang sah, yang
      bersangkutan dapat disandera paling lama 15 (lima belas)
      hari sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
      undangan.

(5)   Dalam hal pejabat yang disandera sebagaimana dimaksud
      pada ayat (4) habis masa jabatannya atau berhenti dari
      jabatannya,    yang     bersangkutan    dilepas   dari
      penyanderaan demi hukum.


                              Pasal 73

(1)   Dalam melaksanakan tugas dan wewenang sebagaimana
      dimaksud dalam Pasal 71, DPR menyusun anggaran yang
      dituangkan dalam program dan kegiatan sesuai dengan
      ketentuan peraturan perundang-undangan.


                                                (2) Dalam . . .
                    - 32 -

(2)   Dalam    menyusun   program   dan    kegiatan DPR
      sebagaimana dimaksud pada ayat (1), untuk memenuhi
      kebutuhannya, DPR dapat menyusun standar biaya
      khusus dan mengajukannya kepada Pemerintah untuk
      dibahas bersama.

(3)   Pengelolaan anggaran DPR sebagaimana dimaksud pada
      ayat (1) dilaksanakan oleh Sekretariat Jenderal DPR di
      bawah pengawasan Badan Urusan Rumah Tangga sesuai
      dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.


(4)   DPR menetapkan pertanggungjawaban pengelolaan
      anggaran DPR dalam peraturan DPR sesuai dengan
      ketentuan peraturan perundang-undangan.

(5)   DPR melaporkan pengelolaan anggaran sebagaimana
      dimaksud pada ayat (3) kepada publik dalam laporan
      kinerja tahunan.


                       Bagian Keempat
                        Keanggotaan

                             Pasal 74

(1)   Anggota DPR berjumlah 560 (lima ratus enam puluh)
      orang.

(2)   Keanggotaan   DPR      diresmikan   dengan   keputusan
      Presiden.

(3)   Anggota DPR berdomisili di ibu kota Negara Republik
      Indonesia.

(4)   Masa jabatan anggota DPR adalah 5 (lima) tahun dan
      berakhir pada saat anggota DPR yang baru mengucapkan
      sumpah/janji.


                             Pasal 75

(1)   Anggota    DPR  sebelum    memangku     jabatannya
      mengucapkan sumpah/janji secara bersama-sama yang
      dipandu oleh Ketua Mahkamah Agung dalam rapat
      paripurna DPR.

                                              (2) Anggota . . .
                        - 33 -

(2)   Anggota    DPR    yang   berhalangan   mengucapkan
      sumpah/janji bersama-sama sebagaimana dimaksud
      pada ayat (1) mengucapkan sumpah/janji yang dipandu
      oleh pimpinan DPR.

(3)   Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengucapan
      sumpah/janji sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan
      ayat (2) diatur dengan peraturan DPR tentang tata tertib.


                                 Pasal 76

Sumpah/janji sebagaimana dimaksud dalam Pasal 75 sebagai
berikut:
      "Demi Allah (Tuhan) saya bersumpah/berjanji:
bahwa saya, akan memenuhi kewajiban saya sebagai
anggota/ketua/wakil ketua Dewan Perwakilan Rakyat dengan
sebaik-baiknya dan seadil-adilnya, sesuai dengan peraturan
perundang-undangan, dengan berpedoman pada Pancasila
dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945;
bahwa saya dalam menjalankan kewajiban akan bekerja
dengan    sungguh-sungguh, demi  tegaknya   kehidupan
demokrasi, serta mengutamakan kepentingan bangsa dan
negara daripada kepentingan pribadi, seseorang, dan
golongan;
bahwa saya akan memperjuangkan aspirasi rakyat yang saya
wakili untuk mewujudkan tujuan nasional demi kepentingan
bangsa dan Negara Kesatuan Republik Indonesia."


                            Bagian Kelima
                              Hak DPR

                                 Pasal 77

(1) DPR mempunyai hak:
      a. interpelasi;
      b. angket; dan
      c. menyatakan pendapat.

(2)   Hak interpelasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
      huruf a adalah hak DPR untuk meminta keterangan
      kepada Pemerintah mengenai kebijakan Pemerintah yang


                                                  penting . . .
                     - 34 -

      penting dan strategis serta berdampak luas pada
      kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.

(3)   Hak angket sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b
      adalah hak DPR untuk melakukan penyelidikan terhadap
      pelaksanaan suatu undang-undang dan/atau kebijakan
      Pemerintah yang berkaitan dengan hal penting, strategis,
      dan berdampak luas pada kehidupan bermasyarakat,
      berbangsa, dan bernegara yang diduga bertentangan
      dengan peraturan perundang-undangan.

(4)   Hak menyatakan pendapat sebagaimana dimaksud pada
      ayat (1) huruf c adalah hak DPR untuk menyatakan
      pendapat atas:
      a. kebijakan Pemerintah atau mengenai kejadian luar
         biasa yang terjadi di tanah air atau di dunia
         internasional;
      b. tindak   lanjut  pelaksanaan     hak     interpelasi
         sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan hak angket
         sebagaimana dimaksud pada ayat (3); atau
      c. dugaan bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden
         melakukan     pelanggaran    hukum     baik   berupa
         pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan,
         tindak pidana berat lainnya, maupun perbuatan
         tercela, dan/atau Presiden dan/atau Wakil Presiden
         tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau
         Wakil Presiden.

                        Bagian Keenam
                   Hak dan Kewajiban Anggota

                           Paragraf 1
                          Hak Anggota

                              Pasal 78

Anggota DPR mempunyai hak:
a. mengajukan usul rancangan undang-undang;
b. mengajukan pertanyaan;
c. menyampaikan usul dan pendapat;
d. memilih dan dipilih;
e. membela diri;
f. imunitas;


                                               g. protokoler . . .
                     - 35 -

g. protokoler; dan
h. keuangan dan administratif.


                         Paragraf 2
                      Kewajiban Anggota

                              Pasal 79

Anggota DPR mempunyai kewajiban:
a. memegang teguh dan mengamalkan Pancasila;
b. melaksanakan Undang-Undang Dasar Negara Republik
   Indonesia Tahun 1945 dan menaati peraturan perundang-
   undangan;
c. mempertahankan dan memelihara kerukunan nasional
   dan keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia;
d. mendahulukan kepentingan negara di atas kepentingan
   pribadi, kelompok, dan golongan;
e. memperjuangkan peningkatan kesejahteraan rakyat;
f.   menaati prinsip demokrasi           dalam   penyelenggaraan
     pemerintahan negara;
g. menaati tata tertib dan kode etik;
h. menjaga etika dan norma dalam hubungan kerja dengan
   lembaga lain;
i.   menyerap dan menghimpun aspirasi konstituen melalui
     kunjungan kerja secara berkala;
j.   menampung dan menindaklanjuti aspirasi dan pengaduan
     masyarakat; dan
k. memberikan pertanggungjawaban secara moral dan politis
   kepada konstituen di daerah pemilihannya.



                        Bagian Ketujuh
                            Fraksi

                              Pasal 80

(1) Untuk mengoptimalkan pelaksanaan fungsi, tugas dan
    wewenang DPR, serta hak dan kewajiban anggota DPR,
    dibentuk fraksi sebagai wadah berhimpun anggota DPR.



                                                   (2) Dalam . . .
                      - 36 -

(2) Dalam mengoptimalkan pelaksanaan fungsi, tugas dan
    wewenang DPR, serta hak dan kewajiban anggota DPR
    sebagaimana dimaksud pada ayat (1), fraksi melakukan
    evaluasi terhadap kinerja anggota fraksinya dan
    melaporkan kepada publik.

(3) Setiap anggota DPR harus menjadi anggota salah satu
    fraksi.

(4) Fraksi dapat dibentuk oleh partai politik yang memenuhi
    ambang batas perolehan suara dalam penentuan
    perolehan kursi DPR.

(5) Fraksi mempunyai sekretariat.

(6) Sekretariat Jenderal DPR menyediakan sarana, anggaran,
    dan tenaga ahli guna kelancaran pelaksanaan tugas
    fraksi.


                        Bagian Kedelapan
                        Alat Kelengkapan

                               Pasal 81

(1)   Alat kelengkapan DPR terdiri atas:
      a. pimpinan;
      b. Badan Musyawarah;
      c. komisi;
      d. Badan Legislasi;
      e. Badan Anggaran;
      f.   Badan Akuntabilitas Keuangan Negara;
      g. Badan Kehormatan;
      h. Badan Kerja Sama Antar-Parlemen;
      i.   Badan Urusan Rumah Tangga;
      j.   panitia khusus; dan
      k. alat kelengkapan lain yang diperlukan dan dibentuk
         oleh rapat paripurna.

(2)   Dalam menjalankan tugasnya, alat kelengkapan dibantu
      oleh unit pendukung yang tugasnya diatur dalam
      peraturan DPR tentang tata tertib.


                                              Paragraf 1 . . .
                     - 37 -




                              Paragraf 1
                              Pimpinan

                              Pasal 82

(1)   Pimpinan DPR terdiri atas 1 (satu) orang ketua dan
      4 (empat) orang wakil ketua yang berasal dari partai
      politik berdasarkan urutan perolehan kursi terbanyak
      di DPR.

(2)   Ketua DPR ialah anggota DPR yang berasal dari partai
      politik yang memperoleh kursi terbanyak pertama di DPR.

(3)   Wakil Ketua DPR ialah anggota DPR yang berasal dari
      partai politik yang memperoleh kursi terbanyak kedua,
      ketiga, keempat, dan kelima.

(4)   Dalam hal terdapat lebih dari 1 (satu) partai politik yang
      memperoleh kursi terbanyak sama, ketua dan wakil ketua
      sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3)
      ditentukan berdasarkan urutan hasil perolehan suara
      terbanyak dalam pemilihan umum.

(5)   Dalam hal terdapat lebih dari 1 (satu) partai politik yang
      memperoleh suara sama, ketua dan wakil ketua
      sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3)
      ditentukan berdasarkan persebaran perolehan suara.

                              Pasal 83

(1)   Dalam hal pimpinan DPR sebagaimana dimaksud dalam
      Pasal 82 ayat (1) belum terbentuk, DPR dipimpin oleh
      pimpinan sementara DPR.

(2)   Pimpinan sementara DPR sebagaimana dimaksud pada
      ayat (1) terdiri atas 1 (satu) orang ketua dan 1 (satu)
      orang wakil ketua yang berasal dari 2 (dua) partai politik
      yang memperoleh kursi terbanyak pertama dan kedua
      di DPR.

(3)   Dalam hal terdapat lebih dari 1 (satu) partai politik yang
      memperoleh kursi terbanyak sama, ketua dan wakil ketua
      sementara DPR ditentukan secara musyawarah oleh wakil
      partai politik bersangkutan yang ada di DPR.

                                                  (4) Ketua . . .
                      - 38 -


(4)   Ketua dan wakil          ketua   DPR   diresmikan   dengan
      keputusan DPR.

(5)   Pimpinan  DPR   sebelum    memangku     jabatannya
      mengucapkan sumpah/janji yang teksnya sebagaimana
      dimaksud dalam Pasal 76 yang dipandu oleh Ketua
      Mahkamah Agung.

(6)   Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penetapan
      pimpinan DPR diatur dengan peraturan DPR tentang
      tata tertib.

                               Pasal 84

(1)   Pimpinan DPR bertugas:
      a. memimpin sidang DPR dan menyimpulkan hasil
         sidang untuk diambil keputusan;
      b. menyusun rencana kerja pimpinan;
      c. melakukan koordinasi dalam upaya menyinergikan
         pelaksanaan agenda dan materi kegiatan dari alat
         kelengkapan DPR;
      d. menjadi juru bicara DPR;
      e. melaksanakan dan memasyarakatkan             keputusan
         DPR;
      f.   mewakili DPR dalam berhubungan dengan lembaga
           negara lainnya;
      g. mengadakan konsultasi dengan Presiden dan
         pimpinan lembaga negara lainnya sesuai dengan
         keputusan DPR;
      h. mewakili DPR di pengadilan;
      i.   melaksanakan keputusan DPR berkenaan dengan
           penetapan sanksi atau rehabilitasi anggota sesuai
           dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;
      j.   menyusun rencana anggaran DPR bersama Badan
           Urusan    Rumah    Tangga    yang    pengesahannya
           dilakukan dalam rapat paripurna; dan
      k. menyampaikan laporan kinerja dalam rapat paripurna
         DPR yang khusus diadakan untuk itu.

(2)   Ketentuan mengenai tata cara pelaksanaan tugas
      pimpinan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur
      dengan peraturan DPR tentang tata tertib.


                                                    Pasal 85 . . .
                     - 39 -




                              Pasal 85

(1)   Pimpinan DPR sebagaimana dimaksud dalam Pasal 82
      ayat (1) berhenti dari jabatannya karena:
      a. meninggal dunia;
      b. mengundurkan diri; atau
      c. diberhentikan.


(2)   Pimpinan DPR diberhentikan sebagaimana dimaksud
      pada ayat (1) huruf c apabila:
      a. tidak dapat melaksanakan tugas secara berkelanjutan
         atau berhalangan tetap sebagai anggota DPR selama
         3 (tiga) bulan berturut-turut tanpa keterangan apa
         pun;
      b. melanggar sumpah/janji jabatan dan kode etik DPR
         berdasarkan keputusan rapat paripurna setelah
         dilakukan pemeriksaan oleh Badan Kehormatan DPR;
      c. dinyatakan bersalah berdasarkan putusan pengadilan
         yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap karena
         melakukan tindak pidana yang diancam dengan
         pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih;
      d. diusulkan oleh partai politiknya     sesuai   dengan
         peraturan perundang-undangan;
      e. ditarik keanggotaannya sebagai anggota DPR oleh
         partai politiknya;
      f. melanggar ketentuan larangan sebagaimana diatur
         dalam Undang-Undang ini; atau
      g. diberhentikan      sebagai anggota   partai   politik
         berdasarkan      ketentuan  peraturan    perundang-
         undangan.

(3)   Dalam hal salah seorang pimpinan DPR berhenti dari
      jabatannya sebagaimana dimaksud pada ayat (1), anggota
      pimpinan lainnya menetapkan salah seorang di antara
      pimpinan untuk melaksanakan tugas pimpinan yang
      berhenti sampai dengan ditetapkannya pimpinan yang
      definitif.

                                                 (4) Dalam . . .
                    - 40 -



(4)   Dalam hal salah seorang pimpinan DPR berhenti dari
      jabatannya sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
      penggantinya berasal dari partai politik yang sama.

(5)   Pimpinan DPR diberhentikan sementara dari jabatannya
      apabila dinyatakan sebagai terdakwa karena melakukan
      tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara
      5 (lima) tahun atau lebih.

(6)   Dalam hal pimpinan DPR sebagaimana dimaksud pada
      ayat (5) dinyatakan tidak terbukti melakukan tindak
      pidana berdasarkan putusan pengadilan yang telah
      memperoleh kekuatan hukum tetap, pimpinan DPR yang
      bersangkutan melaksanakan kembali tugasnya sebagai
      pimpinan DPR.


                             Pasal 86

Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemberhentian dan
penggantian pimpinan DPR diatur dengan peraturan DPR
tentang tata tertib.


                         Paragraf 2
                     Badan Musyawarah

                             Pasal 87

Badan Musyawarah dibentuk oleh DPR dan merupakan alat
kelengkapan DPR yang bersifat tetap.


                             Pasal 88

(1)   DPR menetapkan susunan dan keanggotaan Badan
      Musyawarah pada permulaan masa keanggotaan DPR dan
      permulaan tahun sidang.

(2)   Anggota Badan Musyawarah berjumlah paling banyak
      1/10 (satu persepuluh) dari jumlah anggota DPR
      berdasarkan perimbangan jumlah anggota tiap-tiap fraksi
      yang ditetapkan oleh rapat paripurna.


                                                Pasal 89 . . .
                      - 41 -



                               Pasal 89
Pimpinan DPR karena jabatannya juga sebagai pimpinan
Badan Musyawarah.

                               Pasal 90

(1)   Badan Musyawarah bertugas:
      a.   menetapkan agenda DPR untuk 1 (satu) tahun sidang,
           1 (satu) masa persidangan, atau sebagian dari suatu
           masa sidang, perkiraan waktu penyelesaian suatu
           masalah, dan jangka waktu penyelesaian rancangan
           undang-undang,      dengan     tidak    mengurangi
           kewenangan rapat paripurna untuk mengubahnya;
      b. memberikan pendapat kepada pimpinan DPR dalam
         menentukan garis kebijakan yang menyangkut
         pelaksanaan tugas dan wewenang DPR;
      c.   meminta dan/atau memberikan kesempatan kepada
           alat kelengkapan DPR yang lain untuk memberikan
           keterangan/penjelasan mengenai pelaksanaan tugas
           masing-masing;
      d. mengatur lebih lanjut penanganan suatu masalah
         dalam hal undang-undang mengharuskan Pemerintah
         atau pihak lainnya melakukan konsultasi dan
         koordinasi dengan DPR;
      e.   menentukan penanganan suatu rancangan undang-
           undang atau pelaksanaan tugas DPR lainnya oleh alat
           kelengkapan DPR;
      f.   mengusulkan kepada rapat paripurna mengenai
           jumlah komisi, ruang lingkup tugas komisi, dan mitra
           kerja komisi yang telah dibahas dalam konsultasi
           pada awal masa keanggotaan DPR; dan
      g.   melaksanakan tugas lain yang diserahkan oleh rapat
           paripurna kepada Badan Musyawarah.

(2)   Badan Musyawarah menyusun rancangan anggaran
      untuk pelaksanaan tugasnya sesuai dengan kebutuhan
      yang selanjutnya disampaikan kepada Badan Urusan
      Rumah Tangga.


                                                  Pasal 91 . . .
                     - 42 -

                              Pasal 91
Badan Musyawarah tidak dapat mengubah keputusan atas
suatu rancangan undang-undang atau pelaksanaan tugas DPR
lainnya oleh alat kelengkapan DPR sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 90 ayat (1) huruf a.


                              Pasal 92

Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pembentukan,
susunan, tugas, wewenang dan mekanisme kerja Badan
Musyawarah diatur dengan peraturan DPR tentang tata tertib.


                              Paragraf 3
                               Komisi

                              Pasal 93

Komisi dibentuk oleh DPR dan merupakan alat kelengkapan
DPR yang bersifat tetap.


                              Pasal 94

(1)   DPR menetapkan jumlah komisi pada permulaan masa
      keanggotaan DPR dan permulaan tahun sidang.

(2)   Jumlah anggota komisi ditetapkan dalam rapat paripurna
      menurut perimbangan dan pemerataan jumlah anggota
      tiap-tiap fraksi pada permulaan masa keanggotaan DPR
      dan pada permulaan tahun sidang.


                              Pasal 95

(1)   Pimpinan komisi merupakan satu kesatuan pimpinan
      yang bersifat kolektif dan kolegial.

(2)   Pimpinan komisi terdiri atas 1 (satu) orang ketua dan
      paling banyak 3 (tiga) orang wakil ketua, yang dipilih dari
      dan    oleh   anggota     komisi    berdasarkan    prinsip
      musyawarah untuk mufakat dan proporsional dengan
      memperhatikan      keterwakilan    perempuan     menurut
      perimbangan jumlah anggota tiap-tiap fraksi.


                                               (3) Pemilihan . . .
                     - 43 -

(3)   Pemilihan pimpinan komisi sebagaimana dimaksud pada
      ayat (2) dilakukan dalam rapat komisi yang dipimpin oleh
      pimpinan DPR setelah penetapan susunan dan
      keanggotaan komisi.


                              Pasal 96

(1)   Tugas komisi dalam pembentukan undang-undang
      adalah   mengadakan    persiapan,   penyusunan,
      pembahasan, dan penyempurnaan rancangan undang-
      undang.

(2) Tugas komisi di bidang anggaran adalah:
      a. mengadakan pembicaraan pendahuluan mengenai
         penyusunan rancangan anggaran pendapatan dan
         belanja negara yang termasuk dalam ruang lingkup
         tugasnya bersama-sama dengan Pemerintah;
      b. mengadakan pembahasan dan mengajukan usul
         penyempurnaan rancangan anggaran pendapatan dan
         belanja negara yang termasuk dalam ruang lingkup
         tugasnya bersama-sama dengan Pemerintah;
      c.   membahas dan menetapkan alokasi anggaran untuk
           fungsi, program, dan kegiatan kementerian/lembaga
           yang menjadi mitra kerja komisi;
      d. mengadakan pembahasan laporan keuangan negara
         dan pelaksanaan APBN termasuk hasil pemeriksaan
         BPK yang berkaitan dengan ruang lingkup tugasnya;
      e.   menyampaikan hasil pembicaraan pendahuluan
           sebagaimana dimaksud dalam huruf a, dan hasil
           pembahasan sebagaimana dimaksud dalam huruf b,
           huruf c, dan huruf d, kepada Badan Anggaran untuk
           sinkronisasi;
      f.   menyempurnakan hasil sinkronisasi Badan Anggaran
           berdasarkan penyampaian usul komisi sebagaimana
           dimaksud dalam huruf e; dan
      g. menyerahkan kembali kepada Badan Anggaran hasil
         pembahasan komisi sebagaimana dimaksud dalam
         huruf f untuk bahan akhir penetapan APBN.

(3)   Tugas komisi di bidang pengawasan adalah:
      a. melakukan   pengawasan  terhadap  pelaksanaan
         undang-undang, termasuk APBN, serta peraturan

                                          pelaksanaannya . . .
                    - 44 -

         pelaksanaannya yang termasuk dalam ruang lingkup
         tugasnya;
      b. membahas dan menindaklanjuti hasil pemeriksaan
         BPK yang berkaitan dengan ruang lingkup tugasnya;
      c. melakukan     pengawasan     terhadap     kebijakan
         Pemerintah; dan
      d. membahas dan menindaklanjuti usulan DPD.

(4)   Komisi  dalam  melaksanakan      tugas  sebagaimana
      dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3), dapat
      mengadakan:
      a. rapat kerja dengan Pemerintah yang diwakili oleh
         menteri/pimpinan lembaga;
      b. konsultasi dengan DPD;
      c. rapat dengar pendapat dengan pejabat Pemerintah
         yang mewakili instansinya;
      d. rapat dengar pendapat umum, baik atas permintaan
         komisi maupun atas permintaan pihak lain;
      e. rapat kerja dengan menteri atau rapat dengar
         pendapat dengan pejabat Pemerintah yang mewakili
         instansinya yang tidak termasuk dalam ruang lingkup
         tugasnya apabila diperlukan; dan/atau
      f. kunjungan kerja.

(5)   Komisi menentukan tindak lanjut hasil pelaksanaan
      tugas komisi sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
      ayat (2), ayat (3), dan ayat (4).

(6)   Keputusan dan/atau kesimpulan hasil rapat kerja komisi
      atau rapat kerja gabungan komisi bersifat mengikat
      antara DPR dan Pemerintah.

(7)   Komisi membuat laporan kinerja pada akhir masa
      keanggotaan DPR, baik yang sudah maupun yang belum
      terselesaikan untuk dapat digunakan sebagai bahan oleh
      komisi pada masa keanggotaan berikutnya.

(8)   Komisi   menyusun     rancangan   anggaran   untuk
      pelaksanaan  tugasnya    sesuai dengan   kebutuhan
      yang selanjutnya disampaikan kepada Badan Urusan
      Rumah Tangga.


                                                 Pasal 97 . . .
                     - 45 -


                              Pasal 97

Jumlah, ruang lingkup tugas, dan           mitra   kerja   komisi
ditetapkan dengan keputusan DPR.


                              Pasal 98

Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pembentukan,
susunan, tugas, wewenang dan mekanisme kerja komisi diatur
dengan peraturan DPR tentang tata tertib.


                          Paragraf 4
                        Badan Legislasi

                              Pasal 99

Badan Legislasi dibentuk oleh DPR dan merupakan alat
kelengkapan DPR yang bersifat tetap.


                              Pasal 100

(1)   DPR menetapkan susunan dan keanggotaan Badan
      Legislasi pada permulaan masa keanggotaan DPR dan
      permulaan tahun sidang.

(2)   Jumlah anggota Badan Legislasi ditetapkan dalam rapat
      paripurna menurut perimbangan dan pemerataan jumlah
      anggota   tiap-tiap fraksi  pada    permulaan   masa
      keanggotaan DPR dan pada permulaan tahun sidang.


                              Pasal 101

(1)   Pimpinan Badan Legislasi merupakan satu kesatuan
      pimpinan yang bersifat kolektif dan kolegial.

(2)   Pimpinan Badan Legislasi terdiri atas 1 (satu) orang ketua
      dan paling banyak 3 (tiga) orang wakil ketua yang dipilih
      dari dan oleh anggota Badan Legislasi berdasarkan
      prinsip musyawarah untuk mufakat dan proporsional
      dengan    memperhatikan       keterwakilan      perempuan
      menurut perimbangan jumlah anggota tiap-tiap fraksi.


                                              (3) Pemilihan . . .
                      - 46 -

(3)   Pemilihan pimpinan Badan Legislasi sebagaimana
      dimaksud pada ayat (2) dilakukan dalam rapat Badan
      Legislasi yang dipimpin oleh pimpinan DPR setelah
      penetapan susunan dan keanggotaan Badan Legislasi.


                               Pasal 102

(1)   Badan Legislasi bertugas:
      a. menyusun rancangan program legislasi nasional yang
         memuat daftar urutan dan prioritas rancangan
         undang-undang beserta alasannya untuk 1 (satu)
         masa keanggotaan dan untuk setiap tahun anggaran
         di lingkungan DPR dengan mempertimbangkan
         masukan dari DPD;
      b. mengoordinasi penyusunan program legislasi nasional
         antara DPR dan Pemerintah;
      c.   menyiapkan rancangan undang-undang usul DPR
           berdasarkan program prioritas yang telah ditetapkan;
      d. melakukan pengharmonisasian, pembulatan, dan
         pemantapan konsepsi rancangan undang-undang
         yang diajukan anggota, komisi, gabungan komisi, atau
         DPD sebelum rancangan undang-undang tersebut
         disampaikan kepada pimpinan DPR;
      e.   memberikan pertimbangan terhadap rancangan
           undang-undang yang diajukan oleh anggota, komisi,
           gabungan komisi, atau DPD di luar prioritas
           rancangan undang-undang tahun berjalan atau di
           luar rancangan undang-undang yang terdaftar dalam
           program legislasi nasional;
      f.   melakukan pembahasan, pengubahan, dan/atau
           penyempurnaan rancangan undang-undang yang
           secara khusus ditugaskan oleh Badan Musyawarah;
      g.   mengikuti perkembangan dan melakukan evaluasi
           terhadap pembahasan materi muatan rancangan
           undang-undang melalui koordinasi dengan komisi
           dan/atau panitia khusus;
      h. memberikan masukan kepada pimpinan DPR atas
         rancangan undang-undang usul DPD yang ditugaskan
         oleh Badan Musyawarah; dan
      i.   membuat laporan kinerja dan inventarisasi masalah di
           bidang perundang-undangan pada akhir masa


                                               keanggotaan . . .
                     - 47 -

         keanggotaan DPR untuk dapat digunakan oleh Badan
         Legislasi pada masa keanggotaan berikutnya.

(2)   Badan Legislasi menyusun rancangan anggaran untuk
      pelaksanaan tugasnya sesuai dengan kebutuhan yang
      selanjutnya disampaikan kepada Badan Urusan Rumah
      Tangga.

                              Pasal 103

Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pembentukan,
susunan, tugas, wewenang dan mekanisme kerja Badan
Legislasi diatur dengan peraturan DPR tentang tata tertib.


                          Paragraf 5
                        Badan Anggaran

                              Pasal 104

Badan Anggaran dibentuk oleh DPR dan merupakan alat
kelengkapan DPR yang bersifat tetap.



                              Pasal 105

(1)   DPR menetapkan susunan dan keanggotaan Badan
      Anggaran menurut perimbangan dan pemerataan jumlah
      anggota   tiap-tiap fraksi  pada  permulaan    masa
      keanggotaan DPR dan pada permulaan tahun sidang.

(2)   Susunan dan keanggotaan Badan Anggaran sebagaimana
      dimaksud pada ayat (1) terdiri atas anggota dari tiap-tiap
      komisi yang dipilih oleh komisi dengan memperhatikan
      perimbangan jumlah anggota dan usulan fraksi.


                              Pasal 106

(1)   Pimpinan Badan Anggaran merupakan satu kesatuan
      pimpinan yang bersifat kolektif dan kolegial.

(2)   Pimpinan Badan Anggaran terdiri atas 1 (satu) orang
      ketua dan paling banyak 3 (tiga) orang wakil ketua yang
      dipilih dari dan oleh anggota Badan Anggaran
      berdasarkan prinsip musyawarah untuk mufakat dan


                                                proporsional . . .
                      - 48 -

      proporsional dengan mempertimbangkan keterwakilan
      perempuan menurut perimbangan jumlah anggota tiap-
      tiap fraksi.

(3)   Pemilihan    pimpinan Badan Anggaran        sebagaimana
      dimaksud    pada ayat (2) dilakukan dalam   rapat Badan
      Anggaran    yang dipimpin oleh pimpinan     DPR setelah
      penetapan   susunan dan keanggotaan Badan   Anggaran.


                               Pasal 107

(1) Badan Anggaran bertugas:
      a. membahas bersama Pemerintah yang diwakili oleh
         menteri untuk menentukan pokok-pokok kebijakan
         fiskal secara umum dan prioritas anggaran untuk
         dijadikan acuan bagi setiap kementerian/lembaga
         dalam menyusun usulan anggaran;
      b. menetapkan pendapatan negara bersama Pemerintah
         dengan mengacu pada usulan komisi terkait;
      c. membahas rancangan undang-undang tentang APBN
         bersama Presiden yang dapat diwakili oleh menteri
         dengan mengacu pada keputusan rapat kerja komisi
         dan Pemerintah mengenai alokasi anggaran untuk
         fungsi, program, dan kegiatan kementerian/lembaga;
      d. melakukan sinkronisasi terhadap hasil pembahasan
         di komisi mengenai rencana kerja dan anggaran
         kementerian/lembaga;
      e. membahas laporan realisasi dan prognosis yang
         berkaitan dengan APBN; dan
      f.   membahas pokok-pokok penjelasan atas rancangan
           undang-undang     tentang   pertanggungjawaban
           pelaksanaan APBN.

(2)   Badan Anggaran hanya membahas alokasi anggaran yang
      sudah diputuskan oleh komisi.

(3)   Anggota komisi dalam Badan Anggaran sebagaimana
      dimaksud dalam Pasal 105 ayat (2) harus mengupayakan
      alokasi anggaran     yang   diputuskan   komisi  dan
      menyampaikan hasil pelaksanaan tugas sebagaimana
      dimaksud pada ayat (1) kepada komisi.


                                                  Pasal 108 . . .
                    - 49 -

                             Pasal 108

Badan Anggaran menyusun rancangan anggaran untuk
pelaksanaan tugasnya sesuai dengan kebutuhan yang
selanjutnya disampaikan kepada Badan Urusan Rumah
Tangga.

                             Pasal 109

Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pembentukan,
susunan, tugas, wewenang dan mekanisme kerja Badan
Anggaran diatur dengan peraturan DPR tentang tata tertib.

                        Paragraf 6
            Badan Akuntabilitas Keuangan Negara

                             Pasal 110

Badan Akuntabilitas Keuangan Negara, yang selanjutnya
disingkat BAKN, dibentuk oleh DPR dan merupakan alat
kelengkapan DPR yang bersifat tetap.

                             Pasal 111

(1)   DPR menetapkan susunan dan keanggotaan BAKN pada
      permulaan masa keanggotaan DPR dan permulaan tahun
      sidang.

(2)   Anggota BAKN berjumlah paling sedikit 7 (tujuh)    orang
      dan paling banyak 9 (sembilan) orang atas usul    fraksi
      DPR yang ditetapkan dalam rapat paripurna           pada
      permulaan masa keanggotaan DPR dan permulaan      tahun
      sidang.

                             Pasal 112

(1)   Pimpinan BAKN merupakan satu kesatuan pimpinan
      yang bersifat kolektif dan kolegial.

(2)   Pimpinan BAKN terdiri atas 1 (satu) orang ketua dan
      1 (satu) orang wakil ketua yang dipilih dari dan oleh
      anggota BAKN berdasarkan prinsip musyawarah untuk
      mufakat dengan memperhatikan keterwakilan perempuan
      menurut perimbangan jumlah anggota tiap-tiap fraksi.


                                           (3) Pemilihan . . .
                    - 50 -

(3)   Pemilihan pimpinan BAKN sebagaimana dimaksud pada
      ayat (2) dilakukan dalam rapat BAKN yang dipimpin oleh
      pimpinan DPR setelah penetapan susunan dan
      keanggotaan BAKN.


                             Pasal 113

(1)   BAKN bertugas:
      a. melakukan penelaahan terhadap temuan hasil
         pemeriksaan BPK yang disampaikan kepada DPR;
      b. menyampaikan    hasil   penelaahan    sebagaimana
         dimaksud dalam huruf a kepada komisi;
      c. menindaklanjuti hasil pembahasan komisi terhadap
         temuan hasil pemeriksaan BPK atas permintaan
         komisi; dan
      d. memberikan masukan kepada BPK dalam hal rencana
         kerja pemeriksaan tahunan, hambatan pemeriksaan,
         serta penyajian dan kualitas laporan.

(2)   Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud pada
      ayat (1) huruf c, BAKN dapat meminta penjelasan dari
      BPK, Pemerintah, pemerintah daerah, lembaga negara
      lainnya, Bank Indonesia, badan usaha milik negara,
      badan layanan umum, badan usaha milik daerah, dan
      lembaga atau badan lain yang mengelola keuangan
      negara.
(3)   BAKN dapat mengusulkan kepada komisi agar BPK
      melakukan pemeriksaan lanjutan.

(4)   Hasil kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a,
      huruf b, dan huruf d disampaikan kepada pimpinan DPR
      dalam rapat paripurna secara berkala.

                             Pasal 114

Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 113 ayat (1), BAKN dapat dibantu oleh akuntan, ahli,
analis keuangan, dan/atau peneliti.

                             Pasal 115

BAKN menyusun rancangan anggaran untuk pelaksanaan
tugasnya sesuai dengan kebutuhan yang selanjutnya
disampaikan kepada Badan Urusan Rumah Tangga.


                                               Pasal 116 . . .
                     - 51 -


                              Pasal 116

Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pembentukan,
susunan, tugas, wewenang dan mekanisme kerja BAKN diatur
dengan peraturan DPR tentang tata tertib.


                         Paragraf 7
              Badan Kerja Sama Antar-Parlemen

                              Pasal 117

Badan Kerja Sama Antar-Parlemen, yang selanjutnya disingkat
BKSAP, dibentuk oleh DPR dan merupakan alat kelengkapan
DPR yang bersifat tetap.


                              Pasal 118

(1)   DPR menetapkan susunan dan keanggotaan BKSAP pada
      permulaan masa keanggotaan DPR dan permulaan tahun
      sidang.

(2)   Jumlah anggota BKSAP ditetapkan dalam rapat paripurna
      menurut perimbangan dan pemerataan jumlah anggota
      tiap-tiap fraksi pada permulaan masa keanggotaan DPR
      dan pada permulaan tahun sidang.


                              Pasal 119

(1)   Pimpinan BKSAP merupakan satu kesatuan pimpinan
      yang bersifat kolektif dan kolegial.

(2)   Pimpinan BKSAP terdiri atas 1 (satu) orang ketua dan
      paling banyak 3 (tiga) orang wakil ketua, yang dipilih dari
      dan    oleh  anggota      BKSAP     berdasarkan    prinsip
      musyawarah untuk mufakat dan proporsional dengan
      memperhatikan      keterwakilan    perempuan     menurut
      perimbangan jumlah anggota tiap-tiap fraksi.

(3)   Pemilihan pimpinan BKSAP sebagaimana dimaksud pada
      ayat (2) dilakukan dalam rapat BKSAP yang dipimpin oleh
      pimpinan DPR setelah penetapan susunan dan
      keanggotaan BKSAP.

                                                  Pasal 120 . . .
                    - 52 -

                             Pasal 120

(1)   BKSAP bertugas:
      a. membina,     mengembangkan,      dan   meningkatkan
         hubungan persahabatan dan kerja sama antara DPR
         dan parlemen negara lain, baik secara bilateral
         maupun       multilateral,    termasuk    organisasi
         internasional yang menghimpun parlemen dan/atau
         anggota parlemen negara lain;
      b. menerima kunjungan delegasi parlemen negara lain
         yang menjadi tamu DPR;
      c. mengoordinasikan kunjungan kerja alat kelengkapan
         DPR ke luar negeri; dan
      d. memberikan saran atau usul kepada pimpinan DPR
         tentang masalah kerja sama antarparlemen.

(2)   BKSAP membuat laporan kinerja pada akhir masa
      keanggotaan baik yang sudah maupun yang belum
      terselesaikan untuk dapat digunakan sebagai bahan oleh
      BKSAP pada masa keanggotaan berikutnya.


                             Pasal 121

BKSAP menyusun rancangan anggaran untuk pelaksanaan
tugasnya sesuai dengan kebutuhan, yang selanjutnya
disampaikan kepada Badan Urusan Rumah Tangga.


                             Pasal 122

Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pembentukan,
susunan, tugas, wewenang dan mekanisme kerja BKSAP
diatur dengan peraturan DPR tentang tata tertib.


                            Paragraf 8
                        Badan Kehormatan

                             Pasal 123

Badan Kehormatan dibentuk oleh DPR dan merupakan alat
kelengkapan DPR yang bersifat tetap.


                                                Pasal 124 . . .
                     - 53 -

                              Pasal 124

(1)   DPR menetapkan susunan dan keanggotaan Badan
      Kehormatan dengan memperhatikan perimbangan dan
      pemerataan jumlah anggota tiap-tiap fraksi pada
      permulaan masa keanggotaan DPR dan permulaan tahun
      sidang.

(2)   Anggota Badan Kehormatan berjumlah 11 (sebelas) orang
      dan ditetapkan dalam rapat paripurna pada permulaan
      masa keanggotan DPR dan pada permulaan tahun sidang.


                              Pasal 125

(1)   Pimpinan Badan Kehormatan merupakan satu kesatuan
      pimpinan yang bersifat kolektif dan kolegial.

(2)   Pimpinan Badan Kehormatan terdiri atas 1 (satu) orang
      ketua dan 2 (dua) orang wakil ketua, yang dipilih dari dan
      oleh anggota Badan Kehormatan berdasarkan prinsip
      musyawarah untuk mufakat dan proporsional dengan
      memperhatikan     keterwakilan    perempuan       menurut
      perimbangan jumlah anggota tiap-tiap fraksi.

(3)   Pemilihan pimpinan Badan Kehormatan         sebagaimana
      dimaksud pada ayat (2) dilakukan dalam      rapat Badan
      Kehormatan yang dipimpin oleh pimpinan      DPR setelah
      penetapan susunan dan keanggotaan Badan     Kehormatan.


                              Pasal 126

Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pembentukan
Badan Kehormatan diatur dalam peraturan DPR tentang
tata tertib.


                              Pasal 127

(1) Badan Kehormatan bertugas melakukan penyelidikan dan
    verifikasi atas pengaduan terhadap anggota karena:
      a. tidak melaksanakan kewajiban sebagaimana dimaksud
         dalam Pasal 79;
      b. tidak dapat melaksanakan tugas secara berkelanjutan
         atau berhalangan tetap sebagai anggota DPR selama


                                                     3 (tiga) . . .
                     - 54 -

         3 (tiga)   bulan     berturut-turut   tanpa   keterangan
         apa pun;
      c. tidak menghadiri rapat paripurna dan/atau rapat alat
         kelengkapan    DPR     yang   menjadi   tugas   dan
         kewajibannya sebanyak 6 (enam) kali berturut-turut
         tanpa alasan yang sah;
      d. tidak lagi memenuhi syarat sebagai calon anggota DPR
         sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
         undangan mengenai pemilihan umum anggota DPR,
         DPD, dan DPRD; dan/atau
      e. melanggar ketentuan larangan sebagaimana diatur
         dalam Undang-Undang ini.

(2)   Selain tugas sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Badan
      Kehormatan melakukan evaluasi dan penyempurnaan
      peraturan DPR tentang kode etik DPR.

(3)   Badan Kehormatan berwenang memanggil pihak terkait
      dan melakukan kerja sama dengan lembaga lain.

(4)   Badan Kehormatan membuat laporan kinerja pada akhir
      masa keanggotaan.


                              Pasal 128
Badan   Kehormatan   menyusun   rancangan  anggaran
untuk pelaksanaan tugasnya sesuai dengan kebutuhan,
yang selanjutnya disampaikan kepada Badan Urusan
Rumah Tangga.


                              Pasal 129
Ketentuan lebih lanjut mengenai mekanisme pelaksanaan
tugas dan wewenang Badan Kehormatan diatur dengan
peraturan DPR tentang tata beracara Badan Kehormatan.


                         Paragraf 9
                 Badan Urusan Rumah Tangga

                              Pasal 130

Badan Urusan Rumah Tangga, yang selanjutnya disingkat
BURT, dibentuk oleh DPR dan merupakan alat kelengkapan
DPR yang bersifat tetap.

                                                   Pasal 131 . . .
                    - 55 -

                             Pasal 131

(1)   DPR menetapkan susunan dan keanggotaan BURT pada
      permulaan masa keanggotaan DPR dan permulaan tahun
      sidang.

(2)   Jumlah anggota BURT ditetapkan dalam rapat paripurna
      menurut perimbangan dan pemerataan jumlah anggota
      tiap-tiap fraksi pada permulaan masa keanggotaan DPR
      dan pada permulaan tahun sidang.


                             Pasal 132

(1)   Pimpinan BURT merupakan satu kesatuan pimpinan
      yang bersifat kolektif dan kolegial.

(2)   Pimpinan BURT terdiri atas 1 (satu) orang ketua yang
      dijabat oleh Ketua DPR dan paling banyak 3 (tiga) orang
      wakil ketua yang dipilih dari dan oleh anggota BURT
      berdasarkan prinsip musyawarah untuk mufakat dan
      proporsional    dengan  memperhatikan     keterwakilan
      perempuan menurut perimbangan jumlah anggota tiap-
      tiap fraksi.

(3)   Pemilihan pimpinan BURT sebagaimana dimaksud pada
      ayat (2) dilakukan dalam rapat BURT yang dipimpin oleh
      pimpinan DPR setelah penetapan susunan dan
      keanggotaan BURT.


                             Pasal 133
BURT bertugas:
a.    menetapkan kebijakan kerumahtanggaan DPR;
b.    melakukan pengawasan terhadap Sekretariat Jenderal
      DPR dalam pelaksanaan kebijakan kerumahtanggaan
      DPR sebagaimana dimaksud dalam huruf a, termasuk
      pelaksanaan dan pengelolaan anggaran DPR;
c.    melakukan koordinasi dengan alat kelengkapan DPD dan
      alat kelengkapan MPR yang berhubungan dengan
      masalah kerumahtanggaan DPR, DPD, dan MPR yang
      ditugaskan oleh pimpinan DPR berdasarkan hasil rapat
      Badan Musyawarah;

                                         d. menyampaikan . . .
                     - 56 -

d.    menyampaikan hasil keputusan dan kebijakan BURT
      kepada setiap anggota DPR; dan
e.    menyampaikan laporan kinerja dalam rapat paripurna
      DPR yang khusus diadakan untuk itu.


                              Pasal 134

BURT menyusun rancangan anggaran untuk pelaksanaan
tugasnya sesuai dengan kebutuhan.


                              Pasal 135

Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pembentukan,
susunan, tugas, wewenang dan mekanisme kerja BURT diatur
dengan peraturan DPR tentang tata tertib.


                         Paragraf 10
                        Panitia Khusus

                              Pasal 136

Panitia khusus dibentuk oleh DPR dan merupakan alat
kelengkapan DPR yang bersifat sementara.


                              Pasal 137

(1)   DPR menetapkan susunan dan keanggotaan panitia
      khusus berdasarkan perimbangan dan pemerataan
      jumlah anggota tiap-tiap fraksi.

(2)   Jumlah anggota panitia khusus ditetapkan oleh rapat
      paripurna paling banyak 30 (tiga puluh) orang.


                              Pasal 138

(1)   Pimpinan panitia khusus merupakan satu kesatuan
      pimpinan yang bersifat kolektif dan kolegial.

(2)   Pimpinan panitia khusus terdiri atas 1 (satu) orang ketua
      dan paling banyak 3 (tiga) orang wakil ketua yang dipilih
      dari dan oleh anggota panitia khusus berdasarkan prinsip
      musyawarah untuk mufakat dan proporsional dengan


                                           memperhatikan . . .
                    - 57 -

      memperhatikan jumlah panitia khusus yang ada serta
      keterwakilan perempuan menurut perimbangan jumlah
      anggota tiap-tiap fraksi.

(3)   Pemilihan pimpinan panitia khusus sebagaimana
      dimaksud pada ayat (2) dilakukan dalam rapat panitia
      khusus yang dipimpin oleh pimpinan DPR setelah
      penetapan susunan dan keanggotaan panitia khusus.


                             Pasal 139

(1)   Panitia khusus bertugas melaksanakan tugas tertentu
      dalam jangka waktu tertentu yang ditetapkan oleh rapat
      paripurna.

(2)   Panitia khusus bertanggung jawab kepada DPR.

(3)   Panitia khusus dibubarkan oleh DPR setelah jangka
      waktu penugasannya berakhir atau karena tugasnya
      dinyatakan selesai.

(4)   Rapat paripurna menetapkan tindak lanjut hasil kerja
      panitia khusus.

                             Pasal 140

Panitia khusus menggunakan anggaran untuk pelaksanaan
tugasnya sesuai dengan kebutuhan yang diajukan kepada
pimpinan DPR.

                             Pasal 141
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pembentukan,
susunan, tugas, wewenang dan mekanisme kerja panitia
khusus diatur dengan peraturan DPR tentang tata tertib.


                     Bagian Kesembilan
              Pelaksanaan Tugas dan Wewenang

                        Paragraf 1
                Pembentukan Undang-Undang

                             Pasal 142
(1)   Rancangan undang-undang dapat berasal dari DPR,
      Presiden, atau DPD.

                                           (2) Rancangan . . .
                    - 58 -

(2)   Rancangan undang-undang yang berasal dari DPR,
      Presiden, atau DPD disertai penjelasan atau keterangan
      dan/atau naskah akademik.


                             Pasal 143

(1)   Usul rancangan undang-undang dapat diajukan oleh
      anggota DPR, komisi, gabungan komisi, atau Badan
      Legislasi.

(2)   Usul rancangan undang-undang disampaikan secara
      tertulis oleh anggota DPR, pimpinan komisi, pimpinan
      gabungan komisi, atau pimpinan Badan Legislasi kepada
      pimpinan DPR disertai daftar nama dan tanda tangan
      pengusul.

(3)   DPR memutuskan usul rancangan undang-undang
      sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dalam rapat
      paripurna, berupa:
      a. persetujuan;
      b. persetujuan dengan pengubahan; atau
      c. penolakan.

(4)   Dalam hal persetujuan dengan pengubahan, DPR
      menugasi komisi, gabungan komisi, Badan Legislasi, atau
      panitia khusus untuk menyempurnakan rancangan
      undang-undang tersebut.

(5)   Rancangan undang-undang yang telah disiapkan oleh
      DPR disampaikan dengan surat pimpinan DPR kepada
      Presiden.

                             Pasal 144

Rancangan undang-undang yang berasal dari Presiden
diajukan dengan surat Presiden kepada pimpinan DPR.


                             Pasal 145

(1)   Pengajuan peraturan pemerintah pengganti undang-
      undang dilakukan dalam bentuk pengajuan rancangan
      undang-undang tentang penetapan peraturan pemerintah
      pengganti undang-undang menjadi undang-undang.


                                          (2) Pembahasan . . .
                      - 59 -


(2)   Pembahasan      rancangan   undang-undang tentang
      penetapan peraturan pemerintah pengganti undang-
      undang menjadi undang-undang dilakukan melalui
      tingkat pembicaraan di DPR.


                               Pasal 146

(1)   Rancangan undang-undang beserta penjelasan atau
      keterangan dan/atau naskah akademik yang berasal dari
      DPD disampaikan secara tertulis oleh pimpinan DPD
      kepada pimpinan DPR.

(2)   Penyebarluasan rancangan undang-undang sebagaimana
      dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan oleh Sekretariat
      Jenderal DPD.

                               Pasal 147

(1)   Pimpinan DPR setelah menerima rancangan undang-
      undang dari DPD sebagaimana dimaksud dalam
      Pasal 146 ayat (1) memberitahukan adanya usul
      rancangan undang-undang tersebut kepada anggota DPR
      dan membagikannya kepada seluruh anggota DPR dalam
      rapat paripurna.

(2)   DPR memutuskan usul rancangan undang-undang
      sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dalam rapat
      paripurna berikutnya, berupa:
      a. persetujuan;
      b. persetujuan dengan pengubahan; atau
      c. penolakan.

(3)   Dalam hal rapat paripurna memutuskan memberi
      persetujuan terhadap usul rancangan undang-undang
      yang berasal dari DPD sebagaimana dimaksud pada
      ayat (2) huruf a, rancangan undang-undang tersebut
      menjadi rancangan undang-undang usul dari DPR.

(4)   Dalam hal rapat paripurna memutuskan memberi
      persetujuan  dengan   pengubahan     terhadap    usul
      rancangan undang-undang yang berasal dari DPD
      sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b, rancangan
      undang-undang tersebut menjadi rancangan undang-
      undang usul dari DPR dan untuk selanjutnya DPR

                                           menugaskan . . .
                   - 60 -

      menugaskan penyempurnaan rancangan undang-undang
      tersebut kepada komisi, gabungan komisi, Badan
      Legislasi, atau panitia khusus.

(5)   Dalam hal rapat paripurna memutuskan menolak usul
      rancangan undang-undang yang berasal dari DPD
      sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf c, pimpinan
      DPR menyampaikan keputusan mengenai penolakan
      tersebut kepada pimpinan DPD.

(6)   Pimpinan DPR menyampaikan rancangan undang-undang
      sebagaimana dimaksud pada ayat (3) atau rancangan
      undang-undang yang telah disempurnakan sebagaimana
      dimaksud pada ayat (4) kepada Presiden dan Pimpinan
      DPD, dengan permintaan kepada Presiden untuk
      menunjuk menteri yang akan mewakili Presiden dalam
      melakukan pembahasan rancangan undang-undang serta
      kepada DPD untuk menunjuk alat kelengkapan DPD yang
      akan membahas rancangan undang-undang tersebut.

(7)   Apabila dalam waktu 60 (enam puluh) hari DPD belum
      menunjuk alat kelengkapan DPD sebagaimana dimaksud
      pada ayat (6), pembahasan rancangan undang-undang
      tetap dilaksanakan.


                            Pasal 148

Tindak lanjut pembahasan rancangan undang-undang yang
berasal dari DPR atau Presiden dilakukan melalui 2 (dua)
tingkat pembicaraan.

                            Pasal 149
Dua tingkat pembicaraan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 148 adalah:
a. Tingkat I dalam rapat komisi, rapat gabungan komisi,
   rapat Badan Legislasi, rapat Badan Anggaran, atau rapat
   panitia khusus.
b. Tingkat II dalam rapat paripurna.


                            Pasal 150

(1)   Pembicaraan Tingkat     I   dilakukan    dengan   kegiatan
      sebagai berikut:
      a. pengantar musyawarah;
                                              b. pembahasan . . .
                     - 61 -

      b. pembahasan daftar inventarisasi masalah; dan
      c. penyampaian pendapat mini.

(2)   Dalam pengantar musyawarah sebagaimana dimaksud
      pada ayat (1) huruf a:
      a. DPR    memberikan     penjelasan    dan   Presiden
         menyampaikan    pandangan      apabila  rancangan
         undang-undang berasal dari DPR;
      b. DPR memberikan penjelasan serta Presiden dan DPD
         menyampaikan      pandangan  apabila    rancangan
         undang-undang yang berkaitan dengan kewenangan
         DPD sebagaimana dimaksud dalam Pasal 71 huruf e
         berasal dari DPR;
      c. Presiden  memberikan       penjelasan dan fraksi
         memberikan pandangan apabila rancangan undang-
         undang berasal dari Presiden; atau
      d. Presiden memberikan penjelasan serta fraksi dan DPD
         menyampaikan       pandangan   apabila    rancangan
         undang-undang yang berkaitan dengan kewenangan
         DPD sebagaimana dimaksud dalam Pasal 71 huruf e
         berasal dari Presiden.

(3)   Daftar inventarisasi masalah sebagaimana dimaksud
      pada ayat (1) huruf b diajukan oleh:
      a. Presiden, apabila rancangan undang-undang berasal
         dari DPR.
      b. DPR, apabila rancangan undang-undang berasal dari
         Presiden.

(4)   Penyampaian pendapat mini sebagaimana dimaksud pada
      ayat (1) huruf c disampaikan pada akhir Pembicaraan
      Tingkat I oleh:
      a. fraksi;
      b. DPD, apabila rancangan undang-undang berkaitan
         dengan kewenangan DPD sebagaimana dimaksud
         dalam Pasal 71 huruf e; dan
      c. Presiden.
(5)   Dalam    hal   DPD   tidak   memberikan    pandangan
      sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b dan
      huruf d, dan/atau pendapat mini sebagaimana dimaksud
      pada ayat (4) huruf b, Pembicaraan Tingkat I tetap
      dilaksanakan.


                                                (6) Dalam . . .
                    - 62 -

(6)   Dalam Pembicaraan Tingkat I dapat diundang pimpinan
      lembaga negara atau lembaga lain apabila materi
      rancangan undang-undang berkaitan dengan lembaga
      negara atau lembaga lain.

                             Pasal 151

(1)   Pembicaraan   Tingkat   II   merupakan    pengambilan
      keputusan dalam rapat paripurna dengan kegiatan:
      a.   penyampaian laporan yang berisi proses, pendapat
           mini fraksi, pendapat mini DPD, dan hasil
           Pembicaraan Tingkat I;
      b.   pernyataan persetujuan atau penolakan dari tiap-
           tiap fraksi dan anggota secara lisan yang diminta
           oleh pimpinan rapat paripurna; dan
      c.   pendapat akhir Presiden yang disampaikan oleh
           menteri yang mewakilinya.

(2)   Dalam hal persetujuan sebagaimana dimaksud pada
      ayat (1) huruf b tidak dapat dicapai secara musyawarah
      untuk mufakat, pengambilan keputusan dilakukan
      berdasarkan suara terbanyak.

(3)   Dalam hal rancangan undang-undang tidak mendapat
      persetujuan bersama antara DPR dan Presiden,
      rancangan undang-undang tersebut tidak boleh diajukan
      lagi dalam persidangan DPR masa itu.


                             Pasal 152
Ketentuan lebih lanjut mengenai tingkat pembicaraan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 148 diatur dengan
peraturan DPR tentang tata tertib.


                             Pasal 153

(1)   Dalam penyiapan dan pembahasan rancangan undang-
      undang, termasuk pembahasan rancangan undang-
      undang tentang APBN, masyarakat berhak memberikan
      masukan secara lisan dan/atau tertulis kepada DPR
      melalui pimpinan DPR dan/atau alat kelengkapan
      DPR lainnya.

                                             (2) Anggota . . .
                     - 63 -

(2)   Anggota atau alat kelengkapan DPR yang menyiapkan
      atau membahas rancangan undang-undang dapat
      melakukan kegiatan untuk mendapat masukan dari
      masyarakat.

(3)   Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penerimaan
      masukan dan penyerapan aspirasi dari masyarakat dalam
      penyiapan dan pembahasan rancangan undang-undang
      diatur dengan peraturan DPR tentang tata tertib.


                         Paragraf 2
                Penerimaan Pertimbangan DPD
             terhadap Rancangan Undang-Undang

                              Pasal 154

(1)   DPR menerima dan menindaklanjuti pertimbangan
      tertulis terhadap rancangan undang-undang tentang
      APBN dan rancangan undang-undang yang berkaitan
      dengan pajak, pendidikan, dan agama yang disampaikan
      oleh DPD sebelum memasuki tahap pembahasan antara
      DPR dan Presiden.

(2)   Apabila   rancangan    undang-undang      sebagaimana
      dimaksud pada ayat (1) berasal dari Presiden, pimpinan
      DPR setelah menerima surat Presiden menyampaikan
      surat kepada pimpinan DPD agar DPD memberikan
      pertimbangannya.

(3)   Apabila  rancangan      undang-undang      sebagaimana
      dimaksud pada ayat (1) berasal dari DPR, Pimpinan DPR
      menyampaikan surat kepada pimpinan DPD agar DPD
      memberikan pertimbangannya.

(4)   Pertimbangan DPD sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
      dan ayat (3) disampaikan secara tertulis melalui pimpinan
      DPR paling lambat 30 (tiga puluh) hari sejak diterimanya
      surat dari pimpinan DPR, kecuali rancangan undang-
      undang tentang APBN disampaikan paling lambat
      14 (empat belas) hari sebelum diambil persetujuan
      bersama antara DPR dan Presiden.

(5)   Pada rapat paripurna berikutnya, pimpinan DPR
      memberitahukan     kepada   anggota   DPR    perihal
      diterimanya pertimbangan DPD atas rancangan undang-
      undang sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dan


                                           meneruskannya . . .
                     - 64 -

       meneruskannya kepada Badan Musyawarah untuk
       diteruskan kepada alat kelengkapan yang akan
       membahasnya.


                           Paragraf 3
                        Penetapan APBN

                              Pasal 155

(1)    Penyusunan rancangan APBN berpedoman pada rencana
       kerja Pemerintah dalam rangka mewujudkan tercapainya
       tujuan bernegara.

(2)    Rancangan rencana kerja Pemerintah disusun oleh
       Pemerintah untuk dibahas dan disepakati bersama
       dengan DPR.

(3)    Rencana kerja Pemerintah yang telah dibahas dan
       disepakati bersama dengan DPR sebagaimana dimaksud
       pada ayat (2) menjadi pedoman bagi penyusunan
       rancangan APBN untuk selanjutnya ditetapkan menjadi
       satu kesatuan dengan APBN, dan menjadi acuan kerja
       Pemerintah yang ditetapkan dengan keputusan Presiden.



                              Pasal 156

Dalam melaksanakan tugas dan wewenang sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 71 huruf g, DPR menyelenggarakan
kegiatan sebagai berikut:
a. pembicaraan pendahuluan dengan Pemerintah dan Bank
   Indonesia dalam rangka menyusun rancangan APBN;
b. pembahasan dan penetapan APBN yang didahului dengan
   penyampaian rancangan undang-undang tentang APBN
   beserta nota keuangannya oleh Presiden;
c. pembahasan:
      1. laporan   realisasi semester pertama dan prognosis
         6 (enam) bulan berikutnya;
      2. penyesuaian APBN dengan perkembangan dan/atau
         perubahan dalam rangka penyusunan prakiraan


                                             perubahan . . .
                     - 65 -

        perubahan    atas   APBN     tahun    anggaran    yang
        bersangkutan, apabila terjadi:
        a) perkembangan ekonomi makro yang tidak sesuai
           dengan asumsi yang digunakan dalam APBN;
        b) perubahan pokok-pokok kebijakan fiskal;
        c) keadaan yang menyebabkan harus dilakukannya
           pergeseran     anggaran     antarunit    organisasi,
           antarkegiatan, dan antarjenis belanja; dan/atau
        d) keadaan yang menyebabkan saldo anggaran lebih
           tahun sebelumnya harus digunakan untuk
           pembiayaan anggaran yang berjalan;
d. pembahasan dan penetapan rancangan undang-undang
   tentang perubahan atas undang-undang tentang APBN;
   dan
e. pembahasan dan penetapan rancangan undang-undang
   tentang pertanggungjawaban pelaksanaan APBN.



                              Pasal 157

(1)   Pembicaraan pendahuluan dalam rangka penyusunan
      rancangan APBN dilakukan segera setelah Pemerintah
      menyampaikan bahan kerangka ekonomi makro dan
      pokok-pokok kebijakan fiskal pada pertengahan bulan
      Mei, yang meliputi:
      a. kerangka ekonomi makro dan pokok-pokok kebijakan
         fiskal tahun anggaran berikutnya;
      b. kebijakan umum dan prioritas anggaran untuk
         dijadikan acuan bagi setiap kementerian/lembaga
         dalam penyusunan usulan anggaran; dan
      c. rincian unit organisasi, fungsi, program, dan kegiatan.
(2)   Pemerintah menyampaikan kerangka ekonomi makro dan
      pokok-pokok kebijakan fiskal kepada DPR pada
      tanggal 20 Mei tahun sebelumnya atau sehari sebelumnya
      apabila tanggal tersebut jatuh pada hari libur.
(3)   Komisi dengan kementerian/lembaga melakukan rapat
      kerja dan/atau rapat dengar pendapat untuk membahas
      rencana kerja dan anggaran kementerian/lembaga
      tersebut.

(4)   Hasil pembahasan rencana kerja dan anggaran
      sebagaimana dimaksud pada ayat (3) disampaikan kepada
      Badan Anggaran.

                                                 Pasal 158 . . .
                    - 66 -


                             Pasal 158

Kegiatan dalam tahap pembicaraan pendahuluan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 157 meliputi:
a. rapat kerja yang diadakan oleh komisi dengan Pemerintah
   untuk membahas alokasi anggaran menurut fungsi,
   program, dan kegiatan kementerian/lembaga; dan
b. rapat kerja yang diadakan oleh Badan Anggaran dengan
   Pemerintah dan Bank Indonesia untuk penyelesaian akhir
   kerangka ekonomi makro dan pokok-pokok kebijakan
   fiskal, dengan memperhatikan pemandangan umum fraksi,
   jawaban Pemerintah, saran dan pendapat Badan
   Musyawarah, keputusan rapat kerja komisi dengan
   Pemerintah mengenai alokasi anggaran menurut fungsi,
   program, dan kegiatan kementerian/lembaga.

                             Pasal 159

(1)   Presiden mengajukan rancangan undang-undang tentang
      APBN,    disertai nota   keuangan   dan   dokumen
      pendukungnya kepada DPR pada bulan Agustus tahun
      sebelumnya.
(2)   Pembahasan rancangan undang-undang tentang APBN
      dilakukan    sesuai    dengan tingkat pembicaraan
      sebagaimana dimaksud dalam Pasal 148, Pasal 149,
      Pasal 150, dan Pasal 151.
(3)   DPR dapat mengajukan usul yang mengakibatkan
      perubahan jumlah penerimaan dan pengeluaran dalam
      rancangan undang-undang tentang APBN.
(4)   Pengambilan keputusan oleh DPR mengenai rancangan
      undang-undang tentang APBN dilakukan paling lambat
      2 (dua) bulan sebelum tahun anggaran yang
      bersangkutan dilaksanakan.

(5)   APBN yang disetujui oleh DPR terperinci sampai dengan
      unit organisasi, fungsi, program, kegiatan, dan
      jenis belanja.

(6)   Dalam hal DPR tidak menyetujui rancangan undang-
      undang sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Pemerintah
      dapat melakukan pengeluaran paling tinggi sebesar angka
      APBN tahun anggaran sebelumnya.

                                               Pasal 160 . . .
                    - 67 -

                             Pasal 160

Badan     Anggaran     mengadakan     pembahasan   dengan
Pemerintah dan Bank Indonesia pada triwulan ketiga setiap
tahun anggaran tentang laporan realisasi semester pertama
APBN dan prognosis untuk 6 (enam) bulan berikutnya yang
disampaikan Pemerintah kepada DPR paling lambat pada
akhir bulan Juli tahun anggaran yang bersangkutan.

                             Pasal 161

(1)   Dalam hal terjadi perubahan asumsi ekonomi makro
      dan/atau perubahan postur APBN yang sangat signifikan,
      Pemerintah mengajukan rancangan undang-undang
      tentang perubahan APBN tahun anggaran yang
      bersangkutan.

(2)   Perubahan asumsi ekonomi makro yang sangat signifikan
      sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa prognosis:
      a. penurunan pertumbuhan ekonomi, minimal 1% (satu
         persen) di bawah asumsi yang telah ditetapkan;
         dan/atau
      b. deviasi asumsi ekonomi makro lainnya minimal
         10% (sepuluh persen) dari asumsi yang telah
         ditetapkan.

(3)   Perubahan postur APBN yang sangat signifikan
      sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa prognosis:
      a. penurunan     penerimaan      perpajakan      minimal
         10% (sepuluh persen) dari pagu yang telah ditetapkan;
      b. kenaikan        atau         penurunan   belanja
         kementerian/lembaga minimal 10% (sepuluh persen)
         dari pagu yang telah ditetapkan;
      c. kebutuhan belanja yang bersifat mendesak dan belum
         tersedia pagu anggarannya; dan/atau
      d. kenaikan defisit minimal 10% (sepuluh persen) dari
         rasio defisit APBN terhadap produk domestik
         bruto (PDB) yang telah ditetapkan.

(4)   Pembahasan dan penetapan rancangan undang-undang
      tentang perubahan APBN sebagaimana dimaksud pada
      ayat (1) dilakukan oleh Pemerintah bersama dengan
      Badan Anggaran dan komisi terkait dalam waktu paling
      lama 1 (satu) bulan dalam masa sidang, setelah

                                               rancangan . . .
                    - 68 -

      rancangan undang-undang tentang perubahan APBN
      diajukan oleh Pemerintah kepada DPR.

(5)   Dalam hal tidak terjadi perubahan asumsi ekonomi
      makro dan/atau perubahan postur APBN yang sangat
      signifikan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan
      ayat (3), pembahasan perubahan APBN dilakukan dalam
      rapat Badan Anggaran dan pelaksanaannya disampaikan
      dalam laporan keuangan Pemerintah.

                             Pasal 162

Pembahasan dan penetapan rancangan undang-undang
tentang pertanggungjawaban pelaksanaan APBN dilakukan
dalam waktu paling lama 3 (tiga) bulan setelah
disampaikannya bahan hasil pemeriksaan laporan keuangan
Pemerintah oleh BPK ke DPR.


                             Pasal 163

(1)   Presiden menyampaikan rancangan undang-undang
      tentang pertanggungjawaban pelaksanaan APBN kepada
      DPR berupa laporan keuangan yang telah diperiksa oleh
      BPK paling lambat 6 (enam) bulan setelah tahun
      anggaran berakhir.

(2)   Laporan   keuangan    sebagaimana   dimaksud    pada
      ayat (1) sekurang-kurangnya meliputi realisasi APBN,
      neraca, laporan arus kas, dan catatan atas laporan
      keuangan yang dilampiri dengan laporan keuangan
      kementerian/lembaga.


                         Paragraf 4
       Pengajuan Calon dan Pemberian Persetujuan atau
                  Pertimbangan atas Calon

                             Pasal 164

(1)   DPR mengajukan calon untuk mengisi suatu jabatan
      berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan
      melalui rapat paripurna.

(2)   DPR memberikan persetujuan atau pertimbangan atas
      calon untuk mengisi suatu jabatan berdasarkan
      ketentuan peraturan perundang-undangan melalui rapat
      paripurna.

                                             (3) Rapat . . .
                    - 69 -

(3)   Rapat paripurna sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
      dan ayat (2) menugasi Badan Musyawarah untuk
      menjadwalkan dan menugaskan pembahasannya kepada
      alat kelengkapan terkait.

(4)   Pembahasan     oleh  alat  kelengkapan  sebagaimana
      dimaksud pada ayat (3) dilakukan sesuai dengan
      ketentuan peraturan perundang-undangan.


                             Pasal 165

DPR memberikan pertimbangan kepada Presiden dalam hal
mengangkat duta besar untuk negara lain dan menerima
penempatan duta besar dari negara lain.


                             Pasal 166

(1)   Dalam hal pimpinan DPR menerima pemberitahuan dari
      Presiden mengenai penempatan calon duta besar untuk
      negara    lain,    pimpinan     DPR     menyampaikan
      pemberitahuan tersebut dalam rapat paripurna.

(2)   Rapat paripurna sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
      menugasi alat kelengkapan terkait untuk membahasnya
      secara rahasia.

                             Pasal 167

(1)   Dalam hal pimpinan DPR menerima pemberitahuan dari
      Presiden mengenai penempatan calon duta besar negara
      lain   untuk   Republik  Indonesia,  pimpinan   DPR
      menyampaikan pemberitahuan tersebut dalam rapat
      paripurna tanpa menyebut nama calon duta besar.

(2)   Dalam hal permintaan pertimbangan terhadap calon duta
      besar negara lain untuk Republik Indonesia disampaikan
      pada masa reses, permintaan tersebut dibahas dalam
      pertemuan konsultasi antara pimpinan DPR, pimpinan
      komisi terkait, dan pimpinan fraksi.


                             Pasal 168

Pertimbangan DPR sebagaimana dimaksud dalam Pasal 165
disampaikan oleh pimpinan DPR kepada Presiden secara
rahasia.

                                              Pasal 169 . . .
                     - 70 -


                              Pasal 169

Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengajuan calon
dan pemberian persetujuan atau pertimbangan atas calon
diatur dengan peraturan DPR tentang tata tertib.


                          Paragraf 5
                    Pemilihan Anggota BPK

                              Pasal 170

DPR    memilih  anggota         BPK       dengan   memperhatikan
pertimbangan DPD.


                              Pasal 171

(1)   Kepada pimpinan DPD, pimpinan DPR memberitahukan
      rencana pemilihan anggota BPK dengan disertai dokumen
      kelengkapan persyaratan calon anggota BPK sebagai
      bahan DPD untuk memberikan pertimbangan atas calon
      anggota BPK, paling lambat 1 (satu) bulan sebelum alat
      kelengkapan DPR memproses pelaksanaan pemilihan
      anggota BPK.

(2)   Pertimbangan DPD sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
      disampaikan secara tertulis kepada pimpinan DPR paling
      lambat 3 (tiga) hari sebelum pelaksanaan pemilihan, yang
      selanjutnya segera disampaikan kepada alat kelengkapan
      DPR sebagaimana dimaksud pada ayat (1) untuk
      digunakan sebagai bahan pertimbangan.

(3)   Dalam hal pertimbangan DPD sebagaimana dimaksud
      pada ayat (2) tidak disampaikan, pemilihan anggota BPK
      tetap dilaksanakan.

(4)   Nama calon terpilih anggota BPK disampaikan oleh DPR
      kepada Presiden paling lambat 30 (tiga puluh) hari
      sebelum masa jabatan anggota BPK berakhir.

(5)   Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemilihan
      anggota BPK dan penerimaan pertimbangan dari DPD
      diatur dengan peraturan DPR tentang tata tertib.


                                                   Pasal 172 . . .
                     - 71 -


                              Pasal 172

Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan tugas dan
wewenang DPR sebagaimana dimaksud dalam Pasal 71 diatur
dengan peraturan DPR tentang tata tertib.



                       Bagian Kesepuluh
                     Pelaksanaan Hak DPR

                          Paragraf 1
                        Hak Interpelasi

                              Pasal 173

(1)   Hak interpelasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 77
      ayat (1) huruf a diusulkan oleh paling sedikit 25 (dua
      puluh lima) orang anggota DPR dan lebih dari 1 (satu)
      fraksi.

(2)   Pengusulan hak interpelasi sebagaimana dimaksud pada
      ayat (1) disertai dengan dokumen yang memuat sekurang-
      kurangnya:
      a. materi kebijakan dan/atau pelaksanaan kebijakan
         Pemerintah yang akan dimintakan keterangan; dan
      b. alasan permintaan keterangan.

(3)   Usul sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menjadi hak
      interpelasi DPR apabila mendapat persetujuan dari rapat
      paripurna DPR yang dihadiri lebih dari 1/2 (satu perdua)
      jumlah anggota DPR dan keputusan diambil dengan
      persetujuan lebih dari 1/2 (satu perdua) jumlah anggota
      DPR yang hadir.


                              Pasal 174

(1)   Dalam hal rapat paripurna DPR sebagaimana dimaksud
      dalam Pasal 173 ayat (3) menyetujui usul interpelasi
      sebagai hak interpelasi DPR, Presiden dapat hadir untuk
      memberikan      penjelasan   tertulis  terhadap   materi
      interpelasi dalam rapat paripurna berikutnya.


                                               (2) Apabila . . .
                     - 72 -


(2)   Apabila Presiden tidak dapat hadir untuk memberikan
      penjelasan tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
      Presiden menugasi menteri/pejabat terkait untuk
      mewakilinya.


                              Pasal 175

(1)   DPR memutuskan menerima atau menolak keterangan
      dan jawaban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 174
      ayat (1) dan ayat (2).

(2)   Dalam hal DPR menerima keterangan dan jawaban
      sebagaimana dimaksud pada ayat (1), usul hak interpelasi
      dinyatakan selesai dan materi interpelasi tersebut tidak
      dapat diusulkan kembali.

(3)   Dalam hal DPR menolak keterangan dan jawaban
      sebagaimana dimaksud pada ayat (1), DPR dapat
      menggunakan hak DPR lainnya.

(4)   Keputusan untuk menerima atau menolak keterangan
      dan jawaban sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus
      mendapat persetujuan dari rapat paripurna DPR yang
      dihadiri lebih dari 1/2 (satu perdua) jumlah anggota DPR
      dan putusan diambil dengan persetujuan lebih dari
      1/2 (satu perdua) jumlah anggota DPR yang hadir.


                              Pasal 176

Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pelaksanaan hak
interpelasi diatur dengan peraturan DPR tentang tata tertib.



                          Paragraf 2
                          Hak Angket

                              Pasal 177

(1)   Hak angket sebagaimana dimaksud dalam Pasal 77
      ayat (1) huruf b diusulkan oleh paling sedikit 25 (dua
      puluh lima) orang anggota DPR dan lebih dari 1 (satu)
      fraksi.

                                           (2) Pengusulan . . .
                     - 73 -

(2)   Pengusulan hak angket sebagaimana dimaksud pada
      ayat (1) disertai dengan dokumen yang memuat sekurang-
      kurangnya:
      a. materi kebijakan dan/atau pelaksanaan       undang-
         undang yang akan diselidiki; dan
      b. alasan penyelidikan.

(3)   Usul sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menjadi hak
      angket DPR apabila mendapat persetujuan dari rapat
      paripurna DPR yang dihadiri lebih dari 1/2 (satu perdua)
      jumlah anggota DPR dan keputusan diambil dengan
      persetujuan lebih dari 1/2 (satu perdua) jumlah anggota
      DPR yang hadir.


                              Pasal 178

(1)   DPR memutuskan menerima atau menolak usul hak
      angket sebagaimana dimaksud dalam Pasal 177 ayat (1).

(2)   Dalam hal DPR menerima usul hak angket sebagaimana
      dimaksud pada ayat (1), DPR membentuk panitia angket
      yang terdiri atas semua unsur fraksi DPR dengan
      keputusan DPR.

(3)   Dalam hal DPR menolak usul hak angket sebagaimana
      dimaksud pada ayat (1), usul tersebut tidak dapat
      diajukan kembali.



                              Pasal 179

Panitia angket sebagaimana dimaksud dalam Pasal 178
ayat (2), dalam melakukan penyelidikan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 77 ayat (3), selain meminta keterangan
dari Pemerintah, dapat juga meminta keterangan dari saksi,
pakar, organisasi profesi, dan/atau pihak terkait lainnya.



                              Pasal 180

(1)   Dalam melaksanakan tugasnya, panitia angket dapat
      memanggil warga negara Indonesia dan/atau orang asing
      yang bertempat tinggal di Indonesia untuk memberikan
      keterangan.

                                                (2) Warga . . .
                     - 74 -



(2)   Warga    negara    Indonesia dan/atau orang asing
      sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib memenuhi
      panggilan panitia angket.

(3)   Dalam hal warga negara Indonesia dan/atau orang asing
      sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak memenuhi
      panggilan setelah dipanggil 3 (tiga) kali berturut-turut
      tanpa alasan yang sah, panitia angket dapat memanggil
      secara paksa dengan bantuan Kepolisian Negara Republik
      Indonesia sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
      undangan.


                              Pasal 181

(1)   Panitia angket melaporkan pelaksanaan tugasnya kepada
      rapat paripurna DPR paling lama 60 (enam puluh) hari
      sejak dibentuknya panitia angket.

(2)   Rapat paripurna DPR mengambil keputusan terhadap
      laporan panitia angket.



                              Pasal 182

(1)   Apabila rapat paripurna DPR sebagaimana dimaksud
      dalam Pasal 181 ayat (2) memutuskan bahwa
      pelaksanaan suatu undang-undang dan/atau kebijakan
      Pemerintah yang berkaitan dengan hal penting, strategis,
      dan berdampak luas pada kehidupan bermasyarakat,
      berbangsa,   dan   bernegara   bertentangan     dengan
      ketentuan peraturan perundang-undangan, DPR dapat
      menggunakan hak menyatakan pendapat.

(2)   Apabila rapat paripurna DPR sebagaimana dimaksud
      dalam Pasal 181 ayat (2) memutuskan bahwa
      pelaksanaan suatu undang-undang dan/atau kebijakan
      Pemerintah yang berkaitan dengan hal penting, strategis,
      dan berdampak luas pada kehidupan bermasyarakat,
      berbangsa, dan bernegara tidak bertentangan dengan
      ketentuan peraturan perundang-undangan, usul hak
      angket dinyatakan selesai dan materi angket tersebut
      tidak dapat diajukan kembali.


                                           (3) Keputusan . . .
                     - 75 -

(3)   Keputusan DPR sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan
      ayat (2) harus mendapat persetujuan dari rapat paripurna
      DPR yang dihadiri lebih dari 1/2 (satu perdua) jumlah
      anggota DPR dan putusan diambil dengan persetujuan
      lebih dari 1/2 (satu perdua) jumlah anggota DPR
      yang hadir.

                              Pasal 183

Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pelaksanaan hak
angket diatur dengan peraturan DPR tentang tata tertib.


                         Paragraf 3
                  Hak Menyatakan Pendapat

                              Pasal 184

(1)   Hak menyatakan pendapat sebagaimana dimaksud dalam
      Pasal 77 ayat (1) huruf c diusulkan oleh paling sedikit
      25 (dua puluh lima) orang anggota DPR.

(2)   Pengusulan hak menyatakan pendapat sebagaimana
      dimaksud pada ayat (1) disertai dengan dokumen yang
      memuat sekurang-kurangnya:
      a. materi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 77 ayat (4)
         huruf a dan alasan pengajuan usul pernyataan
         pendapat;
      b. materi hasil pelaksanaan hak interpelasi atau hak
         angket sebagaimana dimaksud dalam Pasal 77
         ayat (4) huruf b; atau
      c. materi dan bukti yang sah atas dugaan adanya
         tindakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 77
         ayat (4) huruf c atau materi dan bukti yang sah atas
         dugaan tidak dipenuhinya syarat sebagai Presiden
         dan/atau Wakil Presiden sebagaimana dimaksud
         dalam Pasal 77 ayat (4) huruf c.

(4)   Usul sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menjadi hak
      menyatakan pendapat DPR apabila mendapat persetujuan
      dari rapat paripurna DPR yang dihadiri paling sedikit
      3/4 (tiga perempat) dari jumlah anggota DPR dan
      keputusan diambil dengan persetujuan paling sedikit
      3/4 (tiga perempat) dari jumlah anggota DPR yang hadir.


                                                 Pasal 185 . . .
                    - 76 -

                             Pasal 185

(1)   DPR memutuskan menerima atau menolak usul hak
      menyatakan pendapat sebagaimana dimaksud dalam
      Pasal 184 ayat (1).

(2)   Dalam hal DPR menerima usul hak menyatakan pendapat
      sebagaimana dimaksud pada ayat (1), DPR membentuk
      panitia khusus yang terdiri atas semua unsur fraksi DPR
      dengan keputusan DPR.

(3)   Dalam hal DPR menolak usul hak menyatakan pendapat
      sebagaimana dimaksud pada ayat (1), usul tersebut tidak
      dapat diajukan kembali.


                             Pasal 186

(1)   Panitia khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 185
      ayat (2) melaporkan pelaksanaan tugasnya kepada rapat
      paripurna DPR paling lama 60 (enam puluh) hari sejak
      dibentuknya panitia khusus.

(2)   Rapat paripurna DPR mengambil keputusan terhadap
      laporan panitia khusus.


                             Pasal 187

(1)   Dalam hal rapat paripurna DPR sebagaimana dimaksud
      dalam Pasal 186 ayat (2) memutuskan menerima laporan
      panitia khusus terhadap materi sebagaimana dimaksud
      dalam Pasal 77 ayat (4) huruf a dan huruf b, DPR
      menyatakan pendapatnya kepada Pemerintah.

(2)   Dalam hal rapat paripurna DPR sebagaimana dimaksud
      dalam Pasal 186 ayat (2) memutuskan menerima laporan
      panitia khusus yang menyatakan bahwa Presiden
      dan/atau Wakil Presiden melakukan pelanggaran hukum
      berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi,
      penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan
      tercela, ataupun tidak lagi memenuhi syarat sebagai
      Presiden dan/atau Wakil Presiden, DPR menyampaikan
      keputusan tentang hak menyatakan pendapat kepada
      Mahkamah Konstitusi.

                                              (3) Dalam . . .
                    - 77 -

(3)   Dalam hal rapat paripurna DPR menolak laporan panitia
      khusus terhadap materi sebagaimana dimaksud dalam
      Pasal 77 ayat (4), hak menyatakan pendapat tersebut
      dinyatakan selesai dan tidak dapat diajukan kembali.

(4) Keputusan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) harus
    mendapat persetujuan dari rapat paripurna DPR yang
    dihadiri sekurang-kurangnya 2/3 (dua pertiga) dari
    jumlah anggota DPR dan keputusan diambil dengan
    persetujuan sekurang-kurangnya 2/3 (dua pertiga) dari
    jumlah anggota DPR yang hadir.


                             Pasal 188

(1)   Dalam hal Mahkamah Konstitusi memutuskan bahwa
      pendapat DPR sebagaimana dimaksud dalam Pasal 187
      ayat (2) terbukti, DPR menyelenggarakan rapat paripurna
      untuk meneruskan usul pemberhentian Presiden
      dan/atau Wakil Presiden kepada MPR.

(2)   Dalam hal Mahkamah Konstitusi memutuskan bahwa
      pendapat DPR sebagaimana dimaksud dalam Pasal 187
      ayat (2) tidak terbukti, usul pemberhentian Presiden
      dan/atau Wakil Presiden tidak dapat dilanjutkan.


                             Pasal 189

Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pelaksanaan hak
menyatakan pendapat diatur dengan peraturan DPR tentang
tata tertib.

                       Bagian Kesebelas
                   Pelaksanaan Hak Anggota

                        Paragraf 1
       Hak Mengajukan Usul Rancangan Undang-Undang

                             Pasal 190

(1)   Anggota DPR mempunyai              hak   mengajukan    usul
      rancangan undang-undang.

(2)   Ketentuan mengenai tata cara pengajuan usul rancangan
      undang-undang sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
      diatur dengan peraturan DPR tentang tata tertib.


                                                   Paragraf 2 . . .
                    - 78 -

                        Paragraf 2
                 Hak Mengajukan Pertanyaan

                             Pasal 191

(1)   Anggota DPR mempunyai hak mengajukan pertanyaan.

(2)   Dalam hal pertanyaan sebagaimana dimaksud pada
      ayat (1) diajukan kepada Presiden, pertanyaan tersebut
      disusun secara tertulis, singkat, dan jelas serta
      disampaikan kepada pimpinan DPR.

(3)   Apabila diperlukan, pimpinan DPR dapat meminta
      penjelasan kepada anggota DPR yang mengajukan
      pertanyaan.

(4)   Pimpinan DPR meneruskan pertanyaan sebagaimana
      dimaksud pada ayat (1) kepada Presiden dan meminta
      agar Presiden memberikan jawaban.

(5)   Sebelum disampaikan kepada Presiden, pertanyaan
      sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak dapat
      diumumkan.


                             Pasal 192

(1)   Jawaban terhadap pertanyaan anggota DPR sebagaimana
      dimaksud dalam Pasal 191 ayat (2) disampaikan secara
      lisan atau tertulis oleh Presiden.

(2)   Penyampaian jawaban oleh Presiden sebagaimana
      dimaksud pada ayat (1) dapat diwakilkan kepada menteri
      atau pejabat yang ditunjuk.


                       Paragraf 3
            Hak Menyampaikan Usul dan Pendapat

                             Pasal 193

(1)   Anggota DPR berhak menyampaikan usul dan pendapat
      mengenai suatu hal, baik yang sedang dibicarakan
      maupun yang tidak dibicarakan dalam rapat.

(2)   Tata cara penyampaian usul dan pendapat dilaksanakan
      sesuai dengan ketentuan mengenai hak mengajukan
      pertanyaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 191.

                                           (3) Ketentuan . . .
                    - 79 -

(3)   Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penyampaian
      usul dan pendapat sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
      dan ayat (2) diatur dengan peraturan DPR tentang
      tata tertib.

                        Paragraf 4
                   Hak Memilih dan Dipilih

                             Pasal 194

(1)   Anggota DPR mempunyai hak memilih dan dipilih untuk
      menduduki jabatan tertentu pada alat kelengkapan DPR.

(2)   Ketentuan mengenai tata cara pelaksanaan hak memilih
      dan dipilih sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur
      dengan peraturan DPR tentang tata tertib.


                         Paragraf 5
                      Hak Membela Diri

                             Pasal 195

(1)   Anggota DPR yang diduga melakukan pelanggaran
      sumpah/janji, kode etik, dan/atau tidak melaksanakan
      kewajiban sebagai anggota diberi kesempatan untuk
      membela diri dan/atau memberikan keterangan kepada
      Badan Kehormatan.

(2)   Ketentuan mengenai tata cara membela diri dan/atau
      memberikan keterangan sebagaimana dimaksud pada
      ayat (1) diatur dengan peraturan DPR tentang tata
      beracara Badan Kehormatan.


                         Paragraf 6
                        Hak Imunitas

                             Pasal 196

(1)   Anggota DPR mempunyai hak imunitas.

(2)   Anggota DPR tidak dapat dituntut di depan pengadilan
      karena pernyataan, pertanyaan, dan/atau pendapat yang
      dikemukakannya baik secara lisan maupun tertulis di
      dalam rapat DPR ataupun di luar rapat DPR yang
      berkaitan dengan fungsi serta tugas dan wewenang DPR.


                                             (3) Anggota . . .
                    - 80 -

(3)   Anggota DPR tidak dapat diganti antarwaktu karena
      pernyataan, pertanyaan, dan/atau pendapat yang
      dikemukakannya baik di dalam rapat DPR maupun di
      luar rapat DPR yang berkaitan dengan fungsi serta tugas
      dan wewenang DPR.

(4)   Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak
      berlaku   dalam    hal   anggota   yang    bersangkutan
      mengumumkan materi yang telah disepakati dalam rapat
      tertutup untuk dirahasiakan atau hal lain yang dimaksud
      dalam ketentuan mengenai rahasia negara sesuai dengan
      ketentuan peraturan perundang-undangan.

                          Paragraf 7
                        Hak Protokoler
                             Pasal 197

(1)   Pimpinan dan anggota DPR mempunyai hak protokoler.

(2)   Ketentuan mengenai tata cara pelaksanaan hak
      protokoler sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur
      dalam peraturan perundang-undangan.


                        Paragraf 8
               Hak Keuangan dan Administratif

                             Pasal 198

(1)   Pimpinan dan anggota DPR mempunyai hak keuangan
      dan administratif.

(2)   Hak keuangan dan administratif pimpinan dan anggota
      DPR sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disusun oleh
      pimpinan DPR dan diatur sesuai dengan ketentuan
      peraturan perundang-undangan.

                     Bagian Kedua Belas
           Persidangan dan Pengambilan Keputusan

                          Paragraf 1
                         Persidangan

                             Pasal 199

(1)   Tahun sidang DPR dimulai pada tanggal 16 Agustus dan
      diakhiri pada tanggal 15 Agustus tahun berikutnya dan

                                                 apabila . . .
                     - 81 -

      apabila tanggal 16 Agustus jatuh pada hari libur,
      pembukaan tahun sidang dilakukan pada hari kerja
      sebelumnya.

(2)   Khusus pada awal masa jabatan keanggotaan, tahun
      sidang DPR dimulai pada saat pengucapan sumpah/janji
      anggota.

(3)   Tahun sidang dibagi dalam 4 (empat) masa persidangan.

(4)   Masa persidangan meliputi masa sidang dan masa reses,
      kecuali pada persidangan terakhir dari satu periode
      keanggotaan DPR, masa reses ditiadakan.

(5)   Sebelum     pembukaan    tahun   sidang   sebagaimana
      dimaksud pada ayat (1), anggota DPR dan anggota DPD
      mendengarkan pidato kenegaraan Presiden dalam sidang
      bersama yang diselenggarakan oleh DPR atau DPD secara
      bergantian.


                              Pasal 200

Semua rapat di DPR pada dasarnya bersifat terbuka, kecuali
rapat tertentu yang dinyatakan tertutup.


                              Pasal 201

Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara persidangan dan
rapat diatur dengan peraturan DPR tentang tata tertib.


                          Paragraf 2
                    Pengambilan Keputusan

                              Pasal 202


(1)   Pengambilan keputusan dalam rapat DPR pada dasarnya
      dilakukan dengan cara musyawarah untuk mufakat.

(2)   Apabila cara pengambilan keputusan sebagaimana
      dimaksud pada ayat (1) tidak tercapai, keputusan diambil
      berdasarkan suara terbanyak.


                                                Pasal 203 . . .
                     - 82 -

                              Pasal 203

(1)   Setiap rapat atau sidang DPR dapat             mengambil
      keputusan apabila memenuhi kuorum.

(2)   Kuorum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terpenuhi
      apabila rapat dihadiri oleh lebih dari 1/2 (satu perdua)
      jumlah anggota rapat dan terdiri atas lebih dari 1/2 (satu
      perdua) jumlah fraksi, kecuali dalam rapat pengambilan
      keputusan terhadap pelaksanaan hak menyatakan
      pendapat.

(3)   Apabila kuorum sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
      tidak terpenuhi, rapat ditunda paling banyak 2 (dua) kali
      dengan tenggang waktu masing-masing tidak lebih dari
      24 (dua puluh empat) jam.

(4)   Setelah 2 (dua) kali penundaan, kuorum sebagaimana
      dimaksud pada ayat (2) belum juga terpenuhi, cara
      penyelesaiannya diserahkan kepada pimpinan DPR.

                              Pasal 204

Setiap keputusan rapat DPR, baik berdasarkan musyawarah
untuk mufakat maupun berdasarkan suara terbanyak bersifat
mengikat bagi semua pihak yang terkait dalam pengambilan
keputusan.

                              Pasal 205

Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengambilan
keputusan diatur dengan peraturan DPR tentang tata tertib.

                      Bagian Ketiga Belas
                   Tata Tertib dan Kode Etik

                              Paragraf 1
                              Tata Tertib

                              Pasal 206

(1)   Tata tertib DPR ditetapkan oleh DPR dengan berpedoman
      pada peraturan perundang-undangan.

(2)   Tata tertib sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku
      di lingkungan internal DPR.


                                                    (3) Tata . . .
                       - 83 -

(3) Tata tertib DPR paling sedikit memuat ketentuan tentang:
      a. pengucapan sumpah/janji;
      b. penetapan pimpinan;
      c. pemberhentian dan penggantian pimpinan;
      d. jenis dan penyelenggaraan persidangan atau rapat;
      e. pelaksanaan fungsi, tugas dan wewenang lembaga,
         serta hak dan kewajiban anggota;
      f.   pembentukan, susunan, serta tugas dan wewenang
           alat kelengkapan;
      g. penggantian antarwaktu anggota;
      h. pengambilan keputusan;
      i.   pelaksanaan konsultasi antara legislatif dan eksekutif;
      j.   penerimaan pengaduan          dan   penyaluran   aspirasi
           masyarakat;
      k. pelaksanaan tugas kelompok pakar/ahli; dan
      l.   mekanisme keterlibatan dan partisipasi masyarakat
           dalam pelaksanaan fungsi legislasi, anggaran, dan
           pengawasan.


                                Paragraf 2
                                Kode Etik

                                Pasal 207

DPR menyusun kode etik yang berisi norma yang wajib
dipatuhi     oleh setiap anggota  selama   menjalankan
tugasnya untuk menjaga martabat, kehormatan, citra, dan
kredibilitas DPR.

                       Bagian Keempat Belas
                       Larangan dan Sanksi

                                Paragraf 1
                                Larangan

                                Pasal 208

(1)   Anggota DPR dilarang merangkap jabatan sebagai:
      a. pejabat negara lainnya;
      b. hakim pada badan peradilan; atau


                                                    c. pegawai . . .
                    - 84 -

      c. pegawai negeri sipil, anggota Tentara Nasional
         Indonesia/Kepolisian Negara Republik Indonesia,
         pegawai pada badan usaha milik negara, badan usaha
         milik daerah, atau badan lain yang anggarannya
         bersumber dari APBN/APBD.

(2)   Anggota DPR dilarang melakukan pekerjaan sebagai
      pejabat struktural pada lembaga pendidikan swasta,
      akuntan publik, konsultan, advokat atau pengacara,
      notaris, dan pekerjaan lain yang ada hubungannya
      dengan tugas dan wewenang DPR serta hak sebagai
      anggota DPR.

(3)   Anggota DPR dilarang melakukan korupsi, kolusi, dan
      nepotisme, serta dilarang menerima gratifikasi.


                             Paragraf 2
                              Sanksi

                             Pasal 209

(1)   Anggota DPR yang tidak melaksanakan kewajiban
      sebagaimana dimaksud dalam Pasal 79 dikenai sanksi
      berdasarkan keputusan Badan Kehormatan.

(2)   Anggota DPR yang terbukti melanggar ketentuan
      sebagaimana dimaksud dalam Pasal 208 ayat (1)
      dan/atau ayat (2) dikenai sanksi pemberhentian sebagai
      anggota DPR.

(3)   Anggota DPR yang terbukti melanggar ketentuan
      sebagaimana dimaksud dalam Pasal 208 ayat (3)
      berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh
      kekuatan hukum tetap dikenai sanksi pemberhentian
      sebagai anggota DPR.


                             Pasal 210

Jenis sanksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 209 ayat (1)
berupa:
a. teguran lisan;
b. teguran tertulis; dan/atau
c. diberhentikan dari pimpinan pada alat kelengkapan.


                                               Pasal 211 . . .
                     - 85 -


                              Pasal 211

Setiap orang, kelompok, atau organisasi dapat mengajukan
pengaduan kepada Badan Kehormatan DPR dalam hal
memiliki bukti yang cukup bahwa terdapat anggota DPR yang
tidak melaksanakan salah satu kewajiban atau lebih
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 79 dan/atau melanggar
ketentuan larangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 208.


                              Pasal 212

Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengaduan
masyarakat dan penjatuhan sanksi diatur dengan peraturan
DPR tentang tata beracara Badan Kehormatan.



                     Bagian Kelima Belas
      Pemberhentian Antarwaktu, Penggantian Antarwaktu,
                dan Pemberhentian Sementara

                         Paragraf 1
                  Pemberhentian Antarwaktu

                              Pasal 213

(1)   Anggota DPR berhenti antarwaktu karena:
      a. meninggal dunia;
      b. mengundurkan diri; atau
      c. diberhentikan.

(2)   Anggota DPR diberhentikan antarwaktu sebagaimana
      dimaksud pada ayat (1) huruf c, apabila:
      a. tidak dapat melaksanakan tugas secara berkelanjutan
         atau berhalangan tetap sebagai anggota DPR selama
         3 (tiga) bulan berturut-turut tanpa keterangan apa
         pun;
      b. melanggar sumpah/janji jabatan dan kode etik DPR;
      c. dinyatakan bersalah berdasarkan putusan pengadilan
         yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap karena
         melakukan tindak pidana yang diancam dengan
         pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih;

                                                d. tidak . . .
                     - 86 -

      d. tidak menghadiri rapat paripurna dan/atau rapat alat
         kelengkapan    DPR     yang   menjadi   tugas   dan
         kewajibannya sebanyak 6 (enam) kali berturut-turut
         tanpa alasan yang sah;
      e. diusulkan oleh partai politiknya         sesuai   dengan
         peraturan perundang-undangan;
      f. tidak lagi memenuhi syarat sebagai calon anggota DPR
         sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
         undangan mengenai pemilihan umum anggota DPR,
         DPD, dan DPRD;
      g. melanggar ketentuan larangan sebagaimana diatur
         dalam Undang-Undang ini;
      h. diberhentikan sebagai anggota partai politik sesuai
         dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;
         atau
      i. menjadi anggota partai politik lain.

                              Pasal 214

(1)   Pemberhentian anggota DPR sebagaimana dimaksud
      dalam Pasal 213 ayat (1) huruf a dan huruf b serta pada
      ayat (2) huruf c, huruf e, huruf h, dan huruf i diusulkan
      oleh pimpinan partai politik kepada pimpinan DPR
      dengan tembusan kepada Presiden.

(2)   Paling lama 7 (tujuh) hari sejak diterimanya usulan
      pemberhentian sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
      pimpinan DPR menyampaikan usul pemberhentian
      anggota DPR kepada Presiden untuk memperoleh
      peresmian pemberhentian.

(3)   Presiden    meresmikan   pemberhentian    sebagaimana
      dimaksud pada ayat (2) paling lama 14 (empat belas) hari
      sejak diterimanya usul pemberhentian anggota DPR dari
      pimpinan DPR.

                              Pasal 215

(1)   Pemberhentian anggota DPR sebagaimana dimaksud
      dalam Pasal 213 ayat (2) huruf a, huruf b, huruf d,
      huruf f, dan huruf g, dilakukan setelah adanya hasil
      penyelidikan dan verifikasi yang dituangkan dalam
      keputusan Badan Kehormatan DPR atas pengaduan dari
      pimpinan DPR, masyarakat, dan/atau pemilih.

                                                (2) Keputusan . . .
                     - 87 -

(2)   Keputusan      Badan     Kehormatan   DPR    mengenai
      pemberhentian anggota DPR sebagaimana dimaksud pada
      ayat (1) dilaporkan oleh Badan Kehormatan kepada rapat
      paripurna.

(3)   Paling lama 7 (tujuh) hari sejak keputusan Badan
      Kehormatan DPR yang telah dilaporkan dalam rapat
      paripurna sebagaimana dimaksud pada ayat (2),
      pimpinan   DPR   menyampaikan   keputusan    Badan
      Kehormatan DPR kepada pimpinan partai politik yang
      bersangkutan.

(4)   Pimpinan     partai   politik    yang    bersangkutan
      menyampaikan     keputusan    tentang  pemberhentian
      anggotanya kepada pimpinan DPR, paling lambat 30 (tiga
      puluh) hari sejak diterimanya keputusan Badan
      Kehormatan DPR sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
      dari pimpinan DPR.

(5)   Dalam hal pimpinan partai politik sebagaimana dimaksud
      pada   ayat     (3)  tidak    memberikan      keputusan
      pemberhentian sebagaimana dimaksud pada ayat (4),
      pimpinan    DPR     meneruskan       keputusan    Badan
      Kehormatan DPR sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
      kepada    Presiden   untuk     memperoleh     peresmian
      pemberhentian.

(6)   Presiden    meresmikan   pemberhentian    sebagaimana
      dimaksud pada ayat (5) paling lama 14 (empat belas) hari
      sejak diterimanya keputusan Badan Kehormatan DPR
      atau keputusan pimpinan partai politik tentang
      pemberhentian anggotanya dari pimpinan DPR.


                              Pasal 216

(1)   Dalam hal pelaksanaan penyelidikan dan verifikasi
      sebagaimana dimaksud dalam Pasal 215 ayat (1), Badan
      Kehormatan DPR dapat meminta bantuan dari ahli
      independen.

(2)   Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penyelidikan,
      verifikasi, dan pengambilan keputusan oleh Badan
      Kehormatan DPR diatur dengan peraturan DPR tentang
      tata beracara Badan Kehormatan.


                                                Paragraf 2 . . .
                     - 88 -


                         Paragraf 2
                   Penggantian Antarwaktu

                              Pasal 217

(1)   Anggota DPR yang berhenti antarwaktu sebagaimana
      dimaksud dalam Pasal 214 ayat (1) dan Pasal 215 ayat (1)
      digantikan oleh calon anggota DPR yang memperoleh
      suara terbanyak urutan berikutnya dalam daftar
      peringkat perolehan suara dari partai politik yang sama
      pada daerah pemilihan yang sama.

(2)   Dalam hal calon anggota DPR yang memperoleh suara
      terbanyak urutan berikutnya sebagaimana dimaksud
      pada ayat (1) meninggal dunia, mengundurkan diri, atau
      tidak lagi memenuhi syarat sebagai calon anggota DPR,
      anggota DPR sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
      digantikan oleh calon anggota DPR yang memperoleh
      suara terbanyak urutan berikutnya dari partai politik
      yang sama pada daerah pemilihan yang sama.

(3)   Masa jabatan anggota         DPR pengganti antarwaktu
      melanjutkan sisa masa        jabatan anggota DPR yang
      digantikannya.


                              Pasal 218

(1)   Pimpinan DPR menyampaikan nama anggota DPR yang
      diberhentikan antarwaktu dan meminta nama calon
      pengganti antarwaktu kepada KPU.

(2)   KPU menyampaikan nama calon pengganti antarwaktu
      berdasarkan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam
      Pasal 217 ayat (1) dan ayat (2) kepada pimpinan DPR
      paling lambat 5 (lima) hari sejak diterimanya surat
      pimpinan DPR.

(3)   Paling lambat 7 (tujuh) hari sejak menerima nama calon
      pengganti antarwaktu dari KPU sebagaimana dimaksud
      pada ayat (2), Pimpinan DPR menyampaikan nama
      anggota DPR yang diberhentikan dan nama calon
      pengganti antarwaktu kepada Presiden.


                                                (4) Paling . . .
                    - 89 -

(4)   Paling lambat 14 (empat belas) hari sejak menerima nama
      anggota DPR yang diberhentikan dan nama calon
      pengganti antarwaktu dari pimpinan DPR sebagaimana
      dimaksud    pada    ayat   (3),  Presiden    meresmikan
      pemberhentian dan pengangkatannya dengan keputusan
      Presiden.

(5)   Sebelum memangku jabatannya, anggota DPR pengganti
      antarwaktu sebagaimana dimaksud pada ayat (3)
      mengucapkan sumpah/janji yang dipandu oleh pimpinan
      DPR, dengan tata cara dan teks sumpah/janji
      sebagaimana diatur dalam Pasal 75 dan Pasal 76.

(6)   Penggantian antarwaktu anggota DPR tidak dilaksanakan
      apabila sisa masa jabatan anggota DPR yang digantikan
      kurang dari 6 (enam) bulan.


                         Paragraf 3
                  Pemberhentian Sementara

                             Pasal 219

(1) Anggota DPR diberhentikan sementara karena:
      a. menjadi terdakwa dalam perkara tindak pidana umum
         yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun
         atau lebih; atau
      b. menjadi terdakwa      dalam     perkara   tindak   pidana
         khusus.

(2)   Dalam hal anggota DPR dinyatakan terbukti bersalah
      karena melakukan tindak pidana sebagaimana dimaksud
      pada ayat (1) huruf a atau huruf b berdasarkan putusan
      pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum
      tetap, anggota DPR yang bersangkutan diberhentikan
      sebagai anggota DPR.

(3)   Dalam hal anggota DPR dinyatakan tidak terbukti
      melakukan tindak pidana sebagaimana dimaksud pada
      ayat (1) huruf a atau huruf b berdasarkan putusan
      pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum
      tetap, anggota DPR yang bersangkutan diaktifkan.

(4)   Anggota DPR yang diberhentikan           sementara,    tetap
      mendapatkan hak keuangan tertentu.


                                               (5) Ketentuan . . .
                    - 90 -


(5)   Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemberhentian
      sementara diatur dengan peraturan DPR tentang tata
      tertib.


                     Bagian Keenam Belas
                          Penyidikan

                             Pasal 220

(1)   Pemanggilan      dan    permintaan keterangan untuk
      penyidikan terhadap anggota DPR yang diduga
      melakukan tindak pidana harus mendapat persetujuan
      tertulis dari Presiden.

(2)   Dalam hal persetujuan tertulis sebagaimana dimaksud
      pada ayat (1) tidak diberikan oleh Presiden dalam waktu
      paling lambat 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak
      diterimanya permohonan, proses pemanggilan dan
      permintaan keterangan untuk penyidikan sebagaimana
      dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan.

(3)   Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak
      berlaku apabila anggota DPR:
      a. tertangkap tangan melakukan tindak pidana;
      b. disangka melakukan tindak pidana kejahatan yang
         diancam dengan pidana mati atau pidana seumur
         hidup atau tindak pidana kejahatan terhadap
         kemanusiaan dan keamanan negara berdasarkan
         bukti permulaan yang cukup; atau
      c. disangka melakukan tindak pidana khusus.


                              BAB IV
                               DPD

                       Bagian Kesatu
                   Susunan dan Kedudukan

                             Pasal 221

DPD terdiri atas wakil daerah provinsi yang dipilih melalui
pemilihan umum.


                                                Pasal 222 . . .
                    - 91 -




                             Pasal 222

DPD    merupakan   lembaga    perwakilan     daerah     yang
berkedudukan sebagai lembaga negara.



                        Bagian Kedua
                           Fungsi

                             Pasal 223

(1) DPD mempunyai fungsi:
      a. pengajuan usul kepada DPR mengenai rancangan
         undang-undang yang berkaitan dengan otonomi
         daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan
         dan    pemekaran  serta  penggabungan   daerah,
         pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya
         ekonomi lainnya, serta yang berkaitan dengan
         perimbangan keuangan pusat dan daerah;
      b. ikut dalam pembahasan rancangan undang-undang
         yang berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan
         pusat dan daerah, pembentukan, pemekaran dan
         penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam
         dan sumber daya ekonomi lainnya, serta perimbangan
         keuangan pusat dan daerah;
      c. pemberian pertimbangan kepada DPR atas rancangan
         undang-undang tentang anggaran pendapatan dan
         belanja negara dan rancangan undang-undang yang
         berkaitan dengan pajak, pendidikan, dan agama; dan
      d. pengawasan    atas   pelaksanaan   undang-undang
         mengenai otonomi daerah, pembentukan, pemekaran
         dan penggabungan daerah, hubungan pusat dan
         daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber
         daya ekonomi lainnya, pelaksanaan APBN, pajak,
         pendidikan, dan agama.

(2)   Fungsi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dijalankan
      dalam kerangka perwakilan daerah.


                                           Bagian Ketiga . . .
                     - 92 -



                         Bagian Ketiga
                      Tugas dan Wewenang

                              Pasal 224

(1)   DPD mempunyai tugas dan wewenang:
      a. dapat mengajukan kepada DPR rancangan undang-
         undang yang berkaitan dengan otonomi daerah,
         hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan
         pemekaran serta penggabungan daerah, pengelolaan
         sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya,
         serta yang berkaitan dengan perimbangan keuangan
         pusat dan daerah;
      b. ikut membahas bersama DPR dan Presiden rancangan
         undang-undang    yang   berkaitan   dengan   hal
         sebagaimana dimaksud dalam huruf a;
      c. ikut membahas bersama DPR dan Presiden rancangan
         undang-undang yang diajukan oleh Presiden atau
         DPR, yang berkaitan dengan hal sebagaimana
         dimaksud dalam huruf a;
      d. memberikan     pertimbangan   kepada DPR  atas
         rancangan undang-undang tentang APBN dan
         rancangan undang-undang yang berkaitan dengan
         pajak, pendidikan, dan agama;
      e. dapat melakukan pengawasan atas pelaksanaan
         undang-undang     mengenai      otonomi     daerah,
         pembentukan, pemekaran, dan penggabungan daerah,
         hubungan pusat dan daerah, pengelolaan sumber
         daya alam, dan sumber daya ekonomi lainnya,
         pelaksanaan APBN, pajak, pendidikan, dan agama;
      f.   menyampaikan hasil pengawasan atas pelaksanaan
           undang-undang     mengenai      otonomi   daerah,
           pembentukan, pemekaran, dan penggabungan daerah,
           hubungan pusat dan daerah, pengelolaan sumber
           daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya,
           pelaksanaan    undang-undang        APBN,  pajak,
           pendidikan, dan agama kepada DPR sebagai bahan
           pertimbangan untuk ditindaklanjuti;
      g. menerima hasil pemeriksaan atas keuangan negara
         dari BPK sebagai bahan membuat pertimbangan
         kepada DPR tentang rancangan undang-undang yang
         berkaitan dengan APBN;

                                           h. memberikan . . .
                     - 93 -

      h. memberikan pertimbangan          kepada   DPR   dalam
         pemilihan anggota BPK; dan
      i.   ikut serta dalam penyusunan program legislasi
           nasional yang berkaitan dengan otonomi daerah,
           hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan
           pemekaran serta penggabungan daerah, pengelolaan
           sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya,
           serta yang berkaitan dengan perimbangan keuangan
           pusat dan daerah.

(2)   Dalam menjalankan tugas pengawasan sebagaimana
      dimaksud pada ayat (1) huruf e, anggota DPD dapat
      melakukan rapat dengan pemerintah daerah, DPRD, dan
      unsur masyarakat di daerah pemilihannya.


                              Pasal 225

(1)   Dalam melaksanakan tugas dan wewenang sebagaimana
      dimaksud dalam Pasal 224, DPD menyusun anggaran
      yang dituangkan dalam program dan kegiatan sesuai
      dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

(2)   Dalam    menyusun   program   dan    kegiatan DPD
      sebagaimana dimaksud pada ayat (1), untuk memenuhi
      kebutuhannya, DPD dapat menyusun standar biaya
      khusus dan mengajukannya kepada Pemerintah untuk
      dibahas bersama.

(3)   Pengelolaan anggaran DPD sebagaimana dimaksud pada
      ayat (1) dilaksanakan oleh Sekretariat Jenderal DPD di
      bawah pengawasan Panitia Urusan Rumah Tangga sesuai
      dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

(4)   DPD menetapkan pertanggungjawaban pengelolaan
      anggaran DPD dalam peraturan DPD sesuai dengan
      ketentuan peraturan perundang-undangan.

(5)   DPD melaporkan pengelolaan anggaran sebagaimana
      dimaksud pada ayat (3) kepada publik dalam laporan
      kinerja tahunan.


                              Pasal 226

Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan tugas dan
wewenang DPD sebagaimana dimaksud dalam Pasal 224
diatur dengan peraturan DPD tentang tata tertib.

                                            Bagian Keempat . . .
                     - 94 -

                        Bagian Keempat
                         Keanggotaan

                              Pasal 227

(1)   Anggota DPD dari setiap provinsi ditetapkan sebanyak
      4 (empat) orang.

(2)   Jumlah anggota DPD tidak lebih dari 1/3 (satu pertiga)
      jumlah anggota DPR.

(3)   Keanggotaan    DPD       diresmikan     dengan    keputusan
      Presiden.

(4)   Anggota DPD dalam menjalankan tugasnya berdomisili di
      daerah pemilihannya dan mempunyai kantor di ibu kota
      provinsi daerah pemilihannya.

(5)   Masa jabatan anggota DPD adalah 5 (lima) tahun dan
      berakhir pada saat anggota DPD yang baru mengucapkan
      sumpah/janji.

                              Pasal 228

(1)   Anggota    DPD   sebelum   memangku     jabatannya
      mengucapkan sumpah/janji secara bersama-sama yang
      dipandu oleh Ketua Mahkamah Agung dalam sidang
      paripurna DPD.

(2)   Anggota    DPD    yang   berhalangan   mengucapkan
      sumpah/janji bersama-sama sebagaimana dimaksud
      pada ayat (1) mengucapkan sumpah/janji yang dipandu
      oleh pimpinan DPD.

(3)   Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengucapan
      sumpah/janji sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan
      ayat (2) diatur dengan peraturan DPD tentang tata tertib.


                              Pasal 229

Sumpah/janji sebagaimana          dimaksud      dalam   Pasal   228
sebagai berikut:
"Demi Allah (Tuhan) saya bersumpah/berjanji:
bahwa saya akan memenuhi kewajiban saya sebagai
anggota/ketua/wakil ketua Dewan Perwakilan Daerah dengan
sebaik-baiknya dan seadil-adilnya, sesuai dengan peraturan


                                          perundang-undangan . . .
                   - 95 -

perundang-undangan, dengan berpedoman pada Pancasila
dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945;
bahwa saya dalam menjalankan kewajiban akan bekerja
dengan sungguh-sungguh, demi tegaknya kehidupan
demokrasi, serta mengutamakan kepentingan bangsa, negara,
dan daerah daripada kepentingan pribadi, seseorang, dan
golongan;
bahwa saya akan memperjuangkan aspirasi daerah yang saya
wakili untuk mewujudkan tujuan nasional demi kepentingan
bangsa dan Negara Kesatuan Republik Indonesia.


                            Pasal 230

(1) Di provinsi yang dibentuk setelah pelaksanaan pemilihan
    umum tidak diadakan pemilihan anggota DPD sampai
    dengan pemilihan umum berikutnya.

(2) Anggota DPD di provinsi induk juga mewakili provinsi
    yang dibentuk setelah pemilihan umum.


                       Bagian Kelima
                         Hak DPD

                            Pasal 231

DPD mempunyai hak:
a.   mengajukan rancangan undang-undang yang berkaitan
     dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah,
     pembentukan dan pemekaran serta penggabungan
     daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya
     ekonomi    lainnya,  serta  yang   berkaitan dengan
     perimbangan keuangan pusat dan daerah;
b.   ikut   membahas     rancangan   undang-undang    yang
     berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan
     daerah, pembentukan, pemekaran, dan penggabungan
     daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya
     ekonomi lainnya, serta perimbangan keuangan pusat dan
     daerah;
c.   memberikan    pertimbangan    kepada    DPR     dalam
     pembahasan    rancangan     undang-undang     tentang
     anggaran pendapatan dan belanja negara dan rancangan

                                        undang-undang . . .
                   - 96 -

     undang-undang yang berkaitan dengan pajak, pendidikan,
     dan agama;
d.   melakukan pengawasan atas pelaksanaan undang-
     undang mengenai otonomi daerah, pembentukan,
     pemekaran, dan penggabungan daerah, hubungan pusat
     dan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber
     daya ekonomi lainnya, pelaksanaan APBN, pajak,
     pendidikan, dan agama.



                      Bagian Keenam
                 Hak dan Kewajiban Anggota

                           Paragraf 1
                          Hak Anggota

                            Pasal 232

Anggota DPD mempunyai hak:
a. bertanya;
b. menyampaikan usul dan pendapat;
c. memilih dan dipilih;
d. membela diri;
e. imunitas;
f. protokoler; dan dan
g. keuangan dan administratif.


                        Paragraf 2
                     Kewajiban Anggota

                            Pasal 233

Anggota DPD mempunyai kewajiban:
a. memegang teguh dan mengamalkan Pancasila;
b. melaksanakan Undang-Undang Dasar Negara Republik
   Indonesia  Tahun    1945 dan  menaati  peraturan
   perundang-undangan;
c. mempertahankan dan memelihara kerukunan nasional
   dan keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia;


                                         d. mendahulukan . . .
                      - 97 -

 d. mendahulukan kepentingan negara di atas kepentingan
    pribadi, kelompok, golongan, dan daerah;
 e. menaati prinsip demokrasi               dalam   penyelenggaraan
    pemerintahan negara;
 f.   menaati tata tertib dan kode etik;
 g. menjaga etika dan norma dalam hubungan kerja dengan
    lembaga lain;
 h. menampung    dan    menindaklanjuti              aspirasi   dan
    pengaduan masyarakat; dan
 i.   memberikan pertanggungjawaban secara moral dan
      politis kepada masyarakat di daerah yang diwakilinya.



                           Bagian Ketujuh
                          Alat Kelengkapan

                               Pasal 234

 (1) Alat kelengkapan DPD terdiri atas:
      a. pimpinan;
      b. Panitia Musyawarah;
      c. panitia kerja;
      d. Panitia Perancang Undang-Undang;
      e. Panitia Urusan Rumah Tangga;
      f. Badan Kehormatan; dan
      g. alat kelengkapan lain yang diperlukan dan dibentuk
         oleh rapat paripurna.

(2)   Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pembentukan,
      susunan, serta tugas dan wewenang alat kelengkapan
      DPD diatur dengan peraturan DPD tentang tata tertib.


                               Paragraf 1
                               Pimpinan

                               Pasal 235

(1)   Pimpinan DPD terdiri atas 1 (satu) orang ketua dan
      2 (dua) orang wakil ketua yang dipilih dari dan oleh
      anggota DPD dalam sidang paripurna DPD.

                                                      (2) Dalam . . .
                      - 98 -


(2)   Dalam hal pimpinan DPD sebagaimana dimaksud pada
      ayat (1) belum terbentuk, DPD dipimpin oleh pimpinan
      sementara DPD.

(3)   Pimpinan sementara DPD sebagaimana dimaksud pada
      ayat (2) terdiri atas 1 (satu) orang ketua sementara dan
      1 (satu) orang wakil ketua sementara yang merupakan
      anggota tertua dan anggota termuda usianya.

(4)   Dalam hal anggota tertua dan/atau anggota termuda
      sebagaimana dimaksud pada ayat (3) berhalangan,
      sebagai penggantinya adalah anggota tertua dan/atau
      anggota termuda berikutnya.

(5)   Ketua dan wakil          ketua   DPD   diresmikan   dengan
      keputusan DPD.

(6)   Pimpinan  DPD    sebelum   memangku     jabatannya
      mengucapkan sumpah/janji yang teksnya sebagaimana
      dimaksud dalam Pasal 229 yang dipandu oleh Ketua
      Mahkamah Agung.

(7)   Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemilihan
      pimpinan DPD diatur dengan peraturan DPD tentang tata
      tertib.


                               Pasal 236

(1)   Pimpinan DPD bertugas:
      a. memimpin sidang DPD dan menyimpulkan hasil
         sidang untuk diambil keputusan;
      b. menyusun rencana kerja pimpinan;
      c. menjadi juru bicara DPD;
      d. melaksanakan      dan     memasyarakatkan    keputusan
         DPD;
      e. mengadakan konsultasi dengan Presiden dan
         pimpinan lembaga negara lainnya sesuai dengan
         keputusan DPD;
      f.   mewakili DPD di pengadilan;
      g. melaksanakan keputusan DPD berkenaan dengan
         penetapan sanksi atau rehabilitasi anggota sesuai
         dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;


                                              h. menetapkan . . .
                      - 99 -

      h. menetapkan arah dan kebijakan umum anggaran
         DPD; dan
      i.   menyampaikan    laporan   kinerja  dalam    sidang
           paripurna DPD yang khusus diadakan untuk itu.

(2)   Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pelaksanaan
      tugas pimpinan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
      diatur dengan peraturan DPD tentang tata tertib.


                            Paragraf 2
                       Panitia Musyawarah

                               Pasal 237

Panitia Musyawarah dibentuk oleh DPD dan merupakan alat
kelengkapan DPD yang bersifat tetap.

                               Pasal 238

(1)   Panitia Musyawarah bertugas menetapkan jadwal dan
      acara persidangan.

(2)   Apabila Panitia Musyawarah tidak dapat mengadakan
      rapat untuk menetapkan jadwal dan acara sebagaimana
      dimaksud pada ayat (1), pimpinan DPD dapat
      menetapkan jadwal dan acara tersebut.

(3)   Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pembentukan
      dan mekanisme kerja Panitia Musyawarah diatur dengan
      peraturan DPD tentang tata tertib.
      Disetujui, Timus 24 Juni 2009

                            Paragraf 3
                           Panitia Kerja

                               Pasal 239

(1)   Panitia kerja dibentuk oleh DPD dan merupakan alat
      kelengkapan DPD yang bersifat tetap.

(2)   Keanggotaan panitia kerja ditetapkan oleh sidang
      paripurna DPD pada permulaan masa kegiatan DPD dan
      pada    setiap permulaan   tahun   sidang,  kecuali
      pada permulaan tahun sidang terakhir dari masa
      keanggotaan DPD.

(3)   Panitia kerja dipimpin oleh pimpinan panitia kerja.


                                                  Pasal 240 . . .
                    - 100 -

                              Pasal 240

(1)   Tugas panitia kerja dalam pengajuan rancangan undang-
      undang adalah mengadakan persiapan dan pembahasan
      rancangan undang-undang tertentu.

(2)   Tugas panitia kerja dalam pembahasan rancangan
      undang-undang yang berasal dari DPR atau Presiden
      adalah  melakukan   pembahasan   serta  menyusun
      pandangan dan pendapat DPD.

(3)   Tugas panitia kerja dalam pemberian pertimbangan
      adalah:
      a. melakukan      pembahasan      dan     penyusunan
         pertimbangan DPD mengenai rancangan undang-
         undang tentang APBN dan rancangan undang-undang
         yang berkaitan dengan pajak, pendidikan dan agama;
         dan
      b. menyusun pertimbangan DPD terhadap calon anggota
         BPK yang diajukan DPR.

(4)   Tugas panitia kerja di bidang pengawasan adalah:
      a. melakukan pengawasan atas pelaksanaan undang-
         undang bidang tertentu; dan
      b. membahas hasil pemeriksaan BPK.


                              Pasal 241

Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pembentukan dan
mekanisme kerja panitia kerja diatur dengan peraturan DPD
tentang tata tertib.

                          Paragraf 4
              Panitia Perancang Undang-Undang

                              Pasal 242

(1)   Panitia Perancang Undang-Undang dibentuk oleh DPD
      dan merupakan alat kelengkapan DPD yang bersifat
      tetap.

(2)   Keanggotaan     Panitia  Perancang    Undang-Undang
      ditetapkan oleh sidang paripurna DPD pada permulaan
      masa keanggotaan DPD dan pada setiap permulaan tahun
      sidang, kecuali pada permulaan tahun sidang terakhir
      masa keanggotaan DPD.

                                               (3) Panitia . . .
                    - 101 -

(3)   Panitia Perancang Undang-Undang dipimpin            oleh
      pimpinan Panitia Perancang Undang-Undang.


                              Pasal 243

Panitia Perancang Undang-Undang bertugas:
a. merencanakan dan menyusun program serta urutan
    prioritas pembahasan usul rancangan undang-undang
    untuk 1 (satu) masa keanggotaan DPD dan setiap tahun
    anggaran;
b.    membahas usul rancangan undang-undang berdasarkan
      program prioritas yang telah ditetapkan;
c.    melakukan      kegiatan     pembahasan,  harmonisasi,
      pembulatan, dan pemantapan konsepsi usul rancangan
      undang-undang yang disiapkan oleh DPD;
d.    melakukan     pembahasan,    pengubahan,  dan/atau
      penyempurnaan rancangan undang-undang yang secara
      khusus ditugaskan oleh Panitia Musyawarah dan/atau
      sidang paripurna;
e.    melakukan koordinasi, konsultasi, dan evaluasi dalam
      rangka mengikuti perkembangan materi usul rancangan
      undang-undang yang sedang dibahas oleh panitia kerja;
f.    melakukan evaluasi terhadap program penyusunan usul
      rancangan undang-undang; dan
g.    membuat laporan kinerja dan inventarisasi masalah, baik
      yang sudah maupun yang belum terselesaikan untuk
      dapat dipergunakan sebagai bahan oleh Panitia
      Perancang Undang-Undang pada masa keanggotaan
      berikutnya.

                              Pasal 244

Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pembentukan dan
mekanisme kerja Panitia Perancang Undang-Undang diatur
dengan peraturan DPD tentang tata tertib.


                          Paragraf 5
                      Badan Kehormatan

                              Pasal 245

(1)   Badan Kehormatan dibentuk oleh DPD dan merupakan
      alat kelengkapan DPD yang bersifat tetap.


                                            (2) Ketentuan . . .
                   - 102 -


(2) Ketentuan mengenai tata cara pembentukan Badan
    Kehormatan diatur dengan peraturan DPD tentang tata
    tertib.

                             Pasal 246

(1)   Badan Kehormatan bertugas melakukan penyelidikan dan
      verifikasi atas pengaduan terhadap anggota karena:
      a. tidak  melaksanakan       kewajiban    sebagaimana
         dimaksud dalam Pasal 233;
      b. tidak dapat melaksanakan tugas secara berkelanjutan
         atau berhalangan tetap sebagai anggota DPD selama
         3 (tiga) bulan berturut-turut tanpa keterangan apa
         pun;
      c. tidak menghadiri sidang paripurna dan/atau rapat
         alat kelengkapan DPD yang menjadi tugas dan
         kewajibannya sebanyak 6 (enam) kali berturut-turut
         tanpa alasan yang sah;
      d. tidak lagi memenuhi syarat sebagai calon anggota
         DPD sesuai dengan peraturan perundang-undangan
         mengenai pemilihan umum anggota DPR, DPD, dan
         DPRD; dan/atau
      e. melanggar ketentuan larangan sebagaimana diatur
         dalam Undang-Undang ini.

(2)   Selain tugas sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Badan
      Kehormatan melakukan evaluasi dan penyempurnaan
      peraturan DPD tentang tata tertib dan kode etik DPD.

(3)   Badan Kehormatan berwenang memanggil pihak terkait
      dan melakukan kerja sama dengan lembaga lain.

(4)   Badan Kehormatan membuat laporan kinerja pada akhir
      masa keanggotaan.


                             Pasal 247

Ketentuan lebih lanjut mengenai mekanisme pelaksanaan
tugas dan wewenang Badan Kehormatan diatur dengan
peraturan DPD tentang tata beracara Badan Kehormatan.

                                               Paragraf 6 . . .
                   - 103 -



                          Paragraf 6
                Panitia Urusan Rumah Tangga

                             Pasal 248

(1)   Panitia Urusan Rumah Tangga dibentuk oleh DPD dan
      merupakan alat kelengkapan DPD yang bersifat tetap.

(2)   Keanggotaan Panitia Urusan Rumah Tangga ditetapkan
      oleh sidang paripurna DPD pada permulaan masa
      kegiatan DPD dan pada setiap permulaan tahun sidang,
      kecuali pada permulaan tahun sidang terakhir dari masa
      keanggotaan DPD.

(3)   Panitia Urusan Rumah Tangga dipimpin oleh pimpinan
      Panitia Urusan Rumah Tangga.


                             Pasal 249

(1)   Panitia Urusan Rumah Tangga bertugas:
      a. membantu pimpinan DPD dalam menentukan
         kebijakan    kerumahtanggaan DPD,  termasuk
         kesejahteraan anggota dan pegawai Sekretariat
         Jenderal DPD;
      b. membantu    pimpinan    DPD   dalam     melakukan
         pengawasan terhadap pelaksanaan tugas dan
         kewajiban yang dilakukan oleh Sekretariat Jenderal
         DPD;
      c. membantu pimpinan DPD dalam merencanakan dan
         menyusun kebijakan anggaran DPD;
      d. melaksanakan tugas lain yang berhubungan dengan
         masalah kerumahtanggaan DPD yang ditugaskan oleh
         pimpinan DPD berdasarkan hasil rapat Panitia
         Musyawarah; dan
      e. menyampaikan    laporan   kinerja  dalam    sidang
         paripurna DPD yang khusus diadakan untuk itu.

(2)   Panitia  Urusan    Rumah    Tangga   dapat   meminta
      penjelasan dan data yang diperlukan kepada Sekretariat
      Jenderal DPD.

                                              (3) Panitia . . .
                     - 104 -

(3)    Panitia Urusan Rumah Tangga membuat inventarisasi
       masalah, baik yang sudah maupun yang belum
       terselesaikan untuk dapat digunakan sebagai bahan oleh
       Panitia Urusan Rumah Tangga pada masa keanggotaan
       berikutnya.

                               Pasal 250

Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pembentukan dan
mekanisme kerja Panitia Urusan Rumah Tangga diatur
dengan peraturan DPD tentang tata tertib.


                       Bagian Kedelapan
             Pelaksanaan Tugas dan Wewenang DPD

                          Paragraf 1
      Pengajuan dan Pembahasan Rancangan Undang-Undang

                               Pasal 251

(1)    DPD dapat mengajukan rancangan            undang-undang
       berdasarkan program legislasi nasional.

(2)    Rancangan undang-undang sebagaimana dimaksud pada
       ayat (1) yang disertai dengan penjelasan atau keterangan
       dan/atau naskah akademik dapat diusulkan oleh Panitia
       Perancang Undang-Undang dan/atau panitia kerja.

(3)    Usul rancangan undang-undang sebagaimana dimaksud
       pada    ayat   (2) diputuskan  menjadi  rancangan
       undang-undang yang berasal dari DPD dalam sidang
       paripurna DPD.


                               Pasal 252

(1)    Rancangan undang-undang sebagaimana dimaksud
       dalam Pasal 251 ayat (3) beserta penjelasan atau
       keterangan dan/atau naskah akademik, disampaikan
       secara tertulis kepada pimpinan DPR dengan surat
       pengantar dari pimpinan DPD.

(2)    Surat pengantar pimpinan DPD sebagaimana dimaksud
       pada ayat (1) menyebut juga Panitia Perancang Undang-
       Undang dan/atau panitia kerja yang mewakili DPD dalam
       melakukan pembahasan rancangan undang-undang
       tersebut.

                                                  Pasal 253 . . .
                    - 105 -

                              Pasal 253

(1)   DPD ikut serta membahas rancangan undang-undang
      sebagaimana dimaksud dalam Pasal 224 ayat (1) huruf a
      bersama DPR dan Presiden.

(2)   Keikutsertaan DPD dalam pembahasan sebagaimana
      dimaksud pada ayat (1) berlaku ketentuan Pasal 148,
      Pasal 149 huruf a, Pasal 150 ayat (1), Pasal 150 ayat (2)
      huruf b dan huruf d, serta Pasal 150 ayat (4) huruf b.


                              Pasal 254

Dalam hal DPD ikut membahas rancangan undang-undang
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 224 ayat (1) huruf b dan
huruf c, DPD menyampaikan pendapat dan pandangannya
dalam Pembicaraan Tingkat I sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 150 ayat (1), Pasal 150 ayat (2) huruf b dan huruf d,
serta Pasal 150 ayat (4) huruf b.


                              Pasal 255

Ketentuan lebih lanjut mengenai keikutsertaan DPD dalam
pembahasan rancangan undang-undang diatur dengan
peraturan DPD tentang tata tertib.


                         Paragraf 2
                   Pemberian Pertimbangan
             terhadap Rancangan Undang-Undang

                              Pasal 256

DPD memberikan pertimbangan terhadap rancangan undang-
undang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 224 ayat (1)
huruf d kepada pimpinan DPR.


                              Pasal 257

(1)   Terhadap rancangan undang-undang tentang APBN, DPD
      memberikan pertimbangan kepada DPR paling lambat
      14 (empat belas) hari sebelum diambil persetujuan
      bersama antara DPR dan Presiden.

                                               (2) Terhadap . . .
                    - 106 -

(2)   Terhadap rancangan undang-undang berkaitan dengan
      pajak, pendidikan, dan agama, DPD memberikan
      pertimbangan kepada DPR paling lambat 30 (tiga puluh)
      hari sejak diterimanya surat dari pimpinan DPR.

(3)   Pertimbangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
      dan ayat (2) disampaikan secara tertulis oleh pimpinan
      DPD kepada DPR setelah diputuskan dalam sidang
      paripurna DPD.

(4)   Dalam pemberian pertimbangan sebagaimana dimaksud
      pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) berlaku ketentuan
      Pasal 154.

(5)   Ketentuan lebih lanjut mengenai pemberian pertimbangan
      diatur dengan peraturan DPD tentang tata tertib.

                          Paragraf 3
      Pemberian Pertimbangan terhadap Calon Anggota BPK

                              Pasal 258

(1)   DPD memberikan pertimbangan kepada DPR mengenai
      calon anggota BPK.

(2)   Pertimbangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
      diputuskan dalam sidang paripurna DPD.

(3)   Pertimbangan sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
      disampaikan secara tertulis oleh pimpinan DPD kepada
      pimpinan DPR paling lambat 3 (tiga) hari sebelum
      pelaksanaan pemilihan anggota BPK.

(4)   Dalam pemberian pertimbangan sebagaimana dimaksud
      pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) berlaku ketentuan
      Pasal 171.

(5)   Ketentuan lebih lanjut mengenai pemberian pertimbangan
      diatur dengan peraturan DPD tentang tata tertib.

                         Paragraf 4
                Penyampaian Hasil Pengawasan

                              Pasal 259

(1)   DPD menyampaikan hasil pengawasan atas pelaksanaan
      undang-undang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 224
      ayat (1) huruf f kepada DPR sebagai bahan pertimbangan.

                                                 (2) Hasil . . .
                   - 107 -

(2)   Hasil pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
      diputuskan dalam sidang paripurna DPD.

(3)   Ketentuan lebih lanjut mengenai penyampaian hasil
      pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur
      dengan peraturan DPD tentang tata tertib.


                        Paragraf 5
             Pembahasan Hasil Pemeriksaan BPK

                             Pasal 260

(1)   DPD menerima hasil pemeriksaan keuangan negara yang
      disampaikan oleh pimpinan BPK kepada pimpinan DPD
      dalam acara yang khusus diadakan untuk itu.

(2)   DPD menugasi panitia kerja untuk membahas hasil
      pemeriksaan keuangan negara oleh BPK setelah BPK
      menyampaikan penjelasan.

(3)   Hasil pembahasan sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
      diputuskan dalam sidang paripurna DPD.

(4)   Keputusan sebagaimana dimaksud pada ayat (3)
      disampaikan kepada DPR dengan surat pengantar dari
      pimpinan DPD untuk dijadikan bahan pertimbangan
      bagi DPR.

(5)   Ketentuan lebih lanjut mengenai pembahasan hasil
      pemeriksaan keuangan negara oleh BPK diatur dengan
      peraturan DPD tentang tata tertib.


                     Bagian Kesembilan
                  Pelaksanaan Hak Anggota

                         Paragraf 1
                        Hak Bertanya

                             Pasal 261

(1)   Anggota DPD mempunyai hak bertanya.

(2) Hak bertanya sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
    dilakukan dalam sidang dan/atau rapat sesuai dengan
    tugas dan wewenang DPD sebagaimana dimaksud dalam
    Pasal 224 ayat (1) huruf e.

                                         (3) Ketentuan . . .
                   - 108 -

(3)   Ketentuan lebih lanjut mengenai hak bertanya diatur
      dengan peraturan DPD tentang tata tertib.


                       Paragraf 2
            Hak Menyampaikan Usul dan Pendapat

                             Pasal 262

(1)   Anggota DPD berhak menyampaikan usul dan pendapat
      mengenai suatu hal, baik yang sedang dibicarakan
      maupun yang tidak dibicarakan dalam rapat.

(2)   Ketentuan mengenai tata cara penyampaian usul dan
      pendapat diatur dengan peraturan DPD tentang
      tata tertib.


                        Paragraf 3
                   Hak Memilih dan Dipilih

                             Pasal 263

(1)   Anggota DPD mempunyai hak memilih dan dipilih untuk
      menduduki jabatan tertentu pada alat kelengkapan DPD.

(2)   Ketentuan mengenai tata cara pelaksanaan hak memilih
      dan dipilih sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur
      dengan peraturan DPD tentang tata tertib.



                         Paragraf 4
                      Hak Membela Diri

                             Pasal 264

(1)   Anggota DPD yang diduga melakukan pelanggaran
      sumpah/janji, kode etik, dan/atau tidak melaksanakan
      kewajiban sebagai anggota diberi kesempatan untuk
      membela diri dan/atau memberikan keterangan kepada
      Badan Kehormatan.

(2)   Ketentuan mengenai tata cara membela diri dan/atau
      memberikan keterangan sebagaimana dimaksud pada
      ayat (1) diatur dengan peraturan DPD tentang tata
      beracara Badan Kehormatan.

                                             Paragraf 5 . . .
                    - 109 -

                          Paragraf 5
                         Hak Imunitas

                              Pasal 265

(1) Anggota DPD mempunyai hak imunitas.

(2)   Anggota DPD tidak dapat dituntut di depan pengadilan
      karena pernyataan, pertanyaan, dan/atau pendapat yang
      dikemukakannya baik secara lisan maupun tertulis di
      dalam rapat DPD ataupun di luar rapat DPD yang
      berkaitan dengan fungsi serta tugas dan wewenang DPD.

(3)   Anggota DPD tidak dapat diganti antarwaktu karena
      pernyataan, pertanyaan, dan/atau pendapat yang
      dikemukakannya baik di dalam rapat DPD maupun di
      luar rapat DPD yang berkaitan dengan fungsi serta tugas
      dan wewenang DPD.

(4)   Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak
      berlaku   dalam    hal   anggota   yang    bersangkutan
      mengumumkan materi yang telah disepakati dalam rapat
      tertutup untuk dirahasiakan atau hal lain yang dimaksud
      dalam ketentuan mengenai rahasia negara sesuai dengan
      ketentuan peraturan perundang-undangan.


                          Paragraf 6
                        Hak Protokoler

                              Pasal 266

(1)   Pimpinan dan anggota DPD mempunyai hak protokoler.

(2)   Ketentuan mengenai tata cara pelaksanaan hak
      protokoler sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur
      dalam peraturan perundang-undangan.


                        Paragraf 7
               Hak Keuangan dan Administratif

                              Pasal 267

(1)   Pimpinan dan anggota DPD mempunyai hak keuangan
      dan administratif.

                                                 (2) Hak . . .
                     - 110 -



(2)    Hak keuangan dan administratif pimpinan dan anggota
       DPD sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disusun oleh
       pimpinan DPD dan diatur sesuai dengan ketentuan
       peraturan perundang-undangan.

      Disetujui, Timus 18 Juni 2009
                         Bagian Kesepuluh
              Persidangan dan Pengambilan Keputusan

                           Paragraf 1
                          Persidangan

                               Pasal 268

(1)    Tahun sidang DPD dimulai pada tanggal 16 Agustus dan
       diakhiri pada tanggal 15 Agustus tahun berikutnya, dan
       apabila tanggal 16 Agustus jatuh pada hari libur,
       pembukaan tahun sidang dilakukan pada hari kerja
       sebelumnya.
(2)    Khusus pada awal masa jabatan keanggotaan, tahun
       sidang DPD dimulai pada saat pengucapan sumpah/janji
       anggota.

(3)    Kegiatan DPD meliputi sidang DPD di ibu kota negara
       serta rapat di daerah dan tempat lain sesuai dengan
       penugasan DPD.

(4)    Sidang DPD di ibu kota negara dalam hal pengajuan dan
       pembahasan rancangan undang-undang mengikuti masa
       sidang DPR.

(5)    Sebelum     pembukaan    tahun   sidang  sebagaimana
       dimaksud pada ayat (1), anggota DPD dan anggota DPR
       mendengarkan pidato kenegaraan Presiden dalam sidang
       bersama yang diselenggarakan oleh DPD atau DPR secara
       bergantian.


                               Pasal 269

Semua rapat di DPD pada dasarnya bersifat terbuka, kecuali
rapat tertentu yang dinyatakan tertutup.


                                                Pasal 270 . . .
                    - 111 -

                              Pasal 270

Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara persidangan dan
rapat DPD diatur dengan peraturan DPD tentang tata tertib.



                          Paragraf 2
                    Pengambilan Keputusan

                              Pasal 271

(1)   Pengambilan keputusan dalam rapat/sidang DPD pada
      dasarnya dilakukan dengan cara musyawarah untuk
      mufakat.

(2)   Apabila cara pengambilan keputusan sebagaimana
      dimaksud pada ayat (1) tidak tercapai, keputusan diambil
      berdasarkan suara terbanyak.



                              Pasal 272

(1)   Setiap rapat atau sidang DPD dapat           mengambil
      keputusan apabila memenuhi kuorum.

(2)   Kuorum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terpenuhi
      apabila rapat dihadiri oleh lebih dari 1/2 (satu perdua)
      jumlah anggota rapat atau sidang.

(3)   Apabila kuorum sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
      tidak terpenuhi, rapat atau sidang ditunda paling banyak
      2 (dua) kali dengan tenggang waktu masing-masing tidak
      lebih dari 24 (dua puluh empat) jam.

(4)   Setelah 2 (dua) kali penundaan, kuorum sebagaimana
      dimaksud pada ayat (1) belum juga terpenuhi, cara
      penyelesaiannya diserahkan kepada pimpinan DPD.


                              Pasal 273


Setiap keputusan rapat DPD, baik berdasarkan musyawarah
untuk mufakat maupun berdasarkan suara terbanyak,
menjadi perhatian semua pihak yang terkait.


                                               Pasal 274 . . .
                    - 112 -



                              Pasal 274

Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengambilan
keputusan diatur dengan peraturan DPD tentang tata tertib.


                       Bagian Kesebelas
                   Tata Tertib dan Kode Etik

                          Paragraf 1
                          Tata Tertib

                              Pasal 275

(1) Tata tertib DPD ditetapkan oleh DPD dengan berpedoman
    pada ketentuan peraturan perundang-undangan.

(2) Tata tertib sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku
    di lingkungan internal DPD.

(3) Tata tertib DPD paling sedikit memuat ketentuan tentang:
    a. pengucapan sumpah/janji;
    b. pemilihan dan penetapan pimpinan;
    c. pemberhentian dan penggantian pimpinan;
    d. jenis dan penyelenggaraan persidangan atau rapat;
    e. pelaksanaan fungsi, tugas dan wewenang lembaga,
       serta hak dan kewajiban anggota;
    f.   penggantian antarwaktu anggota;
    g. pembentukan, susunan, tugas dan wewenang alat
       kelengkapan;
    h. pengambilan keputusan;
    i.   pelaksanaan konsultasi antara legislatif dan eksekutif;
    j.   penerimaan pengaduan         dan   penyaluran   aspirasi
         masyarakat;
    k. pengaturan protokoler;
    l.   pelaksanaan tugas kelompok pakar/ahli; dan
    m. mekanisme keterlibatan dan partisipasi masyarakat
       dalam pelaksanaan fungsi legislasi, anggaran, dan
       pengawasan.

                                                  Paragraf 2 . . .
                    - 113 -




                          Paragraf 2
                          Kode Etik

                              Pasal 276

DPD menyusun kode etik yang berisi norma yang wajib
dipatuhi oleh setiap anggota selama menjalankan tugasnya
untuk     menjaga   martabat,   kehormatan,  citra,  dan
kredibilitas DPD.


                      Bagian Kedua Belas
                     Larangan dan Sanksi

                          Paragraf 1
                          Larangan

                              Pasal 277

(1) Anggota DPD dilarang merangkap jabatan sebagai:
      a. pejabat negara lainnya;
      b. hakim pada badan peradilan; atau
      c. pegawai negeri sipil, anggota Tentara Nasional
         Indonesia/Kepolisian Negara Republik Indonesia,
         pegawai pada badan usaha milik negara, badan usaha
         milik daerah, atau badan lain yang anggarannya
         bersumber dari APBN/APBD.

(2)   Anggota DPD dilarang melakukan pekerjaan sebagai
      pejabat struktural pada lembaga pendidikan swasta,
      akuntan publik, konsultan, advokat atau pengacara,
      notaris, dan pekerjaan lain yang ada hubungannya
      dengan tugas dan wewenang DPD serta hak sebagai
      anggota DPD.

(3)   Anggota DPD dilarang melakukan korupsi, kolusi, dan
      nepotisme, serta dilarang menerima gratifikasi.


                                             Paragraf 2 . . .
                     - 114 -


                           Paragraf 2
                            Sanksi

                               Pasal 278

(1)   Anggota DPD yang tidak melaksanakan kewajiban
      sebagaimana dimaksud dalam Pasal 233 dikenai sanksi
      berdasarkan keputusan Badan Kehormatan.

(2)   Anggota DPD yang terbukti melanggar ketentuan
      sebagaimana dimaksud dalam Pasal 277 ayat (1)
      dan/atau ayat (2) dikenai sanksi pemberhentian sebagai
      anggota DPD.

(3)   Anggota DPD yang terbukti melanggar ketentuan
      sebagaimana dimaksud dalam Pasal 277 ayat (3)
      berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh
      kekuatan hukum tetap dikenai sanksi pemberhentian
      sebagai anggota DPD.

                               Pasal 279

 Jenis sanksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 278 ayat (1)
 berupa:
 a. teguran lisan;
 b. teguran tertulis; dan/atau
 c. diberhentikan dari pimpinan pada alat kelengkapan.



                               Pasal 280

 Setiap orang, kelompok, atau organisasi dapat mengajukan
 pengaduan kepada Badan Kehormatan DPD dalam hal
 memiliki bukti yang cukup bahwa terdapat anggota DPD yang
 tidak melaksanakan salah satu kewajiban atau lebih
 sebagaimana dimaksud dalam Pasal 233 dan/atau melanggar
 ketentuan larangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 277.


                               Pasal 281

 Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengaduan
 masyarakat dan penjatuhan sanksi diatur dengan peraturan
 DPD tentang tata beracara Badan Kehormatan.

                                           Bagian Ketiga Belas . . .
                    - 115 -

                     Bagian Ketiga Belas
      Pemberhentian Antarwaktu, Penggantian Antarwaktu,
                dan Pemberhentian Sementara

                         Paragraf 1
                  Pemberhentian Antarwaktu

                              Pasal 282

(1) Anggota DPD berhenti antarwaktu karena:
      a. meninggal dunia;
      b. mengundurkan diri; atau
      c. diberhentikan.

(2)   Anggota DPD diberhentikan antarwaktu sebagaimana
      dimaksud pada ayat (1) huruf c, apabila:
      a. tidak dapat melaksanakan tugas secara berkelanjutan
         atau berhalangan tetap sebagai anggota DPD selama
         3 (tiga) bulan berturut-turut tanpa keterangan apa
         pun;
      b. melanggar sumpah/janji jabatan dan kode etik DPD;
      c. dinyatakan bersalah berdasarkan putusan pengadilan
         yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap karena
         melakukan tindak pidana yang diancam dengan
         pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih;
      d. tidak menghadiri sidang paripurna dan/atau rapat alat
         kelengkapan    DPD     yang   menjadi   tugas    dan
         kewajibannya sebanyak 6 (enam) kali berturut-turut
         tanpa alasan yang sah;
      e. tidak memenuhi syarat sebagai calon anggota DPD
         sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
         undangan mengenai pemilihan umum anggota DPR,
         DPD, dan DPRD; atau
      f. melanggar ketentuan larangan sebagaimana diatur
         dalam Undang-Undang ini.


                              Pasal 283

(1)   Pemberhentian anggota DPD sebagaimana dimaksud
      dalam Pasal 282 ayat (1) huruf a dan huruf b serta pada
      ayat (2) huruf c diusulkan oleh pimpinan DPD yang
      diumumkan dalam sidang paripurna.

                                                (2) Paling . . .
                    - 116 -

(2)   Paling lama 7 (tujuh) hari sejak usul pimpinan DPD
      diumumkan dalam sidang paripurna sebagaimana
      dimaksud pada ayat (1), pimpinan DPD menyampaikan
      usul pemberhentian anggota DPD kepada Presiden untuk
      memperoleh peresmian pemberhentian.

(3)   Presiden    meresmikan   pemberhentian    sebagaimana
      dimaksud pada ayat (2) paling lama 14 (empat belas) hari
      sejak diterimanya usul pemberhentian anggota DPD dari
      pimpinan DPD.


                              Pasal 284

(1)   Pemberhentian anggota DPD sebagaimana dimaksud
      dalam Pasal 282 ayat (2) huruf a, huruf b, huruf d,
      huruf e, dan huruf f, dilakukan setelah adanya hasil
      penyelidikan dan verifikasi yang dituangkan dalam
      keputusan Badan Kehormatan DPD atas pengaduan dari
      pimpinan DPD, masyarakat, dan/atau pemilih.

(2)   Keputusan      Badan    Kehormatan   DPD    mengenai
      pemberhentian anggota DPD sebagaimana dimaksud pada
      ayat (1) dilaporkan oleh Badan Kehormatan DPD kepada
      sidang paripurna.

(3)   Paling lama 7 (tujuh) hari sejak keputusan Badan
      Kehormatan DPD yang telah dilaporkan dalam sidang
      paripurna sebagaimana dimaksud pada ayat (2),
      pimpinan DPD menyampaikan keputusan Badan
      Kehormatan DPD kepada Presiden untuk memperoleh
      peresmian pemberhentian.
(4)   Presiden    meresmikan   pemberhentian    sebagaimana
      dimaksud pada ayat (3) paling lama 14 (empat belas) hari
      sejak diterimanya usulan pemberhentian anggota DPD
      dari pimpinan DPD.



                              Pasal 285

(1)   Dalam hal pelaksanaan penyelidikan dan verifikasi
      sebagaimana dimaksud dalam Pasal 284 ayat (1), Badan
      Kehormatan DPD dapat meminta bantuan dari ahli
      independen.

                                             (2) Ketentuan . . .
                    - 117 -

(2)   Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penyelidikan,
      verifikasi, dan pengambilan keputusan oleh Badan
      Kehormatan DPD diatur dengan peraturan DPD tentang
      tata beracara Badan Kehormatan.


                         Paragraf 2
                   Penggantian Antarwaktu
                              Pasal 286

(1)   Anggota DPD yang berhenti antarwaktu sebagaimana
      dimaksud dalam Pasal 283 ayat (1) dan Pasal 284 ayat (1)
      digantikan oleh calon anggota DPD yang memperoleh
      suara terbanyak urutan berikutnya dalam daftar
      peringkat perolehan suara calon anggota DPD dari
      provinsi yang sama.

(2)   Dalam hal calon anggota DPD yang memperoleh suara
      terbanyak urutan berikutnya dalam daftar peringkat
      perolehan suara calon anggota DPD sebagaimana
      dimaksud pada ayat (1) meninggal dunia, mengundurkan
      diri, atau tidak lagi memenuhi syarat sebagai calon
      anggota DPD, anggota DPD sebagaimana dimaksud pada
      ayat (1) digantikan oleh calon anggota DPD yang
      memperoleh suara terbanyak urutan berikutnya.

(3)   Masa jabatan anggota DPD pengganti antarwaktu
      melanjutkan sisa masa jabatan anggota DPD yang
      digantikannya.

                              Pasal 287

(1)   Pimpinan DPD menyampaikan nama anggota DPD yang
      diberhentikan antarwaktu dan meminta nama calon
      pengganti antarwaktu kepada KPU.

(2)   KPU menyampaikan nama calon pengganti antarwaktu
      berdasarkan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam
      Pasal 286 ayat (1) dan ayat (2) kepada pimpinan DPD
      paling lambat 5 (lima) hari sejak diterimanya surat
      pimpinan DPD.

(3)   Paling lambat 7 (tujuh) hari sejak menerima nama calon
      pengganti antarwaktu dari KPU sebagaimana dimaksud
      pada ayat (2), Pimpinan DPD menyampaikan nama
      anggota DPD yang diberhentikan dan nama calon
      pengganti antarwaktu kepada Presiden.

                                                 (4) Paling . . .
                    - 118 -

(4)   Paling lambat 14 (empat belas) hari sejak menerima nama
      anggota DPD yang diberhentikan dan nama calon
      pengganti antarwaktu dari pimpinan DPD sebagaimana
      dimaksud    pada    ayat   (3),  Presiden    meresmikan
      pemberhentian dan pengangkatannya dengan keputusan
      Presiden.

(5)   Sebelum memangku jabatannya, anggota DPD pengganti
      antarwaktu sebagaimana dimaksud pada ayat (3)
      mengucapkan     sumpah/janji  yang    pengucapannya
      dipandu oleh pimpinan DPD, dengan tata cara dan teks
      sumpah/janji sebagaimana diatur dalam Pasal 228 dan
      Pasal 229.

(6)   Penggantian antarwaktu anggota DPD tidak dilaksanakan
      apabila sisa masa jabatan anggota DPD yang digantikan
      kurang dari 6 (enam) bulan.


                          Paragraf 3
                   Pemberhentian Sementara

                              Pasal 288

(1) Anggota DPD diberhentikan sementara karena:
      a. menjadi terdakwa dalam perkara tindak pidana umum
         yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun
         atau lebih; atau
      b. menjadi   terdakwa     dalam     perkara     tindak   pidana
         khusus.

(2)   Dalam hal anggota DPD dinyatakan terbukti bersalah
      karena melakukan tindak pidana sebagaimana dimaksud
      pada ayat (1) huruf a atau huruf b berdasarkan putusan
      pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum
      tetap, anggota DPD yang bersangkutan diberhentikan
      sebagai anggota DPD.

(3)   Dalam hal anggota DPD dinyatakan tidak terbukti
      melakukan tindak pidana sebagaimana dimaksud pada
      ayat (1) huruf a atau huruf b berdasarkan putusan
      pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum
      tetap, anggota DPD yang bersangkutan diaktifkan.

(4)   Anggota DPD yang diberhentikan            sementara,       tetap
      mendapatkan hak keuangan tertentu.

                                                    (5) Ketentuan . . .
                    - 119 -


(5)   Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemberhentian
      sementara diatur dengan peraturan DPD tentang tata
      tertib.


                    Bagian Keempat Belas
                         Penyidikan

                              Pasal 289

(1)   Pemanggilan      dan    permintaan keterangan untuk
      penyidikan terhadap anggota DPD yang diduga
      melakukan tindak pidana harus mendapat persetujuan
      tertulis dari Presiden.

(2)   Dalam hal persetujuan tertulis sebagaimana dimaksud
      pada ayat (1) tidak diberikan oleh Presiden dalam waktu
      paling lambat 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak
      diterimanya permohonan, proses pemanggilan dan
      permintaan keterangan untuk penyidikan sebagaimana
      dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan.

(3)   Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak
      berlaku apabila anggota DPD:
      a. tertangkap tangan melakukan tindak pidana;
      b. disangka melakukan tindak pidana kejahatan yang
         diancam dengan pidana mati atau pidana seumur
         hidup atau tindak pidana kejahatan terhadap
         kemanusiaan dan keamanan negara berdasarkan
         bukti permulaan yang cukup; atau
      c. disangka melakukan tindak pidana khusus.


                          BAB V
                       DPRD PROVINSI

                       Bagian Kesatu
                   Susunan dan Kedudukan

                              Pasal 290

DPRD provinsi terdiri atas anggota partai politik peserta
pemilihan umum yang dipilih melalui pemilihan umum.


                                                Pasal 291 . . .
                      - 120 -

                                Pasal 291

DPRD provinsi merupakan lembaga perwakilan rakyat daerah
yang    berkedudukan     sebagai unsur     penyelenggara
pemerintahan daerah provinsi.



                           Bagian Kedua
                              Fungsi

                                Pasal 292

(1)   DPRD provinsi mempunyai fungsi:
      a. legislasi;
      b. anggaran; dan
      c. pengawasan.

(2)   Ketiga fungsi sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
      dijalankan dalam kerangka representasi rakyat di
      provinsi.


                          Bagian Ketiga
                       Tugas dan Wewenang

                                Pasal 293

(1)   DPRD provinsi mempunyai tugas dan wewenang:
      a. membentuk       peraturan     daerah   provinsi   bersama
         gubernur;
      b. membahas dan memberikan persetujuan rancangan
         peraturan daerah mengenai anggaran pendapatan
         dan belanja daerah provinsi yang diajukan oleh
         gubernur;
      c.   melaksanakan pengawasan terhadap pelaksanaan
           peraturan daerah dan anggaran pendapatan dan
           belanja daerah provinsi;
      d. mengusulkan pengangkatan dan/atau pemberhentian
         gubernur dan/atau wakil gubernur kepada Presiden
         melalui Menteri Dalam Negeri untuk mendapatkan
         pengesahan pengangkatan dan/atau pemberhentian;


                                                   e. memilih . . .
                     - 121 -

      e.   memilih wakil gubernur dalam hal terjadi kekosongan
           jabatan wakil gubernur;
      f.   memberikan pendapat dan pertimbangan kepada
           pemerintah daerah provinsi terhadap rencana
           perjanjian internasional di daerah;
      g.   memberikan persetujuan terhadap rencana kerja
           sama internasional yang dilakukan oleh pemerintah
           daerah provinsi;
      h. meminta laporan keterangan pertanggungjawaban
         gubernur dalam penyelenggaraan pemerintahan
         daerah provinsi;
      i.   memberikan persetujuan terhadap rencana kerja
           sama dengan daerah lain atau dengan pihak ketiga
           yang membebani masyarakat dan daerah;
      j.   mengupayakan        terlaksananya kewajiban daerah
           sesuai dengan       ketentuan peraturan perundang-
           undangan; dan
      k. melaksanakan tugas dan wewenang lain yang diatur
         dalam ketentuan peraturan perundang-undangan.

(2)   Ketentuan mengenai tata cara pelaksanaan tugas dan
      wewenang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur
      dengan peraturan DPRD provinsi tentang tata tertib.


                        Bagian Keempat
                         Keanggotaan

                               Pasal 294

(1)   Anggota DPRD provinsi berjumlah paling sedikit 35 (tiga
      puluh lima) orang dan paling banyak 100 (seratus) orang.

(2)   Keanggotaan   DPRD     provinsi      diresmikan   dengan
      keputusan Menteri Dalam Negeri.

(3)   Anggota DPRD provinsi berdomisili di ibu kota provinsi
      yang bersangkutan.

(4)   Masa jabatan anggota DPRD provinsi adalah 5 (lima)
      tahun dan berakhir pada saat anggota DPRD provinsi
      yang baru mengucapkan sumpah/janji.

                                                  Pasal 295 . . .
                   - 122 -



                             Pasal 295

(1)   Anggota DPRD provinsi sebelum memangku jabatannya
      mengucapkan sumpah/janji secara bersama-sama yang
      dipandu oleh ketua pengadilan tinggi dalam rapat
      paripurna DPRD provinsi.

(2)   Anggota DPRD provinsi yang berhalangan mengucapkan
      sumpah/janji bersama-sama sebagaimana dimaksud
      pada ayat (1) mengucapkan sumpah/janji yang dipandu
      oleh pimpinan DPRD provinsi.

(3)   Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengucapan
      sumpah/janji sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan
      ayat (2) diatur dengan peraturan DPRD provinsi tentang
      tata tertib.


                             Pasal 296

Sumpah/janji sebagaimana         dimaksud   dalam   Pasal   295
sebagai berikut:
"Demi Allah (Tuhan) saya bersumpah/berjanji:
bahwa saya akan memenuhi kewajiban saya sebagai
anggota/ketua/wakil ketua Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
provinsi dengan sebaik-baiknya dan seadil-adilnya, sesuai
dengan peraturan perundang-undangan, dengan berpedoman
pada Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945;

bahwa saya dalam menjalankan kewajiban akan bekerja
dengan    sungguh-sungguh, demi  tegaknya   kehidupan
demokrasi, serta mengutamakan kepentingan bangsa dan
negara daripada kepentingan pribadi, seseorang, dan
golongan;

bahwa saya akan memperjuangkan aspirasi rakyat yang saya
wakili untuk mewujudkan tujuan nasional demi kepentingan
bangsa dan Negara Kesatuan Republik Indonesia."


                                               Pasal 297 . . .
                    - 123 -

                              Pasal 297

(1)   Dalam hal dilakukan pembentukan provinsi setelah
      pemilihan umum, pengisian anggota DPRD provinsi di
      provinsi induk dan provinsi yang dibentuk setelah
      pemilihan umum dilakukan dengan cara:
      a. menetapkan jumlah kursi DPRD provinsi induk dan
         provinsi yang dibentuk setelah pemilihan umum
         berdasarkan jumlah penduduk sesuai dengan
         ketentuan dalam undang-undang mengenai pemilihan
         umum anggota DPR, DPD, dan DPRD;
      b. menetapkan perolehan suara partai politik dan calon
         anggota DPRD provinsi berdasarkan hasil pemilihan
         umum di daerah pemilihan provinsi induk dan
         provinsi yang dibentuk setelah pemilihan umum;
      c. menentukan bilangan pembagi pemilih berdasarkan
         hasil pemilihan umum di daerah pemilihan provinsi
         induk dan provinsi yang dibentuk setelah pemilihan
         umum;
      d. menentukan perolehan kursi partai politik peserta
         pemilihan umum berdasarkan hasil pemilihan umum
         di daerah pemilihan provinsi induk dan provinsi yang
         dibentuk setelah pemilihan umum;
      e. menetapkan calon terpilih dari daftar calon tetap
         untuk mengisi kursi sebagaimana dimaksud pada
         huruf d berdasarkan suara terbanyak.

(2)   Pengisian anggota DPRD provinsi sebagaimana dimaksud
      pada ayat (1) dilaksanakan oleh KPU provinsi induk.

(3)   Pengisian anggota DPRD provinsi tidak dilakukan bagi
      provinsi yang dibentuk setelah pemilihan umum yang
      dibentuk 12 (dua belas) bulan sebelum pelaksanaan
      pemilihan umum.

(4)   Masa jabatan anggota DPRD provinsi sebagaimana
      dimaksud pada ayat (1) berakhir pada saat anggota DPRD
      provinsi hasil pemilihan umum berikutnya mengucapkan
      sumpah/janji.

(5)   Ketentuan lebih lanjut mengenai penetapan jumlah dan
      tata cara pengisian keanggotaan DPRD provinsi induk
      dan provinsi yang dibentuk setelah pemilihan umum
      sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan
      peraturan KPU sesuai dengan ketentuan peraturan
      perundang-undangan.

                                            Bagian Kelima . . .
                        - 124 -

                            Bagian Kelima
                          Hak DPRD Provinsi

                                  Pasal 298

(1)   DPRD provinsi mempunyai hak:
      a. interpelasi;
      b. angket; dan
      c. menyatakan pendapat.

(2)   Hak interpelasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
      huruf a adalah hak DPRD provinsi untuk meminta
      keterangan kepada gubernur mengenai kebijakan
      pemerintah provinsi yang penting dan strategis serta
      berdampak luas pada kehidupan bermasyarakat dan
      bernegara.

(3)   Hak angket sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b
      adalah hak DPRD provinsi untuk melakukan penyelidikan
      terhadap kebijakan pemerintah provinsi yang penting dan
      strategis serta berdampak luas pada kehidupan
      masyarakat,    daerah,  dan    negara    yang    diduga
      bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-
      undangan.

(4)   Hak menyatakan pendapat sebagaimana dimaksud pada
      ayat (1) huruf c adalah hak DPRD provinsi untuk
      menyatakan pendapat terhadap kebijakan gubernur atau
      mengenai kejadian luar biasa yang terjadi di daerah
      disertai dengan rekomendasi penyelesaiannya atau
      sebagai tindak lanjut pelaksanaan hak interpelasi dan
      hak angket.


                        Bagian Keenam
                   Hak dan Kewajiban Anggota

                              Paragraf 1
                             Hak Anggota

                                  Pasal 299

Anggota DPRD provinsi mempunyai hak:
a. mengajukan rancangan peraturan daerah provinsi;
b. mengajukan pertanyaan;

                                              c. menyampaikan . . .
                     - 125 -



c. menyampaikan usul dan pendapat;
d. memilih dan dipilih;
e. membela diri;
f.   imunitas;
g. mengikuti orientasi dan pendalaman tugas;
h. protokoler; dan
i.   keuangan dan administratif.



                          Paragraf 2
                       Kewajiban Anggota

                               Pasal 300

Anggota DPRD provinsi mempunyai kewajiban:
a. memegang teguh dan mengamalkan Pancasila;
b. melaksanakan Undang-Undang Dasar Negara Republik
   Indonesia Tahun 1945 dan menaati peraturan perundang-
   undangan;
c. mempertahankan dan memelihara kerukunan nasional
   dan keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia;
d. mendahulukan kepentingan negara di atas kepentingan
   pribadi, kelompok, dan golongan;
e. memperjuangkan peningkatan kesejahteraan rakyat;
f.   menaati prinsip demokrasi             dalam   penyelenggaraan
     pemerintahan daerah;
g. menaati tata tertib dan kode etik;
h. menjaga etika dan norma dalam hubungan kerja dengan
   lembaga lain dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah
   provinsi;
i.   menyerap dan menghimpun aspirasi konstituen melalui
     kunjungan kerja secara berkala;
j.   menampung dan menindaklanjuti aspirasi dan pengaduan
     masyarakat; dan
k. memberikan pertanggungjawaban secara moral dan politis
   kepada konstituen di daerah pemilihannya.

                                               Bagian Ketujuh . . .
                    - 126 -


                        Bagian Ketujuh
                            Fraksi

                              Pasal 301

(1)   Untuk mengoptimalkan pelaksanaan fungsi, tugas dan
      wewenang DPRD provinsi, serta hak dan kewajiban
      anggota DPRD provinsi, dibentuk fraksi sebagai wadah
      berhimpun anggota DPRD provinsi.

(2)   Setiap anggota DPRD provinsi harus menjadi anggota
      salah satu fraksi.

(3)   Setiap fraksi di DPRD provinsi beranggotakan paling
      sedikit sama dengan jumlah komisi di DPRD provinsi.

(4)   Partai politik yang jumlah anggotanya di DPRD provinsi
      mencapai ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (3)
      atau lebih dapat membentuk 1 (satu) fraksi.

(5)   Dalam hal partai politik yang jumlah anggotanya di DPRD
      provinsi tidak memenuhi ketentuan sebagaimana
      dimaksud pada ayat (3), anggotanya dapat bergabung
      dengan fraksi yang ada atau membentuk fraksi gabungan.

(6)   Dalam hal tidak ada satu partai politik yang memenuhi
      persyaratan untuk membentuk fraksi sebagaimana
      dimaksud pada ayat (3) maka dibentuk fraksi gabungan.

(7)   Jumlah fraksi gabungan sebagaimana dimaksud pada
      ayat (5) dan ayat (6) paling banyak 2 (dua) fraksi.

(8)   Partai politik sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dan
      ayat (5) harus mendudukkan anggotanya dalam 1 (satu)
      fraksi.

(9)   Fraksi mempunyai sekretariat.

(10) Sekretariat  DPRD    provinsi   menyediakan    sarana,
     anggaran, dan tenaga ahli guna kelancaran pelaksanaan
     tugas fraksi sesuai dengan kebutuhan dan dengan
     memperhatikan kemampuan APBD.


                                          Bagian Kedelapan . . .
                     - 127 -

                       Bagian Kedelapan
                Alat Kelengkapan DPRD Provinsi

                               Pasal 302

(1) Alat kelengkapan DPRD provinsi terdiri atas:
      a. pimpinan;
      b. Badan Musyawarah;
      c. komisi;
      d. Badan Legislasi Daerah;
      e. Badan Anggaran;
      f.   Badan Kehormatan; dan
      g. alat kelengkapan lain yang diperlukan dan dibentuk
         oleh rapat paripurna.

(2)   Dalam menjalankan tugasnya, alat kelengkapan dibantu
      oleh sekretariat.

(3)   Ketentuan mengenai tata cara pembentukan, susunan,
      serta tugas dan wewenang alat kelengkapan DPRD
      provinsi diatur dengan peraturan DPRD provinsi tentang
      tata tertib.

                               Pasal 303

(1)   Pimpinan DPRD provinsi terdiri atas:
      a. 1 (satu) orang ketua dan 4 (empat) orang wakil ketua
         untuk DPRD provinsi yang beranggotakan 85 (delapan
         puluh lima) sampai dengan 100 (seratus) orang;
      b. 1 (satu) orang ketua dan 3 (tiga) orang wakil ketua
         untuk DPRD provinsi yang beranggotakan 45 (empat
         puluh lima) sampai dengan 84 (delapan puluh empat)
         orang;
      c. 1 (satu) orang ketua dan 2 (dua) orang wakil ketua
         untuk DPRD provinsi yang beranggotakan 35 (tiga
         puluh lima) sampai dengan 44 (empat puluh empat)
         orang.

(2)   Pimpinan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berasal
      dari partai politik berdasarkan urutan perolehan kursi
      terbanyak di DPRD provinsi.

                                                 (3) Ketua . . .
                    - 128 -

(3)   Ketua DPRD provinsi ialah anggota DPRD provinsi yang
      berasal dari partai politik yang memperoleh kursi
      terbanyak pertama di DPRD provinsi.

(4)   Dalam hal terdapat lebih dari 1 (satu) partai politik yang
      memperoleh kursi terbanyak pertama sebagaimana
      dimaksud pada ayat (3), ketua DPRD provinsi ialah
      anggota DPRD provinsi yang berasal dari partai politik
      yang memperoleh suara terbanyak.

(5)   Dalam hal terdapat lebih dari 1 (satu) partai politik yang
      memperoleh     suara     terbanyak    sama     sebagaimana
      dimaksud pada ayat (4), penentuan ketua DPRD provinsi
      dilakukan berdasarkan persebaran wilayah perolehan
      suara partai politik yang lebih luas secara berjenjang.

(6)   Dalam hal terdapat lebih dari 1 (satu) partai politik yang
      memperoleh kursi terbanyak pertama sebagaimana
      dimaksud pada ayat (3), wakil ketua DPRD provinsi ialah
      anggota DPRD provinsi yang berasal dari partai politik
      yang memperoleh suara terbanyak kedua, ketiga,
      dan/atau keempat.

(7)   Apabila masih terdapat kursi wakil ketua DPRD provinsi
      yang belum terisi sebagaimana dimaksud pada ayat (6),
      maka kursi wakil ketua diisi oleh anggota DPRD provinsi
      yang berasal dari partai politik yang memperoleh kursi
      terbanyak kedua.

(8)   Dalam hal terdapat lebih dari 1 (satu) partai politik yang
      memperoleh kursi terbanyak kedua sama, wakil ketua
      sebagaimana dimaksud pada ayat (7) ditentukan
      berdasarkan urutan hasil perolehan suara terbanyak.

(9)   Dalam hal terdapat lebih dari 1 (satu) partai politik yang
      memperoleh kursi terbanyak kedua sebagaimana
      dimaksud pada ayat (7), penentuan wakil ketua DPRD
      provinsi sebagaimana dimaksud pada ayat (8) dilakukan
      berdasarkan persebaran wilayah perolehan suara partai
      politik yang lebih luas secara berjenjang.


                              Pasal 304

(1)   Dalam hal pimpinan DPRD provinsi sebagaimana
      dimaksud dalam Pasal 303 ayat (1) belum terbentuk,
      DPRD provinsi dipimpin oleh pimpinan sementara
      DPRD provinsi.

                                              (2) Pimpinan . . .
                    - 129 -


(2)   Pimpinan sementara DPRD provinsi sebagaimana
      dimaksud pada ayat (1) terdiri atas 1 (satu) orang ketua
      dan 1 (satu) orang wakil ketua yang berasal dari 2 (dua)
      partai politik yang memperoleh kursi terbanyak pertama
      dan kedua di DPRD provinsi.

(3)   Dalam hal terdapat lebih dari 1 (satu) partai politik yang
      memperoleh kursi terbanyak sama, ketua dan wakil ketua
      sementara DPRD provinsi ditentukan secara musyawarah
      oleh wakil partai politik bersangkutan yang ada di DPRD
      provinsi.

(4)   Ketua dan wakil ketua DPRD provinsi diresmikan dengan
      keputusan Menteri Dalam Negeri.
      Disetujui, Timus 24 Juni 2009
(5)   Pimpinan DPRD provinsi sebelum memangku jabatannya
      mengucapkan sumpah/janji yang teksnya sebagaimana
      dimaksud dalam Pasal 296 yang dipandu oleh ketua
      pengadilan tinggi.

(6)   Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penetapan
      pimpinan DPRD provinsi diatur dengan peraturan DPRD
      provinsi tentang tata tertib.

                              Pasal 305
Komisi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 302 ayat (1)
huruf c dibentuk dengan ketentuan:
a. DPRD provinsi yang beranggotakan 35 (tiga puluh lima)
    sampai dengan 55 (lima puluh lima) orang membentuk
    4 (empat) komisi;
b.    DPRD provinsi yang beranggotakan lebih dari 55 (lima
      puluh lima) orang membentuk 5 (lima) komisi.


                      Bagian Kesembilan
                Pelaksanaan Hak DPRD Provinsi

                           Paragraf 1
                         Hak Interpelasi

                              Pasal 306
(1)   Hak interpelasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 298
      ayat (1) huruf a diusulkan oleh:
      a. paling sedikit 10 (sepuluh) orang anggota DPRD
         provinsi dan lebih dari 1 (satu) fraksi untuk DPRD

                                                    provinsi . . .
                    - 130 -

         provinsi yang beranggotakan 35 (tiga puluh lima)
         orang sampai dengan 75 (tujuh puluh lima) orang;
      b. paling sedikit 15 (lima belas) orang anggota DPRD
         provinsi dan lebih dari 1 (satu) fraksi untuk DPRD
         provinsi yang beranggotakan di atas 75 (tujuh puluh
         lima) orang.

(2)   Usul sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diajukan
      kepada pimpinan DPRD provinsi.

(3)   Usul sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menjadi hak
      interpelasi DPRD provinsi apabila mendapat persetujuan
      dari rapat paripurna DPRD provinsi yang dihadiri lebih
      dari 1/2 (satu perdua) jumlah anggota DPRD provinsi dan
      putusan diambil dengan persetujuan lebih dari 1/2 (satu
      perdua) jumlah anggota DPRD provinsi yang hadir.


                              Pasal 307
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pelaksanaan hak
interpelasi diatur dengan peraturan DPRD provinsi tentang
tata tertib.

                          Paragraf 2
                          Hak Angket

                              Pasal 308

(1)   Hak angket sebagaimana dimaksud dalam Pasal 298
      ayat (1) huruf b diusulkan oleh:
      a. paling sedikit 10 (sepuluh) orang anggota DPRD
         provinsi dan lebih dari 1 (satu) fraksi untuk DPRD
         provinsi yang beranggotakan 35 (tiga puluh lima)
         orang sampai dengan 75 (tujuh puluh lima) orang;
      b. paling sedikit 15 (lima belas) orang anggota DPRD
         provinsi dan lebih dari 1 (satu) fraksi untuk DPRD
         provinsi yang beranggotakan di atas 75 (tujuh puluh
         lima) orang.

(2)   Usul sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diajukan
      kepada pimpinan DPRD provinsi.

(3)   Usul sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menjadi hak
      angket DPRD provinsi apabila mendapat persetujuan dari
      rapat paripurna DPRD provinsi yang dihadiri sekurang-


                                              kurangnya . . .
                    - 131 -

      kurangnya 3/4 (tiga perempat) dari jumlah anggota DPRD
      provinsi dan putusan diambil dengan persetujuan
      sekurang-kurangnya 2/3 (dua pertiga) dari jumlah
      anggota DPRD provinsi yang hadir.


                              Pasal 309

(1)   DPRD provinsi memutuskan menerima atau menolak usul
      hak angket sebagaimana dimaksud dalam Pasal 308
      ayat (1).

(2)   Dalam hal DPRD provinsi menerima usul hak angket
      sebagaimana dimaksud pada ayat (1), DPRD provinsi
      membentuk panitia angket yang terdiri atas semua unsur
      fraksi DPRD provinsi dengan keputusan DPRD provinsi.

(3)   Dalam hal DPRD provinsi menolak usul hak angket
      sebagaimana dimaksud pada ayat (1), usul tersebut tidak
      dapat diajukan kembali.


                              Pasal 310

(1)   Panitia angket sebagaimana dimaksud dalam Pasal 309
      ayat (2), dalam melakukan penyelidikan sebagaimana
      dimaksud dalam Pasal 298 ayat (3), dapat memanggil
      pejabat pemerintah provinsi, badan hukum, atau warga
      masyarakat di provinsi yang dianggap mengetahui atau
      patut mengetahui masalah yang diselidiki untuk
      memberikan     keterangan     serta untuk    meminta
      menunjukkan surat atau dokumen yang berkaitan
      dengan hal yang sedang diselidiki.

(2)   Pejabat pemerintah provinsi, badan hukum, atau warga
      masyarakat di provinsi yang dipanggil sebagaimana
      dimaksud pada ayat (1) wajib memenuhi panggilan DPRD
      provinsi, kecuali ada alasan yang sah menurut peraturan
      perundang-undangan.

(3)   Dalam hal pejabat pemerintah provinsi, badan hukum,
      atau warga masyarakat di provinsi telah dipanggil dengan
      patut secara berturut-turut tidak memenuhi panggilan
      sebagaimana dimaksud pada ayat (2), DPRD provinsi
      dapat memanggil secara paksa dengan bantuan
      Kepolisian Negara Republik Indonesia sesuai dengan
      ketentuan peraturan perundang-undangan.

                                                Pasal 311 . . .
                    - 132 -

                              Pasal 311

Panitia angket melaporkan pelaksanaan tugasnya kepada
rapat paripurna DPRD provinsi paling lama 60 (enam puluh)
hari sejak dibentuknya panitia angket.


                              Pasal 312

Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pelaksanaan hak
angket diatur dengan peraturan DPRD provinsi tentang
tata tertib.

                          Paragraf 3
                   Hak Menyatakan Pendapat

                              Pasal 313

(1)   Hak menyatakan pendapat sebagaimana dimaksud dalam
      Pasal 298 ayat (1) huruf c diusulkan oleh:
      a. paling sedikit 15 (lima belas) orang anggota DPRD
         provinsi dan lebih dari 1 (satu) fraksi untuk DPRD
         provinsi yang beranggotakan 35 (tiga puluh lima) orang
         sampai dengan 75 (tujuh puluh lima) orang;
      b. paling sedikit 20 (dua puluh) orang anggota DPRD
         provinsi dan lebih dari 1 (satu) fraksi untuk DPRD
         provinsi yang beranggotakan di atas 75 (tujuh puluh
         lima) orang.

(2)   Usul sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diajukan
      kepada pimpinan DPRD provinsi.

(3)   Usul sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menjadi hak
      menyatakan pendapat DPRD provinsi apabila mendapat
      persetujuan dari rapat paripurna DPRD provinsi yang
      dihadiri sekurang-kurangnya 3/4 (tiga perempat) dari
      jumlah anggota DPRD provinsi dan putusan diambil
      dengan persetujuan sekurang-kurangnya 2/3 (dua
      pertiga) dari jumlah anggota DPRD provinsi yang hadir.


                              Pasal 314

Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pelaksanaan hak
menyatakan pendapat diatur dengan peraturan DPRD provinsi
tentang tata tertib.

                                          Bagian Kesepuluh . . .
                    - 133 -



                       Bagian Kesepuluh
                   Pelaksanaan Hak Anggota

                          Paragraf 1
                         Hak Imunitas

                              Pasal 315

(1)   Anggota DPRD provinsi mempunyai hak imunitas.

(2)   Anggota DPRD provinsi tidak dapat dituntut di depan
      pengadilan karena pernyataan, pertanyaan, dan/atau
      pendapat yang dikemukakannya baik secara lisan
      maupun tertulis di dalam rapat DPRD provinsi ataupun di
      luar rapat DPRD provinsi yang berkaitan dengan fungsi
      serta tugas dan wewenang DPRD provinsi.

(3)   Anggota DPRD provinsi tidak dapat diganti antarwaktu
      karena pernyataan, pertanyaan, dan/atau pendapat yang
      dikemukakannya baik di dalam rapat DPRD provinsi
      maupun di luar rapat DPRD provinsi yang berkaitan
      dengan fungsi serta tugas dan wewenang DPRD provinsi.

(4)   Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak
      berlaku   dalam    hal   anggota   yang    bersangkutan
      mengumumkan materi yang telah disepakati dalam rapat
      tertutup untuk dirahasiakan atau hal lain yang dimaksud
      dalam ketentuan mengenai rahasia negara sesuai dengan
      ketentuan peraturan perundang-undangan.


                         Paragraf 2
                        Hak Protokoler

                              Pasal 316

(1)   Pimpinan dan anggota DPRD provinsi mempunyai hak
      protokoler.

(2)   Hak protokoler sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
      diatur dalam peraturan pemerintah.


                                                Paragraf 3 . . .
                    - 134 -

                         Paragraf 3
                Hak Keuangan dan Administratif

                              Pasal 317

(1)   Pimpinan dan anggota DPRD provinsi mempunyai hak
      keuangan dan administratif.

(2)   Hak keuangan dan administratif pimpinan dan anggota
      DPRD provinsi sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
      diatur dengan peraturan pemerintah.

(3)   Dalam menjalankan tugas dan wewenangnya, pimpinan
      dan anggota DPRD provinsi berhak memperoleh
      tunjangan  yang   besarannya  disesuaikan  dengan
      kemampuan daerah.

(4) Pengelolaan keuangan dan tunjangan sebagaimana
    dimaksud pada ayat (1) dan ayat (3) dilaksanakan oleh
    sekretariat DPRD provinsi sesuai dengan peraturan
    pemerintah.


                      Bagian Kesebelas
           Persidangan dan Pengambilan Keputusan

                          Paragraf 1
                         Persidangan

                              Pasal 318

(1)   Pada awal masa jabatan keanggotaan, tahun sidang
      DPRD   provinsi   dimulai pada  saat  pengucapan
      sumpah/janji anggota.

(2)   Tahun sidang dibagi dalam 3 (tiga) masa persidangan.

(3)   Masa persidangan meliputi masa sidang dan masa reses,
      kecuali pada persidangan terakhir dari satu periode
      keanggotaan DPRD provinsi, masa reses ditiadakan.



                              Pasal 319

Semua rapat di DPRD provinsi pada dasarnya bersifat terbuka,
kecuali rapat tertentu yang dinyatakan tertutup.


                                                 Pasal 320 . . .
                    - 135 -


                              Pasal 320

Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara persidangan dan
rapat DPRD provinsi diatur dengan peraturan DPRD provinsi
tentang tata tertib.


                          Paragraf 2
                    Pengambilan Keputusan

                              Pasal 321

(1)   Pengambilan keputusan dalam rapat DPRD provinsi pada
      dasarnya dilakukan dengan cara musyawarah untuk
      mufakat.

(2)   Apabila cara pengambilan keputusan sebagaimana
      dimaksud pada ayat (1) tidak tercapai, keputusan diambil
      berdasarkan suara terbanyak.



                              Pasal 322

(1)   Setiap rapat DPRD provinsi dapat mengambil keputusan
      apabila memenuhi kuorum.

(2)   Kuorum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terpenuhi
      apabila:
      a. rapat dihadiri oleh sekurang-kurangnya 3/4 (tiga
         perempat) dari jumlah anggota DPRD provinsi untuk
         mengambil persetujuan atas pelaksanaan hak angket
         dan hak menyatakan pendapat serta untuk mengambil
         keputusan mengenai usul pemberhentian gubernur
         dan/atau wakil gubernur;
      b. rapat dihadiri oleh sekurang-kurangnya 2/3 (dua
         pertiga) dari jumlah anggota DPRD provinsi untuk
         memberhentikan pimpinan DPRD provinsi serta untuk
         menetapkan     peraturan   daerah dan    anggaran
         pendapatan dan belanja daerah;
      c. rapat dihadiri oleh lebih dari 1/2 (satu perdua) jumlah
         anggota DPRD provinsi untuk rapat paripurna DPRD
         provinsi selain rapat sebagaimana dimaksud pada
         huruf a dan huruf b.

                                             (3) Keputusan . . .
                    - 136 -




(3)   Keputusan rapat dinyatakan sah apabila:
      a. disetujui oleh sekurang-kurangnya 2/3 (dua pertiga)
         dari jumlah anggota DPRD provinsi yang hadir, untuk
         rapat sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a;
      b. disetujui oleh lebih dari 1/2 (satu perdua) jumlah
         anggota DPRD provinsi yang hadir, untuk rapat
         sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b;
      c. disetujui dengan suara terbanyak, untuk          rapat
         sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf c.

(4)   Apabila kuorum sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
      tidak terpenuhi, rapat ditunda paling banyak 2 (dua) kali
      dengan tenggang waktu masing-masing tidak lebih dari
      1 (satu) jam.

(5)   Apabila pada akhir waktu penundaan rapat sebagaimana
      dimaksud pada ayat (4) kuorum belum juga terpenuhi,
      pimpinan dapat menunda rapat paling lama 3 (tiga) hari
      atau sampai waktu yang ditetapkan oleh Badan
      Musyawarah.

(6) Apabila setelah penundaan sebagaimana dimaksud pada
    ayat (5), kuorum sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
    belum juga terpenuhi, terhadap ketentuan sebagaimana
    dimaksud pada ayat (2) huruf a dan huruf b, rapat tidak
    dapat mengambil keputusan.

(7)   Apabila setelah penundaan sebagaimana dimaksud pada
      ayat (5) kuorum sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
      belum juga terpenuhi, terhadap ketentuan sebagaimana
      dimaksud pada ayat (2) huruf c, cara penyelesaiannya
      diserahkan kepada pimpinan DPRD provinsi dan
      pimpinan fraksi.


                              Pasal 323

Setiap keputusan rapat DPRD provinsi, baik berdasarkan
musyawarah untuk mufakat maupun berdasarkan suara
terbanyak, merupakan kesepakatan untuk ditindaklanjuti oleh
semua pihak yang terkait dalam pengambilan keputusan.


                                                 Pasal 324 . . .
                     - 137 -


                               Pasal 324

Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengambilan
keputusan diatur dengan peraturan DPRD provinsi tentang
tata tertib.


                       Bagian Kedua Belas
                    Tata Tertib dan Kode Etik

                           Paragraf 1
                           Tata Tertib

                               Pasal 325

(1)   Tata tertib DPRD provinsi ditetapkan oleh DPRD provinsi
      dengan     berpedoman   pada     peraturan  perundang-
      undangan.

(2)   Tata tertib sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku
      di lingkungan internal DPRD provinsi.

(3)   Tata tertib DPRD         provinsi    paling   sedikit   memuat
      ketentuan tentang:
      a. pengucapan sumpah/janji;
      b. penetapan pimpinan;
      c. pemberhentian dan penggantian pimpinan;
      d. jenis dan penyelenggaraan rapat;
      e. pelaksanaan fungsi, tugas dan wewenang lembaga,
         serta hak dan kewajiban anggota;
      f.   pembentukan, susunan, serta tugas dan wewenang
           alat kelengkapan;
      g. penggantian antarwaktu anggota;
      h. pembuatan pengambilan keputusan;
      i.   pelaksanaan konsultasi antara DPRD provinsi dan
           pemerintah daerah provinsi;
      j.   penerimaan pengaduan           dan   penyaluran    aspirasi
           masyarakat;
      k. pengaturan protokoler; dan
      l.   pelaksanaan tugas kelompok pakar/ahli.

                                                        Paragraf 2 . . .
                          - 138 -

                                Paragraf 2
                                Kode Etik
                                    Pasal 326
     DPRD provinsi menyusun kode etik yang berisi norma yang
     wajib dipatuhi oleh setiap anggota selama menjalankan
     tugasnya untuk menjaga martabat, kehormatan, citra, dan
     kredibilitas DPRD provinsi.


                            Bagian Ketiga Belas
                           Larangan dan Sanksi

                                Paragraf 1
                                Larangan

                                    Pasal 327

     (1)   Anggota DPRD provinsi dilarang merangkap jabatan
           sebagai:
           a. pejabat negara atau pejabat daerah lainnya;
           b. hakim pada badan peradilan; atau
           c. pegawai negeri sipil, anggota Tentara Nasional
              Indonesia/Kepolisian Negara Republik Indonesia,
              pegawai pada badan usaha milik negara, badan usaha
              milik daerah, atau badan lain yang anggarannya
              bersumber dari APBN/APBD.

     (2)   Anggota DPRD provinsi dilarang melakukan pekerjaan
           sebagai pejabat struktural pada lembaga pendidikan
           swasta, akuntan publik, konsultan, advokat atau
           pengacara, notaris, dan pekerjaan lain yang ada
           hubungannya dengan tugas dan wewenang DPRD
           provinsi serta hak sebagai anggota DPRD provinsi.

     (3)   Anggota DPRD provinsi dilarang melakukan korupsi,
           kolusi, dan nepotisme, serta dilarang menerima gratifikasi.
mu
           s 24 Juni 20
                                Paragraf 2
                                 Sanksi

                                    Pasal 328

     (1)   Anggota DPRD provinsi yang tidak melaksanakan
           kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 300
           dikenai  sanksi   berdasarkan keputusan  Badan
           Kehormatan.

                                                       (2) Anggota . . .
                    - 139 -




(2)   Anggota DPRD provinsi yang terbukti melanggar
      ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 327
      ayat (1) dan/atau ayat (2) dikenai sanksi pemberhentian
      sebagai anggota DPRD provinsi.

(3)   Anggota DPRD provinsi yang terbukti melanggar
      ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 327
      ayat (3) berdasarkan putusan pengadilan yang telah
      memperoleh kekuatan hukum tetap dikenai sanksi
      pemberhentian sebagai anggota DPRD provinsi.


                              Pasal 329

Jenis sanksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 328 ayat (1)
berupa:
a. teguran lisan;
b. teguran tertulis; dan/atau
c. diberhentikan dari pimpinan pada alat kelengkapan.



                              Pasal 330

Setiap orang, kelompok, atau organisasi dapat mengajukan
pengaduan kepada Badan Kehormatan DPRD provinsi dalam
hal memiliki bukti yang cukup bahwa terdapat anggota DPRD
provinsi yang tidak melaksanakan salah satu kewajiban atau
lebih sebagaimana dimaksud dalam Pasal 300 dan/atau
melanggar ketentuan larangan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 327.



                              Pasal 331

Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengaduan
masyarakat dan penjatuhan sanksi diatur dengan peraturan
DPRD provinsi tentang tata beracara badan kehormatan.


                                          Bagian Keempat Belas . . .
                     - 140 -

                    Bagian Keempat Belas
      Pemberhentian Antarwaktu, Penggantian Antarwaktu,
                dan Pemberhentian Sementara

                          Paragraf 1
                   Pemberhentian Antarwaktu

                               Pasal 332

(1)   Anggota DPRD provinsi berhenti antarwaktu karena:
      a. meninggal dunia;
      b. mengundurkan diri; atau
      c. diberhentikan.

(2)   Anggota DPRD provinsi diberhentikan antarwaktu
      sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c, apabila:
      a. tidak dapat melaksanakan tugas secara berkelanjutan
         atau berhalangan tetap sebagai anggota DPRD
         provinsi selama 3 (tiga) bulan berturut-turut tanpa
         keterangan apa pun;
      b. melanggar sumpah/janji jabatan dan kode etik DPRD
         provinsi;
      c. dinyatakan bersalah berdasarkan putusan pengadilan
         yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap karena
         melakukan tindak pidana yang diancam dengan
         pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih;
      d. tidak menghadiri rapat paripurna dan/atau rapat alat
         kelengkapan DPRD provinsi yang menjadi tugas dan
         kewajibannya sebanyak 6 (enam) kali berturut-turut
         tanpa alasan yang sah;
      e. diusulkan oleh partai politiknya sesuai       dengan
         ketentuan peraturan perundang-undangan;
      f.   tidak lagi memenuhi syarat sebagai calon anggota
           DPRD provinsi sesuai dengan ketentuan peraturan
           perundang-undangan mengenai pemilihan umum;
      g. melanggar ketentuan larangan sebagaimana diatur
         dalam Undang-Undang ini;
      h. diberhentikan sebagai anggota partai politik sesuai
         dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;
         atau
      i. menjadi anggota partai politik lain.

                                                Pasal 333 . . .
                    - 141 -

                              Pasal 333

(1)   Pemberhentian anggota DPRD provinsi sebagaimana
      dimaksud dalam Pasal 332 ayat (1) huruf a dan huruf b
      serta pada ayat (2) huruf c, huruf e, huruf h, dan huruf i
      diusulkan oleh pimpinan partai politik kepada pimpinan
      DPRD provinsi dengan tembusan kepada Menteri Dalam
      Negeri.

(2)   Paling lama 7 (tujuh) hari sejak diterimanya usul
      pemberhentian sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
      pimpinan    DPRD    provinsi menyampaikan    usul
      pemberhentian anggota DPRD provinsi kepada Menteri
      Dalam Negeri melalui gubernur untuk memperoleh
      peresmian pemberhentian.

(3)   Paling lama 7 (tujuh) hari sejak diterimanya usul
      pemberhentian sebagaimana dimaksud pada ayat (2),
      gubernur menyampaikan usul tersebut kepada Menteri
      Dalam Negeri.

(4)   Menteri Dalam Negeri meresmikan pemberhentian
      sebagaimana dimaksud pada ayat (2) paling lama
      14 (empat belas) hari sejak diterimanya usulan
      pemberhentian anggota DPRD provinsi dari gubernur.


                              Pasal 334

(1)   Pemberhentian anggota DPRD provinsi sebagaimana
      dimaksud dalam Pasal 332 ayat (2) huruf a, huruf b,
      huruf d, huruf f, dan huruf g, dilakukan setelah adanya
      hasil penyelidikan dan verifikasi yang dituangkan dalam
      keputusan badan kehormatan DPRD provinsi atas
      pengaduan dari pimpinan DPRD provinsi, masyarakat,
      dan/atau pemilih.

(2)   Keputusan badan kehormatan DPRD provinsi mengenai
      pemberhentian anggota DPRD provinsi sebagaimana
      dimaksud pada ayat (1) dilaporkan oleh badan
      kehormatan DPRD provinsi kepada rapat paripurna.

(3)   Paling lama 7 (tujuh) hari sejak keputusan badan
      kehormatan DPRD provinsi yang telah dilaporkan dalam
      rapat paripurna sebagaimana dimaksud pada ayat (2),
      pimpinan DPRD provinsi menyampaikan keputusan
      badan kehormatan DPRD provinsi kepada pimpinan
      partai politik yang bersangkutan.

                                               (4) Pimpinan . . .
                    - 142 -

(4)   Pimpinan      partai     politik    yang   bersangkutan
      menyampaikan       keputusan     tentang  pemberhentian
      anggotanya kepada pimpinan DPRD provinsi, paling
      lambat 30 (tiga puluh) hari sejak diterimanya keputusan
      badan kehormatan DPRD provinsi sebagaimana dimaksud
      pada ayat (2) dari pimpinan DPRD provinsi.

(5)   Dalam hal pimpinan partai politik sebagaimana dimaksud
      pada    ayat    (3)   tidak   memberikan      keputusan
      pemberhentian sebagaimana dimaksud pada ayat (4),
      pimpinan DPRD provinsi paling lama 7 (tujuh) hari
      meneruskan keputusan badan kehormatan DPRD
      provinsi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) kepada
      Menteri   Dalam     Negeri  melalui    gubernur   untuk
      memperoleh peresmian pemberhentian.

(6)   Paling lama 7 (tujuh) hari sejak diterimanya keputusan
      pemberhentian sebagaimana dimaksud pada ayat (5),
      gubernur menyampaikan keputusan tersebut kepada
      Menteri Dalam Negeri.

(7)   Menteri Dalam Negeri meresmikan pemberhentian
      sebagaimana dimaksud pada ayat (5) paling lama
      14 (empat belas) hari sejak diterimanya keputusan badan
      kehormatan DPRD provinsi atau keputusan pimpinan
      partai politik tentang pemberhentian anggotanya dari
      gubernur.

                              Pasal 335
(1)   Dalam hal pelaksanaan penyelidikan dan verifikasi
      sebagaimana dimaksud dalam Pasal 334 ayat (1), badan
      kehormatan DPRD provinsi dapat meminta bantuan dari
      ahli independen.

(2)   Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penyelidikan,
      verifikasi, dan pengambilan keputusan oleh badan
      kehormatan DPRD provinsi diatur dengan peraturan
      DPRD provinsi tentang tata beracara badan kehormatan.


                         Paragraf 2
                   Penggantian Antarwaktu

                              Pasal 336

(1)   Anggota DPRD provinsi yang berhenti antarwaktu
      sebagaimana dimaksud dalam Pasal 333 ayat (1) dan


                                                Pasal 334 . . .
                    - 143 -

      Pasal 334 ayat (1) digantikan oleh calon anggota DPRD
      provinsi yang memperoleh suara terbanyak urutan
      berikutnya dalam daftar peringkat perolehan suara dari
      partai politik yang sama pada daerah pemilihan
      yang sama.

(2)   Dalam hal calon anggota DPRD provinsi yang memperoleh
      suara terbanyak urutan berikutnya sebagaimana
      dimaksud pada ayat (1) mengundurkan diri, meninggal
      dunia, atau tidak lagi memenuhi syarat sebagai calon
      anggota DPRD provinsi, anggota DPRD provinsi
      sebagaimana dimaksud pada ayat (1) digantikan oleh
      calon anggota DPRD provinsi yang memperoleh suara
      terbanyak urutan berikutnya dari partai politik yang
      sama pada daerah pemilihan yang sama.

(3)   Masa jabatan anggota DPRD provinsi pengganti
      antarwaktu melanjutkan sisa masa jabatan anggota
      DPRD provinsi yang digantikannya.


                              Pasal 337

(1)   Pimpinan DPRD provinsi menyampaikan nama anggota
      DPRD provinsi yang diberhentikan antarwaktu dan
      meminta nama calon pengganti antarwaktu kepada KPU
      provinsi.

(2)   KPU provinsi menyampaikan nama calon pengganti
      antarwaktu    berdasarkan    ketentuan     sebagaimana
      dimaksud dalam Pasal 336 ayat (1) dan ayat (2) kepada
      pimpinan DPRD provinsi paling lambat 5 (lima) hari sejak
      diterimanya surat pimpinan DPRD provinsi.

(3)   Paling lambat 7 (tujuh) hari sejak menerima nama calon
      pengganti antarwaktu dari KPU provinsi sebagaimana
      dimaksud pada ayat (2), Pimpinan DPRD provinsi
      menyampaikan nama anggota DPRD provinsi yang
      diberhentikan dan nama calon pengganti antarwaktu
      kepada Menteri Dalam Negeri melalui gubernur.

(4)   Paling lambat 7 (tujuh) hari sejak menerima nama
      anggota DPRD provinsi yang diberhentikan dan nama
      calon pengganti antarwaktu sebagaimana dimaksud pada
      ayat (3), gubernur menyampaikan nama anggota DPRD
      provinsi yang diberhentikan dan nama calon pengganti
      antarwaktu kepada Menteri Dalam Negeri.

                                                 (5) Paling . . .
                    - 144 -

(5)   Paling lambat 14 (empat belas) hari sejak menerima nama
      anggota DPRD provinsi yang diberhentikan dan nama
      calon pengganti antarwaktu dari gubernur sebagaimana
      dimaksud pada ayat (4), Menteri Dalam Negeri
      meresmikan     pemberhentian     dan    pengangkatannya
      dengan keputusan Menteri Dalam Negeri.

(6)   Sebelum memangku jabatannya, anggota DPRD provinsi
      pengganti antarwaktu sebagaimana dimaksud pada
      ayat (3) mengucapkan sumpah/janji yang pengucapannya
      dipandu oleh pimpinan DPRD provinsi, dengan tata cara
      dan teks sumpah/janji sebagaimana diatur dalam
      Pasal 295 dan Pasal 296.

(7)   Penggantian antarwaktu anggota DPRD provinsi tidak
      dilaksanakan apabila sisa masa jabatan anggota DPRD
      provinsi yang digantikan kurang dari 6 (enam) bulan.


                              Pasal 338

Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengajuan
penggantian antarwaktu, verifikasi terhadap persyaratan calon
pengganti antarwaktu, dan peresmian calon pengganti
antarwaktu anggota DPRD provinsi diatur dengan peraturan
pemerintah.


                         Paragraf 3
                  Pemberhentian Sementara

                              Pasal 339

(1)   Anggota DPRD provinsi diberhentikan sementara karena:
      a. menjadi terdakwa dalam perkara tindak pidana umum
         yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun
         atau lebih; atau
      b. menjadi terdakwa       dalam     perkara   tindak   pidana
         khusus.

(2)   Dalam hal anggota DPRD provinsi dinyatakan terbukti
      bersalah karena melakukan tindak pidana sebagaimana
      dimaksud pada ayat (1) huruf a atau huruf b berdasarkan
      putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan
      hukum tetap, anggota DPRD provinsi yang bersangkutan
      diberhentikan sebagai anggota DPRD provinsi.

                                                     (3) Dalam . . .
                    - 145 -



(3)   Dalam hal anggota DPRD provinsi dinyatakan tidak
      terbukti    melakukan   tindak    pidana   sebagaimana
      dimaksud pada ayat (1) huruf a atau huruf b berdasarkan
      putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan
      hukum tetap, anggota DPRD provinsi yang bersangkutan
      diaktifkan.

(4)   Anggota DPRD provinsi yang diberhentikan sementara,
      tetap mendapatkan hak keuangan tertentu.

(5)   Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemberhentian
      sementara diatur dengan peraturan DPRD provinsi
      tentang tata tertib.



                     Bagian Kelima Belas
                         Penyidikan

                              Pasal 340

(1)   Pemanggilan     dan    permintaan     keterangan untuk
      penyidikan terhadap anggota DPRD provinsi yang
      disangka melakukan tindak pidana harus mendapat
      persetujuan tertulis dari Menteri Dalam Negeri.

(2)   Dalam hal persetujuan tertulis sebagaimana dimaksud
      pada ayat (1) tidak diberikan oleh Menteri Dalam Negeri
      dalam waktu paling lambat 30 (tiga puluh) hari terhitung
      sejak diterimanya permohonan, proses pemanggilan dan
      permintaan keterangan untuk penyidikan sebagaimana
      dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan.

(3)   Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak
      berlaku apabila anggota DPRD provinsi:
      a. tertangkap tangan melakukan tindak pidana;
      b. disangka melakukan tindak pidana kejahatan yang
         diancam dengan pidana mati atau pidana seumur
         hidup atau tindak pidana kejahatan terhadap
         kemanusiaan dan keamanan negara berdasarkan
         bukti permulaan yang cukup; atau
      c. disangka melakukan tindak pidana khusus.

                                                    BAB VI . . .
                       - 146 -


                             BAB VI
                      DPRD KABUPATEN/KOTA

                          Bagian Kesatu
                      Susunan dan Kedudukan

                                 Pasal 341

DPRD      kabupaten/kota    terdiri atas    anggota    partai
politik peserta pemilihan umum yang dipilih melalui pemilihan
umum.


                                 Pasal 342

DPRD kabupaten/kota merupakan lembaga perwakilan rakyat
daerah yang berkedudukan sebagai unsur penyelenggara
pemerintahan daerah kabupaten/kota.



                            Bagian Kedua
                               Fungsi

                                 Pasal 343

(1)   DPRD kabupaten/kota mempunyai fungsi:
      a. legislasi;
      b. anggaran; dan
      c. pengawasan.

(2)   Ketiga fungsi sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
      dijalankan dalam kerangka representasi rakyat di
      kabupaten/kota.


                          Bagian Ketiga
                       Tugas dan Wewenang

                                 Pasal 344

(1)   DPRD kabupaten/kota mempunyai tugas dan wewenang:
      a. membentuk    peraturan              daerah   kabupaten/kota
         bersama bupati/walikota;


                                                      b. membahas . . .
                     - 147 -

      b. membahas dan memberikan persetujuan rancangan
         peraturan daerah mengenai anggaran pendapatan dan
         belanja daerah kabupaten/kota yang diajukan oleh
         bupati/walikota;
      c. melaksanakan pengawasan terhadap pelaksanaan
         peraturan daerah dan anggaran pendapatan dan
         belanja daerah kabupaten/kota;
      d. mengusulkan pengangkatan dan/atau pemberhentian
         bupati/walikota dan/atau wakil bupati/wakil walikota
         kepada Menteri Dalam Negeri melalui gubernur untuk
         mendapatkan pengesahan pengangkatan dan/atau
         pemberhentian;
      e. memilih wakil bupati/wakil walikota dalam hal terjadi
         kekosongan jabatan wakil bupati/wakil walikota;
      f.   memberikan pendapat dan pertimbangan kepada
           pemerintah daerah kabupaten/kota terhadap rencana
           perjanjian internasional di daerah;
      g. memberikan persetujuan terhadap rencana kerja
         sama internasional yang dilakukan oleh pemerintah
         daerah kabupaten/kota;
      h. meminta laporan keterangan pertanggungjawaban
         bupati/walikota dalam penyelenggaraan pemerintahan
         daerah kabupaten/kota;
      i.   memberikan persetujuan terhadap rencana kerja
           sama dengan daerah lain atau dengan pihak ketiga
           yang membebani masyarakat dan daerah;
      j.   mengupayakan    terlaksananya kewajiban daerah
           sesuai dengan   ketentuan peraturan perundang-
           undangan; dan
      k. melaksanakan tugas dan wewenang lain yang diatur
         dalam ketentuan peraturan perundang-undangan.

(2)   Ketentuan mengenai tata cara pelaksanaan tugas dan
      wewenang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur
      dengan peraturan DPRD kabupaten/kota tentang
      tata tertib.

                        Bagian Keempat
                         Keanggotaan

                               Pasal 345

(1)   Anggota DPRD kabupaten/kota berjumlah paling sedikit
      20 (dua puluh) orang dan paling banyak 50 (lima
      puluh) orang.

                                           (2) Keanggotaan . . .
                   - 148 -

(2)   Keanggotaan DPRD kabupaten/kota diresmikan dengan
      keputusan gubernur.

(3)   Anggota DPRD kabupaten/kota berdomisili di ibu kota
      kabupaten/kota yang bersangkutan.

(4)   Masa jabatan anggota DPRD kabupaten/kota adalah
      5 (lima) tahun dan berakhir pada saat anggota DPRD
      kabupaten/kota yang baru mengucapkan sumpah/janji.


                             Pasal 346

(1)   Anggota DPRD kabupaten/kota sebelum memangku
      jabatannya mengucapkan sumpah/janji secara bersama-
      sama yang dipandu oleh ketua pengadilan negeri dalam
      rapat paripurna DPRD kabupaten/kota.

(2)   Anggota DPRD kabupaten/kota yang berhalangan
      mengucapkan sumpah/janji bersama-sama sebagaimana
      dimaksud pada ayat (1) mengucapkan sumpah/janji yang
      dipandu oleh pimpinan DPRD kabupaten/kota.

(3)   Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengucapan
      sumpah/janji sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan
      ayat (2) diatur dengan peraturan DPRD kabupaten/kota
      tentang tata tertib.


                             Pasal 347

Sumpah/janji sebagaimana         dimaksud   dalam   Pasal   346
sebagai berikut:
"Demi Allah (Tuhan) saya bersumpah/berjanji:
bahwa saya akan memenuhi kewajiban saya sebagai
anggota/ketua/wakil ketua Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
kabupaten/kota dengan sebaik-baiknya dan seadil-adilnya,
sesuai dengan peraturan perundang-undangan, dengan
berpedoman pada Pancasila dan Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945;

bahwa saya dalam menjalankan kewajiban akan bekerja
dengan    sungguh-sungguh,  demi tegaknya   kehidupan
demokrasi,    serta mengutamakan kepentingan   bangsa
dan negara daripada kepentingan pribadi, seseorang,
dan golongan;

                                                    bahwa . . .
                   - 149 -

bahwa saya akan memperjuangkan aspirasi rakyat yang saya
wakili untuk mewujudkan tujuan nasional demi kepentingan
bangsa dan Negara Kesatuan Republik Indonesia."


                             Pasal 348

(1)   Dalam hal dilakukan pembentukan kabupaten/kota
      setelah pemilihan umum, pengisian anggota DPRD
      kabupaten/kota    di   kabupaten/kota   induk    dan
      kabupaten/kota yang dibentuk setelah pemilihan umum
      dilakukan dengan cara:
      a. menetapkan jumlah kursi DPRD kabupaten/kota
         induk dan kabupaten/kota yang dibentuk setelah
         pemilihan umum berdasarkan jumlah penduduk
         sesuai dengan ketentuan dalam undang-undang
         mengenai pemilihan umum anggota DPR, DPD,
         dan DPRD;
      b. menetapkan perolehan suara partai politik dan calon
         anggota DPRD kabupaten/kota berdasarkan hasil
         pemilihan umum di daerah pemilihan kabupaten/kota
         induk dan kabupaten/kota yang dibentuk setelah
         pemilihan umum;
      c. menentukan bilangan pembagi pemilih berdasarkan
         hasil pemilihan umum di daerah pemilihan
         kabupaten/kota induk dan kabupaten/kota yang
         dibentuk setelah pemilihan umum;
      d. menentukan perolehan kursi partai politik peserta
         pemilihan umum berdasarkan hasil pemilihan umum
         di daerah pemilihan kabupaten/kota induk dan
         kabupaten/kota yang dibentuk setelah pemilihan
         umum;
      e. menetapkan calon terpilih dari daftar calon tetap
         untuk mengisi kursi sebagaimana dimaksud pada
         huruf d berdasarkan suara terbanyak.

(2)   Pengisian anggota DPRD kabupaten/kota sebagaimana
      dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan oleh KPU
      kabupaten/kota induk.

(3)   Pengisian anggota DPRD provinsi tidak dilakukan bagi
      kabupaten/kota yang dibentuk setelah pemilihan umum
      yang dibentuk 12 (dua belas) bulan sebelum pelaksanaan
      pemilihan umum.

                                                (4) Masa . . .
                        - 150 -

(4)   Masa     jabatan  anggota   DPRD      kabupaten/kota
      sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berakhir pada saat
      anggota DPRD kabupaten/kota hasil pemilihan umum
      berikutnya mengucapkan sumpah/janji.

(5)   Ketentuan lebih lanjut mengenai penetapan jumlah dan
      tata cara pengisian keanggotaan DPRD kabupaten/kota
      induk dan kabupaten/kota yang dibentuk setelah
      pemilihan umum sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
      diatur dengan peraturan KPU sesuai dengan ketentuan
      peraturan perundang-undangan.



                        Bagian Kelima
                   Hak DPRD Kabupaten/Kota

                                  Pasal 349

(1)   DPRD kabupaten/kota mempunyai hak:
      a. interpelasi;
      b. angket; dan
      c. menyatakan pendapat.

(2)   Hak interpelasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
      huruf a adalah hak DPRD kabupaten/kota untuk
      meminta keterangan kepada bupati/walikota mengenai
      kebijakan pemerintah kabupaten/kota yang penting dan
      strategis serta berdampak luas pada kehidupan
      bermasyarakat dan bernegara.

(3)   Hak angket sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b
      adalah hak DPRD kabupaten/kota untuk melakukan
      penyelidikan    terhadap     kebijakan    pemerintah
      kabupaten/kota yang penting dan strategis serta
      berdampak luas pada kehidupan masyarakat, daerah,
      dan negara yang diduga bertentangan dengan ketentuan
      peraturan perundang-undangan.

(4)   Hak menyatakan pendapat sebagaimana dimaksud pada
      ayat (1) huruf c adalah hak DPRD kabupaten/kota untuk
      menyatakan         pendapat      terhadap     kebijakan
      bupati/walikota atau mengenai kejadian luar biasa yang
      terjadi   di   daerah   disertai   dengan  rekomendasi
      penyelesaiannya atau sebagai tindak lanjut pelaksanaan
      hak interpelasi dan hak angket.

                                              Bagian Keenam . . .
                     - 151 -

                        Bagian Keenam
                   Hak dan Kewajiban Anggota

                           Paragraf 1
                          Hak Anggota

                               Pasal 350

Anggota DPRD kabupaten/kota mempunyai hak:
a. mengajukan rancangan peraturan daerah kabupaten/kota;
b. mengajukan pertanyaan;
c. menyampaikan usul dan pendapat;
d. memilih dan dipilih;
e. membela diri;
f.   imunitas;
g. mengikuti orientasi dan pendalaman tugas;
h. protokoler; dan
i.   keuangan dan administratif.



                          Paragraf 2
                       Kewajiban Anggota

                               Pasal 351

Anggota DPRD kabupaten/kota mempunyai kewajiban:
a. memegang teguh dan mengamalkan Pancasila;
b. melaksanakan Undang-Undang Dasar Negara Republik
   Indonesia Tahun 1945 dan menaati peraturan perundang-
   undangan;
c. mempertahankan dan memelihara kerukunan nasional
   dan keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia;
d. mendahulukan kepentingan negara di atas kepentingan
   pribadi, kelompok, dan golongan;
e. memperjuangkan peningkatan kesejahteraan rakyat;
f.   menaati prinsip demokrasi             dalam   penyelenggaraan
     pemerintahan daerah;
g. menaati tata tertib dan kode etik;

                                                     h. menjaga . . .
                     - 152 -

h. menjaga etika dan norma dalam hubungan kerja dengan
   lembaga lain dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah
   kabupaten/kota;
i.    menyerap dan menghimpun aspirasi konstituen melalui
      kunjungan kerja secara berkala;
j.    menampung dan menindaklanjuti aspirasi dan pengaduan
      masyarakat; dan
k. memberikan pertanggungjawaban secara moral dan politis
   kepada konstituen di daerah pemilihannya.


                         Bagian Ketujuh
                             Fraksi

                               Pasal 352

(1)    Untuk mengoptimalkan pelaksanaan fungsi serta tugas
       dan wewenang DPRD kabupaten/kota serta hak dan
       kewajiban anggota DPRD kabupaten/kota, dibentuk
       fraksi sebagai wadah berhimpun anggota DPRD
       kabupaten/kota.

(2)    Setiap anggota DPRD kabupaten/kota harus menjadi
       anggota salah satu fraksi.

(3)    Setiap fraksi di DPRD kabupaten/kota beranggotakan
       paling sedikit sama dengan jumlah komisi di DPRD
       kabupaten/kota.

(4)    Partai politik yang jumlah anggotanya di DPRD
       kabupaten/kota   mencapai  ketentuan   sebagaimana
       dimaksud pada ayat (3) atau lebih dapat membentuk
       1 (satu) fraksi.

(5)    Dalam hal partai politik yang jumlah anggotanya di DPRD
       kabupaten/kota tidak memenuhi ketentuan sebagaimana
       dimaksud pada ayat (3), anggotanya dapat bergabung
       dengan fraksi yang ada atau membentuk fraksi gabungan.

(6)    Dalam hal tidak ada 1 (satu) partai politik yang
       memenuhi     persyaratan untuk membentuk    fraksi
       sebagaimana dimaksud pada ayat (3), maka dibentuk
       fraksi gabungan.
(7)    Jumlah fraksi gabungan sebagaimana dimaksud pada
       ayat (5) dan ayat (6) paling banyak 2 (dua) fraksi.


                                                 (8) Partai . . .
                     - 153 -

(8)   Partai politik sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dan
      ayat (5) harus mendudukkan anggotanya dalam 1 (satu)
      fraksi.

(9)   Fraksi mempunyai sekretariat.

(10) Sekretariat DPRD kabupaten/kota menyediakan sarana,
     anggaran, dan tenaga ahli guna kelancaran pelaksanaan
     tugas fraksi sesuai dengan kebutuhan dan dengan
     memperhatikan kemampuan APBD.


                       Bagian Kedelapan
                       Alat Kelengkapan

                               Pasal 353

(1)   Alat kelengkapan DPRD kabupaten/kota terdiri atas:
      a. pimpinan;
      b. Badan Musyawarah;
      c. komisi;
      d. Badan Legislasi Daerah;
      e. Badan Anggaran;
      f.   Badan Kehormatan; dan
      g. alat kelengkapan lain yang diperlukan dan dibentuk
         oleh rapat paripurna.

(2)   Dalam menjalankan tugasnya, alat kelengkapan dibantu
      oleh sekretariat.

(3)   Ketentuan mengenai tata cara pembentukan, susunan,
      serta tugas dan wewenang alat kelengkapan DPRD
      kabupaten/kota    diatur   dengan   peraturan DPRD
      kabupaten/kota tentang tata tertib.


                               Pasal 354

(1)   Pimpinan DPRD kabupaten/kota terdiri atas:
      a. 1 (satu) orang ketua dan 3 (tiga) orang wakil ketua
         untuk DPRD kabupaten/kota yang beranggotakan
         45 (empat puluh lima) sampai dengan 50 (lima puluh)
         orang;
                                                b. 1 (satu) . . .
                    - 154 -


      b. 1 (satu) orang ketua dan 2 (dua) orang wakil ketua
         untuk DPRD kabupaten/kota yang beranggotakan
         20 (dua puluh) sampai dengan 44 (empat puluh
         empat) orang.

(2)   Pimpinan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berasal
      dari partai politik berdasarkan urutan perolehan kursi
      terbanyak di DPRD kabupaten/kota.

(3)   Ketua DPRD kabupaten/kota ialah anggota DPRD
      kabupaten/kota yang berasal dari partai politik yang
      memperoleh kursi terbanyak pertama di DPRD
      kabupaten/kota.

(4)   Dalam hal terdapat lebih dari 1 (satu) partai politik yang
      memperoleh kursi terbanyak pertama sebagaimana
      dimaksud pada ayat (3), ketua DPRD kabupaten/kota
      ialah anggota DPRD kabupaten/kota yang berasal dari
      partai politik yang memperoleh suara terbanyak.

(5)   Dalam hal terdapat lebih dari 1 (satu) partai politik yang
      memperoleh     suara   terbanyak    sama    sebagaimana
      dimaksud pada ayat (4), penentuan ketua DPRD
      kabupaten/kota dilakukan berdasarkan persebaran
      wilayah perolehan suara partai politik yang lebih luas
      secara berjenjang.

(6)   Dalam hal terdapat lebih dari 1 (satu) partai politik yang
      memperoleh kursi terbanyak pertama sebagaimana
      dimaksud    pada    ayat    (3),  wakil    ketua     DPRD
      kabupaten/kota ialah anggota DPRD kabupaten/kota
      yang berasal dari partai politik yang memperoleh suara
      terbanyak kedua, ketiga, dan/atau keempat.

(7)   Apabila masih terdapat kursi wakil ketua DPRD
      kabupaten/kota yang belum terisi sebagaimana dimaksud
      pada ayat (6), maka kursi wakil ketua diisi oleh anggota
      DPRD kabupaten/kota yang berasal dari partai politik
      yang memperoleh kursi terbanyak kedua.

(8)   Dalam hal terdapat lebih dari 1 (satu) partai politik yang
      memperoleh kursi terbanyak kedua sama, wakil ketua
      sebagaimana dimaksud pada ayat (7) ditentukan
      berdasarkan urutan hasil perolehan suara terbanyak.


                                                   (9) Dalam . . .
                    - 155 -


(9)   Dalam hal terdapat lebih dari 1 (satu) partai politik yang
      memperoleh kursi terbanyak kedua sebagaimana
      dimaksud pada ayat (7), penentuan wakil ketua DPRD
      kabupaten/kota sebagaimana dimaksud pada ayat (8)
      dilakukan berdasarkan persebaran wilayah perolehan
      suara partai politik yang lebih luas secara berjenjang.


                              Pasal 355

(1)   Dalam hal pimpinan DPRD kabupaten/kota sebagaimana
      dimaksud dalam Pasal 354 ayat (1) belum terbentuk,
      DPRD kabupaten/kota dipimpin oleh pimpinan sementara
      DPRD kabupaten/kota.

(2)   Pimpinan sementara DPRD kabupaten/kota sebagaimana
      dimaksud pada ayat (1) terdiri atas 1 (satu) orang ketua
      dan 1 (satu) orang wakil ketua yang berasal dari 2 (dua)
      partai politik yang memperoleh kursi terbanyak pertama
      dan kedua di DPRD kabupaten/kota.

(3)   Dalam hal terdapat lebih dari 1 (satu) partai politik yang
      memperoleh kursi terbanyak sama, ketua dan wakil ketua
      sementara DPRD kabupaten/kota ditentukan secara
      musyawarah oleh wakil partai politik bersangkutan yang
      ada di DPRD kabupaten/kota.

(4)   Ketua dan wakil ketua DPRD kabupaten/kota diresmikan
      dengan keputusan gubernur.

(5)   Pimpinan DPRD kabupaten/kota sebelum memangku
      jabatannya mengucapkan sumpah/janji yang teksnya
      sebagaimana dimaksud dalam Pasal 347 yang dipandu
      oleh ketua pengadilan negeri.

(6)   Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penetapan
      pimpinan DPRD kabupaten/kota diatur dengan peraturan
      DPRD kabupaten/kota tentang tata tertib.


                              Pasal 356

Komisi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 353 ayat (1)
huruf c dibentuk dengan ketentuan:
a. DPRD kabupaten/kota yang beranggotakan 20 (dua puluh)
   sampai dengan 35 (tiga puluh lima) orang membentuk
   3 (tiga) komisi;

                                                   b. DPRD . . .
                    - 156 -



b. DPRD kabupaten/kota yang beranggotakan lebih dari
   35 (tiga puluh lima) orang membentuk 4 (empat) komisi.



                     Bagian Kesembilan
           Pelaksanaan Hak DPRD Kabupaten/Kota

                          Paragraf 1
                        Hak Interpelasi

                              Pasal 357

(1)   Hak interpelasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 349
      ayat (1) huruf a diusulkan oleh:
      a. paling sedikit 5 (lima) orang anggota DPRD
         kabupaten/kota dan lebih dari 1 (satu) fraksi untuk
         DPRD kabupaten/kota yang beranggotakan 20 (dua
         puluh) sampai dengan 35 (tiga puluh lima) orang;
      b. paling sedikit 7 (tujuh) orang anggota DPRD
         kabupaten/kota dan lebih dari 1 (satu) fraksi untuk
         DPRD kabupaten/kota yang beranggotakan di atas
         35 (tiga puluh lima) orang.

(2)   Usul sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diajukan
      kepada pimpinan DPRD kabupaten/kota.

(3)   Usul sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menjadi hak
      interpelasi DPRD kabupaten/kota apabila mendapat
      persetujuan dari rapat paripurna DPRD kabupaten/kota
      yang dihadiri lebih dari 1/2 (satu perdua) dari jumlah
      anggota DPRD kabupaten/kota dan putusan diambil
      dengan persetujuan lebih dari 1/2 (satu perdua) dari
      jumlah anggota DPRD kabupaten/kota yang hadir.


                              Pasal 358

Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pelaksanaan hak
interpelasi diatur dengan peraturan DPRD kabupaten/kota
tentang tata tertib.


                                               Paragraf 2 . . .
                   - 157 -


                         Paragraf 2
                         Hak Angket

                             Pasal 359

(1)   Hak angket sebagaimana dimaksud dalam Pasal 349
      ayat (1) huruf b diusulkan oleh:
      a. paling sedikit 5 (lima) orang anggota DPRD
         kabupaten/kota dan lebih dari 1 (satu) fraksi untuk
         DPRD kabupaten/kota yang beranggotakan 20 (dua
         puluh) sampai dengan 35 (tiga puluh lima) orang;
      b. paling sedikit 7 (tujuh) orang anggota DPRD
         kabupaten/kota dan lebih dari 1 (satu) fraksi untuk
         DPRD kabupaten/kota yang beranggotakan di atas
         35 (tiga puluh lima) orang.

(2)   Usul sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diajukan
      kepada pimpinan DPRD kabupaten/kota.

(3)   Usul sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menjadi hak
      angket   DPRD     kabupaten/kota   apabila   mendapat
      persetujuan dari rapat paripurna DPRD kabupaten/kota
      yang dihadiri sekurang-kurangnya 3/4 (tiga perempat)
      dari jumlah anggota DPRD kabupaten/kota dan putusan
      diambil   dengan     persetujuan   sekurang-kurangnya
      2/3 (dua pertiga) dari jumlah anggota DPRD
      kabupaten/kota yang hadir.



                             Pasal 360

(1)   DPRD kabupaten/kota memutuskan menerima atau
      menolak usul hak angket sebagaimana dimaksud dalam
      Pasal 359 ayat (1).

(2)   Dalam hal DPRD kabupaten/kota menerima usul hak
      angket sebagaimana dimaksud pada ayat (1), DPRD
      kabupaten/kota membentuk panitia angket yang terdiri
      atas semua unsur fraksi DPRD kabupaten/kota dengan
      keputusan DPRD kabupaten/kota.

(3)   Dalam hal DPRD kabupaten/kota menolak usul hak
      angket sebagaimana dimaksud pada ayat (1), usul
      tersebut tidak dapat diajukan kembali.

                                               Pasal 361 . . .
                   - 158 -



                             Pasal 361

(1)   Panitia angket sebagaimana dimaksud dalam Pasal 360
      ayat (2), dalam melakukan penyelidikan sebagaimana
      dimaksud dalam Pasal 349 ayat (3), dapat memanggil
      pejabat pemerintah kabupaten/kota, badan hukum, atau
      warga masyarakat di kabupaten/kota yang dianggap
      mengetahui atau patut mengetahui masalah yang
      diselidiki untuk memberikan keterangan dan untuk
      meminta menunjukkan surat atau dokumen yang
      berkaitan dengan hal yang sedang diselidiki.

(2)   Pejabat pemerintah kabupaten/kota, badan hukum, atau
      warga masyarakat di kabupaten/kota yang dipanggil
      sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib memenuhi
      panggilan DPRD kabupaten/kota kecuali ada alasan yang
      sah menurut peraturan perundang-undangan.

(3)   Dalam hal pejabat pemerintah kabupaten/kota, badan
      hukum, atau warga masyarakat di kabupaten/kota telah
      dipanggil dengan patut secara berturut-turut tidak
      memenuhi panggilan sebagaimana dimaksud pada
      ayat (2), DPRD kabupaten/kota dapat memanggil secara
      paksa dengan bantuan Kepolisian Negara Republik
      Indonesia sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
      undangan.


                             Pasal 362

Panitia angket melaporkan pelaksanaan tugasnya kepada
rapat paripurna DPRD kabupaten/kota paling lama 60 (enam
puluh) hari sejak dibentuknya panitia angket.



                             Pasal 363

Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pelaksanaan hak
angket diatur dengan peraturan DPRD kabupaten/kota
tentang tata tertib.


                                             Paragraf 3 . . .
                   - 159 -

                         Paragraf 3
                  Hak Menyatakan Pendapat

                             Pasal 364

(1)   Hak menyatakan pendapat sebagaimana dimaksud dalam
      Pasal 349 ayat (1) huruf c diusulkan oleh:
      a. paling sedikit 8 (delapan) orang anggota DPRD
         kabupaten/kota dan lebih dari 1 (satu) fraksi untuk
         DPRD kabupaten/kota yang beranggotakan 20 (dua
         puluh) sampai dengan 35 (tiga puluh lima) orang;
      b. paling sedikit 10 (sepuluh) orang anggota DPRD
         kabupaten/kota dan lebih dari 1 (satu) fraksi untuk
         DPRD kabupaten/kota yang beranggotakan di atas
         35 (tiga puluh lima) orang.

(2)   Usul sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diajukan
      kepada pimpinan DPRD kabupaten/kota.

(3)   Usul sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menjadi hak
      menyatakan pendapat DPRD kabupaten/kota apabila
      mendapat persetujuan dari rapat paripurna DPRD
      kabupaten/kota yang dihadiri sekurang-kurangnya
      3/4 (tiga perempat) dari jumlah anggota DPRD
      kabupaten/kota dan putusan diambil dengan persetujuan
      sekurang-kurangnya 2/3 (dua pertiga) dari jumlah
      anggota DPRD kabupaten/kota yang hadir.


                             Pasal 365

Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pelaksanaan hak
menyatakan pendapat diatur dengan peraturan DPRD
kabupaten/kota tentang tata tertib.


                      Bagian Kesepuluh
                  Pelaksanaan Hak Anggota

                         Paragraf 1
                        Hak Imunitas

                             Pasal 366

(1) Anggota DPRD kabupaten/kota mempunyai hak imunitas.


                                               (2) Anggota . . .
                    - 160 -

(2)   Anggota DPRD kabupaten/kota tidak dapat dituntut di
      depan pengadilan karena pernyataan, pertanyaan,
      dan/atau pendapat yang dikemukakannya baik secara
      lisan  maupun    tertulis  di   dalam   rapat    DPRD
      kabupaten/kota   ataupun     di  luar   rapat    DPRD
      kabupaten/kota yang berkaitan dengan fungsi serta tugas
      dan wewenang DPRD kabupaten/kota.

(3)   Anggota DPRD kabupaten/kota tidak dapat diganti
      antarwaktu karena pernyataan, pertanyaan, dan/atau
      pendapat yang dikemukakannya baik di dalam rapat
      DPRD kabupaten/kota maupun di luar rapat DPRD
      kabupaten/kota yang berkaitan dengan fungsi serta tugas
      dan wewenang DPRD kabupaten/kota.

(4)   Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak
      berlaku   dalam    hal   anggota   yang    bersangkutan
      mengumumkan materi yang telah disepakati dalam rapat
      tertutup untuk dirahasiakan atau hal lain yang dimaksud
      dalam ketentuan mengenai rahasia negara sesuai dengan
      ketentuan peraturan perundang-undangan.


                         Paragraf 2
                        Hak Protokoler

                              Pasal 367

(1)   Pimpinan   dan    anggota           DPRD   kabupaten/kota
      mempunyai hak protokoler.

(2)   Hak protokoler sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
      diatur dalam peraturan pemerintah.


                         Paragraf 3
                Hak Keuangan dan Administratif

                              Pasal 368

(1)   Pimpinan dan anggota DPRD kabupaten/kota mempunyai
      hak keuangan dan administratif.

(2)   Hak keuangan dan administratif pimpinan dan anggota
      DPRD kabupaten/kota sebagaimana dimaksud pada
      ayat (1) diatur dengan peraturan pemerintah.

                                                   (3) Dalam . . .
                    - 161 -



(3)   Dalam menjalankan tugas dan wewenangnya, pimpinan
      dan anggota DPRD kabupaten/kota berhak memperoleh
      tunjangan   yang  besarannya  disesuaikan  dengan
      kemampuan daerah.

(4)   Pengelolaan keuangan dan tunjangan sebagaimana
      dimaksud pada ayat (1) dan ayat (3) dilaksanakan oleh
      sekretariat DPRD kabupaten/kota sesuai dengan
      peraturan pemerintah.



                      Bagian Kesebelas
           Persidangan dan Pengambilan Keputusan

                          Paragraf 1
                         Persidangan

                              Pasal 369

(1)   Pada awal masa jabatan keanggotaan, tahun sidang
      DPRD kabupaten/kota dimulai pada saat pengucapan
      sumpah/janji anggota.

(2)   Tahun sidang dibagi dalam 3 (tiga) masa persidangan.

(3)   Masa persidangan meliputi masa sidang dan masa reses,
      kecuali pada persidangan terakhir dari satu periode
      keanggotaan   DPRD    kabupaten/kota,   masa    reses
      ditiadakan.


                              Pasal 370

Semua rapat di DPRD kabupaten/kota pada dasarnya bersifat
terbuka, kecuali rapat tertentu yang dinyatakan tertutup.


                              Pasal 371

Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara persidangan dan
rapat diatur dengan peraturan DPRD kabupaten/kota tentang
tata tertib.

                                                Paragraf 2 . . .
                    - 162 -

                          Paragraf 2
                    Pengambilan Keputusan

                              Pasal 372

(1)   Pengambilan    keputusan   dalam     rapat   DPRD
      kabupaten/kota pada dasarnya dilakukan dengan cara
      musyawarah untuk mufakat.

(2)   Apabila cara pengambilan keputusan sebagaimana
      dimaksud pada ayat (1) tidak tercapai, keputusan diambil
      berdasarkan suara terbanyak.



                              Pasal 373

(1)   Setiap rapat DPRD kabupaten/kota dapat mengambil
      keputusan apabila memenuhi kuorum.

(2)   Kuorum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terpenuhi
      apabila:
      a. rapat dihadiri oleh sekurang-kurangnya 3/4 (tiga
         perempat) dari jumlah anggota DPRD kabupaten/kota
         untuk mengambil persetujuan atas pelaksanaan hak
         angket dan hak menyatakan pendapat serta untuk
         mengambil keputusan mengenai usul pemberhentian
         bupati/walikota    dan/atau    wakil  bupati/wakil
         walikota;
      b. rapat dihadiri oleh sekurang-kurangnya 2/3 (dua
         pertiga) dari jumlah anggota DPRD kabupaten/kota
         untuk      memberhentikan      pimpinan      DPRD
         kabupaten/kota serta untuk menetapkan peraturan
         daerah dan anggaran pendapatan dan belanja daerah;
      c. rapat dihadiri oleh lebih dari 1/2 (satu perdua) jumlah
         anggota DPRD kabupaten/kota untuk rapat paripurna
         DPRD kabupaten/kota selain rapat sebagaimana
         dimaksud pada huruf a dan huruf b.

(3)   Keputusan rapat dinyatakan sah apabila:
      a. disetujui oleh sekurang-kurangnya 2/3 (dua pertiga)
         dari jumlah anggota DPRD kabupaten/kota yang
         hadir, untuk rapat sebagaimana dimaksud pada
         ayat (2) huruf a;

                                                b. disetujui . . .
                    - 163 -

      b. disetujui oleh lebih dari 1/2 (satu perdua) jumlah
         anggota DPRD kabupaten/kota yang hadir, untuk
         rapat sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b;
      c. disetujui dengan suara terbanyak, untuk             rapat
         sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf c.

(4)   Apabila kuorum sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
      tidak terpenuhi, rapat ditunda paling banyak 2 (dua) kali
      dengan tenggang waktu masing-masing tidak lebih dari
      1 (satu) jam.

(5)   Apabila pada akhir waktu penundaan rapat sebagaimana
      dimaksud pada ayat (4) kuorum belum juga terpenuhi,
      pimpinan dapat menunda rapat paling lama 3 (tiga) hari
      atau sampai waktu yang ditetapkan oleh Badan
      Musyawarah.

(6) Apabila setelah penundaan sebagaimana dimaksud pada
    ayat (5), kuorum sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
    belum juga terpenuhi, terhadap ketentuan sebagaimana
    dimaksud pada ayat (2) huruf a dan huruf b, rapat tidak
    dapat mengambil keputusan.

(7)   Apabila setelah penundaan sebagaimana dimaksud pada
      ayat (5), kuorum sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
      belum juga terpenuhi, terhadap ketentuan sebagaimana
      dimaksud pada ayat (2) huruf c, cara penyelesaiannya
      diserahkan kepada pimpinan DPRD kabupaten/kota dan
      pimpinan fraksi.


                              Pasal 374

Setiap keputusan rapat DPRD kabupaten/kota, baik
berdasarkan     musyawarah    untuk   mufakat    maupun
berdasarkan suara terbanyak, merupakan kesepakatan untuk
ditindaklanjuti oleh semua pihak yang terkait dalam
pengambilan keputusan.


                              Pasal 375

Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengambilan
keputusan diatur dengan peraturan DPRD kabupaten/kota
tentang tata tertib.

                                          Bagian Kedua Belas . . .
                   - 164 -

                     Bagian Kedua Belas
                  Tata Tertib dan Kode Etik

                         Paragraf 1
                         Tata Tertib

                             Pasal 376

(1)   Tata tertib DPRD kabupaten/kota ditetapkan oleh DPRD
      kabupaten/kota dengan berpedoman pada peraturan
      perundang-undangan.

(2)   Tata tertib sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku
      di lingkungan internal DPRD kabupaten/kota.

(3)   Tata tertib DPRD kabupaten/kota paling sedikit memuat
      ketentuan tentang:
      a. pengucapan sumpah/janji;
      b. penetapan pimpinan;
      c. pemberhentian dan penggantian pimpinan;
      d. jenis dan penyelenggaraan rapat;
      e. pelaksanaan fungsi, tugas dan wewenang lembaga,
         serta hak dan kewajiban anggota;
      f. pembentukan, susunan, serta tugas dan wewenang
         alat kelengkapan;
      g. penggantian antarwaktu anggota;
      h. pembuatan pengambilan keputusan;
      i. pelaksanaan konsultasi antara DPRD kabupaten/kota
         dan pemerintah daerah kabupaten/kota;
      j. penerimaan pengaduan         dan   penyaluran    aspirasi
         masyarakat;
      k. pengaturan protokoler; dan
      l. pelaksanaan tugas kelompok pakar/ahli.



                          Paragraf 2
                          Kode Etik

                             Pasal 377

DPRD kabupaten/kota menyusun kode etik yang berisi norma
yang wajib dipatuhi oleh setiap anggota selama menjalankan
tugasnya untuk menjaga martabat, kehormatan, citra, dan
kredibilitas DPRD kabupaten/kota.

                                         Bagian Ketiga Belas . . .
                    - 165 -

                      Bagian Ketiga Belas
                     Larangan dan Sanksi

                           Paragraf 1
                           Larangan

                              Pasal 378

(1)   Anggota DPRD       kabupaten/kota   dilarang   merangkap
      jabatan sebagai:
      a. pejabat negara atau pejabat daerah lainnya;
      b. hakim pada badan peradilan; atau
      c. pegawai negeri sipil, anggota Tentara Nasional
         Indonesia/Kepolisian Negara Republik Indonesia,
         pegawai pada badan usaha milik negara, badan usaha
         milik daerah, atau badan lain yang anggarannya
         bersumber dari APBN/APBD.

(2)   Anggota DPRD kabupaten/kota dilarang melakukan
      pekerjaan sebagai pejabat struktural pada lembaga
      pendidikan swasta, akuntan publik, konsultan, advokat
      atau pengacara, notaris, dan pekerjaan lain yang ada
      hubungannya dengan tugas dan wewenang DPRD
      kabupaten/kota serta hak sebagai anggota DPRD
      kabupaten/kota.

(3)   Anggota DPRD kabupaten/kota dilarang melakukan
      korupsi, kolusi, dan nepotisme serta dilarang menerima
      gratifikasi.


                           Paragraf 2
                            Sanksi

                              Pasal 379

(1)   Anggota DPRD kabupaten/kota yang tidak melaksanakan
      kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 351
      dikenai  sanksi   berdasarkan   keputusan     Badan
      Kehormatan.

(2)   Anggota DPRD kabupaten/kota yang dinyatakan terbukti
      melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam
      Pasal 378 ayat (1) dan/atau ayat (2) dikenai sanksi
      pemberhentian sebagai anggota DPRD kabupaten/kota.


                                                (3) Anggota . . .
                     - 166 -

(3)   Anggota DPRD kabupaten/kota yang dinyatakan terbukti
      melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam
      Pasal 378 ayat (3) berdasarkan putusan pengadilan yang
      telah memperoleh kekuatan hukum tetap dikenai sanksi
      pemberhentian sebagai anggota DPRD kabupaten/kota.


                               Pasal 380
Jenis sanksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 379 ayat (1)
berupa:
a. teguran lisan;
b. teguran tertulis; dan/atau
c. diberhentikan dari pimpinan pada alat kelengkapan.


                               Pasal 381
Setiap orang, kelompok, atau organisasi dapat mengajukan
pengaduan kepada Badan Kehormatan DPRD kabupaten/kota
dalam hal memiliki bukti yang cukup bahwa terdapat anggota
DPRD kabupaten/kota yang tidak melaksanakan salah satu
kewajiban atau lebih sebagaimana dimaksud dalam Pasal 351
dan/atau melanggar ketentuan larangan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 378.


                               Pasal 382

Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengaduan
masyarakat dan penjatuhan sanksi diatur dengan peraturan
DPRD kabupaten/kota tentang tata beracara badan
kehormatan.

                    Bagian Keempat Belas
      Pemberhentian Antarwaktu, Penggantian Antarwaktu,
                dan Pemberhentian Sementara

                           Paragraf 1
                    Pemberhentian Antarwaktu

                               Pasal 383

(1)   Anggota   DPRD    kabupaten/kota     berhenti   antarwaktu
      karena:
      a. meninggal dunia;

                                           b. mengundurkan . . .
                      - 167 -



      b. mengundurkan diri; atau
      c. diberhentikan.

(2)   Anggota DPRD kabupaten/kota diberhentikan antarwaktu
      sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c, apabila:
      a. tidak dapat melaksanakan tugas secara berkelanjutan
         atau berhalangan tetap sebagai anggota DPRD
         kabupaten/kota selama 3 (tiga) bulan berturut-turut
         tanpa keterangan apa pun;
      b. melanggar sumpah/janji jabatan dan kode etik DPRD
         kabupaten/kota;
      c. dinyatakan bersalah berdasarkan putusan pengadilan
         yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap karena
         melakukan tindak pidana dengan ancaman hukuman
         5 (lima) tahun penjara atau lebih;
      d. tidak menghadiri rapat paripurna dan/atau rapat alat
         kelengkapan DPRD kabupaten/kota yang menjadi
         tugas dan kewajibannya sebanyak 6 (enam) kali
         berturut-turut tanpa alasan yang sah;
      e. diusulkan oleh partai politiknya sesuai         dengan
         ketentuan peraturan perundang-undangan;
      f.   tidak lagi memenuhi syarat sebagai calon anggota
           DPRD kabupaten/kota sesuai dengan ketentuan
           peraturan perundang-undangan mengenai pemilihan
           umum;
      g. melanggar ketentuan larangan sebagaimana diatur
         dalam Undang-Undang ini;
      h. diberhentikan sebagai anggota partai politik sesuai
         dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;
         atau
      i.   menjadi anggota partai politik lain.


                                Pasal 384

(1)   Pemberhentian      anggota     DPRD       kabupaten/kota
      sebagaimana dimaksud dalam Pasal 383 ayat (1) huruf a
      dan huruf b serta pada ayat (2) huruf c, huruf e, huruf h,
      dan huruf i diusulkan oleh pimpinan partai politik kepada
      pimpinan DPRD kabupaten/kota dengan tembusan
      kepada gubernur.

                                                   (2) Paling . . .
                    - 168 -

(2)   Paling lama 7 (tujuh) hari sejak diterimanya usul
      pemberhentian sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
      pimpinan DPRD kabupaten/kota menyampaikan usul
      pemberhentian anggota DPRD kabupaten/kota kepada
      gubernur melalui bupati/walikota untuk memperoleh
      peresmian pemberhentian.

(3)   Paling lama 7 (tujuh) hari sejak diterimanya usul
      pemberhentian sebagaimana dimaksud pada ayat (2),
      bupati/walikota menyampaikan usul tersebut kepada
      gubernur.

(4)   Gubernur meresmikan pemberhentian sebagaimana
      dimaksud pada ayat (2) paling lama 14 (empat belas) hari
      sejak diterimanya usul pemberhentian anggota DPRD
      kabupaten/kota dari bupati/walikota.


                              Pasal 385
(1)   Pemberhentian      anggota     DPRD       kabupaten/kota
      sebagaimana dimaksud dalam Pasal 383 ayat (2) huruf a,
      huruf b, huruf d, huruf f, dan huruf g, dilakukan setelah
      adanya hasil penyelidikan dan verifikasi yang dituangkan
      dalam     keputusan      badan     kehormatan      DPRD
      kabupaten/kota atas pengaduan dari pimpinan DPRD
      kabupaten/kota, masyarakat, dan/atau pemilih.

(2)   Keputusan badan kehormatan DPRD kabupaten/kota
      mengenai pemberhentian anggota DPRD kabupaten/kota
      sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaporkan oleh
      badan kehormatan DPRD kabupaten/kota kepada rapat
      paripurna.

(3)   Paling lama 7 (tujuh) hari sejak keputusan badan
      kehormatan DPRD kabupaten/kota yang telah dilaporkan
      dalam rapat paripurna sebagaimana dimaksud pada
      ayat (2), pimpinan DPRD kabupaten/kota menyampaikan
      keputusan badan kehormatan DPRD kabupaten/kota
      kepada pimpinan partai politik yang bersangkutan.

(4)   Pimpinan    partai    politik    yang   bersangkutan
      menyampaikan    keputusan     tentang  pemberhentian
      anggotanya kepada pimpinan DPRD kabupaten/kota,
      paling lambat 30 (tiga puluh) hari sejak diterimanya
      keputusan badan kehormatan DPRD kabupaten/kota
      sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dari pimpinan
      DPRD kabupaten/kota.

                                                 (5) Dalam . . .
                      - 169 -

(5)   Dalam hal pimpinan partai politik sebagaimana dimaksud
      pada    ayat    (3)   tidak   memberikan     keputusan
      pemberhentian sebagaimana dimaksud pada ayat (4),
      pimpinan DPRD kabupaten/kota meneruskan keputusan
      badan kehormatan DPRD kabupaten/kota sebagaimana
      dimaksud pada ayat (2) kepada gubernur melalui
      bupati/walikota     untuk     memperoleh     peresmian
      pemberhentian.

(6)   Paling lama 7 (tujuh) hari sejak diterimanya keputusan
      pemberhentian sebagaimana dimaksud pada ayat (5),
      bupati/walikota menyampaikan keputusan tersebut
      kepada gubernur.

(7)   Gubernur meresmikan pemberhentian sebagaimana
      dimaksud pada ayat (5) paling lama 14 (empat belas) hari
      sejak diterimanya keputusan badan kehormatan DPRD
      kabupaten/kota atau keputusan pimpinan partai politik
      tentang pemberhentian anggotanya dari bupati/walikota.


                                Pasal 386

(1)   Dalam hal      pelaksanaan penyelidikan dan verifikasi
      sebagaimana    dimaksud dalam Pasal 385 ayat (1), badan
      kehormatan      DPRD kabupaten/kota dapat meminta
      bantuan dari   ahli independen.

(2)   Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penyelidikan,
      verifikasi, dan pengambilan keputusan oleh badan
      kehormatan DPRD kabupaten/kota diatur dengan
      peraturan DPRD kabupaten/kota tentang tata beracara
      badan kehormatan.


                           Paragraf 2
                     Penggantian Antarwaktu

                                Pasal 387

(1)   Anggota DPRD kabupaten/kota yang berhenti antarwaktu
      sebagaimana dimaksud dalam Pasal 384 ayat (1) dan
      Pasal 385 ayat (1) digantikan oleh calon anggota DPRD
      kabupaten/kota yang memperoleh suara terbanyak
      urutan berikutnya dalam daftar peringkat perolehan
      suara dari partai politik yang sama pada daerah
      pemilihan yang sama.

                                                (2) Dalam . . .
                    - 170 -



(2)   Dalam hal calon anggota DPRD kabupaten/kota yang
      memperoleh    suara   terbanyak   urutan   berikutnya
      sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meninggal dunia,
      mengundurkan diri, atau tidak lagi memenuhi syarat
      sebagai calon anggota, anggota DPRD kabupaten/kota
      sebagaimana dimaksud pada ayat (1) digantikan oleh
      calon anggota DPRD kabupaten/kota yang memperoleh
      suara terbanyak urutan berikutnya dari partai politik
      yang sama pada daerah pemilihan yang sama.

(3)   Masa jabatan anggota DPRD kabupaten/kota pengganti
      antarwaktu melanjutkan sisa masa jabatan anggota
      DPRD kabupaten/kota yang digantikannya.


                              Pasal 388

(1)   Pimpinan DPRD kabupaten/kota menyampaikan nama
      anggota DPRD kabupaten/kota yang diberhentikan
      antarwaktu dan meminta nama calon pengganti
      antarwaktu kepada KPU kabupaten/kota.

(2)   KPU kabupaten/kota menyampaikan nama calon
      pengganti     antarwaktu     berdasarkan    ketentuan
      sebagaimana dimaksud dalam Pasal 387 ayat (1) dan
      ayat (2) kepada pimpinan DPRD kabupaten/kota paling
      lambat 5 (lima) hari sejak diterimanya surat pimpinan
      DPRD kabupaten/kota.

(3)   Paling lambat 7 (tujuh) hari sejak menerima nama calon
      pengganti   antarwaktu    dari    KPU   kabupaten/kota
      sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Pimpinan DPRD
      kabupaten/kota menyampaikan nama anggota DPRD
      kabupaten/kota yang diberhentikan dan nama calon
      pengganti   antarwaktu     kepada    gubernur   melalui
      bupati/walikota.

(4)   Paling lambat 7 (tujuh) hari sejak menerima nama
      anggota DPRD kabupaten/kota yang diberhentikan dan
      nama calon pengganti antarwaktu sebagaimana dimaksud
      pada ayat (3), bupati/walikota menyampaikan nama
      anggota DPRD kabupaten/kota yang diberhentikan dan
      nama calon pengganti antarwaktu kepada gubernur.


                                                (5) Paling . . .
                    - 171 -



(5)   Paling lambat 14 (empat belas) hari sejak menerima nama
      anggota DPRD kabupaten/kota yang diberhentikan dan
      nama calon pengganti antarwaktu dari bupati/walikota
      sebagaimana dimaksud pada ayat (4), gubernur
      meresmikan     pemberhentian     dan    pengangkatannya
      dengan keputusan gubernur.

(6)   Sebelum   memangku      jabatannya,    anggota    DPRD
      kabupaten/kota pengganti antarwaktu sebagaimana
      dimaksud pada ayat (3) mengucapkan sumpah/janji yang
      pengucapannya     dipandu    oleh   pimpinan      DPRD
      kabupaten/kota, dengan tata cara dan teks sumpah/janji
      sebagaimana diatur dalam Pasal 346 dan Pasal 347.

(7)   Penggantian antarwaktu anggota DPRD kabupaten/kota
      tidak dilaksanakan apabila sisa masa jabatan anggota
      DPRD kabupaten/kota yang digantikan kurang dari
      6 (enam) bulan.


                              Pasal 389

Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengajuan
penggantian antarwaktu, verifikasi terhadap persyaratan calon
pengganti antarwaktu, dan peresmian calon pengganti
antarwaktu anggota DPRD kabupaten/kota diatur dengan
peraturan pemerintah.


                          Paragraf 3
                   Pemberhentian Sementara

                              Pasal 390

(1)   Anggota DPRD kabupaten/kota diberhentikan sementara
      karena:
      a. menjadi terdakwa dalam perkara tindak pidana umum
         yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun
         atau lebih; atau
      b. menjadi   terdakwa     dalam     perkara   tindak   pidana
         khusus.


                                                     (2) Dalam . . .
                    - 172 -



(2)   Dalam hal anggota DPRD kabupaten/kota dinyatakan
      terbukti bersalah karena melakukan tindak pidana
      sebagaimana dimaksud ayat (1) huruf a atau huruf b
      berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh
      kekuatan hukum tetap, anggota DPRD kabupaten/kota
      yang bersangkutan diberhentikan sebagai anggota DPRD
      kabupaten/kota.

(3)   Dalam hal anggota DPRD kabupaten/kota dinyatakan
      tidak terbukti melakukan tindak pidana sebagaimana
      dimaksud pada ayat (1) huruf a atau huruf b berdasarkan
      putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan
      hukum tetap, anggota DPRD kabupaten/kota yang
      bersangkutan diaktifkan.

(4)   Anggota DPRD kabupaten/kota yang diberhentikan
      sementara, tetap mendapatkan hak keuangan tertentu.

(5)   Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemberhentian
      sementara     diatur     dengan     peraturan    DPRD
      kabupaten/kota tentang tata tertib.


                     Bagian Kelima Belas
                         Penyidikan

                              Pasal 391

(1)   Pemanggilan   dan    permintaan      keterangan untuk
      penyidikan terhadap anggota DPRD kabupaten/kota
      yang disangka melakukan perbuatan pidana harus
      mendapat persetujuan tertulis dari gubernur.

(2)   Dalam hal persetujuan tertulis sebagaimana dimaksud
      pada ayat (1) tidak diberikan oleh gubernur dalam waktu
      paling lambat 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak
      diterimanya permohonan, proses pemanggilan dan
      permintaan keterangan untuk penyidikan sebagaimana
      dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan.

(3)   Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak
      berlaku apabila anggota DPRD kabupaten/kota:
      a. tertangkap tangan melakukan tindak pidana;


                                              b. disangka . . .
                    - 173 -




      b. disangka melakukan tindak pidana kejahatan yang
         diancam dengan pidana mati atau pidana seumur
         hidup atau tindak pidana kejahatan terhadap
         kemanusiaan dan keamanan negara berdasarkan
         bukti permulaan yang cukup; atau
      c. disangka melakukan tindak pidana khusus.


                          BAB VII
                    SISTEM PENDUKUNG

                       Bagian Kesatu
            Sistem Pendukung MPR, DPR, dan DPD

                          Paragraf 1
                          Organisasi

                              Pasal 392

(1)   Untuk mendukung kelancaran pelaksanaan tugas dan
      wewenang MPR, DPR, dan DPD, dibentuk Sekretariat
      Jenderal MPR, Sekretariat Jenderal DPR, dan Sekretariat
      Jenderal DPD yang susunan organisasi dan tata kerjanya
      diatur dengan peraturan Presiden atas usul lembaga
      masing-masing.
(2)   Untuk mendukung kelancaran pelaksanaan tugas dan
      wewenang DPR, dibentuk badan fungsional/keahlian yang
      ditetapkan dengan peraturan DPR setelah dikonsultasikan
      dengan Pemerintah.
(3)   Badan fungsional/keahlian sebagaimana dimaksud pada
      ayat (2) secara fungsional bertanggung jawab kepada DPR
      dan secara administratif berada di bawah Sekretariat
      Jenderal DPR.
(4)   Pimpinan MPR, pimpinan DPR, dan pimpinan DPD
      melalui alat kelengkapan melakukan koordinasi dalam
      rangka pengelolaan sarana dan prasarana dalam kawasan
      gedung perkantoran MPR, DPR, dan DPD.


                                              Paragraf 2 . . .
                    - 174 -

                          Paragraf 2
                      Pimpinan Organisasi

                              Pasal 393

(1)   Sekretariat Jenderal MPR, Sekretariat Jenderal DPR, dan
      Sekretariat Jenderal DPD sebagaimana dimaksud dalam
      Pasal 392, masing-masing dipimpin oleh seorang
      sekretaris jenderal yang diusulkan oleh pimpinan lembaga
      masing-masing sebanyak 3 (tiga) orang kepada Presiden.

(2)   Sekretaris jenderal sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
      pada dasarnya berasal dari pegawai negeri sipil
      profesional yang memenuhi syarat sesuai dengan
      ketentuan peraturan perundang-undangan.

(3)   Sebelum mengajukan usul nama calon sekretaris jenderal
      sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2),
      pimpinan lembaga masing-masing harus berkonsultasi
      dengan Pemerintah.

(4)   Usul nama calon Sekretaris Jenderal MPR, Sekretaris
      Jenderal DPR, dan Sekretaris Jenderal DPD sebagaimana
      dimaksud pada ayat (3) ditetapkan dengan keputusan
      pimpinan lembaga masing-masing untuk diangkat dengan
      keputusan Presiden.

(5)   Dalam melaksanakan tugasnya, Sekretaris Jenderal MPR,
      Sekretaris Jenderal DPR, dan Sekretaris Jenderal DPD
      bertanggung jawab kepada pimpinan lembaga masing-
      masing.

(6)   Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemilihan dan
      tata cara pertanggungjawaban sekretaris jenderal diatur
      dengan peraturan lembaga masing-masing.



                           Paragraf 3
                            Pegawai

                              Pasal 394

(1)   Pegawai Sekretariat Jenderal MPR, Sekretariat Jenderal
      DPR dan badan fungsional/keahlian DPR, serta
      Sekretariat Jenderal DPD terdiri atas pegawai negeri sipil
      dan pegawai tidak tetap.

                                              (2) Ketentuan . . .
                    - 175 -


(2)   Ketentuan mengenai manajemen kepegawaian MPR, DPR,
      dan DPD diatur dengan peraturan lembaga masing-
      masing yang dibahas bersama dengan Pemerintah untuk
      ditetapkan dalam peraturan pemerintah.


                        Paragraf 4
                Kelompok Pakar atau Tim Ahli

                              Pasal 395

(1)   Dalam rangka melaksanakan tugas dan wewenang DPR
      dan DPD dibentuk kelompok pakar atau tim ahli yang
      diperbantukan terutama kepada anggota.

(2)   Kelompok pakar atau tim ahli        sebagaimana dimaksud
      pada ayat (1) diangkat dan           diberhentikan dengan
      keputusan Sekretaris Jenderal        DPR atau Sekretaris
      Jenderal DPD sesuai dengan           kebutuhan atas usul
      anggota.


                        Bagian Kedua
               Sistem Pendukung DPRD Provinsi

                           Paragraf 1
                          Sekretariat

                              Pasal 396

(1)   Untuk mendukung kelancaran pelaksanaan tugas dan
      wewenang DPRD provinsi, dibentuk sekretariat DPRD
      provinsi yang susunan organisasi dan tata kerjanya
      ditetapkan dengan peraturan daerah provinsi sesuai
      dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

(2)   Sekretariat DPRD provinsi sebagaimana dimaksud pada
      ayat (1) dipimpin oleh seorang sekretaris DPRD provinsi
      yang diangkat dan diberhentikan dengan keputusan
      gubernur atas persetujuan pimpinan DPRD provinsi.

(3)   Sekretaris DPRD provinsi dan pegawai sekretariat DPRD
      provinsi berasal dari pegawai negeri sipil.


                                                 Paragraf 2 . . .
                    - 176 -

                        Paragraf 2
                Kelompok Pakar atau Tim Ahli
                              Pasal 397
(1)   Dalam rangka melaksanakan tugas dan wewenang DPRD
      provinsi, dibentuk kelompok pakar atau tim ahli.

(2)   Kelompok pakar atau tim ahli sebagaimana dimaksud
      pada ayat (1) diangkat dan diberhentikan dengan
      keputusan sekretaris DPRD provinsi sesuai dengan
      kebutuhan atas usul anggota dan kemampuan daerah.
(3)   Kelompok pakar atau tim ahli sebagaimana dimaksud
      pada ayat (1) bekerja sesuai dengan pengelompokan tugas
      dan wewenang DPRD provinsi yang tercermin dalam alat
      kelengkapan DPRD provinsi.


                        Bagian Ketiga
           Sistem Pendukung DPRD Kabupaten/Kota
                          Paragraf 1
                          Sekretariat
                              Pasal 398
(1)   Untuk mendukung kelancaran pelaksanaan tugas dan
      wewenang DPRD kabupaten/kota, dibentuk sekretariat
      DPRD kabupaten/kota yang susunan organisasi dan tata
      kerjanya   ditetapkan dengan    peraturan    daerah
      kabupaten/kota sesuai dengan ketentuan peraturan
      perundang-undangan.

(2)   Sekretariat DPRD       kabupaten/kota     sebagaimana
      dimaksud pada ayat (1) dipimpin oleh seorang sekretaris
      DPRD kabupaten/kota yang diangkat dan diberhentikan
      dengan keputusan bupati/walikota atas persetujuan
      pimpinan DPRD kabupaten/kota.
(3)   Sekretaris DPRD kabupaten/kota dan pegawai sekretariat
      DPRD kabupaten/kota berasal dari pegawai negeri sipil.

                        Paragraf 2
                Kelompok Pakar atau Tim Ahli
                              Pasal 399

(1)   Dalam rangka melaksanakan tugas dan wewenang DPRD
      kabupaten/kota, dibentuk kelompok pakar atau tim ahli.


                                             (2) Kelompok . . .
                    - 177 -

(2)   Kelompok pakar atau tim ahli sebagaimana dimaksud
      pada ayat (1) diangkat dan diberhentikan dengan
      keputusan sekretaris DPRD kabupaten/kota sesuai
      dengan kebutuhan atas usul anggota dan kemampuan
      daerah.

(3)   Kelompok pakar atau tim ahli sebagaimana dimaksud
      pada ayat (1) bekerja sesuai dengan pengelompokan tugas
      dan wewenang DPRD kabupaten/kota yang tercermin
      dalam alat kelengkapan DPRD kabupaten/kota.


                        BAB VIII
                   KETENTUAN LAIN-LAIN
                              Pasal 400
Undang-Undang ini berlaku juga bagi Dewan Perwakilan
Rakyat      Aceh   (DPRA),    dewan   perwakilan   rakyat
kabupaten/kota (DPRK) di Aceh, Dewan Perwakilan Rakyat
Papua (DPRP) di Provinsi Papua, dan DPRD Provinsi Papua
Barat, sepanjang tidak diatur khusus dalam undang-undang
tersendiri.

                         BAB IX
                   KETENTUAN PERALIHAN

                              Pasal 401

Penyampaian rincian unit organisasi, fungsi, program, dan
kegiatan untuk pembicaraan pendahuluan dalam rangka
penyusunan rancangan APBN sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 157 ayat (1) huruf c mulai dilaksanakan tahun 2012
untuk penyusunan APBN Tahun 2013.


                              Pasal 402

Penyediaan kantor DPD di setiap ibu kota provinsi untuk
memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 227
ayat (4) dilakukan secara bertahap oleh Pemerintah paling
lama 2 (dua) tahun sejak Undang-Undang ini diundangkan.
                                    [[[[[[




                              Pasal 403
Bagi kabupaten/kota yang dibentuk sebelum pemilihan umum
tahun 2009 dan belum terbentuk DPRD kabupaten/kota,
pengisian keanggotaannya berlaku ketentuan Pasal 348
Undang-Undang ini.

                                                Pasal 404 . . .
                  - 178 -

                            Pasal 404

Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku, Undang-Undang
Nomor 22 Tahun 2003 tentang Susunan dan Kedudukan
Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat,
Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat
Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003
Nomor 92, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 4310) tetap berlaku bagi MPR, DPR, DPD, DPRD
provinsi, dan DPRD kabupaten/kota hasil Pemilihan Umum
Tahun 2004 sampai dengan pengucapan sumpah/janji
anggota MPR, DPR, DPD, DPRD provinsi, dan DPRD
kabupaten/kota hasil pemilihan umum berikutnya.


                        BAB X
                  KETENTUAN PENUTUP

                            Pasal 405

Peraturan pelaksanaan Undang-Undang ini harus telah
ditetapkan paling lambat 1 (satu) tahun sejak Undang-Undang
ini diundangkan.

                            Pasal 406

Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku, ketentuan
peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai
MPR, DPR, DPD, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota
dan ketentuan undang-undang lainnya dinyatakan tetap
berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan Undang-Undang
ini atau tidak diatur secara khusus dalam Undang-Undang ini.


                            Pasal 407

Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku, Undang-Undang
Nomor 22 Tahun 2003 tentang Susunan dan Kedudukan
Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat,
Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat
Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003
Nomor 92, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 4310), dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.

                            Pasal 408
Undang-Undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.

                                                  Agar . . .
                                  - 179 -

                Agar   setiap  orang    mengetahuinya,    memerintahkan
                pengundangan Undang-Undang ini dengan penempatannya
                dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.

                                      Disahkan di Jakarta
                                      pada tanggal 29 Agustus 2009
                                      PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

                                                   ttd.


                                      DR. H. SUSILO BAMBANG YUDHOYONO



Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 29 Agustus 2009
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
         REPUBLIK INDONESIA,

                    ttd.


            ANDI MATTALATTA


LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2009 NOMOR 123


        Salinan sesuai dengan aslinya
         SEKRETARIAT NEGARA RI
 Kepala Biro Peraturan Perundang-undangan
  Bidang Politik dan Kesejahteraan Rakyat,




              Wisnu Setiawan
                             PENJELASAN
                                 ATAS
                UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
                        NOMOR 27 TAHUN 2009
                               TENTANG
  MAJELIS PERMUSYAWARATAN RAKYAT, DEWAN PERWAKILAN RAKYAT,
DEWAN PERWAKILAN DAERAH, DAN DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH




I. UMUM
  Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
  mengamanatkan bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah negara
  yang berkedaulatan rakyat yang dalam pelaksanaannya menganut prinsip
  kerakyatan   yang    dipimpin  oleh   hikmat   kebijaksanaan  dalam
  permusyawaratan/perwakilan.
  Untuk melaksanakan kedaulatan rakyat berdasarkan kerakyatan yang
  dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan,
  perlu diwujudkan lembaga permusyawaratan rakyat, lembaga perwakilan
  rakyat, dan lembaga perwakilan daerah yang mampu mengejewantahkan
  nilai-nilai demokrasi serta dapat menyerap dan memperjuangkan aspirasi
  rakyat, termasuk kepentingan daerah, agar sesuai dengan tuntutan
  perkembangan kehidupan berbangsa dan bernegara.
  Sejalan dengan perkembangan kehidupan ketatanegaraan dan politik
  bangsa, termasuk perkembangan dalam lembaga permusyawaratan rakyat,
  lembaga perwakilan rakyat, dan lembaga perwakilan daerah, dan lembaga
  perwakilan rakyat daerah telah dibentuk Undang-Undang Nomor 22
  Tahun 2003 tentang Susunan dan Kedudukan Majelis Permusyawaratan
  Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan
  Perwakilan Rakyat Daerah, yang dimaksudkan sebagai upaya penataan
  susunan dan kedudukan Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan
  Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan
  Rakyat Daerah dalam rangka mewujudkan lembaga permusyawaratan
  rakyat, lembaga perwakilan rakyat, dan lembaga perwakilan daerah, serta
  lembaga perwakilan rakyat daerah.
  Untuk mengembangkan kehidupan demokrasi dalam penyelenggaraan
  pemerintahan daerah, perlu diwujudkan lembaga perwakilan rakyat daerah
  sebagai penyelenggara pemerintahan daerah bersama dengan pemerintah
  daerah sehingga mampu mengatur dan mengurus urusan pemerintahan
  dan kepentingan masyarakat setempat berdasarkan aspirasi masyarakat
  dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia.
                                                              Untuk . . .
                                 -2-

Untuk mewujudkan lembaga permusyawaratan/perwakilan yang lebih
mampu mengejawantahkan nilai-nilai demokratis dan memperjuangkan
aspirasi rakyat dan daerah sesuai dengan perkembangan kehidupan
berbangsa dan bernegara, perlu penataan kembali kelembagaan Majelis
Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan
Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah sebagaimana dimaksud
dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Dalam membentuk undang-undang yang mengatur secara komprehensif
tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD, terjadi pengubahan judul, dengan
menghapus frasa "Susunan dan Kedudukan" yang tercantum dalam judul
Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2003. Penghapusan tersebut
dimaksudkan untuk tidak membatasi pengaturan yang hanya terbatas pada
materi muatan susunan dan kedudukan lembaga, tetapi juga mengatur hal-
hal lain yang lebih bersifat komprehensif.

Berkaitan dengan penguatan dan pengefektifan kelembagaan MPR, DPR,
DPD, dan DPRD, terdapat penambahan, pengubahan penamaan
(nomenklatur), dan penghapusan alat kelengkapan dalam rangka
mendukung fungsi serta tugas dan wewenang kelembagaan tersebut. Di
MPR, alat kelengkapan Badan Kehormatan dihapus karena dipandang alat
kelengkapan tersebut telah ada di lembaga DPR dan DPD yang anggotanya
sebagai unsur MPR. Di DPR dibentuk alat kelengkapan baru, yaitu Badan
Akuntabilitas Keuangan Negara sebagai alat kelengkapan yang bersifat tetap
yang berfungsi untuk menindaklanjuti laporan hasil pemeriksaan BPK
dalam hal pengawasan penggunaan keuangan negara sehingga diharapkan
keberadaan alat kelengkapan ini berkontribusi positif dalam pelaksanaan
transparansi dan akuntabilitas penggunaan keuangan negara. Selanjutnya,
terdapat pula alat kelengkapan di DPR yang mengalami pengubahan
nomenklatur yaitu Panitia Anggaran diubah menjadi Badan Anggaran, yang
bermaksud untuk menegaskan alat kelengkapan tersebut bersifat
permanen. Di DPD pengubahan terjadi pada nomenklatur panitia ad hoc
yang diubah menjadi panitia kerja, serta menghapus alat kelengkapan
Panitia Kerja Sama Lembaga Perwakilan. Di DPRD terdapat penggantian
nomenklatur panitia menjadi badan agar lebih jelas keberadaan
kelembagaan politiknya, yaitu Panitia Musyawarah menjadi Badan
Musyawarah dan Panitia Anggaran menjadi Badan Anggaran. Berkaitan
dengan alat kelengkapan di MPR, DPR, DPD, DPRD provinsi, dan DPRD
kabupaten/kota, perlu memperhatikan keterwakilan perempuan sebagai
pimpinan alat kelengkapan.

Dalam rangka penguatan fungsi legislasi DPR sebagai suatu pelaksanaan
amandemen Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945,
perlu pula diatur lebih lanjut mengenai penguatan peran DPR dalam proses
perancangan, pembentukan, dan sekaligus pembahasan rancangan undang-
undang. Hal tersebut dimaksudkan untuk menjawab kritik bahwa DPR
kurang maksimal dalam menjalankan fungsi legislasi. Artinya adalah bahwa

                                                                     di . . .
                                 -3-

di satu sisi kinerja DPR yang berkaitan dengan legislasi diusahakan
seoptimal mungkin, tetapi di sisi lain secara individual juga dituntut
tanggung jawab untuk menghasilkan produk legislasi yang benar-benar
berkualitas serta benar-benar berorientasi pada kebutuhan rakyat dan
bangsa.

Berkaitan dengan pelaksanaan fungsi legislasi, kedudukan DPD perlu
ditempatkan secara tepat dalam proses pembahasan rancangan undang-
undang yang berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan
daerah, pembentukan, pemekaran, dan penggabungan daerah, pengelolaan
sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta perimbangan
keuangan pusat dan daerah, sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 22D
ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Kedudukan DPD dalam proses pembahasan rancangan undang-undang
tersebut sampai pada pembahasan tingkat pertama dan tidak turut serta
dalam proses pengambilan keputusan.

Konteks penguatan DPRD dimaksudkan agar hubungannya dengan
pemerintah daerah dapat berjalan secara serasi dan tidak saling
mendominasi satu sama lain. Konteks penguatan ini secara kelembagaan
dilaksanakan melalui keseimbangan antara mengelola dinamika politik di
satu pihak dan tetap menjaga stabilitas pemerintahan daerah di pihak lain
sehingga pola keseimbangan pengelolaan pemerintahan daerah yang
dilakukan dapat memberikan manfaat secara signifikan bagi peningkatan
kesejahteraan rakyat di daerah tersebut sehingga secara agregatif akan
berkontribusi terhadap pembangunan nasional dan fundamental integrasi
bangsa secara keseluruhan.

Hal penting lainnya yang menjadi perhatian adalah keberadaan sistem
pendukung yang menunjang fungsi serta tugas dan wewenang MPR, DPR,
DPD, dan DPRD. Perlunya dukungan yang kuat, tidak terbatas pada
dukungan sarana, prasarana, dan anggaran, tetapi juga pada dukungan
keahlian. Dengan demikian, perlu penataan kelembagaan sekretariat
jenderal di MPR, DPR, dan DPD, serta sekretariat di DPRD provinsi dan
DPRD kabupaten/kota. Hal itu diwujudkan dalam pengadaan sumber daya
manusia, alokasi anggaran, dan sekaligus pertanggungjawaban publik unit
pendukung dalam menjalankan tugasnya.

Berdasarkan pertimbangan tersebut, perlu dibentuk Undang-Undang
tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan
Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dalam rangka
meningkatkan peran dan tanggung jawab lembaga permusyawaratan rakyat,
lembaga perwakilan rakyat, dan lembaga perwakilan daerah untuk
mengembangkan kehidupan demokrasi, menjamin keterwakilan rakyat
dan daerah dalam melaksanakan tugas dan wewenang lembaga, serta
mengembangkan mekanisme checks and balances antara lembaga legislatif
dan eksekutif, serta meningkatkan kualitas, produktivitas, dan kinerja

                                                             anggota . . .
                                  -4-

  anggota lembaga permusyawaratan rakyat, lembaga perwakilan rakyat, dan
  lembaga perwakilan daerah demi mewujudkan keadilan dan kesejahteraan
  rakyat.

II. PASAL DEMI PASAL

  Pasal 1
        Cukup jelas.

  Pasal 2
        Cukup jelas.

  Pasal 3
        Cukup jelas.

  Pasal 4
        Huruf a
              Cukup jelas.
        Huruf b
              Cukup jelas.
        Huruf c
              Cukup jelas.
        Huruf d
              Cukup jelas.
        Huruf e
              Pengusulan 2 (dua) calon wakil presiden kepada MPR
              merupakan prakarsa Presiden. Dua calon wakil presiden
              tersebut berasal dari 1 (satu) partai politik atau gabungan
              partai politik yang mengajukan pasangan calon tersebut dalam
              Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden.
        Huruf f
              Cukup jelas.

  Pasal 5
        Ayat (1)
              Untuk mendukung efektivitas pelaksanaan tugas dan wewenang
              MPR perlu disediakan anggaran yang mencukupi sesuai dengan
              kemampuan keuangan negara.
        Ayat (2)
              Cukup jelas.
        Ayat (3)
              Cukup jelas.
        Ayat (4)
              Yang dimaksud dengan "pertanggungjawaban pengelolaan
              anggaran MPR" adalah format dan prosedur pengelolaan
              anggaran.

                                                               Ayat (5) . . .
                                -5-


      Ayat (5)
            Cukup jelas.

Pasal 6
      Cukup jelas.

Pasal 7
      Cukup jelas.

Pasal 8
      Pada waktu pengucapan sumpah/janji lazimnya dipakai frasa tertentu
      sesuai dengan agama masing-masing, misalnya untuk penganut
      agama Islam didahului dengan frasa "Demi Allah", untuk penganut
      agama Protestan dan Katolik diakhiri dengan frasa "Semoga Tuhan
      menolong saya", untuk penganut agama Budha didahului dengan
      frasa "Demi Hyang Adi Budha", dan untuk penganut agama Hindu
      didahului dengan frasa "Om Atah Paramawisesa".
      Pada    hakikatnya,  sumpah/janji    merupakan       tekad   untuk
      memperjuangkan aspirasi rakyat yang diwakilinya, memegang teguh
      Pancasila, menegakkan Undang-Undang Dasar Negara Republik
      Indonesia Tahun 1945, dan menjalankan peraturan perundang-
      undangan yang mengandung konsekuensi berupa kewajiban dan
      tanggung jawab yang harus dilaksanakan oleh setiap anggota MPR.

Pasal 9
      Huruf a
            Cukup jelas.
      Huruf b
            Yang dimaksud dengan "menentukan sikap dan pilihan dalam
            pengambilan keputusan" adalah dalam rangka pelaksanaan
            tugas dan wewenang MPR.
      Huruf c
            Cukup jelas.
      Huruf d
            Cukup jelas.
      Huruf e
            Cukup jelas.
      Huruf f
            Yang dimaksud dengan "hak protokoler" adalah hak anggota
            MPR untuk memperoleh penghormatan berkenaan dengan
            jabatannya baik dalam acara kenegaraan atau dalam acara
            resmi maupun dalam melaksanakan tugasnya.
      Huruf g
           Cukup jelas.

                                                            Pasal 10 . . .
                               -6-

Pasal 10
      Huruf a
            Cukup jelas.
      Huruf b
            Cukup jelas.
      Huruf c
            Cukup jelas.
      Huruf d
            Kepentingan kelompok dan golongan dalam ketentuan ini
            termasuk kepentingan partai politik, daerah, suku, agama,
            dan ras.
      Huruf e
            Cukup jelas.

Pasal 11
      Cukup jelas.
Pasal 12
      Cukup jelas.
Pasal 13
      Cukup jelas.
Pasal 14
      Cukup jelas.
Pasal 15
      Ayat (1)
            Huruf a
                  Cukup jelas.
            Huruf b
                  Cukup jelas.
            Huruf c
                  Cukup jelas.
            Huruf d
                  Cukup jelas.
            Huruf e
                  Yang dimaksud dengan "mengoordinasikan" adalah
                  mempersiapkan anggota MPR untuk memasyarakatkan
                  Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
                  Tahun 1945 pada saat menjalankan tugas dan
                  wewenangnya pada lembaga masing-masing. Ketentuan
                  ini tidak menutup kesempatan bagi Pemerintah dan
                  masyarakat untuk memasyarakatkan Undang-Undang
                  Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
            Huruf f
                  Dalam mewakili MPR di pengadilan, pimpinan dapat
                  menunjuk kuasa hukum.

                                                           Huruf g . . .
                                -7-

           Huruf g
                 Cukup jelas.
           Huruf h
                 Cukup jelas.
     Ayat (2)
           Cukup jelas.

Pasal 16
      Ayat (1)
            Huruf a
                  Pernyataan meninggal dunia dibuktikan dengan surat
                  keterangan dokter dan/atau pejabat yang berwenang.
            Huruf b
                  Pernyataan mengundurkan diri dibuat secara tertulis di
                  atas kertas yang bermeterai sesuai dengan ketentuan
                  peraturan perundang-undangan.
            Huruf c
                  Cukup jelas.
      Ayat (2)
            Huruf a
                  Cukup jelas.
            Huruf b
                  Yang dimaksud dengan "tidak dapat melaksanakan tugas
                  secara berkelanjutan atau berhalangan tetap" adalah
                  menderita sakit yang mengakibatkan baik fisik maupun
                  mental tidak berfungsi secara normal yang dibuktikan
                  dengan surat keterangan dokter yang berwenang
                  dan/atau tidak diketahui keberadaannya.
      Ayat (3)
            Cukup jelas.
      Ayat (4)
            Cukup jelas.

Pasal 17
      Cukup jelas.

Pasal 18
      Cukup jelas.

Pasal 19
      Cukup jelas.

Pasal 20
      Cukup jelas.

Pasal 21
      Cukup jelas.

                                                             Pasal 22 . . .
                              -8-


Pasal 22
      Cukup jelas.

Pasal 23
      Cukup jelas.

Pasal 24
      Cukup jelas.

Pasal 25
      Cukup jelas.

Pasal 26
      Cukup jelas.

Pasal 27
      Cukup jelas.

Pasal 28
      Cukup jelas.

Pasal 29
      Cukup jelas.

Pasal 30
      Cukup jelas.

Pasal 31
      Cukup jelas.

Pasal 32
      Cukup jelas.

Pasal 33
      Ayat (1)
            Cukup    jelas.
      Ayat (2)
            Cukup    jelas.
      Ayat (3)
            Cukup    jelas.
      Ayat (4)
            Cukup    jelas.
      Ayat (5)
            Cukup    jelas.
      Ayat (6)
            Cukup    jelas.

                                    Ayat (7) . . .
                                 -9-


      Ayat (7)
             Dalam hal pelantikan Presiden dan Wakil Presiden di hadapan
             rapat paripurna DPR, Berita Acara Pelantikan Presiden dan
             Wakil Presiden ditandatangani oleh pimpinan MPR.
      Ayat (8)
             Pidato awal masa jabatan disampaikan oleh Presiden:
             a. dalam sidang paripurna MPR apabila pengucapan
                sumpah/janji di hadapan sidang paripurna MPR;
             b. dalam    rapat    paripurna   DPR    apabila   pengucapan
                sumpah/janji di hadapan rapat paripurna DPR; atau
             c. di hadapan pimpinan MPR dan pimpinan Mahkamah Agung
                apabila pengucapan sumpah/janji dilakukan di hadapan
                pimpinan MPR dan pimpinan Mahkamah Agung.

Pasal 34
      Pada waktu pengucapan sumpah/janji lazimnya dipakai frasa tertentu
      sesuai dengan agama masing-masing, misalnya untuk penganut
      agama Islam didahului dengan frasa "Demi Allah", untuk penganut
      agama Protestan dan Katolik diakhiri dengan frasa "Semoga Tuhan
      menolong saya", untuk penganut agama Budha didahului dengan
      frasa "Demi Hyang Adi Budha", dan untuk penganut agama Hindu
      didahului dengan frasa "Om Atah Paramawisesa".

Pasal 35
      Cukup jelas.

Pasal 36
      Cukup jelas.

Pasal 37
      Cukup jelas.

Pasal 38
      Cukup jelas.

Pasal 39
      Cukup jelas.

Pasal 40
      Cukup jelas.

Pasal 41
      Cukup jelas.


                                                             Pasal 42 . . .
                                - 10 -


Pasal 42
      Pada waktu pengucapan sumpah/janji lazimnya dipakai frasa tertentu
      sesuai dengan agama masing-masing, misalnya untuk penganut
      agama Islam didahului dengan frasa "Demi Allah", untuk penganut
      agama Protestan dan Katolik diakhiri dengan frasa "Semoga Tuhan
      menolong saya", untuk penganut agama Budha didahului dengan
      frasa "Demi Hyang Adi Budha", dan untuk penganut agama Hindu
      didahului dengan frasa "Om Atah Paramawisesa".

Pasal 43
      Cukup jelas.

Pasal 44
      Cukup jelas.

Pasal 45
      Cukup jelas.

Pasal 46
      Cukup jelas.

Pasal 47
      Pada waktu pengucapan sumpah/janji lazimnya dipakai frasa tertentu
      sesuai dengan agama masing-masing, misalnya untuk penganut
      agama Islam didahului dengan frasa "Demi Allah", untuk penganut
      agama Protestan dan Katolik diakhiri dengan frasa "Semoga Tuhan
      menolong saya", untuk penganut agama Budha didahului dengan
      frasa "Demi Hyang Adi Budha", dan untuk penganut agama Hindu
      didahului dengan frasa "Om Atah Paramawisesa".

Pasal 48
      Cukup jelas.

Pasal 49
      Cukup jelas.

Pasal 50
      Cukup jelas.

Pasal 51
      Cukup jelas.

Pasal 52
      Cukup jelas.


                                                            Pasal 53 . . .
                                - 11 -

Pasal 53
      Pada waktu pengucapan sumpah/janji lazimnya dipakai frasa tertentu
      sesuai dengan agama masing-masing, misalnya untuk penganut
      agama Islam didahului dengan frasa "Demi Allah", untuk penganut
      agama Protestan dan Katolik diakhiri dengan frasa "Semoga Tuhan
      menolong saya", untuk penganut agama Budha didahului dengan
      frasa "Demi Hyang Adi Budha", dan untuk penganut agama Hindu
      didahului dengan frasa "Om Atah Paramawisesa".

Pasal 54
      Cukup jelas.

Pasal 55
      Pidato pelantikan disampaikan oleh Presiden:
       a. dalam sidang paripurna MPR apabila pengucapan sumpah/janji di
          hadapan sidang paripurna MPR;
      b. dalam rapat paripurna DPR apabila pengucapan sumpah/janji di
          hadapan rapat paripurna DPR; atau
       c. di hadapan pimpinan MPR dan pimpinan Mahkamah Agung
          apabila pengucapan sumpah/janji dilakukan di hadapan pimpinan
          MPR dan pimpinan Mahkamah Agung.

Pasal 56
      Cukup jelas.

Pasal 57
      Cukup jelas.

Pasal 58
      Cukup jelas.

Pasal 59
      Cukup jelas.

Pasal 60
      Cukup jelas.

Pasal 61
      Cukup jelas.

Pasal 62
      Huruf a
            Cukup jelas.
      Huruf b
            Cukup jelas.


                                                             Huruf c . . .
                                - 12 -

     Huruf c
           Ketentuan ini harus mencerminkan unsur anggota DPR dan
           anggota DPD.

Pasal 63
      Cukup jelas.

Pasal 64
      Cukup jelas.

Pasal 65
      Cukup jelas.

Pasal 66
      Cukup jelas.

Pasal 67
      Cukup jelas.

Pasal 68
      Cukup jelas.

Pasal 69
      Ayat (1)
            Cukup jelas.
      Ayat (2)
            Pelaksanaan fungsi DPR terhadap kerangka representasi rakyat
            dilakukan antara lain melalui pembukaan ruang partisipasi
            publik,      transparansi   pelaksanaan     fungsi,     dan
            pertanggungjawaban kerja DPR kepada rakyat.

Pasal 70
      Cukup jelas.

Pasal 71
      Cukup jelas.

Pasal 72
      Cukup jelas.

Pasal 73
      Ayat (1)
            Untuk mendukung efektivitas pelaksanaan tugas dan wewenang
            DPR, perlu disediakan anggaran yang mencukupi sesuai dengan
            kemampuan keuangan negara.
      Ayat (2)
            Cukup jelas.

                                                              Ayat (3) . . .
                                - 13 -


     Ayat (3)
           Cukup jelas.
     Ayat (4)
           Yang dimaksud dengan "pertanggungjawaban         pengelolaan
           anggaran DPR" adalah format dan prosedur         pengelolaan
           anggaran.
     Ayat (5)
           Cukup jelas.

Pasal 74
      Ayat (1)
            Cukup jelas.
      Ayat (2)
            Cukup jelas.
      Ayat (3)
            Selama menjadi anggota DPR, yang bersangkutan harus
            berdomisili di ibu kota Negara Republik Indonesia untuk
            menjamin kelancaran pelaksanaan tugas penuh waktu.
      Ayat (4)
            Cukup jelas.

Pasal 75
      Cukup jelas.

Pasal 76
      Pada waktu pengucapan sumpah/janji lazimnya dipakai frasa tertentu
      sesuai dengan agama masing-masing, misalnya untuk penganut
      agama Islam didahului dengan frasa "Demi Allah", untuk penganut
      agama Protestan dan Katolik diakhiri dengan frasa "Semoga Tuhan
      menolong saya", untuk penganut agama Budha didahului dengan
      frasa "Demi Hyang Adi Budha", dan untuk penganut agama Hindu
      didahului dengan frasa "Om Atah Paramawisesa".
     Pada    hakikatnya,  sumpah/janji    merupakan       tekad   untuk
     memperjuangkan aspirasi rakyat yang diwakilinya, memegang teguh
     Pancasila, menegakkan Undang-Undang Dasar Negara Republik
     Indonesia Tahun 1945, dan menjalankan peraturan perundang-
     undangan yang mengandung konsekuensi berupa kewajiban dan
     tanggung jawab yang harus dilaksanakan oleh setiap anggota DPR.

Pasal 77
      Ayat (1)
            Cukup jelas.
      Ayat (2)
            Cukup jelas.

                                                             Ayat (3) . . .
                                - 14 -


     Ayat (3)
           Pelaksanaan suatu undang-undang dan/atau kebijakan
           Pemerintah dapat berupa kebijakan yang dilaksanakan sendiri
           oleh Presiden, Wakil Presiden, menteri negara, Panglima TNI,
           Kapolri, Jaksa Agung, atau pimpinan lembaga pemerintah
           nonkementerian.
     Ayat (4)
           Cukup jelas.

Pasal 78
      Huruf a
           Hak ini dimaksudkan untuk mendorong anggota DPR menyikapi
           dan menyalurkan serta menindaklanjuti aspirasi rakyat
           yang diwakilinya dalam bentuk pengajuan usul rancangan
           undang-undang.
      Huruf b
           Hak anggota DPR untuk mengajukan pertanyaan baik secara
           lisan maupun tertulis kepada Pemerintah sesuai dengan fungsi
           serta tugas dan wewenang DPR.
      Huruf c
           Hak anggota DPR untuk menyampaikan usul dan pendapat
           secara leluasa baik kepada Pemerintah maupun kepada DPR
           sendiri sehingga ada jaminan kemandirian sesuai dengan
           panggilan hati nurani serta kredibilitasnya. Oleh karena itu,
           setiap anggota DPR tidak dapat diarahkan oleh siapa pun di
           dalam proses pengambilan keputusan. Namun, tata cara
           penyampaian      usul    dan    pendapat    dimaksud    tetap
           memperhatikan tata krama, etika, moral, sopan santun, dan
           kepatutan sebagai wakil rakyat.
      Huruf d
           Cukup jelas.
      Huruf e
           Cukup jelas.
      Huruf f
           Cukup jelas.
      Huruf g
           Yang dimaksud dengan "hak protokoler" adalah hak anggota
           DPR untuk memperoleh penghormatan berkenaan dengan
           jabatannya, baik dalam acara kenegaraan atau dalam acara
           resmi maupun dalam melaksanakan tugasnya.
      Huruf h
           Cukup jelas.

Pasal 79
      Huruf a
           Cukup jelas.

                                                             Huruf b . . .
                                 - 15 -

     Huruf b
          Cukup jelas.
     Huruf c
          Cukup jelas.
     Huruf d
          Kepentingan kelompok dan golongan dalam ketentuan ini
          termasuk kepentingan partai politik, daerah, agama, ras, dan
          suku.
     Huruf e
          Cukup jelas.
     Huruf f
          Cukup jelas.
     Huruf g
          Cukup jelas.
     Huruf h
          Cukup jelas.
     Huruf i
          Yang dimaksud dengan "kunjungan kerja secara berkala" adalah
          kewajiban anggota DPR untuk bertemu dengan konstituennya
          secara rutin pada setiap masa reses, yang hasil pertemuannya
          dengan konstituen dilaporkan secara tertulis kepada partai
          politik melalui fraksinya di DPR.
     Huruf j
          Cukup jelas.
     Huruf k
          Pemberian pertanggungjawaban secara moral dan politis
          disampaikan kepada pemilih di daerah pemilihannya pada setiap
          masa reses dan masa sidang melalui perjuangan politik yang
          menyangkut aspirasi pemilihnya.

Pasal 80
      Cukup jelas.

Pasal 81
      Ayat (1)
            Huruf a
                  Cukup jelas.
            Huruf b
                  Cukup jelas.
            Huruf c
                  Cukup jelas.
            Huruf d
                  Cukup jelas.
            Huruf e
                  Cukup jelas.
            Huruf f
                  Cukup jelas.

                                                            Huruf g . . .
                                - 16 -

           Huruf g
                 Cukup jelas.
           Huruf h
                 Cukup jelas.
           Huruf i
                 Cukup jelas.
           Huruf j
                 Panitia khusus dibentuk untuk melaksanakan fungsi
                 legislasi dan/atau  fungsi   pengawasan,   termasuk
                 menangani masalah/urusan yang bersifat mendesak atau
                 memerlukan penanganan segera.
           Huruf k
                 Cukup jelas.
     Ayat (2)
           Cukup jelas.

Pasal 82
      Cukup jelas.

Pasal 83
      Ayat (1)
            Partai politik yang urutan perolehan kursinya terbanyak di DPR
            dan berhak mengisi kursi pimpinan DPR, melalui pimpinan
            partai politik mengajukan anggota DPR yang akan ditetapkan
            menjadi pimpinan DPR kepada pimpinan sementara DPR.
            Berdasarkan pengajuan tersebut, pimpinan sementara DPR
            mengumumkan dalam rapat paripurna adanya usulan pimpinan
            partai politik tersebut untuk ditetapkan.
      Ayat (2)
           Cukup jelas.
      Ayat (3)
           Cukup jelas.
      Ayat (4)
           Cukup jelas.
      Ayat (5)
           Cukup jelas.
      Ayat (6)
           Cukup jelas.

Pasal 84
      Ayat (1)
           Huruf a
                Cukup jelas.
           Huruf b
                Cukup jelas.
           Huruf c
                Cukup jelas.

                                                              Huruf d . . .
                              - 17 -


          Huruf d
               Cukup jelas.
          Huruf e
               Dalam memasyarakatkan keputusan DPR, pimpinan dapat
               menugasi anggota DPR.
          Huruf f
               Cukup jelas.
          Huruf g
               Cukup jelas.
          Huruf h
               Dalam mewakili DPR di pengadilan, pimpinan dapat
               menunjuk kuasa hukum.
          Huruf i
               Cukup jelas.
          Huruf j
               Cukup jelas.
          Huruf k
               Cukup jelas.
     Ayat (2)
          Cukup jelas.

Pasal 85
      Ayat (1)
           Huruf a
                Pernyataan meninggal dunia dibuktikan dengan surat
                keterangan dokter dan/atau pejabat yang berwenang.
           Huruf b
                Pernyataan mengundurkan diri dibuat secara tertulis di
                atas kertas yang bermeterai sesuai dengan ketentuan
                peraturan perundang-undangan.
           Huruf c
                Cukup jelas.
      Ayat (2)
           Huruf a
                Yang dimaksud dengan "tidak dapat melaksanakan tugas
                secara berkelanjutan atau berhalangan tetap" adalah
                menderita sakit yang mengakibatkan baik fisik maupun
                mental tidak berfungsi secara normal yang dibuktikan
                dengan surat keterangan dokter yang berwenang, tidak
                diketahui keberadaannya, dan/atau tidak hadir dalam
                rapat tanpa keterangan apa pun selama 3 (tiga) bulan
                berturut-turut.
           Huruf b
                Cukup jelas.
           Huruf c
                Cukup jelas.

                                                           Huruf d . . .
                                    - 18 -

            Huruf d
                 Cukup     jelas.
            Huruf e
                 Cukup     jelas.
            Huruf f
                 Cukup     jelas.
            Huruf g
                 Cukup     jelas.
     Ayat   (3)
            Cukup jelas.
     Ayat   (4)
            Cukup jelas.
     Ayat   (5)
            Cukup jelas.
     Ayat   (6)
            Cukup jelas.

Pasal 86
      Cukup jelas.

Pasal 87
      Cukup jelas.

Pasal 88
      Cukup jelas.

Pasal 89
      Cukup jelas.

Pasal 90
      Cukup jelas.

Pasal 91
      Cukup jelas.

Pasal 92
      Cukup jelas.

Pasal 93
      Cukup jelas.

Pasal 94
      Cukup jelas.

Pasal 95
      Cukup jelas.

                                             Pasal 96 . . .
                               - 19 -

Pasal 96
      Ayat (1)
           Cukup jelas.
      Ayat (2 )
           Cukup jelas.
      Ayat (3)
           Cukup jelas.
      Ayat (4)
           Cukup jelas.
      Ayat (5)
           Cukup jelas.
      Ayat (6)
           Yang dimaksud dengan "bersifat mengikat" adalah kesepakatan
           untuk ditindaklanjuti.
      Ayat (7)
           Cukup jelas.
      Ayat (8)
           Cukup jelas.

Pasal 97
      Jumlah komisi disesuaikan dengan jumlah institusi pemerintah yang
      meliputi kementerian negara, lembaga pemerintah nonkementerian,
      dan/atau sekretariat lembaga negara. Ruang lingkup tugas komisi
      disesuaikan dengan ruang lingkup kementerian negara, lembaga
      pemerintah nonkementerian, dan/atau sekretariat lembaga negara,
      dengan mempertimbangkan keefektifan tugas DPR.

Pasal 98
      Cukup jelas.

Pasal 99
      Cukup jelas.

Pasal 100
      Cukup jelas.

Pasal 101
      Cukup jelas.

Pasal 102
      Cukup jelas.

Pasal 103
      Cukup jelas.

Pasal 104
      Cukup jelas.

                                                          Pasal 105 . . .
                               - 20 -


Pasal 105
      Ayat (1)
            Cukup jelas.
      Ayat (2)
            Jumlah anggota Badan Anggaran memberikan alokasi yang lebih
            banyak terhadap komisi yang menangani urusan keuangan
            negara.

Pasal 106
      Cukup jelas.

Pasal 107
      Ayat (1)
            Huruf a
                 Cukup jelas.
            Huruf b
                 Cukup jelas.
            Huruf c
                 Cukup jelas.
            Huruf d
                 Cukup jelas.
            Huruf e
                 Yang dimaksud dengan "prognosis" adalah perkiraan
                 realisasi APBN.
            Huruf f
                 Cukup jelas.
      Ayat (2)
            Cukup jelas.
      Ayat (3)
            Cukup jelas.

Pasal 108
      Cukup jelas.

Pasal 109
      Cukup jelas.

Pasal 110
      Cukup jelas.

Pasal 111
      Cukup jelas.

Pasal 112
      Cukup jelas.


                                                            Pasal 113 . . .
                                - 21 -


Pasal 113
      Ayat (1)
            Cukup jelas.
      Ayat (2)
            Pemerintah, pemerintah daerah, lembaga negara lainnya, Bank
            Indonesia, badan usaha milik negara, badan layanan umum,
            badan usaha milik daerah, dalam ketentuan ini diwakili oleh
            pejabat       teknis      di       bawah       menteri/ketua
            lembaga/gubernur/bupati/walikota dan/atau direktur/manajer
            teknis badan usaha milik negara dan badan usaha milik daerah.
           Lembaga atau badan lain dalam ketentuan ini antara lain badan
           hukum milik negara, yayasan yang mendapat fasilitas negara,
           komisi yang dibentuk dengan undang-undang, dan badan
           swasta yang menerima dan/atau mengelola keuangan negara.
     Ayat (3)
           Pemeriksaan lanjutan berupa pemeriksaan hal-hal yang
           berkaitan dengan keuangan, pemeriksaan kinerja, dan
           pemeriksaan dengan tujuan tertentu.
     Ayat (4)
           Cukup jelas.

Pasal 114
      Cukup jelas.

Pasal 115
      Cukup jelas.

Pasal 116
      Cukup jelas.

Pasal 117
      Cukup jelas.

Pasal 118
      Cukup jelas.

Pasal 119
      Cukup jelas.

Pasal 120
      Cukup jelas.

Pasal 121
      Cukup jelas.


                                                              Pasal 122 . . .
                     - 22 -

Pasal 122
      Cukup jelas.

Pasal 123
      Cukup jelas.

Pasal 124
      Cukup jelas.

Pasal 125
      Cukup jelas.

Pasal 126
      Cukup jelas.

Pasal 127
      Cukup jelas.

Pasal 128
      Cukup jelas.

Pasal 129
      Cukup jelas.

Pasal 130
      Cukup jelas.

Pasal 131
      Cukup jelas.

Pasal 132
      Cukup jelas.

Pasal 133
      Cukup jelas.

Pasal 134
      Cukup jelas.

Pasal 135
      Cukup jelas.

Pasal 136
      Cukup jelas.

Pasal 137
      Cukup jelas.


                              Pasal 138 . . .
                                - 23 -

Pasal 138
      Cukup jelas.

Pasal 139
      Cukup jelas.

Pasal 140
      Cukup jelas.

Pasal 141
      Cukup jelas.

Pasal 142
      Ayat (1)
             Cukup jelas.
      Ayat (2)
            Pada prinsipnya semua naskah rancangan undang-undang
            harus disertai naskah akademik, tetapi beberapa rancangan
            undang-undang seperti rancangan undang-undang tentang
            APBN, rancangan undang-undang tentang penetapan peraturan
            pemerintah pengganti undang-undang menjadi undang-undang,
            rancangan undang-undang tentang pengesahan perjanjian
            internasional, atau rancangan undang-undang yang hanya
            terbatas mengubah beberapa materi yang sudah memiliki
            naskah akademik sebelumnya dapat disertai atau tidak disertai
            naskah akademik.

Pasal 143
      Cukup jelas.

Pasal 144
      Cukup jelas.

Pasal 145
      Cukup jelas.

Pasal 146
      Cukup jelas.

Pasal 147
      Cukup jelas.

Pasal 148
      Cukup jelas.

Pasal 149
      Cukup jelas.

                                                              Pasal 150 . . .
                                - 24 -

Pasal 150
      Cukup jelas.

Pasal 151
      Ayat (1)
            Huruf a
                Pendapat mini DPD hanya disampaikan terhadap
                rancangan undang-undang yang berkaitan dengan
                kewenangan DPD.
            Huruf b
                Cukup jelas.
            Huruf c
                Cukup jelas.
      Ayat (2)
            Cukup jelas.
      Ayat (3)
            Cukup jelas.

Pasal 152
      Cukup jelas.

Pasal 153
      Ayat (1)
            Cukup jelas.
      Ayat (2)
            Dalam menyiapkan atau membahas rancangan undang-undang
            anggota dapat melakukan kegiatan dalam kerangka kegiatan
            alat kelengkapan DPR, antara lain rapat dengar pendapat, rapat
            dengar pendapat umum, seminar, lokakarya, dan kunjungan
            kerja.
      Ayat (3)
            Cukup jelas.

Pasal 154
      Cukup jelas.

Pasal 155
      Ayat (1)
            Cukup jelas.
      Ayat (2)
            Dalam pembahasan rencana kerja Pemerintah, DPR mendapat
            masukan dari masyarakat.
      Ayat (3)
            Cukup jelas.

Pasal 156
      Cukup jelas.


                                                             Pasal 157 . . .
                               - 25 -

Pasal 157
      Cukup jelas.

Pasal 158
      Cukup jelas.

Pasal 159
      Cukup jelas.

Pasal 160
      Cukup jelas.

Pasal 161
      Cukup jelas.

Pasal 162
      Cukup jelas.

Pasal 163
      Cukup jelas.

Pasal 164
      Ayat (1)
            Cukup jelas.
      Ayat (2)
            Cukup jelas.
      Ayat (3)
            Cukup jelas.
      Ayat (4)
             Pembahasan dilakukan antara lain dengan:
             a. penelitian administrasi;
             b. penyampaian visi dan misi;
             c. uji kepatutan dan kelayakan; dan/atau
             d. memperhatikan keterwakilan perempuan.

Pasal 165
      Cukup jelas.

Pasal 166
      Cukup jelas.

Pasal 167
      Cukup jelas.

Pasal 168
      Cukup jelas.


                                                        Pasal 169 . . .
                            - 26 -

Pasal 169
      Cukup jelas.

Pasal 170
      Cukup jelas.

Pasal 171
      Cukup jelas.

Pasal 172
      Cukup jelas.

Pasal 173
      Cukup jelas.

Pasal 174
      Cukup jelas.

Pasal 175
      Ayat (1)
            Yang dimaksud dengan "menerima keterangan dan jawaban
            Presiden" adalah menerima tanpa catatan atau menerima
            dengan catatan.
      Ayat (2)
            Cukup jelas.
      Ayat (3)
            Cukup jelas.
      Ayat (4)
            Cukup jelas.

Pasal 176
      Cukup jelas.

Pasal 177
      Cukup jelas.

Pasal 178
      Cukup jelas.

Pasal 179
      Cukup jelas.

Pasal 180
      Cukup jelas.

Pasal 181
      Cukup jelas.


                                                      Pasal 182 . . .
                     - 27 -

Pasal 182
      Cukup jelas.

Pasal 183
      Cukup jelas.

Pasal 184
      Cukup jelas.

Pasal 185
      Cukup jelas.

Pasal 186
      Cukup jelas.

Pasal 187
      Cukup jelas.

Pasal 188
      Cukup jelas.

Pasal 189
      Cukup jelas.

Pasal 190
      Cukup jelas.

Pasal 191
      Cukup jelas.

Pasal 192
      Cukup jelas.

Pasal 193
      Cukup jelas.

Pasal 194
      Cukup jelas.

Pasal 195
      Cukup jelas.

Pasal 196
      Cukup jelas.

Pasal 197
      Cukup jelas.

                              Pasal 198 . . .
                     - 28 -


Pasal 198
      Cukup jelas.

Pasal 199
      Cukup jelas.

Pasal 200
      Cukup jelas.

Pasal 201
      Cukup jelas.

Pasal 202
      Cukup jelas.

Pasal 203
      Cukup jelas.

Pasal 204
      Cukup jelas.

Pasal 205
      Cukup jelas.

Pasal 206
      Cukup jelas.

Pasal 207
      Cukup jelas.

Pasal 208
      Cukup jelas.

Pasal 209
      Cukup jelas.

Pasal 210
      Cukup jelas.

Pasal 211
      Cukup jelas.

Pasal 212
      Cukup jelas.


                              Pasal 213 . . .
                                 - 29 -


Pasal 213
      Ayat (1)
            Huruf a
                Pernyataan meninggal dunia dibuktikan dengan surat
                keterangan dokter dan/atau pejabat yang berwenang.
            Huruf b
                Pernyataan mengundurkan diri dibuat secara tertulis di
                atas kertas yang bermeterai sesuai dengan ketentuan
                peraturan perundang-undangan.
            Huruf c
                Cukup jelas.
      Ayat (2)
            Huruf a
                 Yang dimaksud dengan "tidak dapat melaksanakan tugas
                 secara berkelanjutan atau berhalangan tetap" adalah
                 menderita sakit yang mengakibatkan baik fisik maupun
                 mental tidak berfungsi secara normal yang dibuktikan
                 dengan surat keterangan dokter yang berwenang, tidak
                 diketahui keberadaannya, dan/atau tidak hadir dalam
                 rapat tanpa keterangan apa pun selama 3 (tiga) bulan
                 berturut-turut.
            Huruf b
                 Cukup jelas.
            Huruf c
                 Cukup jelas.
            Huruf d
                 Cukup jelas.
            Huruf e
                 Cukup jelas.
            Huruf f
                 Cukup jelas.
            Huruf g
                 Cukup jelas.
            Huruf h
                 Dalam hal anggota partai politik diberhentikan oleh partai
                 politiknya dan yang bersangkutan mengajukan keberatan
                 melalui pengadilan, pemberhentiannya sah setelah adanya
                 putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan
                 hukum tetap.
            Huruf i
                Ketentuan ini dikecualikan terhadap anggota partai
                politik lokal sesuai dengan Undang-Undang Nomor 11
                Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh.


                                                             Pasal 214 . . .
                               - 30 -

Pasal 214
      Ayat (1)
            Yang dimaksud dengan "pimpinan partai politik" adalah ketua
            umum atau sebutan lain yang sejenis sesuai dengan anggaran
            dasar/anggaran rumah tangga partai politik masing-masing.
      Ayat (2)
            Cukup jelas.
      Ayat (3)
            Cukup jelas.

Pasal 215
      Cukup jelas.

Pasal 216
      Cukup jelas.

Pasal 217
      Cukup jelas.

Pasal 218
      Cukup jelas.

Pasal 219
      Ayat (1)
           Cukup jelas.
      Ayat (2)
           Cukup jelas.
      Ayat (3)
           Cukup jelas.
      Ayat (4)
           Yang dimaksud dengan "hak keuangan tertentu" adalah hak
           keuangan yang meliputi gaji pokok, tunjangan keluarga,
           tunjangan pangan, tunjangan jabatan, dan uang paket.
      Ayat (5)
           Cukup jelas.

Pasal 220
      Cukup jelas.

Pasal 221
      Cukup jelas.

Pasal 222
      Cukup jelas.

Pasal 223
      Cukup jelas.

                                                           Pasal 224 . . .
                              - 31 -

Pasal 224
      Ayat (1)
           Huruf a
                 Cukup jelas.
           Huruf b
                 Cukup jelas.
           Huruf c
                 Cukup jelas.
           Huruf d
                 Cukup jelas.
           Huruf e
                 Cukup jelas.
           Huruf f
                 Cukup jelas.
           Huruf g
                 Cukup jelas.
           Huruf h
                 Cukup jelas.
           Huruf i
                 Yang dimaksud dengan "ikut serta" adalah memberikan
                 masukan secara aktif dengan mengajukan daftar
                 rancangan undang-undang dan membahasnya dengan
                 Badan Legislasi DPR.
      Ayat (2)
           Cukup jelas.

Pasal 225
      Ayat (1)
            Untuk mendukung efektivitas pelaksanaan tugas dan
            wewenangnya kepada DPD, perlu disediakan anggaran yang
            mencukupi sesuai dengan kemampuan keuangan negara.
      Ayat (2)
            Cukup jelas.
      Ayat (3)
            Cukup jelas.
      Ayat (4)
            Yang dimaksud dengan "pertanggungjawaban pengelolaan
            anggaran DPD" adalah format dan prosedur pengelolaan
            anggaran.
      Ayat (5)
            Cukup jelas.

Pasal 226
      Cukup jelas.

Pasal 227
      Cukup jelas.

                                                       Pasal 228 . . .
                                 - 32 -



Pasal 228
      Cukup jelas.

Pasal 229
      Pada waktu pengucapan sumpah/janji lazimnya dipakai frasa tertentu
      sesuai dengan agama masing-masing, misalnya untuk penganut
      agama Islam didahului dengan frasa "Demi Allah", untuk penganut
      agama Protestan dan Katolik diakhiri dengan frasa "Semoga Tuhan
      menolong saya", untuk penganut agama Budha didahului dengan
      frasa "Demi Hyang Adi Budha", dan untuk penganut agama Hindu
      didahului dengan frasa "Om Atah Paramawisesa".
      Pada hakikatnya, sumpah/janji adalah tekad untuk memperjuangkan
      aspirasi daerah yang diwakilinya dengan memegang teguh Pancasila
      dan menegakkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
      Tahun 1945 dan peraturan perundang-undangan yang mengandung
      konsekuensi berupa kewajiban dan tanggung jawab yang harus
      dilaksanakan oleh setiap anggota DPD.

Pasal 230
      Cukup jelas.

Pasal 231
      Cukup jelas.

Pasal 232
      Huruf a
           Hak bertanya anggota DPD tidak bermakna sama dengan hak
           mengajukan pertanyaan anggota DPR.
      Huruf b
           Hak anggota DPD untuk mendapatkan keleluasaan menyampaikan
           usul dan pendapat baik kepada pemerintah maupun kepada DPD
           sehingga ada jaminan kemandirian sesuai dengan panggilan hati
           nurani serta kredibilitasnya. Oleh karena itu, setiap anggota DPD
           tidak dapat diarahkan oleh siapa pun di dalam proses
           pengambilan keputusan. Tata cara penyampaian usul dan
           pendapat dimaksud dilakukan dengan tetap memperhatikan tata
           krama, etika, moral, sopan santun, dan kepatutan sebagai wakil
           daerah.
      Huruf c
           Cukup jelas.
      Huruf d
           Cukup jelas.
      Huruf e
           Cukup jelas.

                                                                Huruf f . . .
                                - 33 -

     Huruf f
          Yang dimaksud dengan "hak protokoler" adalah hak anggota
          DPD untuk memperoleh penghormatan berkenaan dengan
          jabatannya baik dalam acara kenegaraan atau dalam acara
          resmi maupun dalam melaksanakan tugasnya.
     Huruf g
          Cukup jelas.

Pasal 233
      Huruf a
           Cukup jelas.
      Huruf b
           Cukup jelas.
      Huruf c
           Cukup jelas.
      Huruf d
          Kepentingan kelompok, golongan, dan daerah dalam ketentuan
          ini termasuk kepentingan daerah yang diwakili, agama, ras, dan
          suku.
      Huruf e
           Cukup jelas.
      Huruf f
           Cukup jelas.
      Huruf g
           Cukup jelas.
      Huruf h
           Cukup jelas.
      Huruf i
          Pemberian pertanggungjawaban secara moral dan politis
          disampaikan kepada masyarakat dan pemilih di daerah yang
          diwakilinya pada masa sidang melalui perjuangan politik yang
          menyangkut kepentingan daerah yang diwakilinya, serta di luar
          masa sidang melalui pertemuan-pertemuan dengan konstituen
          dan masyarakat di daerah yang diwakilinya.

Pasal 234
      Cukup jelas.

Pasal 235
      Cukup jelas.

Pasal 236
      Ayat (1)
            Huruf a
                 Cukup jelas.
            Huruf b
                 Cukup jelas.

                                                             Huruf c . . .
                            - 34 -

           Huruf c
                Cukup jelas.
           Huruf d
                Cukup jelas.
           Huruf e
                Cukup jelas.
           Huruf f
                Dalam mewakili DPD di pengadilan, pimpinan dapat
                menunjuk kuasa hukum.
           Huruf g
                Cukup jelas.
           Huruf h
                Cukup jelas.
           Huruf i
                Cukup jelas.
     Ayat (2)
           Cukup jelas.

Pasal 237
      Cukup jelas.

Pasal 238
      Cukup jelas.

Pasal 239
      Cukup jelas.

Pasal 240
      Cukup jelas.

Pasal 241
      Cukup jelas.

Pasal 242
      Cukup jelas.

Pasal 243
      Cukup jelas.

Pasal 244
      Cukup jelas.

Pasal 245
      Cukup jelas.

Pasal 246
      Cukup jelas.

                                                     Pasal 247 . . .
                                - 35 -


Pasal 247
      Cukup jelas.

Pasal 248
      Cukup jelas.

Pasal 249
      Cukup jelas.

Pasal 250
      Cukup jelas.

Pasal 251
      Cukup jelas.

Pasal 252
      Cukup jelas.

Pasal 253
      Ayat (1)
           Cukup jelas.
      Ayat (2)
            Keikutsertaan DPD dalam pembahasan rancangan undang-
            undang yang terkait dengan kewenangan DPD, DPD hanya dapat
            menyampaikan pandangan/pendapat, tetapi tidak dapat
            mengajukan daftar inventarisasi masalah (DIM) secara tertulis
            dan tidak ikut dalam pengambilan keputusan.

Pasal 254
      Cukup jelas.

Pasal 255
      Cukup jelas.

Pasal 256
      Cukup jelas.

Pasal 257
      Cukup jelas.

Pasal 258
      Cukup jelas.

Pasal 259
      Cukup jelas.


                                                             Pasal 260 . . .
                                - 36 -


Pasal 260
      Ayat (1)
            Hasil pemeriksaan BPK meliputi hasil pemeriksaan laporan
            keuangan, hasil pemeriksaan kinerja, hasil pemeriksaan dengan
            tujuan, dan ikhtisar pemeriksaan semester.
      Ayat (2)
            Cukup jelas.
      Ayat (3)
            Cukup jelas.
      Ayat (4)
            Cukup jelas.
      Ayat (5)
            Cukup jelas.

Pasal 261
      Cukup jelas.

Pasal 262
      Cukup jelas.

Pasal 263
      Cukup jelas.

Pasal 264
      Cukup jelas.

Pasal 265
      Cukup jelas.

Pasal 266
      Cukup jelas.

Pasal 267
      Cukup jelas.

Pasal 268
      Ayat (1)
            Cukup jelas.
      Ayat (2)
            Cukup jelas.
      Ayat (3)
            Sidang DPD di ibu kota negara dilakukan pada waktu tertentu
            dalam rangka pelaksanaan fungsi serta tugas dan wewenang
            DPD.
      Ayat (4)
            Cukup jelas.

                                                             Ayat (5) . . .
                             - 37 -

     Ayat (5)
           Cukup jelas.

Pasal 269
      Cukup jelas.

Pasal 270
      Cukup jelas.

Pasal 271
      Cukup jelas.

Pasal 272
      Cukup jelas.

Pasal 273
      Cukup jelas.

Pasal 274
      Cukup jelas.

Pasal 275
      Cukup jelas.

Pasal 276
      Cukup jelas.

Pasal 277
      Cukup jelas.

Pasal 278
      Cukup jelas.

Pasal 279
      Cukup jelas.

Pasal 280
      Cukup jelas.

Pasal 281
      Cukup jelas.

Pasal 282
      Ayat (1)
           Huruf a
                Pernyataan meninggal dunia dibuktikan dengan surat
                keterangan dokter dan/atau pejabat yang berwenang.

                                                       Huruf b . . .
                              - 38 -

          Huruf b
               Pernyataan mengundurkan diri dibuat secara tertulis di
               atas kertas yang bermeterai sesuai dengan ketentuan
               peraturan perundang-undangan.
          Huruf c
               Cukup jelas.
     Ayat (2)
          Huruf a
               Yang dimaksud dengan "tidak dapat melaksanakan tugas
               secara berkelanjutan atau berhalangan tetap" adalah
               menderita sakit yang mengakibatkan baik fisik maupun
               mental tidak berfungsi secara normal yang dibuktikan
               dengan surat keterangan dokter yang berwenang, tidak
               diketahui keberadaannya, dan/atau tidak hadir dalam
               rapat tanpa keterangan apa pun selama 3 (tiga) bulan
               berturut-turut.
           Huruf b
               Cukup jelas.
           Huruf c
               Cukup jelas.
           Huruf d
               Cukup jelas.
           Huruf e
               Cukup jelas.
           Huruf f
               Cukup jelas.

Pasal 283
      Cukup jelas.

Pasal 284
      Cukup jelas.

Pasal 285
      Cukup jelas.

Pasal 286
      Cukup jelas.

Pasal 287
      Cukup jelas.

Pasal 288
      Ayat (1)
           Cukup jelas.
      Ayat (2)
           Cukup jelas.

                                                          Ayat (3) . . .
                                 - 39 -



     Ayat (3)
          Cukup jelas.
     Ayat (4)
          Yang dimaksud dengan "hak keuangan tertentu" adalah hak
          keuangan yang meliputi gaji pokok, tunjangan keluarga,
          tunjangan pangan, tunjangan jabatan, dan uang paket.
     Ayat (5)
          Cukup jelas.

Pasal 289
      Cukup jelas.

Pasal 290
      Cukup jelas.

Pasal 291
      Cukup jelas.

Pasal 292
      Cukup jelas.

Pasal 293
      Ayat (1)
            Huruf a
                Cukup jelas.
            Huruf b
                Cukup jelas.
            Huruf c
                Cukup jelas.
            Huruf d
                Cukup jelas.
            Huruf e
                Pemilihan wakil gubernur oleh DPRD provinsi, dilakukan
                apabila masa jabatannya masih tersisa 18 (delapan belas)
                bulan atau lebih.
            Huruf f
                Yang dimaksud dengan "perjanjian internasional" dalam
                ketentuan ini adalah perjanjian antara Pemerintah dan pihak
                luar negeri yang berkaitan dengan kepentingan daerah.
            Huruf g
                Yang dimaksud dengan "kerja sama internasional" dalam
                ketentuan ini adalah kerja sama antara pemerintah daerah
                provinsi dan pihak luar negeri yang meliputi kerja sama
                provinsi "kembar", kerja sama teknik termasuk bantuan


                                                         kemanusiaan . . .
                                - 40 -

               kemanusiaan, kerja sama penerusan pinjaman/hibah, kerja
               sama penyertaan modal, dan kerja sama lainnya sesuai
               dengan ketentuan peraturan perundang-perundangan.
           Huruf h
               Cukup jelas.
           Huruf i
               Cukup jelas.
           Huruf j
               Cukup jelas.
           Huruf k
               Cukup jelas.
     Ayat (2)
           Cukup jelas.

Pasal 294
      Ayat (1)
           Penentuan jumlah anggota DPRD provinsi untuk setiap provinsi
           didasarkan pada jumlah penduduk provinsi yang bersangkutan
           sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 10
           Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan
           Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan
           Perwakilan Rakyat Daerah.
      Ayat (2)
           Nama anggota DPRD provinsi terpilih berdasarkan hasil
           pemilihan umum secara administratif dilakukan oleh KPU
           provinsi dan dilaporkan kepada Menteri Dalam Negeri melalui
           gubernur dan tembusannya kepada KPU.
      Ayat (3)
           Cukup jelas.
      Ayat (4)
           Cukup jelas.

Pasal 295
      Cukup jelas.

Pasal 296
      Pada waktu pengucapan sumpah/janji lazimnya dipakai frasa tertentu
      sesuai dengan agama masing-masing, misalnya untuk penganut
      agama Islam didahului dengan frasa "Demi Allah", untuk penganut
      agama Protestan dan Katolik diakhiri dengan frasa "Semoga Tuhan
      menolong saya", untuk penganut agama Budha didahului dengan
      frasa "Demi Hyang Adi Budha", dan untuk penganut agama Hindu
      didahului dengan frasa "Om Atah Paramawisesa".
     Pada    hakikatnya, sumpah/janji    merupakan     tekad   untuk
     memperjuangkan aspirasi rakyat yang diwakilinya, memegang teguh
     Pancasila, menegakkan Undang-Undang Dasar Negara Republik


                                                           Indonesia . . .
                                - 41 -

     Indonesia Tahun 1945, dan menjalankan peraturan perundang-
     undangan yang mengandung konsekuensi berupa kewajiban dan
     tanggung jawab yang harus dilaksanakan oleh setiap anggota DPRD
     provinsi.

Pasal 297
      Cukup jelas.

Pasal 298
      Cukup jelas.

Pasal 299
      Huruf a
          Hak mengajukan rancangan peraturan daerah provinsi
          dimaksudkan untuk mendorong anggota DPRD provinsi dalam
          menyikapi serta menyalurkan dan menindaklanjuti aspirasi
          rakyat yang diwakilinya dalam bentuk pengajuan usul rancangan
          peraturan daerah provinsi.
      Huruf b
          Hak anggota DPRD provinsi untuk mengajukan pertanyaan baik
          secara lisan maupun tertulis kepada pemerintah daerah sesuai
          dengan fungsi serta tugas dan wewenang DPRD provinsi.
      Huruf c
          Hak anggota DPRD provinsi untuk menyampaikan suatu usul
          dan pendapat secara leluasa baik kepada pemerintah daerah
          maupun kepada DPRD provinsi sehingga ada jaminan
          kemandirian sesuai dengan panggilan hati nurani serta
          kredibilitasnya. Oleh karena itu, setiap anggota DPRD provinsi
          tidak dapat diarahkan oleh siapa pun di dalam proses
          pengambilan keputusan. Namun, tata cara penyampaian usul
          dan pendapat dimaksud tetap memperhatikan tata krama, etika,
          moral, sopan santun, dan kepatutan sebagai wakil rakyat.
      Huruf d
          Cukup jelas.
      Huruf e
          Cukup jelas.
      Huruf f
          Cukup jelas.
      Huruf g
          Penyelenggaraan orientasi dapat dilakukan oleh Pemerintah,
          pemerintah daerah setempat, sekretariat DPRD provinsi, partai
          politik, atau perguruan tinggi.
      Huruf h
          Yang dimaksud dengan "hak protokoler" adalah hak anggota
          DPRD provinsi untuk memperoleh penghormatan berkenaan
          dengan jabatannya baik dalam acara kenegaraan atau dalam
          acara resmi maupun dalam melaksanakan tugasnya.

                                                             Huruf i . . .
                               - 42 -


     Huruf i
         Cukup jelas.

Pasal 300
      Huruf a
          Cukup jelas.
      Huruf b
          Cukup jelas.
      Huruf c
          Cukup jelas.
      Huruf d
          Kepentingan kelompok dan golongan dalam ketentuan ini
          termasuk kepentingan partai politik, daerah, ras, agama, dan
          suku.
      Huruf e
          Cukup jelas.
      Huruf f
          Cukup jelas.
      Huruf g
          Cukup jelas.
      Huruf h
          Cukup jelas.
      Huruf i
          Yang dimaksud dengan "kunjungan kerja secara berkala" adalah
          kewajiban anggota DPRD provinsi untuk bertemu dengan
          konstituennya secara rutin pada setiap masa reses, yang hasil
          pertemuannya dengan konstituen dilaporkan secara tertulis
          kepada partai politik melalui fraksinya di DPRD provinsi.
      Huruf j
          Cukup jelas.
      Huruf k
          Pemberian pertanggungjawaban secara moral dan politis
          disampaikan pada setiap masa reses kepada pemilih di daerah
          pemilihannya.

Pasal 301
      Ayat (1)
           Cukup   jelas.
      Ayat (2)
           Cukup   jelas.
      Ayat (3)
           Cukup   jelas.
      Ayat (4)
           Cukup   jelas.
      Ayat (5)
           Cukup   jelas.

                                                            Ayat (6) . . .
                                 - 43 -


      Ayat (6)
           Yang dimaksud dengan "fraksi gabungan" adalah fraksi yang
           dibentuk dari gabungan anggota partai politik yang tidak dapat
           memenuhi syarat pembentukan 1 (satu) fraksi.
      Ayat (7)
           Cukup jelas.
      Ayat (8)
           Cukup jelas.
      Ayat (9)
           Cukup jelas.
      Ayat (10)
           Cukup jelas.

Pasal 302
      Cukup jelas.

Pasal 303
      Ayat (1)
           Cukup jelas.
      Ayat (2)
           Partai politik yang urutan perolehan kursinya terbanyak di DPRD
           provinsi dan berhak mengisi kursi pimpinan DPRD provinsi,
           melalui pimpinan partai politik setempat mengajukan anggota
           DPRD provinsi yang akan ditetapkan menjadi pimpinan DPRD
           provinsi    kepada    pimpinan    sementara     DPRD    provinsi.
           Berdasarkan pengajuan tersebut, pimpinan sementara DPRD
           provinsi mengumumkan dalam rapat paripurna adanya usulan
           pimpinan partai politik tersebut untuk ditetapkan.
      Ayat (3)
           Cukup jelas.
      Ayat (4)
           Cukup jelas.
      Ayat (5)
           Cukup jelas.
      Ayat (6)
           Cukup jelas.
      Ayat (7)
           Cukup jelas.
      Ayat (8)
           Cukup jelas.
      Ayat (9)
           Cukup jelas.

Pasal 304
      Cukup jelas.


                                                               Pasal 305 . . .
                     - 44 -

Pasal 305
      Cukup jelas.

Pasal 306
      Cukup jelas.

Pasal 307
      Cukup jelas.

Pasal 308
      Cukup jelas.

Pasal 309
      Cukup jelas.

Pasal 310
      Cukup jelas.

Pasal 311
      Cukup jelas.

Pasal 312
      Cukup jelas.

Pasal 313
      Cukup jelas.

Pasal 314
      Cukup jelas.

Pasal 315
      Cukup jelas.

Pasal 316
      Cukup jelas.

Pasal 317
      Cukup jelas.

Pasal 318
      Cukup jelas.

Pasal 319
      Cukup jelas.

Pasal 320
      Cukup jelas.

                              Pasal 321 . . .
                                - 45 -


Pasal 321
      Cukup jelas.

Pasal 322
      Ayat (1)
             Cukup jelas.
      Ayat (2)
             Cukup jelas.
      Ayat (3)
             Cukup jelas.
      Ayat (4)
             Cukup jelas.
      Ayat (5)
             Cukup jelas.
      Ayat (6)
             Cukup jelas.
      Ayat (7)
            Penyelesaian diserahkan kepada pimpinan DPRD provinsi dan
            pimpinan fraksi yang dilakukan dalam bentuk rapat konsultasi.

Pasal 323
      Yang dimaksud dengan "keputusan rapat" adalah kesepakatan
      bersama yang dituangkan secara tertulis dan ditandatangani oleh
      semua pihak terkait dalam pengambilan keputusan.

Pasal 324
      Cukup jelas.

Pasal 325
      Cukup jelas.

Pasal 326
      Cukup jelas.

Pasal 327
      Cukup jelas.

Pasal 328
      Cukup jelas.

Pasal 329
      Cukup jelas.

Pasal 330
      Cukup jelas.

                                                             Pasal 331 . . .
                                 - 46 -


Pasal 331
      Cukup jelas.

Pasal 332
      Ayat (1)
             Huruf a
                  Pernyataan meninggal dunia dibuktikan dengan surat
                  keterangan dokter dan/atau pejabat yang berwenang.
             Huruf b
                  Pernyataan mengundurkan diri dibuat secara tertulis di
                  atas kertas yang bermeterai sesuai dengan ketentuan
                  peraturan perundang-undangan.
             Huruf c
                  Cukup jelas.
      Ayat (2)
             Huruf a
                  Yang dimaksud dengan "tidak dapat melaksanakan tugas
                  secara berkelanjutan atau berhalangan tetap" adalah
                  menderita sakit yang mengakibatkan baik fisik maupun
                  mental tidak berfungsi secara normal yang dibuktikan
                  dengan surat keterangan dokter yang berwenang, tidak
                  diketahui keberadaannya, dan/atau tidak hadir dalam
                  rapat tanpa keterangan apa pun selama 3 (tiga) bulan
                  berturut-turut.
             Huruf b
                  Cukup jelas.
             Huruf c
                  Cukup jelas.
             Huruf d
                  Cukup jelas.
             Huruf e
                  Cukup jelas.
             Huruf f
                  Cukup jelas.
             Huruf g
                  Cukup jelas.
             Huruf h
                  Dalam hal anggota partai politik diberhentikan oleh partai
                  politiknya dan yang bersangkutan mengajukan keberatan
                  melalui pengadilan, pemberhentiannya sah setelah
                  adanya putusan pengadilan yang telah memperoleh
                  kekuatan hukum tetap.
             Huruf i
                  Ketentuan ini dikecualikan terhadap anggota partai
                  politik lokal sesuai dengan Undang-Undang Nomor 11
                  Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh.

                                                               Pasal 333 . . .
                               - 47 -

Pasal 333
      Ayat (1)
            Yang dimaksud dengan "pimpinan partai politik" adalah ketua
            atau sebutan lain yang sejenis atau yang diberi kewenangan
            untuk melaksanakan hal tersebut sesuai dengan anggaran
            dasar/anggaran rumah tangga partai politik masing-masing.
      Ayat (2)
            Cukup jelas.
      Ayat (3)
            Cukup jelas.
      Ayat (4)
            Cukup jelas.

Pasal 334
      Cukup jelas.

Pasal 335
      Cukup jelas.

Pasal 336
      Cukup jelas.

Pasal 337
      Ayat (1)
           Cukup jelas.
      Ayat (2)
           Cukup jelas.
      Ayat (3)
           Cukup jelas.
      Ayat (4)
           Cukup jelas.
      Ayat (5)
           Cukup jelas.
      Ayat (6)
           Cukup jelas.
      Ayat (7)
           Yang dimaksud dengan "6 (enam) bulan" adalah sejak proses
           awal pengajuan pemberhentian antarwaktu di DPRD provinsi.

Pasal 338
      Cukup jelas.

Pasal 339
      Ayat (1)
           Cukup jelas.
      Ayat (2)
           Cukup jelas.

                                                          Ayat (3) . . .
                                - 48 -

     Ayat (3)
          Cukup jelas.
     Ayat (4)
          Yang dimaksud dengan "hak keuangan tertentu" adalah hak
          keuangan yang meliputi uang representasi, uang paket,
          tunjangan keluarga dan tunjangan beras serta tunjangan
          pemeliharaan kesehatan sesuai dengan ketentuan perundang-
          undangan.
     Ayat (5)
          Cukup jelas.

Pasal 340
      Cukup jelas.

Pasal 341
      Cukup jelas.

Pasal 342
      Cukup jelas.

Pasal 343
      Cukup jelas.

Pasal 344
      Ayat (1)
           Huruf a
                 Cukup jelas.
           Huruf b
                 Cukup jelas.
           Huruf c
                 Cukup jelas.
           Huruf d
                 Cukup jelas.
           Huruf e
                Pemilihan wakil bupati/wakil walikota oleh DPRD
                kabupaten/kota dilakukan apabila masa jabatannya masih
                tersisa 18 (delapan belas) bulan atau lebih.
           Huruf f
                Yang dimaksud dengan "perjanjian internasional" dalam
                ketentuan ini adalah perjanjian antara Pemerintah dan
                pihak luar negeri yang berkaitan dengan kepentingan
                daerah.
           Huruf g
                Yang dimaksud dengan "kerja sama internasional" dalam
                ketentuan ini adalah kerja sama daerah antara pemerintah
                daerah kabupaten/kota dan pihak luar negeri yang meliputi
                kerja sama kabupaten/kota "kembar", kerja sama teknik


                                                            termasuk . . .
                                - 49 -

               termasuk bantuan kemanusiaan, kerja sama penerusan
               pinjaman/hibah, kerja sama penyertaan modal, dan kerja
               sama lainnya sesuai dengan ketentuan peraturan
               perundang-undangan.
          Huruf h
               Cukup jelas.
          Huruf i
               Cukup jelas.
          Huruf j
               Cukup jelas.
          Huruf k
               Cukup jelas.
     Ayat (2)
          Cukup jelas.

 Pasal 345
      Ayat (1)
           Penentuan jumlah anggota DPRD kabupaten/kota untuk setiap
           provinsi didasarkan pada jumlah penduduk kabupaten/kota
           yang bersangkutan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang
           Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan
           Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan
           Perwakilan Rakyat Daerah.
      Ayat (2)
           Nama anggota DPRD kabupaten/kota terpilih berdasarkan hasil
           pemilihan umum secara administratif dilakukan oleh KPU
           kabupaten/kota dan dilaporkan kepada gubernur melalui
           bupati/walikota dan tembusannya kepada KPU.
      Ayat (3)
           Cukup jelas.
      Ayat (4)
           Cukup jelas.

Pasal 346
      Cukup jelas.

Pasal 347
      Pada waktu pengucapan sumpah/janji lazimnya dipakai frasa tertentu
      sesuai dengan agama masing-masing, misalnya untuk penganut
      agama Islam didahului dengan frasa "Demi Allah", untuk penganut
      agama Protestan dan Katolik diakhiri dengan frasa "Semoga Tuhan
      menolong saya", untuk penganut agama Budha didahului dengan
      frasa "Demi Hyang Adi Budha", dan untuk penganut agama Hindu
      didahului dengan frasa "Om Atah Paramawisesa".
     Pada  hakikatnya,   sumpah/janji    merupakan     tekad   untuk
     memperjuangkan aspirasi rakyat yang diwakilinya, memegang teguh


                                                            Pancasila . . .
                                - 50 -

     Pancasila, menegakkan Undang-Undang Dasar Negara Republik
     Indonesia Tahun 1945, dan menjalankan peraturan perundang-
     undangan yang mengandung konsekuensi berupa kewajiban dan
     tanggung jawab yang harus dilaksanakan oleh setiap anggota DPRD
     kabupaten/kota.

Pasal 348
      Cukup jelas.

Pasal 349
      Cukup jelas.

Pasal 350
      Huruf a
          Hak ini dimaksudkan untuk mendorong anggota DPRD
          kabupaten/kota dalam menyikapi serta menyalurkan dan
          menindaklanjuti aspirasi rakyat yang diwakilinya dalam bentuk
          pengajuan usul rancangan peraturan daerah kabupaten/kota.
      Huruf b
          Hak anggota DPRD kabupaten/kota untuk mengajukan
          pertanyaan baik secara lisan maupun tertulis kepada pemerintah
          daerah sesuai dengan fungsi serta tugas dan wewenang DPRD
          kabupaten/kota.
      Huruf c
          Hak anggota DPRD kabupaten/kota untuk menyampaikan usul
          dan pendapat secara leluasa baik kepada pemerintah daerah
          maupun kepada DPRD kabupaten/kota sehingga ada jaminan
          kemandirian sesuai dengan panggilan hati nurani serta
          kredibilitasnya. Oleh karena itu, setiap anggota DPRD
          kabupaten/kota tidak dapat diarahkan oleh siapa pun di dalam
          proses pengambilan keputusan. Namun, tata cara penyampaian
          usul dan pendapat dimaksud tetap memperhatikan tata krama,
          etika, moral, sopan santun, dan kepatutan sebagai wakil rakyat.
      Huruf d
          Cukup jelas.
      Huruf e
          Cukup jelas.
      Huruf f
          Cukup jelas.
      Huruf g
          Penyelenggaraan orientasi dapat dilakukan oleh Pemerintah,
          pemerintah daerah setempat, sekretariat DPRD kabupaten/kota,
          partai politik, atau perguruan tinggi.
      Huruf h
          Yang dimaksud dengan "hak protokoler" adalah hak anggota
          DPRD kabupaten/kota untuk memperoleh penghormatan


                                                            berkenaan . . .
                                  - 51 -

            berkenaan dengan jabatannya baik dalam acara kenegaraan atau
            acara resmi maupun dalam melaksanakan tugasnya.
        Huruf i
            Cukup jelas.

Pasal 351
        Huruf a
            Cukup jelas.
        Huruf b
            Cukup jelas.
        Huruf c
             Cukup jelas.
        Huruf d
            Kepentingan kelompok dan golongan dalam ketentuan ini
            termasuk kepentingan partai politik, daerah, ras, agama,
            dan suku.
        Huruf e
            Cukup jelas.
        Huruf f
            Cukup jelas.
        Huruf g
            Cukup jelas.
        Huruf h
            Cukup jelas.
        Huruf i
            Yang dimaksud dengan "kunjungan kerja secara berkala" adalah
            kewajiban anggota DPRD kabupaten/kota untuk bertemu
            dengan konstituennya secara rutin pada setiap masa reses, yang
            hasil pertemuannya dengan konstituen dilaporkan secara tertulis
            kepada partai politik melalui fraksinya di DPRD kabupaten/kota.
        Huruf j
            Cukup jelas.
        Huruf k
            Pemberian pertanggungjawaban secara moral dan politis
            disampaikan pada setiap masa reses kepada pemilih di daerah
            pemilihannya.

Pasal 352
      Ayat (1)
            Cukup   jelas.
      Ayat (2)
            Cukup   jelas.
      Ayat (3)
            Cukup   jelas.
      Ayat (4)
            Cukup   jelas.


                                                               Ayat (5) . . .
                                   - 52 -

      Ayat (5)
            Cukup jelas.
      Ayat (6)
            Cukup jelas.
      Ayat (7)
            Yang dimaksud dengan "fraksi gabungan" adalah fraksi yang
            dibentuk dari gabungan anggota partai politik yang tidak dapat
            memenuhi syarat pembentukan 1 (satu) fraksi.
      Ayat (8)
            Cukup jelas.
      Ayat (9)
            Cukup jelas.
      Ayat (10)
            Cukup jelas.
Pasal 353
      Cukup jelas.

Pasal 354
      Ayat (1)
             Cukup jelas.
      Ayat (2)
            Partai politik yang urutan perolehan kursinya terbanyak di DPRD
            kabupaten/kota dan berhak mengisi kursi pimpinan DPRD
            kabupaten/kota, melalui pimpinan partai politik setempat
            mengajukan anggota DPRD kabupaten/kota yang akan ditetapkan
            menjadi pimpinan DPRD kabupaten/kota kepada pimpinan
            sementara DPRD kabupaten/kota. Berdasarkan pengajuan
            tersebut,      pimpinan     sementara     DPRD    kabupaten/kota
            mengumumkan dalam rapat paripurna adanya usulan pimpinan
            partai politik tersebut untuk ditetapkan.
      Ayat (3)
            Cukup jelas.
      Ayat (4)
            Cukup jelas.
      Ayat (5)
            Cukup jelas.
      Ayat (6)
            Cukup jelas.
      Ayat (7)
            Cukup jelas.
      Ayat (8)
            Cukup jelas.
      Ayat (9)
            Cukup jelas.

Pasal 355
      Cukup jelas.

                                                                Pasal 356 . . .
                     - 53 -

Pasal 356
      Cukup jelas.

Pasal 357
      Cukup jelas.

Pasal 358
      Cukup jelas.

Pasal 359
      Cukup jelas.

Pasal 360
      Cukup jelas.

Pasal 361
      Cukup jelas.

Pasal 362
      Cukup jelas.

Pasal 363
      Cukup jelas.

Pasal 364
      Cukup jelas.

Pasal 365
      Cukup jelas.

Pasal 366
      Cukup jelas.

Pasal 367
      Cukup jelas.

Pasal 368
      Cukup jelas.

Pasal 369
      Cukup jelas.

Pasal 370
      Cukup jelas.

Pasal 371
      Cukup jelas.

                              Pasal 372 . . .
                                  - 54 -

Pasal 372
      Cukup jelas.

Pasal 373
      Ayat (1)
            Cukup jelas.
      Ayat (2)
            Cukup jelas.
      Ayat (3)
            Cukup jelas.
      Ayat (4)
            Cukup jelas.
      Ayat (5)
            Cukup jelas.
      Ayat (6)
            Cukup jelas.
      Ayat (7)
            Penyelesaian diserahkan kepada pimpinan DPRD kabupaten/kota
            dan pimpinan fraksi yang dilakukan dalam bentuk rapat
            konsultasi.

Pasal 374
      Yang dimaksud dengan "keputusan rapat" adalah kesepakatan bersama
      yang dituangkan secara tertulis dan ditandatangani oleh semua pihak
      terkait dalam pengambilan keputusan.

Pasal 375
      Cukup jelas.

Pasal 376
      Cukup jelas.

Pasal 377
      Cukup jelas.

Pasal 378
      Cukup jelas.

Pasal 379
      Cukup jelas.

Pasal 380
      Cukup jelas.

Pasal 381
      Cukup jelas.


                                                             Pasal 382 . . .
                                  - 55 -

Pasal 382
      Cukup jelas.

Pasal 383
      Ayat (1)
            Huruf a
                Pernyataan meninggal dunia dibuktikan dengan surat
                keterangan dokter dan/atau pejabat yang berwenang.
            Huruf b
                Pernyataan mengundurkan diri dibuat secara tertulis di atas
                kertas yang bermeterai sesuai dengan ketentuan peraturan
                perundang-undangan.
            Huruf c
                Cukup jelas.

     Ayat (2)
           Huruf a
               Yang dimaksud dengan "tidak dapat melaksanakan tugas
               secara berkelanjutan atau berhalangan tetap" adalah
               menderita sakit yang mengakibatkan baik fisik maupun
               mental tidak berfungsi secara normal yang dibuktikan dengan
               surat keterangan dokter yang berwenang, tidak diketahui
               keberadaannya, dan/atau tidak hadir dalam rapat tanpa
               keterangan apa pun selama 3 (tiga) bulan berturut-turut.
           Huruf b
               Cukup jelas.
           Huruf c
               Cukup jelas.
           Huruf d
               Cukup jelas.
           Huruf e
               Cukup jelas.
           Huruf f
               Cukup jelas.
           Huruf g
               Cukup jelas.
           Huruf h
               Dalam hal anggota partai politik diberhentikan oleh
               partai politiknya dan yang bersangkutan mengajukan
               keberatan melalui pengadilan, pemberhentiannya sah setelah
               adanya putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan
               hukum tetap.
           Huruf i
               Ketentuan ini dikecualikan terhadap anggota partai politik
               lokal sesuai dengan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006
               tentang Pemerintahan Aceh.

                                                               Pasal 384 . . .
                                  - 56 -

Pasal 384
      Ayat (1)
         Yang dimaksud dengan "pimpinan partai politik" adalah ketua atau
          sebutan lain yang sejenis atau yang diberi kewenangan untuk
          melaksanakan hal tersebut sesuai dengan anggaran dasar/anggaran
          rumah tangga partai politik masing-masing.
      Ayat (2)
         Cukup jelas.
      Ayat (3)
         Cukup jelas.
      Ayat (4)
         Cukup jelas.

Pasal 385
      Cukup jelas.

Pasal 386
      Cukup jelas.

Pasal 387
      Cukup jelas.

Pasal 388
      Ayat (1)
            Cukup jelas.
      Ayat (2)
            Cukup jelas.
      Ayat (3)
            Cukup jelas.
      Ayat (4)
            Cukup jelas.
      Ayat (5)
            Cukup jelas.
      Ayat (6)
            Cukup jelas.
      Ayat (7)
            Yang dimaksud dengan "6 (enam) bulan" adalah sejak proses awal
            pengajuan pemberhentian antarwaktu di DPRD provinsi.

Pasal 389
      Cukup jelas.

Pasal 390
      Ayat (1)
            Cukup jelas.
      Ayat (2)
            Cukup jelas.

                                                              Ayat (3) . . .
                                   - 57 -

     Ayat (3)
           Cukup jelas.
     Ayat (4)
           Yang dimaksud dengan "hak keuangan tertentu" adalah hak
           keuangan yang meliputi uang representasi, uang paket, tunjangan
           keluarga dan tunjangan beras serta tunjangan pemeliharaan
           kesehatan sesuai dengan ketentuan perundang-undangan.
     Ayat (5)
           Cukup jelas.

Pasal 391
      Cukup jelas.

Pasal 392
      Cukup jelas.

Pasal 393
      Ayat (1)
            Masing-masing lembaga menetapkan 3 (tiga) orang nama setelah
            melakukan penyeleksian terhadap beberapa calon.
      Ayat (2)
            Cukup jelas.
      Ayat (3)
            Cukup jelas.
      Ayat (4)
            Cukup jelas.
      Ayat (5)
            Cukup jelas.
      Ayat (6)
            Cukup jelas.

Pasal 394
      Ayat (1)
             Cukup jelas.
      Ayat (2)
             Yang dimaksud dengan "manajemen kepegawaian" adalah
             keseluruhan upaya untuk meningkatkan efisiensi, efektivitas, dan
             derajat profesionalisme penyelenggaraan tugas, fungsi, dan
             kewajiban pegawai, yang meliputi perencanaan, pengadaan,
             pengembangan kualitas, penempatan, promosi, penggajian,
             kesejahteraan, dan pemberhentian.

Pasal 395
      Ayat (1)
            Yang dimaksud dengan "kelompok pakar atau tim ahli" adalah
            sekelompok orang yang mempunyai kemampuan dalam disiplin


                                                                    ilmu . . .
                                      - 58 -


           ilmu tertentu untuk membantu anggota dalam pelaksanaan fungsi
           serta tugas dan wewenang DPR/DPD.
           Kelompok pakar atau tim ahli bertugas mengumpulkan data dan
           menganalisis berbagai masalah yang berkaitan dengan fungsi serta
           tugas dan wewenang DPR/DPD. Penugasan kelompok pakar atau
           tim ahli disesuaikan dengan kebutuhan.
     Ayat (2)
           Cukup jelas.

Pasal 396
      Ayat (1)
            Organisasi sekretariat DPRD provinsi dibentuk untuk mendukung
            pelaksanaan fungsi dan tugas pokok DPRD provinsi dalam rangka
            meningkatkan kualitas, produktivitas, dan kinerja lembaga
            perwakilan rakyat daerah, dengan memperhatikan pedoman
            penyusunan organisasi perangkat daerah.
      Ayat (2)
            Sekretaris DPRD provinsi adalah jabatan karier pegawai negeri sipil
            sehingga dalam pengusulan pengangkatan dan pemberhentiannya
            mengikuti ketentuan peraturan perundang-undangan bidang
            kepegawaian. Dalam pengusulan pengangkatannya, gubernur
            mengajukan 3 (tiga) orang calon kepada pimpinan DPRD provinsi
            untuk mendapat persetujuan dengan memperhatikan jenjang
            kepangkatan, kemampuan, dan pengalaman.
      Ayat (3)
            Cukup jelas.

Pasal 397
       Ayat (1)
           Yang dimaksud dengan        "kelompok pakar atau tim ahli" adalah
           sekelompok orang yang       mempunyai kemampuan dalam disiplin
           ilmu tertentu untuk          membantu alat kelengkapan dalam
           pelaksanaan fungsi serta   tugas dan wewenang DPRD provinsi.
           Kelompok pakar atau tim ahli bertugas mengumpulkan data dan
           menganalisis berbagai masalah yang berkaitan dengan fungsi serta
           tugas dan wewenang DPRD provinsi. Penugasan kelompok pakar
           atau tim ahli disesuaikan dengan kebutuhan dan kemampuan
           daerah provinsi.
     Ayat (2)
           Cukup jelas.
     Ayat (3)
           Cukup jelas.



                                                                Pasal 398 . . .
                                   - 59 -


Pasal 398
      Ayat (1)
            Organisasi sekretariat DPRD kabupaten/kota dibentuk untuk
            mendukung pelaksanaan fungsi dan tugas pokok DPRD
            kabupaten/kota     dalam    rangka    meningkatkan      kualitas,
            produktivitas, dan kinerja lembaga perwakilan rakyat daerah,
            dengan memperhatikan pedoman penyusunan organisasi perangkat
            daerah.
      Ayat (2)
            Sekretaris DPRD kabupaten/kota adalah jabatan karier pegawai
            negeri sipil sehingga dalam pengusulan pengangkatan dan
            pemberhentiannya mengikuti ketentuan peraturan perundang-
            undangan       bidang    kepegawaian.    Dalam       pengusulan
            pengangkatannya, bupati/walikota mengajukan 3 (tiga) orang calon
            kepada pimpinan DPRD kabupaten/kota untuk mendapat
            persetujuan    dengan   memperhatikan   jenjang    kepangkatan,
            kemampuan, dan pengalaman.
      Ayat (3)
            Cukup jelas.

Pasal 399
      Ayat (1)
            Yang dimaksud dengan "kelompok pakar atau tim ahli" adalah
            sekelompok orang yang mempunyai kemampuan dalam disiplin
            ilmu tertentu untuk membantu alat kelengkapan dalam
            pelaksanaan   fungsi serta tugas  dan   wewenang     DPRD
            kabupaten/kota.
           Kelompok pakar atau tim ahli bertugas mengumpulkan data dan
           menganalisis berbagai masalah yang berkaitan dengan fungsi serta
           tugas dan wewenang DPRD kabupaten/kota. Penugasan kelompok
           pakar atau tim ahli disesuaikan dengan kebutuhan dan
           kemampuan daerah kabupaten/kota.
     Ayat (2)
           Cukup jelas.
     Ayat (3)
           Cukup jelas.

Pasal 400
      Cukup jelas.

Pasal 401
      Cukup jelas.

Pasal 402
      Cukup jelas.

                                                               Pasal 403 . . .
                           - 60 -



Pasal 403
      Cukup jelas.

Pasal 404
      Cukup jelas.

Pasal 405
      Cukup jelas.

Pasal 406
      Cukup jelas.

Pasal 407
      Cukup jelas.

Pasal 408
      Cukup jelas.

TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5043


Silahkan download versi PDF nya sbb:
majelis_permusyawaratan_rakyat,_dewan_perwakilan_27.pdf
(ogi/Carapedia)
Pencarian Terbaru

1dpd mewakili berapa ratus orang.

Tambahkan komentar baru
Komentar Sebelumnya (0)
Belum ada komentar untuk produk ini.
FIND US ON FACEEBOOK