Previous
Next

2002

Undang-Undang Ketenagalistrikan (UU 20 thn 2002)

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2002 Tentang Ketenagalistrikan :
                 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
                      NOMOR 20 TAHUN 2002

                                 TENTANG

                           KETENAGALISTRIKAN

                DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

                      PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
Menimbang   :
 Menimbang :
                 a. bahwa tenaga listrik sangat bermanfaat untuk memajukan
                    kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan
                    meningkatkan perekonomian dalam rangka mewujudkan
                    masyarakat adil dan makmur yang merata material dan
                    spiritual berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar
                    1945;
                 b. bahwa penyediaan tenaga listrik perlu diselenggarakan secara
                    efisien melalui kompetisi dan transparansi dalam iklim usaha
                    yang sehat dengan pengaturan yang memberikan perlakuan
                    yang sama kepada semua pelaku usaha dan memberikan
                    manfaat yang adil dan merata kepada konsumen;
                 c. bahwa dalam rangka pemenuhan kebutuhan tenaga listrik
                    nasional dan penciptaan persaingan usaha yang sehat, perlu
                    diberi kesempatan yang sama kepada semua pelaku usaha
                    untuk ikut serta dalam usaha di bidang ketenagalistrikan;
                 d. bahwa penyediaan tenaga listrik perlu senantiasa memperhati-
                    kan kelestarian fungsi lingkungan hidup, konservasi energi dan
                    diversifikasi energi sebagaimana digariskan dalam kebijakan
                    energi nasional, keselamatan umum, tata ruang wilayah, dan
                    pemanfaatan sebesar-besarnya barang dan jasa produksi
                    dalam negeri yang kompetitif dan menghasilkan nilai tambah
                    agar dapat menghasilkan pengembangan industri
                    ketenagalistrikan nasional;
                 e. bahwa ada wilayah tertentu yang berada pada tahap pem-
                    bangunan yang berbeda dan bahwa sebagian anggota
                    masyarakat berada pada tingkat perekonomian yang belum
                    mapan sehingga kepentingan masyarakat tersebut perlu
                    dilindungi;
                 f.   bahwa hak, kewajiban, dan tanggung jawab dalam penyediaan
                      dan pemanfaatan tenaga listrik perlu dilaksanakan dengan
                      baik;
                     g. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud
                        dalam huruf a, huruf b, huruf c, huruf d, huruf e, dan huruf f,
                        Undang-undang Nomor 15 Tahun 1985 tentang
                        Ketenagalistrikan tidak sesuai lagi dengan perkembangan
                        ketenagalistrikan sehingga perlu membentuk Undang-undang
                        tentang Ketenagalistrikan yang baru;
Mengingat :
                Pasal 5 ayat (1), Pasal 20 ayat (1), Pasal 27 ayat (2), dan Pasal 33
                Undang-Undang Dasar 1945 sebagaimana telah diubah dengan
                Perubahan Keempat Undang-Undang Dasar 1945.


                                 Dengan persetujuan
              DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA
                                  MEMUTUSKAN:
      Menetapkan :    UNDANG?UNDANG TENTANG KETENAGALISTRIKAN.


                                        BAB I
                                KETENTUAN UMUM
                                       Pasal 1
                Dalam Undang-undang ini yang dimaksud dengan:
                     1. Ketenagalistrikan adalah segala sesuatu yang menyangkut
                        penyediaan dan pemanfaatan tenaga listrik serta usaha
                        penunjang tenaga listrik.
                     2. Tenaga Listrik adalah suatu bentuk energi sekunder yang
                        dibangkitkan, ditransmisikan, dan didistribusikan untuk segala
                        macam keperluan, tidak termasuk listrik yang dipakai untuk
                        komunikasi, elektronika, atau isyarat.
                     3. Penyediaan Tenaga Listrik adalah pengadaan tenaga listrik
                        mulai dari titik pembangkitan sampai dengan titik pemakaian.
                     4. Pemanfaatan Tenaga Listrik adalah penggunaan tenaga listrik
                        mulai dari titik pemakaian.
                     5. Konsumen adalah setiap orang atau badan yang membeli
                        tenaga listrik dari pemegang Izin Usaha Penyediaan Tenaga
                        Listrik untuk digunakan sebagai pemanfaatan akhir dan tidak
                        untuk diperdagangkan.
                     6. Sistem Tenaga Listrik adalah rangkaian instalasi tenaga listrik
                        dari pembangkitan, transmisi, dan distribusi yang dioperasikan
                        secara serentak dalam rangka penyediaan tenaga listrik.
                     7. Pembangkitan Tenaga Listrik adalah kegiatan memproduksi
                        tenaga listrik.
                     8. Transmisi Tenaga Listrik adalah penyaluran tenaga listrik dari
                        suatu sumber pembangkitan ke suatu sistem distribusi atau
                        kepada konsumen, atau penyaluran tenaga listrik antarsistem.
                     9. Distribusi Tenaga Listrik adalah penyaluran tenaga listrik dari
                        sistem transmisi atau dari sistem pembangkitan kepada
                        konsumen.
10. Penjualan Tenaga Listrik adalah suatu kegiatan usaha
    penjualan tenaga listrik kepada konsumen.
11. Usaha Penjualan Tenaga Listrik adalah penyelenggara
    kegiatan usaha penjualan tenaga listrik kepada konsumen
    yang tersambung pada tegangan rendah.
12. Agen Penjualan Tenaga Listrik adalah penyelenggara kegiatan
    usaha penjualan tenaga listrik kepada konsumen yang
    tersambung pada tegangan tinggi dan tegangan menengah.
13. Pengelola Pasar Tenaga Listrik adalah penyelenggara
    kegiatan usaha untuk mempertemukan penawaran dan
    permintaan tenaga listrik.
14. Pengoperasian Sistem Tenaga Listrik adalah suatu kegiatan
    usaha untuk mengendalikan dan mengkoordinasikan
    antarsistem pem-bangkitan, transmisi, dan distribusi tenaga
    listrik.
15. Pengelola Sistem Tenaga Listrik adalah penyelenggara
    kegiatan usaha pengoperasian sistem tenaga listrik yang
    bertanggung jawab dalam mengendalikan dan
    mengkoordinasikan antarsistem pembangkitan, transmisi, dan
    distribusi, serta membuat rencana pengembangan sistem
    tenaga listrik.
16. Jaringan Transmisi Nasional adalah jaringan transmisi
    tegangan tinggi, ekstra tinggi, dan/atau ultra tinggi untuk
    menyalurkan tenaga listrik bagi kepentingan umum yang
    ditetapkan Pemerintah sebagai jaringan transmisi nasional.
17. Rencana Umum Ketenagalistrikan adalah rencana pengem-
    bangan sistem penyediaan tenaga listrik yang meliputi bidang
    pembangkitan, transmisi, dan distribusi tenaga listrik yang
    diperlukan untuk memenuhi kebutuhan tenaga listrik di suatu
    wilayah, antarwilayah, atau secara nasional.
18. Izin Usaha Penyediaan Tenaga Listrik adalah izin untuk
    melakukan usaha penyediaan tenaga listrik untuk kepentingan
    umum.
19. Izin Operasi adalah izin untuk mengoperasikan instalasi
    penyediaan tenaga listrik untuk kepentingan sendiri.
20. Instalasi Tenaga Listrik adalah bangunan sipil, elektromekanik,
    mesin, peralatan, saluran, dan perlengkapannya yang
    digunakan untuk pembangkitan, konversi, transmisi, distribusi,
    dan peman-faatan tenaga listrik.
21. Usaha Penunjang Tenaga Listrik adalah usaha yang
    menunjang penyediaan tenaga listrik.
22. Izin Usaha Penunjang Tenaga Listrik adalah izin untuk
    melaksanakan satu atau lebih kegiatan usaha penunjang
    tenaga listrik.
23. Menteri adalah Menteri yang bertanggung jawab di bidang
    ketenagalistrikan.
24. Pemerintah adalah Pemerintah Pusat yang terdiri atas
    Presiden dan para Menteri yang merupakan perangkat Negara
    Kesatuan Republik Indonesia.
   25. Pemerintah Daerah adalah Kepala Daerah beserta perangkat
       Daerah Otonom yang lain sebagai Badan Eksekutif Daerah.
   26. Badan Pengawas Pasar Tenaga Listrik adalah badan
       Pemerintah yang memiliki kewenangan dan tanggung jawab
       dalam pengambilan keputusan yang independen untuk
       melaksanakan pengaturan dan pengawasan penyediaan
       tenaga listrik.
   27. Badan Usaha adalah setiap badan hukum yang dapat
       berbentuk Badan Usaha Milik Negara, Badan Usaha Milik
       Daerah, koperasi atau swasta, yang didirikan sesuai dengan
       peraturan perundang-undangan yang berlaku, menjalankan
       jenis usaha bersifat tetap dan terus menerus, bekerja dan
       berkedudukan dalam wilayah Negara Kesatuan Republik
       Indonesia.
   28. Badan Usaha Milik Negara adalah Badan Usaha yang oleh
       Pemerintah diserahi tugas semata-mata untuk melaksanakan
       usaha penyediaan tenaga listrik untuk kepentingan umum.
   29. Badan Usaha Milik Daerah adalah Badan Usaha yang oleh
       Pemerintah Daerah diserahi tugas melaksanakan usaha
       ketenagalistrikan.
   30. Koperasi adalah Badan Usaha yang beranggotakan orang
       seorang atau badan hukum koperasi dengan melandaskan
       kegiatannya berdasarkan prinsip koperasi sekaligus sebagai
       gerakan ekonomi rakyat yang berdasar atas asas
       kebersamaan yang lingkup usahanya di bidang
       ketenagalistrikan.
   31. Swasta adalah badan hukum yang didirikan dan berdasarkan
       hukum di Indonesia yang berusaha di bidang ketenagalistrikan.
   32. Pemanfaat Tenaga Listrik adalah semua produk atau alat yang
       dalam pemanfaatannya menggunakan tenaga listrik untuk
       berfungsinya produk atau alat tersebut.
   33. Ganti kerugian hak atas tanah adalah penggantian atas nilai
       tanah berikut bangunan, tanaman, dan/atau benda-benda lain
       yang terkait dengan tanah sebagai akibat pelepasan atau
       penyerahan hak atas tanah.
   34. Kompensasi adalah pemberian sejumlah uang kepada
       pemegang hak atas tanah, bangunan, tanaman dan/atau
       benda lain yang terkait dengan tanah tanpa dilakukan
       pelepasan atau penyerahan hak atas tanah, bangunan,
       tanaman, dan/atau benda-benda lain yang terkait dengan
       tanah.
                     BAB II
              ASAS DAN TUJUAN
                    Pasal 2
Penyelenggaraan usaha ketenagalistrikan menganut asas manfaat,
efisiensi, berkeadilan, kebersamaan, optimasi ekonomis dalam
pemanfaatan sumber daya, berkelanjutan, percaya dan mengandalkan
pada kemampuan sendiri, keamanan dan keselamatan, serta
kelestarian fungsi lingkungan hidup.
                      Pasal 3
(1) Penyelenggaraan usaha ketenagalistrikan bertujuan untuk
     menjamin tersedianya tenaga listrik dalam jumlah cukup, kualitas
     yang baik, dan harga yang wajar untuk meningkatkan
     kesejahteraan dan kemakmuran rakyat secara adil dan merata
     serta mendorong peningkatan kegiatan ekonomi yang
     berkelanjutan.
(2) Untuk mencapai tujuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1),
     usaha ketenagalistrikan mendorong Badan Usaha di dalam negeri
     menjadi lebih efisien dan mandiri agar mampu berperan dan
     bersaing di dalam dan di luar negeri.


                      BAB III
       PEMANFAATAN SUMBER ENERGI
   UNTUK PEMBANGKITAN TENAGA LISTRIK
                     Pasal 4
(1) Pembangkitan tenaga listrik memanfaatkan seoptimal mungkin
     sumber energi primer, baik yang tak terbarukan maupun yang
     terbarukan dengan memperhatikan keekonomiannya yang
     terdapat di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.
(2) Kebijakan penyediaan dan pemanfaatan sumber energi untuk
     pembangkitan tenaga listrik ditetapkan Pemerintah dengan
     memperhatikan aspek keamanan, keseimbangan, dan kelestarian
     fungsi lingkungan hidup.
(3) Guna menjamin ketersediaan energi primer untuk pembangkitan
     tenaga listrik, diprioritaskan penggunaan sumber energi setempat
     dengan kewajiban mengutamakan pemanfaatan sumber energi
     terbarukan.


                      BAB IV
    RENCANA UMUM KETENAGALISTRIKAN
                      Pasal 5
(1) Pemerintah Daerah menyusun Rencana Umum Ketenagalistrikan
    Daerah.
(2) Pemerintah menetapkan Rencana Umum Ketenagalistrikan
    Nasional.
(3) Dalam menyusun Rencana Umum Ketenagalistrikan Nasional
    sebagaimana dimaksud dalam ayat (2), Pemerintah wajib
    mempertimbangkan Rencana Umum Ketenagalistrikan Daerah
    dan pendapat serta masukan dari masyarakat.
(4) Menteri menetapkan pedoman tentang penyusunan Rencana
     Umum Ketenagalistrikan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
     dan ayat (2).


                     Pasal 6
(1) Pengelola Sistem Tenaga Listrik membuat Rencana Pengem-
    bangan Sistem Tenaga Listrik dengan memperhatikan Rencana
    Umum Ketenagalistrikan Nasional sebagaimana dimaksud dalam
    Pasal 5 ayat (2).
(2) Pada wilayah yang tidak atau belum dapat menerapkan kompetisi,
    Badan Usaha yang memiliki wilayah usaha wajib membuat
    Rencana Penyediaan Tenaga Listrik berdasarkan Rencana Umum
    Ketenagalistrikan Daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5
    ayat (1) dan Rencana Umum Ketenagalistrikan Nasional
    sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (2).


                      Pasal 7
Pemerintah dan Pemerintah Daerah menyediakan dana pembangunan
sarana penyediaan tenaga listrik untuk membantu kelompok
masyarakat tidak mampu, pembangunan sarana penyediaan tenaga
listrik di daerah yang belum berkembang, pembangunan tenaga listrik
di daerah terpencil, dan pembangunan listrik perdesaan.


                       BAB V
        USAHA KETENAGALISTRIKAN
                  Bagian Pertama
                    Jenis Usaha
                      Pasal 8
(1) Usaha ketenagalistrikan terdiri dari Usaha Penyediaan Tenaga
     Listrik dan Usaha Penunjang Tenaga Listrik.
(2) Usaha penyediaan tenaga listrik sebagaimana dimaksud dalam
     ayat (1) meliputi jenis usaha:
    a. Pembangkitan Tenaga Listrik;
    b. Transmisi Tenaga Listrik;
    c. Distribusi Tenaga Listrik;
    d. Penjualan Tenaga Listrik;
    e. Agen Penjualan Tenaga Listrik;
    f. Pengelola Pasar Tenaga Listrik; dan
    g. Pengelola Sistem Tenaga Listrik.
(3) Usaha Penunjang Tenaga Listrik sebagaimana dimaksud dalam
    ayat (1) terdiri atas Usaha Jasa Penunjang Tenaga Listrik dan
    Industri Penunjang Tenaga Listrik.
(4) Usaha Jasa Penunjang Tenaga Listrik sebagaimana dimaksud
    dalam ayat (3) meliputi jenis usaha:
    a. konsultasi dalam bidang tenaga listrik;
    b. pembangunan dan pemasangan instalasi tenaga listrik;
    c. pengujian instalasi tenaga listrik;
    d. pengoperasian instalasi tenaga listrik;
    e. pemeliharaan instalasi tenaga listrik;
    f. penelitian dan pengembangan;
    g. pendidikan dan pelatihan; dan
    h. usaha jasa lain yang secara langsung berkaitan dengan
    penyediaan tenaga listrik.
(5) Industri Penunjang Tenaga Listrik sebagaimana dimaksud dalam
     ayat (3) meliputi jenis usaha:
    a. Industri Peralatan Tenaga Listrik; dan
    b. Industri Pemanfaat Tenaga Listrik.


                   Bagian Kedua
    Izin Usaha Penyediaan Tenaga Listrik dan
                    Izin Operasi
                      Pasal 9
(1) Kegiatan Usaha Penyediaan Tenaga Listrik sebagaimana
    dimaksud dalam Pasal 8 ayat (2) di wilayah yang menerapkan
    kompetisi dapat dilaksanakan oleh Badan Usaha setelah
    mendapatkan Izin Usaha Penyediaan Tenaga Listrik sesuai
    dengan jenis usahanya dari Badan Pengawas Pasar Tenaga
    Listrik.
(2) Izin Usaha Penyediaan Tenaga Listrik sebagaimana dimaksud
     dalam ayat (1) dibedakan atas:
    a.   Izin Usaha Pembangkitan Tenaga Listrik;
    b.   Izin Usaha Transmisi Tenaga Listrik;
    c.   Izin Usaha Distribusi Tenaga Listrik;
    d.   Izin Usaha Penjualan Tenaga Listrik;
    e.   Izin Usaha Agen Penjualan Tenaga Listrik;
    f.   Izin Usaha Pengelola Pasar Tenaga Listrik; dan
    g.   Izin Usaha Pengelola Sistem Tenaga Listrik.
(3) Izin Usaha Penyediaan Tenaga Listrik sebagaimana dimaksud
     dalam ayat (2) dapat dikeluarkan setelah memenuhi persyaratan
     teknis dan persyaratan administratif serta kelengkapan izin
     lainnya.
(4) Ketentuan mengenai syarat dan tata cara permohonan dan
     pemberian Izin Usaha Penyediaan Tenaga Listrik sebagaimana
     dimaksud dalam ayat (1) diatur dengan Keputusan Ketua Badan
     Pengawas Pasar Tenaga Listrik.
(5) Untuk Usaha Pembangkitan Tenaga Listrik, sebelum diterbitkan Izin
     Usaha Penyediaan Tenaga Listrik, terlebih dahulu dikeluarkan izin
     prinsip kepada Badan Usaha yang telah memenuhi persyaratan
     administratif dan persyaratan teknis.
(6) Apabila dalam batas waktu yang ditetapkan, pemegang izin prinsip
     atau Izin Usaha Penyediaan Tenaga Listrik tidak dapat
     merealisasikan kegiatan usahanya, izin prinsip atau Izin Usaha
     Penyediaan Tenaga Listrik dimaksud dinyatakan tidak berlaku lagi.


                                Pasal 10
Dalam hal kompetisi tidak atau belum dapat diterapkan, Izin Usaha
Penyediaan Tenaga Listrik dikeluarkan secara transparan dan
akuntabel masing-masing oleh:
         Bupati atau Walikota, untuk usaha penyediaan tenaga listrik di
    a.
         dalam daerahnya masing-masing yang tidak terhubung dengan
         Jaringan Transmisi Nasional sesuai dengan Rencana Umum
         Ketenagalistrikan Daerah;
         Gubernur, untuk usaha penyediaan tenaga listrik lintas
    b.
         kabupaten atau kota, baik sarana maupun energi listriknya,
         yang tidak terhubung dengan Jaringan Transmisi Nasional
         sesuai dengan Rencana Umum Ketenagalistrikan Daerah;
         Menteri, untuk usaha penyediaan tenaga listrik lintas propinsi,
    c.
         baik sarana maupun energi listriknya, yang tidak terhubung ke
         dalam Jaringan Transmisi Nasional atau usaha penyediaan
         tenaga listrik yang terhubung dengan Jaringan Transmisi
         Nasional sesuai dengan Rencana Umum Ketenagalistrikan
         Nasional; atau
         Menteri, untuk usaha penyediaan tenaga listrik yang dilakukan
    d.
         oleh Badan Usaha Milik Negara sesuai dengan Rencana
         Umum Ketenagalistrikan Nasional.
                                 Pasal 11
(1) Penyediaan tenaga listrik untuk kepentingan sendiri hanya dapat
dilakukan berdasarkan Izin Operasi.
(2) Izin Operasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dikeluar-kan
masing-masing oleh:
         Bupati/Walikota, apabila fasilitas instalasinya berada di dalam
    a.
         daerah kabupaten/kota;
         Gubernur, apabila fasilitas instalasinya mencakup lintas
    b.
         kabupaten/kota dalam satu provinsi; atau
         Menteri, apabila fasilitas instalasinya mencakup lintas provinsi.
    c.

                                Pasal 12
(1) Pemegang Izin Operasi dalam wilayah yang telah menerapkan
     kompetisi dapat menjual kelebihan tenaga listrik untuk kepentingan
     umum setelah mendapat Izin Usaha Penyediaan Tenaga Listrik
     dari Badan Pengawas Pasar Tenaga Listrik.
(2) Pemegang Izin Operasi dalam wilayah yang tidak atau belum
     menerapkan kompetisi dapat menjual kelebihan tenaga listrik
     untuk kepentingan umum setelah mendapat persetujuan dari
     pejabat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10.


                                Pasal 13
(1) Badan Pengawas Pasar Tenaga Listrik, Pemerintah, atau
     Pemerintah Daerah sesuai dengan kewenangannya masing-
     masing dapat menyampaikan teguran tertulis, menangguhkan
     kegiatan, membekukan kegiatan, atau mencabut Izin Usaha
     Penyediaan Tenaga Listrik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9
     dan Pasal 10 atau Izin Operasi sebagaimana dimaksud dalam
     Pasal 11 berdasarkan:
         pelanggaran terhadap salah satu persyaratan yang tercantum
    a.
         dalam izin;
         pengulangan pelanggaran atas persyaratan izin; dan/atau
    b.

         tidak memenuhi persyaratan yang ditentukan berdasarkan
    c.
         Undang-undang ini.
(2) Sebelum melaksanakan pencabutan Izin Usaha Penyediaan
     Tenaga Listrik atau Izin Operasi sebagaimana dimaksud dalam
     ayat (1), Badan Pengawas Pasar Tenaga Listrik, Pemerintah, atau
     Pemerintah Daerah terlebih dahulu memberikan kesempatan
     selama jangka waktu tertentu kepada Badan Usaha untuk
     memenuhi persyaratan yang ditetapkan.


                            Pasal 14
Ketentuan lebih lanjut mengenai Izin Usaha Penyediaan Tenaga Listrik
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 dan Pasal 10 serta Izin Operasi
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 diatur dengan Peraturan
Pemerintah.


                            Bagian Ketiga
                 Usaha Penyediaan Tenaga Listrik di
                          Wilayah Kompetisi
                              Pasal 15
(1) Penetapan wilayah yang menerapkan kompetisi dilakukan secara
     bertahap dan ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.
(2) Syarat-syarat untuk penetapan wilayah yang menerapkan kompetisi
     tenaga listrik sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) meliputi:
    a. tingkat harga jual tenaga listrik telah mencapai
    keekonomiannya;
    b. kompetisi pasokan energi primer;
    c. telah dibentuk Badan Pengawas Pasar Tenaga Listrik;
    d. kesiapan aturan yang diperlukan dalam penerapan kompetisi;
    e. kesiapan infrastruktur, perangkat keras dan perangkat lunak
    sistem tenaga listrik;
    f. kondisi sistem yang memungkinkan untuk dilakukannya
    kompetisi;
    g. kesetaraan Badan Usaha yang akan berkompetisi; dan
    h. syarat-syarat lain yang ditetapkan dengan Keputusan Ketua
    Badan Pengawas Pasar Tenaga Listrik.


                              Pasal 16
Usaha Penyediaan Tenaga Listrik sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 8 ayat (2) dilakukan secara terpisah oleh Badan Usaha yang
berbeda.


                              Pasal 17
(1) Usaha Pembangkitan Tenaga Listrik sebagaimana dimaksud dalam
     Pasal 8 ayat (2) huruf a dilakukan berdasarkan kompetisi.
(2) Badan Usaha di bidang pembangkitan tenaga listrik di satu wilayah
     kompetisi dilarang menguasai pasar berdasarkan Undang-undang
     ini.
(3) Larangan penguasaan pasar sebagaimana dimaksud dalam ayat
     (2) meliputi segala tindakan yang dapat mengakibatkan terjadinya
     praktik monopoli dan persaingan usaha yang tidak sehat antara
     lain meliputi:
        menguasai kepemilikan;
   a.

        menguasai sebagian besar kapasitas terpasang pembangkitan
   b.
        tenaga listrik dalam satu wilayah kompetisi;
         menguasai sebagian besar kapasitas pembangkitan tenaga
   c.
        listrik pada posisi beban puncak;
         menciptakan hambatan masuk pasar bagi Badan Usaha
   d.
        lainnya;
        membatasi produksi tenaga listrik dalam rangka
   e.
        mempengaruhi pasar;
        melakukan praktik diskriminasi;
   f.

        melakukan jual rugi dengan maksud menyingkirkan usaha
   g.
        pesaingnya;
        melakukan kecurangan usaha; dan/atau
   h.

        melakukan persekongkolan dengan pihak lain.
   i.

(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai larangan penguasaan pasar
     sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) diatur dengan Peraturan
     Pemerintah.
                             Pasal 18
(1) Usaha Transmisi Tenaga Listrik sebagaimana dimaksud dalam
     Pasal 8 ayat (2) huruf b tidak dikompetisikan.
(2) Usaha Transmisi Tenaga Listrik yang tersambung dengan Jaringan
     Transmisi Nasional bersifat terbuka dan memberikan perlakuan
     setara terhadap Usaha Pembangkitan Tenaga Listrik.
(3) Usaha Transmisi Tenaga Listrik dilaksanakan dengan memberi-kan
     kesempatan pertama kepada Badan Usaha Milik Negara.
(4) Badan Usaha Transmisi Tenaga Listrik wajib memenuhi kebutuh-an
     jaringan baru sesuai dengan rencana pengembangan sistem
     tenaga listrik.
(5) Badan Pengawas Pasar Tenaga Listrik menetapkan wilayah usaha
     bagi Badan Usaha Transmisi Tenaga Listrik.


                              Pasal 19
(1) Usaha Distribusi Tenaga Listrik sebagaimana dimaksud dalam
     Pasal 8 ayat (2) huruf c tidak dikompetisikan.
(2) Usaha Distribusi Tenaga Listrik bersifat terbuka dan memberikan
     perlakuan setara kepada Usaha Penjualan Tenaga Listrik dan
     Agen Penjualan Tenaga Listrik.
(3) Usaha Distribusi Tenaga Listrik dilaksanakan dengan memberi-kan
     kesempatan pertama kepada Badan Usaha Milik Negara.
(4) Badan Usaha Distribusi Tenaga Listrik wajib memenuhi kebutuhan
     jaringan baru sesuai dengan rencana pengembangan sistem
     tenaga listrik.
(5) Badan Pengawas Pasar Tenaga Listrik menetapkan wilayah usaha
     Badan Usaha Distribusi Tenaga Listrik.


                                Pasal 20
(1) Usaha Penjualan Tenaga Listrik sebagaimana dimaksud dalam
     Pasal 8 ayat (2) huruf d melakukan penjualan tenaga listrik
     kepada konsumen yang tersambung pada jaringan tegangan
     rendah dalam wilayah usaha tertentu.
(2) Wilayah usaha untuk Usaha Penjualan Tenaga Listrik sebagai-
    mana dimaksud dalam ayat (1) ditetapkan oleh Badan Pengawas
    Pasar Tenaga Listrik.
(3) Usaha Penjualan Tenaga Listrik dapat membeli tenaga listrik dari
     pasar tenaga listrik dan/atau secara bilateral dari pembangkit lain.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai pembelian tenaga listrik
     sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) diatur dengan Keputusan
     Ketua Badan Pengawas Pasar Tenaga Listrik.
                               Pasal 21
(1) Agen Penjualan Tenaga Listrik sebagaimana dimaksud dalam
     Pasal 8 ayat (2) huruf e melakukan pelayanan penjualan tenaga
     listrik kepada konsumen yang tersambung pada tegangan tinggi
     dan tegangan menengah.
(2) Dengan seizin Badan Pengawas Pasar Tenaga Listrik, Agen
     Penjualan Tenaga Listrik dapat melakukan penjualan tenaga listrik
     kepada konsumen yang tersambung pada tegangan rendah.
(3) Penjualan tenaga listrik untuk konsumen oleh Agen Penjualan
     Tenaga Listrik sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2)
     dilakukan berdasarkan kompetisi.
(4) Agen Penjualan Tenaga Listrik membeli tenaga listrik dari pasar
     tenaga listrik dan/atau secara bilateral dari pembangkit tenaga
     listrik lain.
                                Pasal 22
(1) Pengelola Pasar Tenaga Listrik sebagaimana dimaksud dalam
     Pasal 8 ayat (2) huruf f dilaksanakan oleh Badan Usaha yang
     akuntabel dan tidak berpihak dalam memberikan pelayanan
     pengelolaan pasar tenaga listrik kepada Badan Usaha yang
     melakukan transaksi melalui jaringan transmisi tenaga listrik.
(2) Pengelola Pasar Tenaga Listrik dibiayai bersama oleh Badan
     Usaha yang bertransaksi dalam pasar tenaga listrik.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai pembiayaan sebagaimana
     dimaksud dalam ayat (2) diatur dengan Keputusan Ketua Badan
     Pengawas Pasar Tenaga Listrik.


                              Pasal 23
(1) Pengelola Pasar Tenaga Listrik berfungsi untuk mempertemukan
     penawaran dan permintaan tenaga listrik sesuai dengan aturan
     pasar yang mendorong efisiensi, keekonomian serta iklim
     kompetisi yang sehat.
(2) Ketentuan mengenai aturan pasar sebagaimana dimaksud dalam
     ayat (1) diatur dengan Keputusan Ketua Badan Pengawas Pasar
     Tenaga Listrik dan tidak bertentangan dengan peraturan
     perundang-undangan yang berlaku.
(3) Pengelola Pasar Tenaga Listrik bertugas :
    a. melakukan koordinasi dengan Pengelola Sistem Tenaga Listrik
        dalam penyaluran tenaga listrik;
    b. mengesahkan harga pasar tenaga listrik dan besarnya tenaga
        listrik yang disalurkan;
    c. memberikan informasi hasil transaksi kepada semua pelaku
        transaksi pasar tenaga listrik;
    d. menyelesaikan semua transaksi pasar tenaga listrik;
    e. menyelesaikan perselisihan antarpelaku pasar yang timbul
        dalam proses transaksi tenaga listrik;
    f. membuat laporan transaksi dari penjual dan pembeli kepada
        Badan Pengawas Pasar Tenaga Listrik; dan
    g. melakukan tugas lain yang berkaitan dengan pengelolaan
        pasar tenaga listrik yang ditentukan oleh Badan Pengawas
        Pasar Tenaga Listrik.
                               Pasal 24
(1) Pengelola Sistem Tenaga Listrik sebagaimana dimaksud dalam
     Pasal 8 ayat (2) huruf g dilaksanakan oleh Badan Usaha yang
     akuntabel dan tidak berpihak dalam memberikan pelayanan
     operasi sistem tenaga listrik kepada Badan Usaha yang
     melakukan transaksi melalui jaringan transmisi tenaga listrik.
(2) Pengelola Sistem Tenaga Listrik dibiayai bersama oleh Badan
     Usaha yang bertransaksi dalam pasar tenaga listrik.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai pembiayaan sebagaimana
     dimaksud dalam ayat (2) diatur dengan Keputusan Ketua Badan
     Pengawas Pasar Tenaga Listrik.
                             Pasal 25
(1) Pengelola Sistem Tenaga Listrik berfungsi mengelola operasi
     sistem tenaga listrik untuk memperoleh sistem yang andal, aman,
     dan bermutu sesuai dengan aturan jaringan transmisi tenaga listrik
     yang berlaku.
(2) Ketentuan mengenai aturan jaringan transmisi tenaga listrik
     sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) ditetapkan dengan
     Keputusan Ketua Badan Pengawas Pasar Tenaga Listrik.
(3) Pengelola Sistem Tenaga Listrik bertugas:
    a. membuat rencana pengembangan sistem tenaga listrik;
    b. menjaga tingkat keamanan, mutu, dan keandalan sistem
        tenaga listrik sesuai dengan standar yang berlaku;
    c. membuat prakiraan beban dan rencana pembebanan
        pembangkit tenaga listrik berdasarkan informasi Pengelola
        Pasar Tenaga Listrik;
    d. mengkoordinasikan rencana pemeliharaan pembangkit dan
        jaringan transmisi tenaga listrik;
    e. memberikan perintah operasi kepada pembangkit dan transmisi
        tenaga listrik;
    f. memberikan informasi kepada Pengelola Pasar Tenaga Listrik
        untuk penyelesaian transaksi jual beli tenaga listrik;
    g. menjamin pasokan tenaga listrik; dan
    h. melakukan tugas lain yang berkaitan dengan pengelolaan
        sistem tenaga listrik yang ditetapkan dengan Keputusan Ketua
        Badan Pengawas Pasar Tenaga Listrik.


                              Pasal 26
Kepemilikan Badan Usaha Pengelola Pasar Tenaga Listrik dan Badan
Usaha Pengelola Sistem Tenaga Listrik sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 8 ayat (2) diatur dengan Keputusan Ketua Badan Pengawas
Pasar Tenaga Listrik.
                               Pasal 27
Persyaratan dan tata cara pengadaan dan pengangkatan pegawai
Pengelola Pasar Tenaga Listrik dan Pengelola Sistem Tenaga Listrik
ditetapkan dengan Keputusan Ketua Badan Pengawas Pasar Tenaga
Listrik.
                              Pasal 28
(1) Dalam hal kegiatan Usaha Transmisi Tenaga Listrik sebagaimana
     dimaksud dalam Pasal 8 ayat (2) huruf b, Pengelola Pasar
     Tenaga Listrik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (2)
     huruf f, dan Pengelola Sistem Tenaga Listrik sebagaimana
     dimaksud dalam Pasal 8 ayat (2) huruf g belum siap untuk
     dipisahkan, ketiga kegiatan usaha tersebut dapat dilakukan secara
     bersama dalam satu Badan Usaha dengan fungsi dan peran yang
     terpisah dan dilaksanakan oleh Badan Usaha Milik Negara.
(2) Dalam hal kegiatan Usaha Pengelola Pasar Tenaga Listrik
     sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (2) huruf f dan
     Pengelola Sistem Tenaga Listrik sebagaimana dimaksud dalam
     Pasal 8 ayat (2) huruf g belum siap untuk dipisahkan, kedua
     kegiatan usaha tersebut dapat dilakukan secara bersama dalam
     satu Badan Usaha dengan fungsi dan peran yang terpisah dan
     dilaksanakan oleh Badan Usaha Milik Negara.
(3) Ketentuan mengenai penggabungan dan pemisahan sebagaimana
     dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan Keputusan
     Ketua Badan Pengawas Pasar Tenaga Listrik.


                              Pasal 29
(1) Pemegang Izin Usaha Penyediaan Tenaga Listrik dilarang
     melakukan penggabungan usaha dalam suatu jaringan
     terinterkoneksi pada wilayah yang dikompetisikan yang dapat
    mengakibatkan terjadinya penguasaan pasar dan persaingan
    usaha yang tidak sehat.
(2) Penggabungan usaha dalam suatu wilayah yang dikompetisi-kan
     yang mendorong efisiensi, tetapi tidak mengganggu kom-petisi,
     dapat dilakukan dengan persetujuan Badan Pengawas Pasar
     Tenaga Listrik.


                           Bagian Keempat
          Usaha Penyediaan Tenaga Listrik di Wilayah yang
              Tidak atau Belum Menerapkan Kompetisi
                              Pasal 30
(1) Di wilayah yang tidak atau belum dapat menerapkan kompetisi
     karena kondisi tertentu, usaha penyediaan tenaga listrik
     sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (2) dapat dilakukan
     secara terintegrasi.
(2) Kegiatan usaha penyediaan tenaga listrik sebagaimana dimaksud
     dalam ayat (1) dilakukan oleh Badan Usaha Milik Negara, Badan
     Usaha Milik Daerah, koperasi, swasta, atau swadaya masyarakat
     yang ditetapkan oleh Pemerintah.
(3) Dengan pertimbangan pengembangan sistem ketenagalistrikan
     yang lebih efisien, kegiatan usaha penyediaan tenaga listrik
     sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilaksanakan dengan
     memberikan kesempatan pertama kepada Badan Usaha Milik
     Negara.
(4) Badan Usaha Milik Negara, Badan Usaha Milik Daerah, koperasi,
     swasta, atau swadaya masyarakat sebagaimana dimaksud dalam
     ayat (2) wajib memenuhi kebutuhan tenaga listrik di dalam wilayah
     usahanya.
(5) Dalam hal Badan Usaha Milik Negara, Badan Usaha Milik Daerah,
     koperasi, swasta, atau swadaya masyarakat sebagaimana
     dimaksud dalam ayat (4) tidak dapat memenuhi kebutuhan tenaga
     listrik, maka Pemerintah Daerah atau Pemerintah berkewajiban
     memenuhinya.


                            Bagian Kelima
                   Usaha Penunjang Tenaga Listrik
                             Pasal 31
(1) Kegiatan Usaha Penunjang Tenaga Listrik sebagaimana dimaksud
     dalam Pasal 8 ayat (3) dapat dilaksanakan oleh Badan Usaha
     setelah mendapatkan Izin Usaha Penunjang Tenaga Listrik dari
     Pemerintah Daerah.
(2) Ketentuan mengenai Usaha Penunjang Tenaga Listrik sebagai-
     mana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (3) dan ketentuan mengenai
     Izin Usaha Penunjang Tenaga Listrik diatur lebih lanjut dengan
     Peraturan Pemerintah.
(3) Untuk jenis-jenis Usaha Penunjang Tenaga Listrik sebagaimana
     dimaksud dalam Pasal 8 ayat (3) yang berkaitan dengan jasa
       konstruksi diatur tersendiri dalam undang-undang di bidang jasa
       konstruksi.


                                  BAB VI
                 HAK DAN KEWAJIBAN PEMEGANG IZIN
                 USAHA PENYEDIAAN TENAGA LISTRIK
                   DAN KONSUMEN TENAGA LISTRIK
                              Bagian Pertama
                       Hak dan Kewajiban Pemegang
                   Izin Usaha Penyediaan Tenaga Listrik
                                 Pasal 32
   (1) Untuk kepentingan umum, pemegang Izin Usaha Penyediaan
        Tenaga Listrik dalam melaksanakan usaha penyediaan tenaga
        listrik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (2) huruf a, huruf
        b, dan huruf c diberi kewenangan untuk :
        a. melintas sungai atau danau baik di atas maupun di bawah
        permukaan;
        b. melintas laut baik di atas maupun di bawah permukaan; dan
        c. melintas jalan umum dan jalan kereta api.
   (2) Sepanjang tidak bertentangan dan dengan memperhatikan
        peraturan perundang-undangan yang berlaku, untuk kepen-tingan
        umum pemegang Izin Usaha Penyediaan Tenaga Listrik juga
        diberi kewenangan untuk :
a. masuk ke tempat umum atau perorangan dan menggunakan-nya untuk
    sementara waktu;
b. menggunakan tanah, melintas di atas atau di bawah tanah;
c. melintas di atas atau di bawah bangunan yang dibangun di atas atau di
    bawah tanah; dan
d. memotong dan/atau menebang tanaman yang menghalangi-nya.
   (3) Dalam melaksanakan kegiatan sebagaimana dimaksud dalam ayat
        (2), pemegang Izin Usaha Penyediaan Tenaga Listrik harus
        mendapat persetujuan terlebih dahulu dari pihak yang berhak atas
        tanah, bangunan, dan/atau tanaman.


                               Pasal 33
   Pemegang Izin Usaha Penyediaan Tenaga Listrik wajib :
   a. menyediakan tenaga listrik yang memenuhi standar mutu dan
       keandalan yang berlaku;
   b. memberikan pelayanan yang sebaik-baiknya kepada masyarakat
       dan memperhatikan hak-hak konsumen sesuai peraturan
       perundang-undangan yang berlaku di bidang perlindungan
       konsumen; dan
   c. memperhatikan keselamatan ketenagalistrikan.
                            Bagian Kedua
             Hak dan Kewajiban Konsumen Tenaga Listrik
                                Pasal 34
(1) Konsumen tenaga listrik mempunyai hak untuk:
    a. mendapat pelayanan yang baik;
    b. mendapat tenaga listrik secara terus menerus dengan mutu
        dan keandalan yang baik;
    c. memperoleh tenaga listrik dengan harga yang wajar;
    d. mendapat pelayanan untuk perbaikan apabila ada gangguan
        tenaga listrik; dan
    e. mendapat ganti rugi apabila terjadi pemadaman yang
        diakibatkan kesalahan dan/atau kelalaian pengoperasian oleh
        pemegang Izin Usaha Penyediaan Tenaga Listrik sesuai
        syarat-syarat yang diatur dalam perjanjian jual beli tenaga
        listrik.
(2) Konsumen tenaga listrik mempunyai kewajiban :
    a. melaksanakan pengamanan terhadap bahaya yang mungkin
        timbul akibat pemanfaatan tenaga listrik;
    b. menjaga keamanan instalasi ketenagalistrikan;
    c. memanfaatkan tenaga listrik sesuai dengan peruntukannya;
        dan
    d. membayar uang langganan atau harga tenaga listrik sesuai
        ketentuan atau perjanjian.
(3) Konsumen tenaga listrik bertanggung jawab apabila karena
     kelalaiannya mengakibatkan kerugian pada pemegang Izin Usaha
     Penyediaan Tenaga Listrik.
(4) Konsumen tenaga listrik wajib menaati persyaratan teknis di bidang
     ketenagalistrikan.


                      BAB VII
   PENGGUNAAN TANAH OLEH PEMEGANG
  IZIN USAHA PENYEDIAAN TENAGA LISTRIK
                     Pasal 35
(1) Untuk kepentingan umum, pihak yang berhak atas tanah,
     bangunan, dan tanaman mengizinkan pemegang Izin Usaha
     Penyediaan Tenaga Listrik melaksanakan kewenangannya
     sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 ayat (2), dengan
     mendapatkan ganti kerugian hak atas tanah atau kompensasi.
(2) Ganti kerugian hak atas tanah sebagaimana dimaksud dalam ayat
     (1) adalah untuk tanah yang dipergunakan secara langsung oleh
     pemegang Izin Usaha Penyediaan Tenaga Listrik, dan untuk
     bangunan dan tanaman di atas tanah dimaksud.
(3) Kompensasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diberikan
     sebagai akibat dari berkurangnya nilai ekonomis atas tanah,
     bangunan dan tanaman yang dilintasi transmisi tenaga listrik.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai perhitungan kompensasi
     sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) diatur dengan Peraturan
     Pemerintah.
(5) Apabila tanah yang digunakan pemegang Izin Usaha Penyediaan
     Tenaga Listrik terdapat bagian-bagian tanah yang dikuasai oleh
     pemegang hak atas tanah atau pemakai tanah negara, sebelum
     memulai kegiatan, pemegang Izin Usaha Penyediaan Tenaga
     Listrik wajib menyelesaikan masalah tanah tersebut sesuai
     peraturan perundang-undangan di bidang pertanahan.
(6) Dalam hal tanah yang digunakan pemegang Izin Usaha Penyediaan
     Tenaga Listrik terdapat tanah ulayat dan yang serupa dari
     masyarakat hukum adat sepanjang kenyataannya masih ada,
     penyelesaiannya dilakukan oleh pemegang Izin Usaha
     Penyediaan Tenaga Listrik dengan masyarakat hukum adat yang
     bersangkutan sesuai peraturan perundang-undangan di bidang
     pertanahan dengan memperhatikan ketentuan hukum adat
     setempat .
                              Pasal 36
Kewajiban untuk memberi ganti kerugian hak atas tanah atau
kompensasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 ayat (1) tidak
berlaku terhadap mereka yang sengaja mendirikan bangunan,
menanam tanaman dan lain-lain di atas tanah yang sudah memiliki izin
lokasi untuk usaha penyediaan tenaga listrik dan sudah diberikan ganti
rugi atau kompensasi.
                              Pasal 37
(1) Penetapan, tata cara, dan pembayaran ganti kerugian hak atas
     tanah atau kompensasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35
     dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
     undangan yang berlaku.
(2) Ganti kerugian hak atas tanah atau kompensasi sebagaimana
     dimaksud dalam Pasal 35 dibebankan kepada pemegang Izin
     Usaha Penyediaan Tenaga Listrik.


                              BAB VIII
                  HARGA JUAL TENAGA LISTRIK
                              Pasal 38
(1) Harga Jual Tenaga Listrik di sisi pembangkit tenaga listrik dan
     harga jual tenaga listrik untuk konsumen tegangan tinggi dan
     konsumen tegangan menengah didasarkan pada kompetisi yang
     wajar dan sehat serta diawasi oleh Badan Pengawas Pasar
     Tenaga Listrik.
(2) Harga jual tenaga listrik untuk konsumen tegangan rendah diatur
     oleh Badan Pengawas Pasar Tenaga Listrik.
(3) Dalam hal kompetisi baru diterapkan pada pembangkit, harga jual
     tenaga listrik untuk konsumen diatur oleh Badan Pengawas Pasar
     Tenaga Listrik.


                              Pasal 39
(1) Penetapan biaya penyediaan fasilitas untuk menjaga mutu dan
     keandalan tenaga listrik dilakukan Badan Pengawas Pasar
     Tenaga Listrik berdasarkan kontrak antara Pengelola Sistem
     Tenaga Listrik dengan Badan Usaha Pembangkitan Tenaga Listrik
     dan Badan Usaha Transmisi Tenaga Listrik.
(2) Pengelola Pasar Tenaga Listrik membayar biaya sebagaimana
     dimaksud dalam ayat (1) kepada Badan Usaha Pembangkitan
     Tenaga Listrik dan Badan Usaha Transmisi Tenaga Listrik yang
     bersangkutan melalui Pengelola Sistem Tenaga Listrik.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai mekanisme dan besar
     pembayaran sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2)
     diatur dengan Peraturan Pemerintah.
                               Pasal 40
Penetapan harga sewa jaringan transmisi dan harga sewa jaringan
distribusi tenaga listrik dilakukan oleh Badan Pengawas Pasar Tenaga
Listrik.
                              Pasal 41
Dalam hal kompetisi tidak atau belum dapat diterapkan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 30 ayat (1), harga jual tenaga listrik untuk
konsumen diatur oleh Pemerintah atau Pemerintah Daerah.
                              Pasal 42
Harga Jual Tenaga Listrik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38 dan
Pasal 41, biaya penyediaan fasilitas sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 39, dan harga sewa jaringan transmisi dan harga sewa jaringan
distribusi tenaga listrik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40
dinyatakan dalam mata uang Rupiah.
                               Pasal 43
Dalam mengatur harga jual tenaga listrik sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 38 ayat (2) dan ayat (3) serta Pasal 41, Pemerintah,
Pemerintah Daerah atau Badan Pengawas Pasar Tenaga Listrik wajib
memperhatikan hal-hal sebagai berikut:
a. kepentingan nasional;
b. kepentingan konsumen;
c. kaidah-kaidah industri dan niaga yang sehat;
d. biaya produksi;
e. efisiensi pengusahaan;
f. kelangkaan dan sifat-sifat khusus sumber energi primer yang
    digunakan;
g. skala pengusahaan dan interkoneksi sistem yang dipakai;
h. biaya pelestarian fungsi lingkungan hidup;
i. kemampuan masyarakat; dan
j. mutu dan keandalan penyediaan tenaga listrik.


                             Pasal 44
Ketentuan mengenai harga jual tenaga listrik sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 38 dan Pasal 41 serta harga sewa sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 40 diatur lebih lanjut dengan Peraturan
Pemerintah.


                                Pasal 45
Ketentuan mengenai jual beli tenaga listrik antarnegara diatur lebih
lanjut dengan Peraturan Pemerintah.


                             BAB IX
                    PENERIMAAN NEGARA
                                Pasal 46
(1) Penerimaan negara di sektor ketenagalistrikan berasal dari
     penerimaan perpajakan dan Penerimaan Negara Bukan Pajak.
(2) Penerimaaan Negara Bukan Pajak sebagaimana dimaksud dalam
     ayat (1) berupa pungutan sarana transmisi dan pungutan sarana
     distribusi tenaga listrik.
(3) Pungutan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) digunakan untuk
     pengembangan jaringan transmisi dan distribusi tenaga listrik di
     wilayah yang belum berkembang.
(4) Tata cara, penetapan besaran, pengenaan, pemungutan, dan
     penggunaan Penerimaan Negara Bukan Pajak sebagaimana
     dimaksud dalam ayat (2) dan ayat (3) diatur lebih lanjut dengan
     Peraturan Pemerintah.


                                 BAB X
                      LINGKUNGAN HIDUP DAN
               KESELAMATAN KETENAGALISTRIKAN
                                Pasal 47
Setiap kegiatan usaha ketenagalistrikan wajib memenuhi ketentuan
yang disyaratkan dalam peraturan perundang-undangan di bidang
lingkungan hidup.


                                Pasal 48
(1) Setiap kegiatan usaha ketenagalistrikan wajib memenuhi ketentuan
     mengenai keselamatan ketenagalistrikan.
(2) Ketentuan mengenai keselamatan ketenagalistrikan sebagaimana
     dimaksud dalam ayat (1) meliputi standardisasi, pengamanan
     instalasi tenaga listrik dan pengamanan pemanfaat tenaga listrik
     untuk mewujudkan kondisi andal dan aman bagi instalasi dan
     kondisi aman dari bahaya bagi manusia serta kondisi akrab
     lingkungan.
(3) Setiap instalasi tenaga listrik yang akan beroperasi wajib memiliki
     sertifikat laik operasi.
(4) Setiap pemanfaat tenaga listrik yang akan diperjualbelikan wajib
     memiliki tanda keselamatan.
(5) Setiap tenaga teknik dalam usaha ketenagalistrikan wajib memiliki
     sertifikat kompetensi.
(6) Ketentuan mengenai keselamatan ketenagalistrikan, sertifikat laik
     operasi, tanda keselamatan, dan sertifikat kompetensi
     sebagaimana dimaksud dalam ayat (2), ayat (3), ayat (4), dan ayat
     (5) diatur dengan Peraturan Pemerintah.


                             BAB XI
           PEMANFAATAN JARINGAN TENAGA LISTRIK
                    UNTUK KEPENTINGAN LAIN
                              Pasal 49
(1) Jaringan tenaga listrik dapat dimanfaatkan untuk kepentingan di
     luar penyaluran tenaga listrik.
(2) Pemanfaatan jaringan tenaga listrik sebagaimana dimaksud dalam
     ayat (1) hanya dapat dilakukan dengan izin pemilik jaringan.
(3) Ketentuan mengenai perizinan sebagaimana dimaksud dalam ayat
     (2) diatur lebih lanjut oleh Menteri.


                               BAB XII
                 PEMBINAAN DAN PENGAWASAN
                               Pasal 50
(1) Pemerintah, Pemerintah Daerah dan Badan Pengawas Pasar
     Tenaga Listrik melakukan pembinaan dan pengawasan umum
     terhadap usaha ketenagalistrikan sesuai dengan kewenangannya
     masing-masing.
(2) Pembinaan dan pengawasan umum sebagaimana dimaksud dalam
     ayat (1) terutama meliputi:


    a. keselamatan pada keseluruhan sistem penyediaan tenaga
         listrik;
    b. pengembangan usaha;
    c. optimasi pemanfaatan sumber energi setempat, termasuk
         pemanfaatan energi terbarukan;
    d. aspek lindungan lingkungan;
    e. pemanfaatan proses teknologi yang bersih, ramah lingkungan
         dan berefisiensi tinggi pada pembangkitan tenaga listrik;
    f. pemanfaatan barang dan jasa dalam negeri, termasuk rekayasa
         dan kompetensi tenaga teknik;
    g. keandalan dan kecukupan penyediaan tenaga listrik; dan
    h. tercapainya standardisasi dalam bidang ketenagalistrikan.
(3) Tata cara pembinaan dan pengawasan umum sebagaimana
     dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan Peraturan
     Pemerintah.
                               BAB XIII
           BADAN PENGAWAS PASAR TENAGA LISTRIK
                              Pasal 51
(1) Untuk mengatur dan mengawasi terselenggaranya kompetisi
     penyediaan tenaga listrik, dibentuk satu badan yang disebut
     Badan Pengawas Pasar Tenaga Listrik.
(2) Badan Pengawas Pasar Tenaga Listrik sebagaimana dimaksud
     dalam ayat (1) berfungsi mengatur dan mengawasi usaha
     penyediaan tenaga listrik di wilayah yang telah menerapkan
     kompetisi.


                              Pasal 52
Untuk melaksanakan fungsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51,
Badan Pengawas Pasar Tenaga Listrik bertugas dan berwenang :


  a. menjabarkan dan menerapkan kebijakan umum Pemerintah
      dalam pengaturan usaha penyediaan tenaga listrik;
  b. mencegah persaingan usaha tidak sehat;
  c. mengatur harga jual tenaga listrik pada Usaha Penjualan Tenaga
      Listrik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38 ayat (2), biaya
      penyediaan fasilitas untuk menjaga mutu dan keandalan sistem
      tenaga listrik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 39, dan harga
      sewa transmisi dan harga sewa distribusi tenaga listrik sebagai-
      mana dimaksud dalam Pasal 40;
  d. memantau dan mengawasi pelaksanaan ketentuan mengenai
      pungutan sarana transmisi dan pungutan sarana distribusi
      tenaga listrik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 46 ayat (2)
      dan ayat (3);
  e. mengawasi harga jual tenaga listrik pada sisi yang dikompetisi-kan
      pada Usaha Pembangkitan dan Agen Penjualan Tenaga Listrik
      sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38 ayat ( 1);
  f. mengatur dan mengawasi Usaha Pengelola Pasar Tenaga Listrik
      dan Usaha Pengelola Sistem Tenaga Listrik;
  g. menetapkan wilayah Usaha Distribusi Tenaga Listrik dan Usaha
      Penjualan Tenaga Listrik;
  h. menerbitkan Izin Usaha Penyediaan Tenaga Listrik untuk setiap
      jenis Usaha Penyediaan Tenaga Listrik sebagaimana dimaksud
      dalam Pasal 8 ayat (2);
  i. memastikan bahwa ketentuan peraturan perundang-undangan
      dan ketentuan izin dipatuhi oleh pemegang Izin Usaha
      Penyediaan Tenaga Listrik;
  j. melakukan dengar pendapat dengan publik dan menetapkan
      aturan penanganan pengaduan konsumen.
  k. memfasilitasi penyelesaian perselisihan yang timbul dalam
      kompetisi dan pelayanan;
  l. menerapkan sanksi administratif kepada pemegang Izin Usaha
      Penyediaan Tenaga Listrik atas pelanggaran ketentuan
      peraturan perundang-undangan dan perizinan; dan
  m. menjamin pasokan tenaga listrik.


                            Pasal 53
Untuk wilayah yang tidak atau belum dapat menerapkan kompetisi,
fungsi pengaturan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51
dilaksanakan oleh Pemerintah atau Pemerintah Daerah sesuai
kewenangannya.


                            Pasal 54
Badan Pengawas Pasar Tenaga Listrik mengambil keputusan secara
akuntabel dan tidak memihak serta menjelaskan secara transparan
segala pertimbangan dalam pengambilan keputusannya.


                            Pasal 55
(1) Badan Pengawas Pasar Tenaga Listrik bertanggung jawab kepada
    Presiden.
(2) Anggota Badan Pengawas Pasar Tenaga Listrik paling sedikit
    terdiri atas 5 (lima) orang dan paling banyak terdiri atas 11
    (sebelas) orang.
(3) Ketua dipilih dari dan oleh anggota Badan Pengawas Pasar
    Tenaga Listrik, yang merangkap sebagai anggota.
(4) Anggota Badan Pengawas Pasar Tenaga Listrik diangkat oleh
    Presiden atas persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat Republik
    Indonesia.
(5) Masa jabatan anggota Badan Pengawas Pasar Tenaga Listrik
    adalah 5 (lima) tahun dan dapat diangkat kembali maksimal 1
    (satu) kali masa jabatan berikutnya.
(6) Apabila karena berakhirnya masa jabatan akan terjadi kekosongan
    dalam keanggotaan Badan Pengawas Pasar Tenaga Listrik, maka
    masa jabatan anggota dapat diperpanjang sampai pengangkatan
    anggota baru.


                               Pasal 56
Ketentuan lebih lanjut mengenai organisasi, tata kerja, uraian tugas,
keanggotaan, kode etik, dan sistem penggajian Badan Pengawas
Pasar Tenaga Listrik diatur dengan Peraturan Pemerintah.


                               Pasal 57
Anggaran untuk pelaksanaan tugas Badan Pengawas Pasar Tenaga
Listrik diperoleh dari :
a. Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara; dan
b. sumber-sumber lain yang diperbolehkan sesuai peraturan
    perundang-undangan yang berlaku.
                             BAB XIV
                           PENYIDIKAN
                             Pasal 58
(1) Selain Penyidik Pejabat Polisi Negara Republik Indonesia, juga
     Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu yang lingkup tugas dan
     tanggung jawabnya di bidang ketenagalistrikan, diberi wewenang
     khusus sebagai Penyidik sebagaimana dimaksud dalam Undang-
     undang Hukum Acara Pidana, untuk melakukan penyidikan tindak
     pidana di bidang ketenagalistrikan.
(2) Penyidik Pegawai Negeri Sipil sebagaimana dimaksud dalam ayat
     (1) berwenang:


    a. melakukan pemeriksaan atas kebenaran laporan atau
        keterangan berkenaan dengan tindak pidana dalam kegiatan
        usaha ketenagalistrikan;
    b. melakukan pemeriksaan terhadap orang atau Badan Usaha
        yang diduga melakukan tindak pidana dalam kegiatan usaha
        ketenagalistrikan;
    c. memanggil orang untuk didengar dan diperiksa sebagai saksi
        atau tersangka dalam perkara tindak pidana dalam kegiatan
        usaha ketenagalistrikan;
    d. menggeledah tempat yang diduga digunakan untuk melaku-kan
        tindak pidana dalam kegiatan usaha ketenagalistrikan;
    e. melakukan pemeriksaan sarana dan prasarana kegiatan usaha
        ketenagalistrikan dan menghentikan penggunaan peralatan
        yang diduga digunakan untuk melakukan tindak pidana;
    f. menyegel dan/atau menyita alat kegiatan usaha ketenaga-
        listrikan yang digunakan untuk melakukan tindak pidana
        sebagai alat bukti; dan
    g. mendatangkan tenaga ahli yang diperlukan dalam hubungan-
        nya dengan pemeriksaan perkara tindak pidana dalam
        kegiatan usaha ketenagalistrikan.
(3) Penyidik Pegawai Negeri Sipil sebagaimana dimaksud dalam ayat
    (1) memberitahukan dimulainya penyidikan perkara pidana kepada
    Pejabat Polisi Negara Republik Indonesia sesuai dengan
    ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
(4) Pelaksanaan kewenangan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2)
    dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
    undangan yang berlaku.


                             BAB XV
                       KETENTUAN PIDANA
                             Pasal 59
(1) Setiap orang yang memberikan informasi palsu, kesaksian palsu,
    atau menahan informasi berkaitan dengan usaha ketenaga-
    listrikan yang merugikan kepentingan umum dipidana dengan
    pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling
    banyak Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
(2) Setiap orang yang melanggar prinsip kompetisi yang sehat,
    khususnya dalam melakukan persekongkolan usaha untuk
    memperoleh keistimewaan atau menghimpun kekuatan monopoli
    sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 dan Pasal 52 huruf b,
    dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan
    denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).


                               Pasal 60
(1) Setiap orang yang menggunakan tenaga listrik yang bukan haknya
     dengan maksud untuk memanfaatkan secara melawan hukum,
     dipidana karena melakukan pencurian dengan pidana penjara
     paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak
     Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
(2) Setiap orang yang karena kelalaiannya mengakibatkan rusaknya
     instalasi tenaga listrik milik pemegang Izin Usaha Penyediaan
     Tenaga Listrik sehingga mempengaruhi kelangsungan penyediaan
     tenaga listrik dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga)
     tahun dan denda paling banyak Rp100.000.000,00 (seratus juta
     rupiah).
(3) Apabila kelalaian sebagaimana dimaksud dalam ayat (2)
     mengakibatkan terputusnya aliran listrik sehingga merugikan
     masyarakat dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima)
     tahun dan denda paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta
     rupiah).


                               Pasal 61
(1) Setiap orang yang melakukan usaha penyediaan tenaga listrik
    tanpa Izin Usaha Penyediaan Tenaga Listrik sebagaimana
    dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) dan Pasal 10, dipidana dengan
    pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan denda paling
    banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
(2) Setiap orang yang melakukan usaha penyediaan tenaga listrik
    tanpa Izin Operasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11,
    dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan
    denda paling banyak Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah).
(3) Setiap orang yang melakukan usaha penyediaan tenaga listrik
    tidak memenuhi kewajiban terhadap yang berhak atas tanah,
    bangunan, dan tanaman sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35
    dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan
    denda paling banyak Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah).
(4) Selain pidana sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) dapat
    dikenakan sanksi tambahan berupa pencabutan Izin Usaha
    Penyediaan Tenaga Listrik atau Izin Operasi.


                               Pasal 62
(1) Setiap orang yang karena kelalaiannya mengakibatkan matinya
     seseorang karena tenaga listrik, dipidana dengan pidana penjara
    paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak
    Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah).
(2) Apabila kelalaian sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan
     oleh pemegang Izin Usaha Penyediaan Tenaga Listrik dan
     pemegang Izin Operasi, dipidana dengan pidana penjara paling
     lama 7 (tujuh) tahun dan denda paling banyak Rp500.000.000,00
     (lima ratus juta rupiah).
(3) Selain pidana sebagaimana dimaksud dalam ayat (2), pemegang
    Izin Usaha Penyediaan Tenaga Listrik dan pemegang Izin Operasi
    juga diwajibkan untuk memberi ganti rugi.
(4) Penetapan, tata cara, dan pembayaran ganti rugi sebagaimana
    dimaksud dalam ayat (3) mengikuti ketentuan peraturan
    perundang-undangan yang berlaku.


                             Pasal 63
Setiap orang yang melakukan kegiatan usaha penunjang tenaga listrik
tanpa izin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 ayat (1) diancam
dengan pidana kurungan paling lama 6 (enam) bulan dan denda paling
banyak Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah).


                             Pasal 64
Setiap orang yang memproduksi, mengedarkan, atau memperjual-
belikan pemanfaat listrik yang tidak memiliki tanda keselamatan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 48 ayat (4) dipidana dengan
pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun dan denda paling banyak
Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).


                             Pasal 65
(1) Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Bab ini
     dilakukan oleh Badan Usaha, pidana dikenakan terhadap Badan
     Usaha dan atau pengurusnya.


(2) Dalam hal tindak pidana dilakukan oleh Badan Usaha, pidana yang
     dijatuhkan kepada Badan Usaha berupa pidana denda, dengan
     ketentuan paling tinggi pidana denda ditambah sepertiganya.


                             Pasal 66
(1) Perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59, Pasal 60,
Pasal 61, dan Pasal 62 adalah kejahatan.
(2) Perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 63 dan Pasal 64
adalah pelanggaran.


                             BAB XVI
                     KETENTUAN PERALIHAN
                             Pasal 67
Pada saat Undang-undang ini berlaku :
a. dalam jangka waktu paling lama 1 (satu) tahun dibentuk Badan
    Pengawas Pasar Tenaga Listrik; dan
b. dalam jangka waktu paling lama 5 (lima) tahun telah ada wilayah
    yang menerapkan kompetisi terbatas di sisi pembangkitan.


                              Pasal 68
Pada saat Undang-undang ini berlaku, terhadap Pemegang Kuasa
Usaha Ketenagalistrikan (PKUK) sebagaimana dimaksud dalam
Undang-undang Nomor 15 Tahun 1985 tentang Ketenagalistrikan
dianggap telah memiliki izin yang terintegrasi secara vertikal yang
meliputi pembangkitan, transmisi, distribusi, dan penjualan tenaga
listrik dengan tetap melaksanakan tugas dan kewajiban penyediaan
tenaga listrik untuk kepentingan umum sampai dengan dikeluar-kannya
Izin Usaha Penyediaan Tenaga Listrik berdasarkan Undang-undang ini.
                              Pasal 69
Pada saat Undang-undang ini berlaku :
a. peraturan pelaksanaan di bidang ketenagalistrikan yang telah
    dikeluarkan tetap berlaku, sepanjang tidak bertentangan dengan
    Undang-undang ini atau belum diganti atau diubah berdasarkan
    Undang-undang ini;
b. Izin Usaha Ketenagalistrikan untuk Kepentingan Umum yang telah
     dikeluarkan berdasarkan Undang-undang Nomor 15 Tahun 1985
     tentang Ketenagalistrikan tetap berlaku sampai habis masa
     berlakunya kecuali pada wilayah yang telah ditetapkan sebagai
     wilayah yang menerapkan kompetisi, Izin Usaha Ketenagalistrikan
     untuk Kepentingan Umum diperbaharui menjadi Izin Usaha
     Penyediaan Tenaga Listrik sesuai dengan bidang usahanya;
c. Izin Usaha Ketenagalistrikan untuk Kepentingan Sendiri yang telah
     dikeluarkan berdasarkan Undang-undang Nomor 15 Tahun 1985
     tentang Ketenagalistrikan tetap berlaku sampai habis masa
     berlakunya; dan
d. Izin Usaha Penunjang Tenaga Listrik yang telah dikeluarkan
     berdasarkan Undang-undang Nomor 15 Tahun 1985 tentang
     Ketenagalistrikan tetap berlaku sampai habis masa berlakunya.


                             BAB XVII
                      KETENTUAN PENUTUP
                              Pasal 70
Pada saat mulai berlakunya Undang-undang ini, Undang-undang
Nomor 15 Tahun 1985 tentang Ketenagalistrikan (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 1985 Nomor 74, Tambahan Lembaran
Negara Nomor 3317), dinyatakan tidak berlaku.
                              Pasal 71
Undang-undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan
Undang-undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara
Republik Indonesia.
                                               Disahkan di Jakarta
                                         pada tanggal 23 September 2002
                                        PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
                                                       ttd
                                         MEGAWATI SOEKARNOPUTRI


Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 23 September 2002
SEKRETARIS NEGARA REPUBLIK INDONESIA,
ttd
BAMBANG KESOWO



         LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2002 NOMOR 94


Salinan sesuai dengan aslinya
Deputi Sekretaris Kabinet
Bidang Hukum dan Perundang-undangan,


 ttd.
Lambock V. Nahattands


Silahkan download versi PDF nya sbb:
ketenagalistrikan_(uu_20_thn_2002)_20.pdf
(ogi/Carapedia)
Tambahkan komentar baru
Komentar Sebelumnya (0)
Belum ada komentar untuk produk ini.