Previous
Next

1997

Undang-Undang Ketenagakerjaan (UU 25 thn 1997)

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 25 Tahun 1997 Tentang Ketenagakerjaan :
LEMBARAN NEGARA
REPUBLIK INDONESIA
No. 73, 1997 (Penjelasan dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3702)

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 25 TAHUN 1997
TENTANG
KETENAGAKERJAAN

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang: a. bahwa pembangunan nasional dilaksanakan dalam rangka pembangunan manusia
Indonesia seutuhnya dan pembangunan masyarakat Indonesia seluruhnya untuk mewujudkan
masyarakat yang sejahtera adil, makmur dan merata, baik materiil maupun spiritual berdasarkan
Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945;
b. bahwa dalam pelaksanaan pembangunan nasional, tenaga kerja mempunyai peranan dan kedudukan
yang sangat penting sebagai pelaku dan tujuan pembangunan.
c. bahwa sesuai dengan peranan dan kedudukan tenaga kerja, diperlukan pembangunan
ketenagakerjaan untuk meningkatkan kualitas dan kontribusinya dalam pembangunan serta melindungi
hak dan kepentingannya sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan;
d. bahwa perlindungan terhadap tenaga kerja dimaksudkan untuk menjamin hak-hak dasar pekerja dan
menjamin kesamaan kesempatan dan perlakuan tanpa diskriminasi untuk mewujudkan kesejahteraan
pekerja dan keluarganya dalam rangka hubungan industrial yang berkeadilan;
e. bahwa beberapa undang-undang di bidang ketenagakerjaan dipandang sudah tidak sesuai lagi
dengan kebutuhan dan tuntutan pembangunan ketenagakerjaan;
f. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana tersebut pada huruf a, huruf b, huruf c, huruf d, dan
huruf e perlu ditetapkan Undang-undang tentang Ketenagakerjaan;

Mengingat:   Pasal 5 ayat (1), Pasal 20 ayat (1), Pasal 27 ayat (2), Pasal 28 dan Pasal 33 ayat (1)
Undang-Undang Dasar 1945;

Dengan Persetujuan
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA

MEMUTUSKAN:

Menetapkan: UNDANG-UNDANG TENTANG KETENAGAKERJAAN.

BAB I
KETENTUAN UMUM

Pasal 1
Dalam undang-undang ini yang dimaksud dengan:
1. Ketenagakerjaan adalah segala hal yang berhubungan dengan tenaga kerja pada waktu sebelum,
selama, dan sesudah masa kerja.
2. tenaga kerja adalah setiap orang laki-laki atau wanita yang sedang dalam dan/atau akan melakukan
pekerjaan, baik di dalam maupun di luar hubungan kerja guna menghasilkan barang atau jasa untuk
memenuhi kebutuhan masyarakat.
3. Pekerja adalah tenaga kerja yang bekerja di dalam hubungan kerja pada pengusaha dengan
menerima upah.
4. Pengusaha adalah:
a. Orang perseorangan, persekutuan, atau badan hukum yang menjalankan suatu perusahaan milik
sendiri;
b. Orang perseorangan, persekutuan, atau badan hukum yang secara berdiri sendiri menjalankan
perusahaan bukan miliknya;
c. Orang perseorangan, persekutuan, atau badan hukum yang berada di Indonesia mewakili perusahaan
sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan huruf b yang berkedudukan di luar wilayah Indonesia.
5. Perusahaan adalah setiap bentuk usaha yang berbadan hukum atau tidak yang mempekerjakan
pekerja dengan tujuan mencari keuntungan atau tidak, milik orang perseorangan, persekutuan, atau
badan hukum, baik milik swasta maupun milik negara.
6. Perjanjian kerja adalah suatu perjanjian antara pekerja dan pengusaha secara lisan dan/atau tertulis,
baik untuk waktu tertentu maupun untuk waktu tidak tertentu yang memuat syarat-syarat kerja, hak dan
kewajiban para pihak.
7. Hubungan kerja sektor formal adalah hubungan kerja yang terjalin antara pengusaha dan pekerja
berdasarkan perjanjian kerja, baik untuk waktu tertentu maupun untuk waktu tidak tertentu yang
mengandung adanya unsur pekerjaan, upah, dan perintah.
8. Hubungan industrial adalah suatu sistem hubungan yang terbentuk antara para pelaku dalam proses
produksi barang atau jasa yang meliputi pengusaha, pekerja, dan pemerintah.
9. Hubungan Industrial Pancasila adalah hubungan industrial yang didasarkan atas nilai-nilai yang
merupakan manifestasi dari keseluruhan sila-sila Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945, dan yang
tumbuh serta berkembang di atas kepribadian bangsa dan kebudayaan nasional Indonesia.
10. Serikat pekerja adalah organisasi pekerja yang bersifat mandiri, demokratis, bebas, dan bertanggung
jawab yang dibentuk dari, oleh, untuk, pekerja guna memperjuangkan hak dan kepentingan kaum pekerja
dan keluarganya.
11. Gabungan serikat pekerja adalah beberapa serikat pekerja yang bergabung atas dasar lapangan
pekerjaan.
12. Lembaga Kerjasama Bipartit adalah forum komunikasi, konsultasi, dan musyawarah tentang masalah
hubungan industrial di perusahaan yang anggotanya terdiri dari unsur pengusaha dan unsur pekerja.
13. Lembaga Kerjasama Tripartit adalah forum komunikasi, konsultasi, dan musyawarah, dalam rangka
hubungan industrial, yang anggotanya terdiri dari unsur pengusaha, pekerja, dan pemerintah.
14. Peraturan perusahaan adalah peraturan yang dibuat secara tertulis oleh pengusaha yang memuat
syarat-syarat kerja serta tata tertib perusahaan.
15. Kesepakatan kerja bersama adalah kesepakatan hasil perundingan yang diselenggarakan oleh
serikat pekerja atau gabungan serikat pekerja dengan pengusaha atau gabungan pengusaha yang
memuat syarat-syarat kerja, untuk mengatur dan melindungi hak dan kewajiban kedua belah pihak.
16. Perselisihan industrial adalah perselisihan antara pengusaha atau gabungan pengusaha dengan
pekerja atau serikat pekerja atau gabungan serikat pekerja karena tidak adanya persesuaian paham
mengenai pelaksanaan syarat-syarat kerja, pelaksanaan norma kerja, hubungan kerja, dan/atau kondisi
kerja.
17. Mogok kerja adalah tindakan pekerja secara bersama-sama menghentikan atau memperlambat
pekerjaan sebagai akibat gagalnya perundingan penyelesaian perselisihan industrial yang dilakukan,
agar pengusaha memenuhi tuntutan pekerja.
18. Penutupan perusahaan (lock-out) adalah tindakan pengusaha yang menghentikan sebagian atau
seluruh kegiatan perusahaan sebagai akibat penyelesaian perselisihan industrial yang tidak mencapai
kesepakatan, supaya pekerja tidak mengajukan tuntutan yang melampaui kemampuan perusahaan.
19. Pemutusan hubungan kerja adalah pengakhiran hubungan kerja karena suatu hal tertentu yang
mengakibatkan berakhirnya hak dan kewajiban pekerja dan pengusaha.
20. Anak adalah orang laki-laki atau wanita yang berumur kurang dari 15 (lima belas) tahun.
21. Orang muda adalah orang laki-laki atau wanita yang berumur 15 (lima belas) tahun atau lebih dan
kurang dari 18 (delapan belas) tahun.
22. Waktu kerja adalah waktu untuk melakukan pekerjaan, dapat dilaksanakan pada siang hari dan/atau
malam hari.
- Siang hari adalah waktu antara pukul 06.00 sampai pukul 18.00.
- Malam hari adalah waktu antara pukul 18.00 sampai pukul 06.00.
- Seminggu adalah waktu selama 7 hari.
23. Upah adalah hak pekerja yang diterima dan dinyatakan dalam bentuk uang sebagai imbalan dari
pengusaha kepada pekerja atas suatu pekerjaan atau jasa yang telah atau akan dilakukan, ditetapkan,
dan dibayarkan menurut suatu perjanjian kerja, kesepakatan, atau peraturan perundang-undangan,
termasuk tunjangan bagi pekerja dan keluarganya.
24. Kesejahteraan pekerja adalah suatu pemenuhan kebutuhan dan/atau keperluan yang bersifat
jasmaniah dan rohaniah, baik selama maupun di luar hubungan kerja, yang secara langsung dan tidak
langsung dapat mempertinggi produktifitas kerja.
25. Jaminan sosial tenaga kerja adalah suatu perlindungan bagi tenaga kerja dalam bentuk santunan
berupa uang sebagai pengganti sebagian dari penghasilan yang hilang atau berkurang, dan pelayanan
sebagai akibat peristiwa atau keadaan yang dialami oleh tenaga kerja berupa kecelakaan kerja, sakit,
hamil, bersalin, hari tua, dan meninggal dunia.
26. Pelatihan kerja adalah keseluruhan kegiatan untuk memberi, memperoleh, meningkatkan, serta
mengembangkan keterampilan atau keahlian, produktifitas, disiplin, sikap, dan etos kerja pada tingkat
keterampilan dan keahlian tertentu sesuai dengan jenjang dan kualifikasi jabatan atau pekerjaan, baik di
sektor formal maupun di sektor informal.
27. Pemagangan adalah bagian dari sistem pelatihan kerja yang diselenggarakan secara terpadu antara
pelatihan di lembaga pelatihan dengan bekerja secara langsung di bawah bimbingan dan pengawasan
instruktur atau pekerja yang lebih berpengalaman, dalam proses produksi barang atau jasa di
perusahaan, dalam rangka menguasai keterampilan atau keahlian tertentu.
28. Pelayanan penempatan tenaga kerja adalah kegiatan untuk mempertemukan tenaga kerja dengan
pengguna tenaga kerja supaya tenaga kerja dapat memperoleh pekerjaan yang sesuai dengan bakat,
minat, dan kemampuannya, serta pengguna tenaga kerja memperoleh tenaga kerja yang sesuai dengan
kebutuhan.
29. Tenaga kerja warga negara asing adalah warga negara asing pemegang visa dengan maksud
bekerja di wilayah Indonesia.
30. Pembinaan adalah kegiatan yang dilakukan secara berdaya guna dan berhasil guna untuk
memperoleh hasil yang lebih baik dan diarahkan untuk meningkatkan dan mengembangkan semua
kegiatan yang berhubungan dengan ketenagakerjaan.
31. Usaha sektor informal adalah kegiatan orang perseorangan atau keluarga, atau beberapa orang yang
melaksanakan usaha bersama untuk melakukan kegiatan ekonomi atas dasar kepercayaan dan
kesepakatan, dan tidak berbadan hukum.
32. Pekerja sektor informal adalah tenaga kerja yang bekerja dalam hubungan kerja sektor informal
dengan menerima upah dan/atau imbalan.
33. Hubungan kerja sektor informal adalah hubungan kerja yang terjalin antara pekerja dan orang
perseorangan atau beberapa orang yang melakukan usaha bersama yang tidak berbadan hukum atas
dasar saling percaya dan sepakat dengan menerima upah dan/atau imbalan atau bagi hasil.
34. Pengawasan ketenagakerjaan adalah kegiatan mengawasi dan menegakkan pelaksanaan peraturan
perundang-undangan di bidang ketenagakerjaan.
35. Menteri adalah menteri yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan.

BAB II
LANDASAN, ATAS, DAN TUJUAN

Pasal 2
Pembangunan ketenagakerjaan berlandaskan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945.

Pasal 3
Pembangunan ketenagakerjaan diselenggarakan atas asas keterpaduan dan kemitraan.

Pasal 4
Pembangunan ketenagakerjaan bertujuan:
a. memberdayakan dan mendayagunakan tenaga kerja secara optimal;
b. menciptakan pemerataan kesempatan kerja dan penyediaan tenaga kerja yang sesuai dengan
kebutuhan pembangunan nasional;
c. memberikan perlindungan bagi tenaga kerja dalam mewujudkan kesejahteraan;
d. meningkatkan kesejahteraan pekerja dan keluarganya.

BAB III
KESEMPATAN DAN PERLAKUAN SAMA
Pasal 5
Pengusaha wajib memberikan kesempatan yang sama tanpa diskriminasi kepada setiap tenaga kerja
untuk memperoleh pekerjaan.

Pasal 6
Pengusaha wajib memberikan perlakuan yang sama tanpa diskriminasi kepada pekerja.

BAB IV
PERENCANAAN TENAGA KERJA DAN
INFORMASI KETENAGAKERJAAN

Pasal 7
(1) Dalam rangka pembangunan ketenagakerjaan, Pemerintah menyusun dan menetapkan perencanaan
tenaga kerja.
(2) Perencanaan tenaga kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dimaksudkan sebagai dasar dan
acuan dalam penyusunan kebijakan, strategi, dan pelaksanaan program pembangunan ketenagakerjaan
yang berkesinambungan.

Pasal 8
(1) Perencanaan tenaga kerja disusun atas dasar informasi ketenagakerjaan.
(2) Informasi ketenagakerjaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) antara lain meliputi:
a. penduduk dan tenaga kerja;
b. kesempatan kerja;
c. pelatihan kerja;
d. produktivitas tenaga kerja;
e. hubungan industrial;
f. kondisi lingkungan kerja;
g. pengupahan dan kesejahteraan tenaga kerja.
(3) Informasi ketenagakerjaan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), diperoleh dari semua pihak yang
terkait, baik dari instansi pemerintah maupun instansi swasta.

Pasal 9
Tata cara memperoleh informasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (2), dan penyusunan serta
pelaksanaan perencanaan tenaga kerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1) dan ayat (2),
diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.

BAB V
HUBUNGAN KERJA

Pasal 10
Hubungan kerja terjadi karena adanya perjanjian kerja antara pengusaha dan pekerja.

Pasal 11
(1) Perjanjian kerja dibuat secara lisan dan/atau tertulis.
(2) Perjanjian kerja yang dipersyaratkan secara tertulis dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.

Pasal 12
(1) Perjanjian kerja dibuat atas dasar:
a. kemauan bebas kedua belah pihak;
b. kemampuan atau kecakapan kedua belah pihak;
c. adanya pekerjaan yang diperjanjikan;
d. pekerjaan yang diperjanjian tidak bertentangan dengan ketertiban umum, kesusilaan, dan ketentuan
peraturan perundang-undangan yang berlaku.
(2) Perjanjian kerja yang dibuat oleh para pihak, yang bertentangan dengan ketentuan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf a dan huruf b dapat dibatalkan.
(3) Perjanjian kerja yang dibuat oleh para pihak, yang bertentangan dengan ketentuan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf c dan huruf d batal demi hukum.

Pasal 13
Segala hal dan/atau biaya yang diperlukan bagi pelaksanaan pembuatan perjanjian kerja dilaksanakan
oleh dan menjadi tanggung jawab pengusaha.

Pasal 14
(1) Perjanjian kerja yang dibuat secara tertulis sekurang-kurangnya memuat keterangan:
a. nama, alamat perusahaan, dan jenis usaha;
b. nama dan alamat pekerja;
c. jabatan atau jenis pekerjaan;
d. syarat-syarat kerja yang memuat hak dan kewajiban pengusaha dan pekerja;
e. besarnya upah dan cara pembayaran;
f. tempat pekerjaan;
g. mulai berlakunya perjanjian kerja;
h. tempat dan tanggal perjanjian kerja dibuat;
I. tanda tangan para pihak dalam perjanjian kerja.
(2) Ketentuan dalam perjanjian kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d dan huruf e, tidak
boleh bertentangan dengan peraturan perusahaan, kesepakatan kerja bersama, dan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
(3) Perjanjian kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibuat sekurang-kurangnya rangkap 2 (dua),
yang mempunyai kekuatan hukum yang sama, pekerja dan pengusaha masing-masing mendapat 1
(satu) perjanjian kerja.

Pasal 15
Perjanjian kerja tidak dapat ditarik kembali dan/atau diubah, kecuali atas persetujuan kedua belah pihak.

Pasal 16
Perjanjian kerja dibuat:
a. untuk waktu tertentu, bagi hubungan kerja yang dibatasi oleh jangka waktu berlakunya perjanjian atau
selesainya pekerjaan tertentu;
b. untuk waktu tidak tertentu, bagi hubungan kerja yang tidak dibatasi oleh jangka waktu berlakunya
perjanjian atau selesainya pekerjaan tertentu.

Pasal 17
Perjanjian kerja untuk waktu tertentu dibuat secara tertulis.

Pasal 18
(1) Perjanjian kerja untuk waktu tertentu tidak dapat mensyaratkan adanya masa percobaan kerja.
(2) Dalam hal disyaratkan masa percobaan kerja dalam perjanjian kerja sebagaimana dimaksud pada
ayat (1), masa percobaan yang disyaratkan batal demi hukum.

Pasal 19
Jenis/sifat pekerjaan, jangka waktu berlakunya, syarat perpanjangan, dan syarat pembaharuan perjanjian
kerja untuk waktu tertentu diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.

Pasal 20
(1) Perjanjian kerja untuk waktu tidak tertentu dapat mensyaratkan masa percobaan kerja
selama-lamanya 3 (tiga) bulan.
(2) Selama masa percobaan kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (1), pengusaha dilarang membayar
upah pekerjaannya di bawah upah minimum yang ditetapkan oleh Menteri.

Pasal 21
(1) Perjanjian kerja berakhir apabila:
a. pekerja meninggal dunia;
b. berakhirnya jangka waktu perjanjian kerja;
c. adanya putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap;
d. adanya keadaan atau kejadian tertentu yang dicantumkan dalam perjanjian kerja yang dapat
menyebabkan berakhirnya hubungan kerja; dan
e. keadaan memaksa.
(2) Perjanjian kerja tidak berakhir karena meninggalnya pengusaha dan/atau beralihnya hak atas
perusahaan yang disebabkan penjualan, pewarisan, dan hibah.
(3) Dalam hal pengusaha meninggal dunia, ahli waris pengusaha dapat mengakhiri perjanjian kerja
setelah merundingkan dengan pekerja.
(4) Dalam hal pekerja meninggal dunia, ahli waris pekerja berhak mendapatkan hak-haknya sesuai
dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku atau hak-hak yang telah diatur dalam perjanjian
kerja, peraturan perusahaan, atau kesepakatan kerja bersama.

Pasal 22
Apabila salah satu pihak mengakhiri hubungan kerja sebelum berakhirnya jangka waktu yang ditetapkan
dalam perjanjian kerja waktu tertentu, atau berakhirnya hubungan kerja bukan karena ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21, pihak yang mengakhiri hubungan kerja diwajibkan membayar
ganti rugi kepada pihak lainnya sebesar upah pekerja sampai batas waktu berakhirnya jangka waktu
perjanjian kerja.

Pasal 23
(1) Dalam hal perjanjian kerja antara pengusaha dan pekerja dibuat secara lisan, maka pengusaha wajib
membuat surat pengangkatan bagi pekerja yang bersangkutan.
(2) Surat pengangkatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), sekurang-kurangnya memuat keterangan:
a. nama dan alamat pekerja;
b. tanggal mulai bekerja;
c. jenis pekerjaan;
d. besarnya upah.

BAB VI
HUBUNGAN INDUSTRIAL PANCASILA

Bagian Kesatu
Umum

Pasal 24
(1) Hubungan industrial merupakan suatu sistem hubungan yang terbentuk antara para pelaku dalam
proses produksi barang atau jasa, yaitu pekerja, pengusaha, dan Pemerintah.
(2) Hubungan industrial dilaksanakan dalam wujud Hubungan Industrial Pancasila.

Pasal 25
(1) Hubungan Industrial Pancasila diarahkan untuk menumbuhkembangkan hubungan yang harmonis
atas dasar kemitraan yang sejajar dan terpadu di antara para pelaku dalam proses produksi barang atau
jasa yang didasarkan atas nilai-nilai yang terkandung dalam sila-sila Pancasila dan Undang-Undang
Dasar 1945.
(2) Dalam melaksanakan Hubungan Industrial Pancasila setiap pekerja diarahkan untuk mempunyai
sikap merasa ikut memiliki serta mengembangkan sikap memelihara dan mempertahankan
kelangsungan usaha.
(3) Dalam melaksanakan Hubungan Industrial Pancasila, setiap pengusaha mengembangkan sikap
memperlakukan pekerja sebagai manusia atas dasar kemitraan yang sejajar sesuai dengan kodrat,
harkat, martabat, dan harga diri, serta meningkatkan profesionalisme dan kesejahteraan pekerja beserta
keluarganya.

Pasal 26
Hubungan Industrial Pancasila dilaksanakan melalui sarana:
a. serikat pekerja;
b. organisasi pengusaha;
c. lembaga kerjasama bipartit;
d. lembaga kerjasama tripartit;
e. peraturan perusahaan;
f. kesepakatan kerja bersama;
g. penyelesaian perselisihan industrial; dan
h. penyuluhan dan pemasyarakatan Hubungan Industrial Pancasila.

Bagian Kedua
Serikat Pekerja

Pasal 27
(1) Setiap pekerja berhak untuk membentuk dan menjadi anggota serikat pekerja.
(2) Serikat pekerja dibentuk dari, oleh, dan untuk pekerja secara demokratis.
(3) Serikat pekerja merupakan organisasi yang bersifat mandiri, demokratis, bebas, dan tanggung jawab.

Pasal 28
Serikat pekerja pada perusahaan dibentuk secara demokratis melalui musyawarah para pekerja di
perusahaan.

Pasal 29
(1) Serikat pekerja di tiap-tiap perusahaan dibentuk berdasarkan sektor usaha.
(2) Serikat pekerja sektor usaha sejenis pada perusahaan dapat membentuk dan/atau menjadi anggota
gabungan serikat pekerja sektor.
(3) Gabungan serikat pekerja sektor membentuk dan/atau menjadi anggota gabungan serikat-serikat
pekerja.

Pasal 30
Pengusaha dilarang menghalang-halangi pekerjanya untuk membentuk dan menjadi pengurus atau
anggota serikat pekerja pada perusahaan dan/atau untuk membentuk dan menjadi anggota gabungan
serikat pekerja sesuai dengan sektor usaha.

Pasal 31
Pekerja yang menduduki jabatan tertentu dan/atau yang tugas dan fungsinya dapat menimbulkan
pertentangan kepentingan antara pengusaha dan pekerja dan/atau posisinya mewakili kepentingan
pengusaha tidak dapat menjadi pengurus serikat pekerja.

Pasal 32
Serikat pekerja berhak:
a. melakukan perundingan dalam pembuatan kesepakatan kerja bersama; dan
b. sebagai pihak dalam penyelesaian perselisihan industrial.

Pasal 33
(1) Serikat pekerja pada perusahaan dan gabungan serikat pekerja harus terdaftar pada Pemerintah
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
(2) Pemerintah menetapkan tata cara pendaftaran serikat pekerja dan gabungan serikat pekerja.

Pasal 34
Tanggal 20 Pebruari ditetapkan sebagai Hari Pekerja Indonesia.

Pasal 35
Ketentuan mengenai serikat pekerja diatur lebih lanjut dengan undang-undang.

Bagian Ketiga
Organisasi Pengusaha
Pasal 36
(1) Setiap pengusaha berhak untuk membentuk dan menjadi anggota organisasi pengusaha yang khusus
menangani bidang ketenagakerjaan dalam rangka pelaksanaan Hubungan Industrial Pancasila.
(2) Pembentukan organisasi pengusaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Bagian Keempat
Lembaga Kerjasama Bipartit

Pasal 37
(1) Setiap pengusaha yang mempekerjakan 50 (lima puluh) orang pekerja atau lebih membentuk
lembaga kerjasama bipartit.
(2) Lembaga kerjasama bipartit sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bertugas dan berfungsi sebagai
forum komunikasi, konsultasi, dan musyawarah dalam memecahkan permasalahan-permasalahan
ketenagakerjaan pada perusahaan guna kepentingan pengusaha dan pekerja.
(3) Susunan keanggotaan lembaga kerjasama bipartit sebagaimana dimaksud pada ayat (2) terdiri dari
pengusaha dan pekerja yang ditunjuk oleh pekerja untuk mewakili kepentingan pekerja atau serikat
pekerja di perusahaan yang bersangkutan.
(4) Ketentuan mengenai lembaga kerjasama bipartit sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan
ayat (3), diatur lebih lanjut oleh Menteri.

Bagian Kelima
Lembaga Kerjasama Tripartit

Pasal 38
(1) Lembaga kerjasama tripartit memberikan pertimbangan, saran, dan pendapat kepada Pemerintah dan
pihak-pihak terkait dalam penyusunan kebijakan dan pelaksanaan Hubungan Industrial Pancasila serta
pemecahan masalah ketenagakerjaan.
(2) Lembaga kerjasama tripartit sebagaimana dimaksud pada ayat (1), terdiri dari:
a. lembaga kerjasama tripartit tingkat nasional; dan
b. lembaga kerjasama tripartit daerah.
(3) Susunan keanggotaan lembaga kerjasama tripartit terdiri dari unsur Pemerintah, pengusaha, dan
pekerja.
(4) Ketentuan mengenai pembentukan, tugas pokok, fungsi, dan tata kerja lembaga kerjasama tripartit
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) diatur lebih lanjut dengan Peraturan
Pemerintah.

Bagian Keenam
Peraturan Perusahaan

Pasal 39
(1) Setiap perusahaan wajib memiliki peraturan perusahaan yang disahkan oleh Menteri atau pejabat
yang ditunjuk dan pelaksanaannya dilakukan secara bertahap.
(2) Kewajiban memiliki peraturan perusahaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku bagi
perusahaan yang telah memiliki kesepakatan kerja bersama.
(3) Pengesahan peraturan perusahaan oleh Menteri atau pejabat yang ditunjuk sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) harus sudah diberikan dalam waktu paling lama 60 (enam puluh) hari kerja sejak naskah
peraturan perusahaan diterima.
(4) Apabila waktu 60 (enam puluh) hari kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (3) sudah terlampaui dan
peraturan perusahaan belum disahkan oleh Menteri atau pejabat yang ditunjuk, maka peraturan
perusahaan tersebut dapat diberlakukan.

Pasal 40
Peraturan perusahaan disusun oleh dan menjadi tanggung jawab dari pengusaha yang bersangkutan.

Pasal 41
(1) Peraturan perusahaan disusun dengan memperhatikan saran dan pertimbangan dari wakil pekerja di
perusahaan yang bersangkutan.
(2) Dalam hal di perusahaan yang bersangkutan telah terbentuk serikat pekerja maka wakil pekerja
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah pengurus serikat pekerja pada perusahaan yang
bersangkutan.
(3) Dalam hal di perusahaan yang bersangkutan belum terbentuk serikat pekerja, maka wakil pekerja
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah pekerja yang duduk dalam keanggotaan Lembaga
Kerjasama Bipartit dan/atau yang ditunjuk oleh pekerja untuk mewakili kepentingan para pekerja di
perusahaan yang bersangkutan.

Pasal 42
(1) Peraturan perusahaan sekurang-kurangnya memuat ketentuan mengenai:
a. hak dan kewajiban pengusaha;
b. hak dan kewajiban pekerja;
c. syarat kerja;
d. tata tertib perusahaan;
e. jangka waktu berlakunya peraturan perusahaan.
(2) Ketentuan dalam peraturan perusahaan tidak boleh bertentangan dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.

Pasal 43
Peraturan perusahaan mulai berlaku setelah disahkan oleh Menteri atau pejabat yang ditunjuk.

Pasal 44
(1) Perubahan peraturan perusahaan sebelum berakhir jangka waktu berlakunya hanya dapat dilakukan
atas dasar kesepakatan antara pengusaha dan wakil pekerja.
(2) Peraturan perusahaan hasil perubahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus mendapat
pengesahan dari Menteri atau pejabat yang ditunjuk.

Pasal 45
Pengusaha wajib memberitahukan dan menjelaskan peraturan perusahaan kepada pekerja perusahaan
yang bersangkutan.

Pasal 46
(1) Pengusaha dilarang mengganti kesepakatan kerja bersama dengan peraturan perusahaan,
sepanjang di perusahaan yang bersangkutan masih ada serikat pekerja.
(2) Dalam hal di perusahaan tidak ada lagi serikat pekerja dan kesepakatan kerja bersama diganti
dengan peraturan perusahaan, maka ketentuan yang ada dalam peraturan perusahaan tidak boleh lebih
rendah dari ketentuan yang ada dalam kesepakatan kerja bersama.

Pasal 47
Ketentuan mengenai penahapan perusahaan yang wajib membuat peraturan perusahaan serta tata cara
pembuatan dan pengesahan peraturan perusahaan diatur lebih lanjut oleh Menteri.

Bagian Ketujuh
Kesepakatan Kerja Bersama

Pasal 48
(1) Kesepakatan kerja bersama disusun oleh pengusaha dan serikat pekerja yang telah terdaftar.
(2) Penyusunan kesepakatan kerja bersama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan secara
musyawarah untuk mencapai mufakat.

Pasal 49
Kesepakatan kerja bersama hanya dapat dirundingkan dan disusun oleh serikat pekerja yang didukung
oleh sebagian besar pekerja di perusahaan yang bersangkutan.
Pasal 50
(1) Masa berlakunya kesepakatan kerja bersama paling lama 2 (dua) tahun dan hanya dapat
diperpanjang 1 (satu) kali untuk paling lama 1 (satu) tahun.
(2) Perpanjangan kesepakatan kerja bersama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus disetujui
secara tertulis oleh pengusaha dan serikat pekerja.

Pasal 51
(1) Kesepakatan kerja bersama sekurang-kurangnya memuat ketentuan mengenai:
a. hak dan kewajiban pengusaha;
b. hak dan kewajiban serikat pekerja serta pekerja;
c. tata tertib perusahaan;
d. jangka waktu berlakunya kesepakatan kerja bersama;
e. tanggal mulai berlakunya kesepakatankerja bersama;
f. tanda tangan para pihak pembuat kesepakatan kerja bersama.
(2) Ketentuan dalam kesepakatan kerja bersama tidak boleh bertentangan dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.

Pasal 52
(1) Dalam hal salah satu pihak ingin mengadakan perubahan sebagian isi kesepakatan kerja bersama,
maka keinginan tersebut harus diajukan secara tertulis dengan alasan-alasannya.
(2) Perubahan kesepakatan kerja bersama sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dilakukan berdasarkan
kesepakatan bersama secara tertulis antara pengusaha dan serikat pekerja.
(3) Perubahan kesepakatan kerja bersama yang diperjanjikan oleh kedua belah pihak merupakan bagian
yang tidak terpisahkan dari kesepakatan kerja bersama, yang sedang berlaku.

Pasal 53
Pengusaha dan serikat pekerja dan/atau pekerja berkewajiban untuk melaksanakan ketentuan yang ada
dalam kesepakatan kerja bersama.

Pasal 54
Ketentuan mengenai tata cara dan syarat-syarat pembuatan serta perpanjangan dan perubahan
kesepakatan kerja bersama diatur lebih lanjut oleh Menteri.

Bagian Kedelapan
Penyelesaian Perselisihan Industrial

Paragraf Kesatu
Umum

Pasal 55
1) Perselisihan industrial dapat terjadi antara pihak:
a. pengusaha dan pekerja;
b. pengusaha atau gabungan pengusaha dan serikat pekerja atau gabungan serikat pekerja.
2) Perselisihan industrial sebagaimana dimaksud pada ayat (1), meliputi perselisihan:
a. pelaksanaan syarat-syarat kerja di perusahaan;
b. pelaksanaan norma kerja di perusahaan;
c. hubungan kerja antara pengusaha dan pekerja; dan
d. kondisi kerja di perusahaan.

Pasal 56
Setiap perselisihan industrial diselesaikan secara musyawarah untuk mencapai mufakat.
Setiap pengusaha atau gabungan pengusaha dan pekerja atau serikat pekerja atau gabungan serikat
pekerja bersama-sama melakukan upaya untuk mencapai penyelesaian perselisihan industrial melalui
musyawarah untuk mencapai mufakat.

Pasal 57
Dalam hal upaya yang dilakukan melalui perundingan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 56 tidak
mencapai kesepakatan, pihak yang berselisih dapat menempuh jalan penyelesaian melalui jalur
pengadilan atau jalur di luar pengadilan.

Pasal 58
Jalur di luar pengadilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 57, dapat ditempuh melalui arbitrasi atau
mediasi.

Paragraf Kedua
Arbitrasi

Pasal 59
(1) Penyelesaian perselisihan industrial oleh arbitrasi hanya dapat dilakukan atas dasar kehendak dan
kesepakatan para pihak yang berselisih.
(2) Kehendak dan kesepakatan para pihak yang berselisih sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dinyatakan secara tertulis dalam surat perjanjian.
(3) Surat perjanjian sebagaimana dimaksud pada ayat (2), sekurang-kurangnya memuat keterangan:
a. nama dan alamat atau tempat kedudukan para pihak yang berselisih;
b. pokok-pokok persoalan yang menjadi perselisihan dan yang diserahkan kepada arbitrasi untuk
diselesaikan dan diambil keputusan;
c. nama dan alamat arbiter anggota sidang arbitrasi yang ditunjuk;
d. pernyataan para pihak yang berselisih untuk tunduk dan menjalankan keputusan arbitrasi;
e. pernyataan penyerahan sepenuhnya kepada arbiter untuk menentukan proses atau tata cara kerja
arbitrasi dalam penyelesaian tugasnya;
f. tempat, tanggal pembuatan surat perjanjian, dan tanda tangan para pihak yang berselisih.

Pasal 60
Penunjukan arbiter anggota sidang arbitrasi dilakukan atas dasar kesepakatan para pihak yang
berselisih.

Pasal 61
Surat perjanjian yang diajukan oleh para pihak yang berselisih tidak dapat ditarik kembali atau dibatalkan
setelah dimulainya sidang arbitrasi.

Pasal 62
Keputusan arbitrasi mempunyai kekuatan hukum yang mengikat para pihak yang berselisih dan
merupakan keputusan yang bersifat akhir dan tetap.

Pasal 63
(1) Keputusan arbitrasi memuat:
a. kepala keputusan yang berbunyi "DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA
ESA";
b. hal-hal yang termuat dalam surat perjanjian yang diajukan oleh para pihak yang berselisih;
c. ikhtisar dari tuntutan, jawaban, dan penjelasan lebih lanjut para pihak yang berselisih;
d. pertimbangan yang menjadi dasar keputusan; dan
e. pokok putusan.
(2) Keputusan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberi keterangan tentang tempat keputusan
diambil, tanggal, nama, dan ditandatangani oleh arbiter anggota sidang arbitrasi.

Pasal 64
Pengambilan keputusan oleh sidang arbitrasi dilaksanakan berdasarkan hukum, keadilan, kebiasaan,
dan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Pasal 65
Ketentuan mengenai persyaratan untuk menjadi arbiter, tata cara penunjukan arbiter, dan biaya arbitrasi
diatur oleh Menteri.
Paragraf Ketiga
Mediasi

Pasal 66
(1) Apabila para pihak yang berselisih tidak berkehendak dan bersepakat untuk menyelesaikan
perselisihannya melalui arbitrasi, penyelesaian perselisihan dapat dilakukan melalui mediasi.
(2) Penyelesaian perselisihan industrial melalui mediasi dilakukan atas dasar permintaan salah satu atau
kedua belah pihak yang berselisih.

Pasal 67
Permintaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 66 ayat (2) disampaikan secara tertulis kepada pegawai
perantara yang bertindak sebagai mediator.

Pasal 68
(1) Mediator melakukan sidang mediasi dan menyelesaikan tugasnya dalam waktu paling lama 30 (tiga
puluh) hari kerja sejak menerima permintaan penyelesaian perselisihan industrial.
(2) Penyelesaian perselisihan industrial sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dinyatakan dalam bentuk
anjuran tertulis.

Pasal 69
(1) Apabila perselisihan industrial dapat diselesaikan melalui mediasi, mediator membuat persetujuan
bersama yang ditandatangani oleh mediator dan para pihak yang berselisih.
(2) Para pihak yang berselisih tunduk dan melaksanakan persetujuan bersama sebagaimana dimaksud
pada ayat (1).

Pasal 70
Ketentuan mengenai persyaratan untuk menjadi mediator, pengangkatan mediator, dan tata kerja
mediasi ditetapkan oleh Menteri.

Paragraf Keempat
Lembaga Penyelesaian Perselisihan Industrial.

Pasal 71
Apabila perselisihan industrial tidak dapat diselesaikan memalui mediasi, mediator dengan
memberitahukan kepada para pihak yang berselisih, segera melimpahkan perselisihan tersebut kepada
lembaga penyelesaian perselisihan industrial.

Pasal 72
Lembaga penyelesaian perselisihan industrian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 71, bertugas
menyelesaikan perselisihan industrial.

Pasal 73
(1) Sebelum terbentuk lembaga penyelesaian perselisihan industrial sebagaimana dimaksud dalam Pasal
72, Panitia Penyelesaian Perselisihan Perburuhan Daerah dan Panitia Penyelesaian Perselisihan
Perburuhan Pusat tetap melaksanakan fungsi dan tugasnya sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
(2) Ketentuan mengenai lembaga penyelesaian perselisihan industrial sebagaimana dimaksud pada ayat
(1), akan diatur dengan undang-undang.

Paragraf Kelima
Mogok Kerja

Pasal 74
Setiap pekerja berhak untuk mogok kerja.
Pasal 75
Mogok kerja dilakukan apabila perselisihan industial tidak dapat diselesaikan sendiri oleh pihak yang
berselisih dan/atau tidak dapat diselesaikan melalui penyelesaian perselisihan industrial.

Pasal 76
Mogok kerja hanya dapat dilakukan di perusahaan yang bersangkutan.

Pasal 77
(1) Dalam hal mogok kerja dilakukan dengan alasan pengusaha tidak melaksanakan ketentuan yang
bersifat normatif yang sudah diatur dalam peraturan perundang-undangan, perjanjian kerja, peraturan
perusahaan, atau kesepakatan kerja bersama, pengusaha wajib membayar upah selama pekerja mogok
kerja sampai pengusaha melaksanakan kewajibannya.
(2) Dalam hal mogok kerja dilakukan dengan alasan di luar ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1), pengusaha tidak diwajibkan membayar upah selama pekerja mogok kerja.

Pasal 78
(1) Mogok kerja hanya dapat dilakukan setelah wakil pekerja/serikat pekerja/gabungan serikat pekerja
yang kan melakukan mogok kerja memberitahukan maksudnya secara tertulis kepada pengusaha dan
instansi pemerintah yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan.
(2) Pemberitahuan secara tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ditandatangani oleh pengurus
serikat pekerja atau wakil pekerja yang akan melakukan mogok kerja.
(3) Pemberitahuan secara tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1), sekurang-kurangnya harus
sudah diterima oleh pihak yang diberitahu dalam waktu 7 (tujuh) kali 24 (dua puluh empat) jam sebelum
dilakukannya mogok kerja.

Pasal 79
(1) Mogok kerja dilakukan dengan tidak mengganggu keamanan dan ketertiban umum, dan/atau
mengancam keselamatan jiwa dan harta benda milik perusahaan atau milik masyarakat.
(2) Pengusaha dilarang melakukan tindakan yang bersifat pembalasan jika mogok kerja dilakukan sesuai
dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 77.

Pasal 80
Ketentuan mengenai tata cara mogok kerja diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.

Paragraf Keenam
Penutupan Perusahaan (Lock-Out)

Pasal 81
Setiap pengusaha berhak untuk melakukan penutupan perusahaan (lock-out).

Pasal 82
Penutupan perusahaan (lock out) dilakukan apabila perselisihan industrial tidak dapat diselesaikan
sendiri oleh pihak yang berselisih dan/atau tidak dapat diselesaikan melalui penyelesaian perselisihan
industrial.

Pasal 83
(1) Penutupan perusahaan (lock-out) hanya dapat dilakukan setelah pengusaha yang akan melakukan
penutupan perusahaan (lock-out) memberitahukan maksudnya secara tertulis kepada serikat pekerja
dan/atau wakil pekerja dan instansi pemerintah yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan.
(2) Pemberitahuan secara tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditandatangani oleh pengusaha
yang akan melakukan penutupan perusahaan (lock-out).
(3) Pemberitahuan secara tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sekurang-kurangnya harus
sudah diterima oleh pihak yang diberitahu dalam waktu 14 (empat belas) kali 24 (dua puluh empat) jam
sebelum dilakukannya penutupan perusahaan (lock-out).

Pasal 84
Ketentuan mengenai tata cara penutupan perusahaan (lock out) diatur lebih lanjut dengan Peraturan
Pemerintah.

Paragraf Ketujuh
Pemutusan Hubungan Kerja

Pasal 85
Pengusaha, pekerja, dan/atau serikat pekerja harus melakukan upaya untuk menghindari terjadinya
pemutusan hubungan kerja.

Pasal 86
Pengusaha dilarang melakukan penutupan hubungan kerja terhadap pekerjanya dalam hal:
a. pekerja berhalangan masuk kerja karena sakit menurut keterangan dokter selama waktu tidak
melampaui 12 (dua belas) bulan secara terus menerus.
b. pekerja berhalangan menjalankan pekerjaannya karena memenuhi kewajiban terhadap negara sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku;
c. pekerja menjalankan ibadah yang diperintahkan agamanya;
d. pekerja menikah, hamil, melahirkan, atau gugur kandungan;
e. pekerja mempunyai pertalian darah dan/atau ikatan perkawinan dengan pekerja lainnya di dalam satu
perusahaan, kecuali telah diatur dalam kesepakatan kerja bersama atau peraturan perusahaan; dan
f. pekerja mendirikan, menjadi anggota, dan/atau menjadi pengurus serikat pekerja.

Pasal 87
Apabila setelah diadakan segala upaya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 85 pemutusan hubungan
kerja tidak dapat dihindari, pengusaha harus memusyawarahkan maksudnya untuk memutuskan
hubungan kerja dengan serikat pekerja atau dengan pekerja yang bersangkutan dalam hal pekerja tidak
menjadi anggota serikat pekerja.

Pasal 88
Ketentuan lebih lanjut mengenai pemutusan hubungan kerja dilaksanakan sesuai dengan ketentuan
peraturan perundangan yang berlaku.

Bagian Kesembilan
Penyuluhan dan Pemasyarakatan
Hubungan Industrial Pancasila.

Pasal 89
Pemerintah melakukan penyuluhan dan pemasyarakatan Hubungan Industrial Pancasila.

Pasal 90
Penyuluhan dan pemasyarakatan Hubungan Industrial Pancasila bertujuan:
a. meningkatkan kualitas pemahaman tentang Hubungan Industrial Pancasila pada khususnya dan
masalah ketenagakerjaan pada umumnya bagi para pelaku proses produksi;
b. membentuk dan meningkatkan kemitraan yang sejajar di antara para pelaku proses produksi yang
serasi, selaras, dan seimbang menuju terciptanya ketenangan industrial yang berkeadilan, kelangsungan
usaha, serta kemajuan ekonomi.

Pasal 91
Sasaran penyuluhan dan pemasyarakatan Hubungan Industrial Pancasila adalah pengusaha, para
pekerja, aparat pemerintah, serta masyarakat lainnya yang berkepentingan.

Pasal 92
Penyuluhan dan pemasyarakatan Hubungan Industrial Pancasila mencakup:
a. latar belakang, falsafah, dan prinsip-prinsip Hubungan Industrial Pancasila;
b. sarana-sarana pelaksanaan Hubungan Industrial Pancasila;
c. masalah-masalah khusus Hubungan Industrial Pancasila;
d. peraturan perundang-undangan ketenagakerjaan; dan
e. hal-hal lain yang berkaitan dengan hubungan industrial pada umumnya.

Pasal 93
Penyelenggaraan penyuluhan dan pemasyarakatan Hubungan Industrial Pancasila dilakukan oleh
Pemerintah, organisasi pekerja, dan organisasi pengusaha serta lembaga-lembaga lainnya.

Pasal 94
Ketentuan mengenai kurikulum, metode, persyaratan penyelenggaraan, penyuluhan dan
pemasyarakatan Hubungan Industrial Pancasila diatur lebih lanjut oleh Menteri.

BAB VII
PERLINDUNGAN, PENGUPAHAN, DAN KESEJAHTERAAN

Bagian Kesatu
Perlindungan

Pasal 95
(1) Setiap pengusaha dilarang mempekerjakan anak.
(2) Tidak dianggap sebagai mempekerjakan anak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) apabila:
a. pekerjaan yang dilakukan semata-mata oleh anggota satu keluarga yang sama;
b. pekerjaan untuk keperluan rumah dan halaman, sepanjang dilakukan oleh anggota keluarga secara
gotong royong menurut kebiasaan setempat;
c. pekerjaan yang dilakukan oleh siswa sekolah teknik dan kejuruan untuk umum yang diawasi oleh
Pemerintah;
d. pekerjaan di rumah penampungan baik milik Pemerintah maupun swasta, usaha-usaha sosial atau
yayasan, dan Balai Pemasyarakatan Anak.

Pasal 96
(1) Larangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 95 tidak berlaku bagi anak yang karena alasan
tertentu terpaksa bekerja.
(2) Bagi pengusaha yang mempekerjakan anak yang karena alasan tertentu terpaksa bekerja
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib memberikan perlindungan.
(3) Perlindungan anak yang karena alasan tertentu terpaksa bekerja sebagaimana dimaksud pada ayat
(2) meliputi:
a. tidak mempekerjakan anak lebih dari 4 (empat) jam sehari;
b. tidak mempekerjakan anak antara pukul 18.00 sampai pukul 06.00;
c. memberikan upah sesuai dengan ketentuan yang berlaku sebanding dengan jam kerjanya;
d. tidak mempekerjakan anak dalam tambang bawah tanah, lubang di bawah permukaan tanah, tempat
mengambil mineral logam dan bahan-bahan galian lainnya dalam lubang atau terowongan di bawah
tanah termasuk dalam air;
e. tidak mempekerjakan anak pada tempat-tempat dan/atau menjalankan pekerjaan yang sifat
pekerjaannya dapat membahayakan kesusilaan, keselamatan, dan kesehatan kerjanya;
f. tidak mempekerjakan anak di pabrik di dalam ruangan tertutup yang menggunakan alat bermesin;
g. tidak mempekerjakan anak pada pekerjaan konstruksi jalan, jembatan, bangunan air, dan bangunan
gedung; dan
h. tidak mempekerjakan anak pada pemuatan, pembongkaran, dan pemindahan barang di pelabuhan,
dermaga, galangan kapal, stasiun, tempat pemberhentian dan pembongkaran muatan, serta di tempat
penyimpanan barang atau gundang.
(4) Ketentuan mengenai pekerjaan yang berbahaya lainnya dan tata cara mempekerjakan anak yang
karena alasan tertentu terpaksa bekerja sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur lebih lanjut oleh
Menteri.

Pasal 97
(1) Setiap pengusaha dilarang mempekerjakan orang muda untuk melakukan pekerjaan:
a. di dalam tambang bawah tanah, lubang di bawah permukaan tanah, tempat mengambil mineral logam
dan bahan-bahan galian lainnya dalam lubang atau terowongan di bawah tanah termasuk dalam air;
b. pada tempat-tempat kerja tertentu yang dapat membahayakan kesulitan, keselamatan, dan kesehatan
kerja;
c. pada waktu tertentu malam hari.
(2) Larangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku dalam hal orang muda:
a. mengikuti pendidikan dan pelatihan kerja;
b. melakukan pekerjaan yang sifat pekerjaannya sewaktu-waktu harus turun di bagian-bagian tambang
dan lubang di dalam permukaan tanah.
(3) Ketentuan mengenai larangan orang muda yang bekerja sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf
a dan huruf b, dan ketentuan mengenai waktu tertentu malam hari sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf c yang berhubungan dengan jenis pekerjaan, akan diatur lebih lanjut oleh Menteri.

Pasal 98
(1) Setiap pengusaha dilarang mempekerjakan wanita untuk melakukan pekerjaan:
a. di dalam tambang bawah tanah, lubang di bawah permukaan tanah, tempat mengambil mineral logam
dan bahan-bahan galian lainnya dalam lubang atau terowongan di bawah tanah termasuk dalam air;
b. pada tempat kerja yang dapat membahayakan keselamatan, kesehatan, kesusilaan, dan yang tidak
sesuai dengan kodrat, harkat, dan martabat pekerja wanita;
c. pada waktu tertentu malam hari.
(2) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku dalam hal:
a. mengikuti pendidikan dan pelatihan kerja;
b. melakukan pekerjaan yang sifat pekerjaannya sewaktu-waktu harus turun di bagian-bagian tambang
bawah tanah;
c. melakukan pekerjaan yang berhubungan dengan pelayanan kepentingan dan kesejahteraan umum.
(3) Dalam hal jenis dan tempat pekerjaan mengharuskan dilakukan pada malam hari, maka pengusaha
diwajibkan memperoleh izin.
(4) Jenis, tempat pekerjaan, persyaratan, dan tata cara perizinan sebagaimana dimaksud pada ayat (3)
diatur lebih lanjut oleh Menteri.
(5) Ketentuan mengenai tempat kerja yang membahayakan keselamatan, kesehatan, dan kesusilaan,
serta pekerjaan yang tidak sesuai dengan kodrat, harkat, dan martabat, dan bekerja pada waktu tertentu
malam hari sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dan huruf c, dan pekerjaan yang berhubungan
dengan pelayanan kepentingan dan kesejahteraan umum sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf c,
diatur lebih lanjut oleh Menteri.

Pasal 99
Untuk melindungi keselamatan dan kesehatan, pengusaha dilarang mempekerjakan pekerja wanita yang
sedang hamil dan/atau sedang menyusui pada waktu tertentu malam hari.

Pasal 100
(1) Setiap pengusaha wajib melaksanakan ketentuan waktu kerja bagi pekerja yang dipekerjakan.
(2) Waktu kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
a. waktu kerja siang hari:
1. 7 (tujuh) jam 1 (satu) hari dan 40 (empat puluh) jam 1 (satu) minggu untuk 6 (enam) hari kerja dalam 1
(satu) minggu; atau
2. 8 (delapan) jam 1 (satu) hari dan 40 (empat puluh) jam 1 (satu) minggu untuk 5 (lima) hari kerja dalam
1 (satu) minggu.
b. waktu kerja malam hari:
1. 6 (enam) jam 1 (satu) hari dan 35 (tiga puluh lima) jam 1 (satu) minggu untuk 6 (enam) hari kerja
dalam 1 (satu) minggu; atau
2. 7 (tujuh) jam 1 (satu) hari dan 35 (tiga puluh lima) jam 1 (satu) minggu untuk 5 (lima) hari kerja dalam 1
(satu) minggu.
(3) Dalam hal pengusaha mempekerjakan pekerja melebihi waktu kerja sebagaimana dimaksud pada
ayat (2), pengusaha wajib membayar upah waktu kerja lembur kepada pekerjanya.
(4) Waktu kerja lembur sebagaimana dimaksud pada ayat (3) hanya dapat dilakukan paling banyak:
a. 3 (tiga) jam dalam 1 (satu) hari dan 14 (empat belas) jam dalam 1 (satu) minggu;
b. 8 (delapan) jam dalam 1 (satu) hari waktu kerja siang hari untuk melakukan pekerjaan pada waktu
istirahat mingguan atau hari libur resmi yang ditetapkan; atau
c. 7 (tujuh) jam dalam 1 (satu) hari waktu kerja malam hari untuk melakukan pekerjaan pada waktu
istirahat mingguan atau hari libur resmi yang ditetapkan.

Pasal 101
Ketentuan mengenai mempekerjakan pekerja wanita yang sedang hamil dan/atau sedang menyusui
pada waktu tertentu malam hari sebagaimana dimaksud dalam Pasal 99, dan mempekerjakan pekerja
melebihi waktu kerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 100 ayat (3) dan ayat (4) serta waktu kerja
pada sektor-sektor usaha tertentu, diatur lebih lanjut oleh Menteri.

Pasal 102
(1) Setiap pekerja berhak untuk mendapatkan waktu istirahat kerja.
(2) Waktu istirahat kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (1), meliputi:
a. istirahat antara jam kerja, sekurang-kurangnya setengah jam setelah bekerja selama 4 (empat) jam
terus menerus, dan waktu istirahat tersebut tidak termasuk jam kerja;
b. istirahat mingguan, sekurang-kurangnya 1 (satu) hari untuk 6 (enam) hari kerja dalam 1 (satu) minggu
atau 2 (dua) hari untuk 5 (lima) hari kerja dalam 1 (satu) minggu;
c. istirahat tahunan, sekurang-kurangnya 12 (dua belas) hari kerja untuk 6 (enam) hari kerja dalam 1
(satu) minggu atau 10 (sepuluh) hari kerja untuk 5 (lima) hari kerja dalam 1 (satu) minggu, setelah
pekerja yang bersangkutan bekerja selama 12 (dua belas) bulan secara terus menerus;
d. istirahat sepatutnya untuk menjalankan kewajiban/menunaikan ibadah menurut agamanya.
(3) Waktu istirahat sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf c pelaksanaannya dilakukan berdasarkan
kesepakatan antara pekerja dan pengusaha.
(4) Ketentuan mengenai istirahat tahunan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf c, diatur lebih
lanjut dengan Peraturan Pemerintah.

Pasal 103
(1) Selain ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 102 setiap pekerja berhak untuk mendapatkan
istirahat panjang paling lama 3 (tiga) bulan setelah bekerja secara terus menerus selama 6 (enam) tahun
di suatu perusahaan atau kelompok perusahaan yang mampu.
(2) Ketentuan mengenai perusahaan yang mampu sebagaimana dimaksud pada ayat (1), diatur lebih
lanjut oleh Menteri.

Pasal 104
(1) Pekerja wanita tidak boleh diwajibkan bekerja pada hari pertama dan kedua waktu haid.
(2) Pekerja wanita yang masih menyusui harus diberi kesempatan sepatutnya untuk menyusukan
bayinya pada jam kerja.
(3) Pekerja wanita harus diberi istirahat selama satu bulan sebelum saatnya menurut perhitungan
dokter/bidan melahirkan anak dan dua bulan sesudah melahirkan.
(4) Pekerja wanita yang mengalami gugur kandungan diberi istirahat selama satu setengah bulan.
(5) Waktu istirahat sebelum saat pekerja wanita menurut perhitungan dokter/bidan akan melahirkan anak,
dapat diperpanjang sampai selama-lamanya 3 (tiga) bulan, jika dalam suatu keterangan dokter
dinyatakan bahwa hal itu perlu untuk menjaga kesehatannya.
(6) Ketentuan mengenai pelaksanaan waktu istirahat bagi pekerja wanita sebagaimana dimaksud pada
ayat (1), ayat (3), ayat (4), dan ayat (5), diatur lebih lanjut oleh Menteri.

Pasal 104
(1) Pekerja wanita tidak boleh diwajibkan bekerja pada hari pertama dan kedua waktu haid.
(2) Pekerja wanita yang masih menyusui harus diberi kesempatan sepatutnya untuk menyusukan
bayinya pada jam kerja.
(3) Pekerja wanita harus diberi istirahat selama satu bulan sebelum saatnya menurut perhitungan
dokter/bidan melahirkan anak dan dua bulan sesudah melahirkan.
(4) Pekerja wanita yang mengalami gugur kandungan diberi istirahat selama satu setengah bulan.
(5) Waktu istirahat sebelum saat bekerja wanita menurut perhitungan dokter/bidan akan melahirkan anak,
dapat diperpanjang sampai selama-lamanya 3 (tiga) bulan, jika dalam suatu keterangan dokter
dinyatakan bahwa hal itu perlu untuk menjaga kesehatannya.
(6) Ketentuan mengenai pelaksanaan waktu istirahat bagi pekerja wanita sebagaimana dimaksud pada
ayat (1), ayat (3), ayat (4), dan ayat ((5), diatur lebih lanjut oleh Menteri.

Pasal 105
(1) Pengusaha harus menyediakan fasilitas bagi pekerja wanita di lingkungan perusahaan untuk
menyusukan bayinya.
(2) Ketentuan mengenai fasilitas menyusui bayi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), diatur lebih lanjut
oleh Menteri.

Pasal 106
Setiap pekerja yang menjalankan haknya untuk melaksanakan waktu istirahat sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 102 ayat (2) huruf b dan huruf c, Pasal 103 ayat (1), dan Pasal 104, berhak mendapat upah
penuh.

Pasal 107
(1) Setiap pengusaha dilarang mempekerjakan pekerja pada hari-hari libur resmi.
(2) Dikecualikan dari ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bagi pengusaha yang
mempekerjakan pekerjanya untuk melakukan pekerjakan yang sifat pekerjaannya harus dilaksanakan
atau dijalankan secara terus menerus.
(3) Setiap pekerja yang melakukan pekerjaan pada hari libur resmi sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
berhak mendapatkan upah lembur.
(4) Ketentuan mengenai jenis, sifat, kriteria pekerjaan, dan pengaturan kerja bagi pekerja pada hari libur
resmi sebagaimana dimaksud pada ayat (2), diatur lebih lanjut oleh Menteri.

Pasal 108
(1) Setiap pekerja mempunyai hak untuk memperoleh perlindungan atas:
a. keselamatan dan kesehatan kerja;
b. moral dan kesusilaan;
c. perlakuan yang sesuai dengan harkat dan martabat manusia serta nilai-nilai agama.
(2) Untuk melindungi kesehatan pekerja guna mewujudkan produktivitas kerja yang optimal
diselenggarakan upaya kesehatan kerja.
(3) Perlindungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), dilaksanakan sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Bagian Kedua
Pengupahan

Pasal 109
(1) Setiap pekerja berhak memperoleh penghasilan yang layak bagi kemanusiaan.
(2) Untuk mewujudkan penghasilan yang layak sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Pemerintah
menetapkan perlindungan pengupahan bagi pekerja.
(3) Perwujudan penghasilan yang layak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), Pemerintah
menetapkan upah minimum atas dasar kebutuhan hidup layak.
(4) Pengaturan pengupahan yang ditetapkan atas kesepakatan antara pengusaha dan pekerja tidak
boleh lebih rendah atau bertentangan dengan ketentuan pengupahan yang ditetapkan dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
(5) Apabila kesepakatan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) lebih rendah atau bertentangan dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan, kesepakatan tersebut batal demi hukum.
(6) Perlindungan pengupahan bagi pekerja sebagaimana dimaksud pada ayat (2), meliputi:
a. upah minimum;
b. upah kerja lembur;
c. upah tidak masuk kerja karena sakit;
d. upah tidak masuk kerja karena melakukan kegiatan lain di luar pekerjaannya;
e. upah karena menjalankan hak waktu istirahat kerjanya.

Pasal 110
(1) Dalam hal perusahaan bangkrut atau dilikuidasi secara hukum, upah pekerja merupakan utang yang
didahulukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
(2) Pengusaha menyusun skala upah dengan memperhatikan golongan jabatan, senioritas, produktivitas,
dan prestasi kerja.
(3) Pengusaha melakukan peninjauan upah secara berkala.

Pasal 111
(1) Penetapan upah minimum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 109 ayat (3), diarahkan untuk
mencapai kebutuhan hidup layak bagi pekerja dan keluarganya.
(2) Penetapan upah minimum dilaksanakan untuk tingkat daerah.
(3) Penetapan upah minimum sebagaimana dimaksud pada ayat (2), untuk daerah tertentu dapat
dilakukan menurut sektor dan sub-sektor.
(4) Pengusaha dilarang membayar upah lebih rendah dari upah minimum sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) dan ayat (3).

Pasal 112
(1) Ketentuan mengenai penghasilan yang layak dan perlindungan pengupahan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 109 ayat (1), ayat (2), dan ayat (6), serta pengaturan upah minimum sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 111, diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.
(2) Tata cara penetapan, jenis komponen, dan ketentuan mengenai besarnya upah minimum ditetapkan
oleh Menteri.

Pasal 113
(1) Upah di atas upah minimum ditetapkan atas kesepakatan antara pengusaha dan pekerja.
(2) Dalam penetapan upah, pengusaha dilarang melakukan diskriminasi atas dasar apapun untuk
pekerjaan yang sama nilainya.

Pasal 114
(1) Upah tidak dibayar apabila pekerja tidak melakukan pekerjaan.
(2) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku dan pengusaha wajib membayar upah
apabila:
a. pekerja sakit sehingga tidak dapat melakukan pekerjaan;
b. pekerja tidak masuk bekerja karena berhalangan;
c. pekerja tidak dapat melakukan pekerjaannya karena sedang menjalankan kewajiban terhadap negara.
d. pekerja tidak dapat melakukan pekerjaannya karena menjalankan ibadah yang diperintahkan
agamanya;
e. pekerja bersedia melakukan pekerjaan yang telah diperjanjikan tetapi pengusaha tidak
mempekerjakannya, baik karena kesalahan sendiri maupun halangan yang dialami pengusaha;
f. pekerja melaksanakan hak istirahat dan cuti;
g. pekerja melaksanakan tugas organisasi pekerja atas persetujuan pengusaha.
(3) Ketentuan mengenai kriteria, tata cara, dan besarnya pembayaran upah pekerja karena berhalangan
melakukan pekerjaan diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.

Pasal 115
(1) Untuk memberikan saran dan pertimbangan dalam penetapan kebijakan pengupahan oleh
Pemerintah, dibentuk Dewan Pengupahan tingkat Nasional dan Daerah.
(2) Anggota Dewan Pengupahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri dari wakil pemerintah,
organisasi pengusaha, serikat pekerja, perguruan tinggi dan pakar.
(3) Anggota Dewan Pengupahan tingkat Nasional diangkat dan diberhentikan oleh Presiden, sedangkan
anggota Dewan Pengupahan tingkat Daerah diangkat dan diberhentikan oleh Menteri.
(4) Tata cara pembentukan dan pengangkatan anggota, tugas, dan tata kerja Dewan Pengupahan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), diatur lebih lanjut oleh Menteri.

Bagian Ketiga
Kesejahteraan
Pasal 116
(1) Untuk meningkatkan kesejahteraan bagi pekerja dan keluarganya, pengusaha menyediakan fasilitas
kesejahteraan.
(2) Penyediaan fasilitas kesejahteraan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dilaksanakan dengan
memperhatikan kebutuhan pekerja dan kemampuan perusahaan.
(3) Dengan memperhatikan kemampuan perusahaan, Pemerintah dapat mewajibkan pengusaha untuk
menyediakan fasilitas kesejahteraan bagi pekerja dan keluarganya.
(4) Ketentuan mengenai fasilitas kesejahteraan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat
(3), diatur lebih lanjut oleh Menteri.

Pasal 117
(1) Setiap tenaga kerja dan keluarganya berhak untuk memperoleh Jaminan Sosial Tenaga Kerja.
(2) Jaminan Sosial Tenaga Kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dilaksanakan sesuai dengan
ketentuan perundang-undangan yang berlaku.

Pasal 118
(1) Untuk meningkatkan kesejahteraan pekerja dibentuk koperasi pekerja di perusahaan.
(2) Pemerintah dan pengusaha mendorong pembentukan dan menumbuh kembangkan koperasi pekerja
sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
(3) Pembentukan koperasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2), dilaksanakan sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan yang berlaku.
(4) Pemberian dorongan pembentukan dan menumbuhkembangkan koperasi pekerja sebagaimana
dimaksud pada ayat (2), diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.

BAB VIII
PELATIHAN KERJA

Pasal 119
Pelatihan kerja diselenggarakan dan diarahkan untuk membekali dan/atau meningkatkan dan/atau
mengembangkan keterampilan atau keahlian kerja guna meningkatkan kemampuan, produktivitas, dan
kesejahteraan tenaga kerja.

Pasal 120
(1) Pelatihan kerja dilaksanakan dengan memperhatikan kebutuhan pasar kerja dan dunia usaha, baik di
dalam maupun di luar hubungan kerja.
(2) Pelatihan kerja diselenggarakan berdasarkan program pelatihan yang mengacu pada standar
kualifikasi keterampilan atau keahlian.
(3) Pelatihan kerja dilakukan secara berjenjang.

Pasal 121
Setiap tenaga kerja berhak untuk memperoleh dan/atau meningkatkan dan/atau mengembangkan
keterampilan dan/atau keahlian kerja sesuai dengan bakat, minat, dan kemampuannya melalui pelatihan
kerja.

Pasal 122
(1) Setiap pekerja memiliki kesempatan yang sama untuk mengikuti pelatihan kerja sesuai dengan
bidang tugasnya.
(2) Pengusaha bertanggung jawab atas pemberian kesempatan kepada pekerjanya untuk meningkatkan
dan/atau mengembangkan keterampilan dan/atau keahlian kerja melalui pelatihan kerja.

Pasal 123
Pelatihan kerja diselenggarakan oleh lembaga pelatihan kerja pemerintah, swasta, dan perusahaan yang
dilaksanakan di tempat kerja dan tempat pelatihan kerja.

Pasal 124
(1) Pelatihan kerja yang diselenggarakan oleh lembaga pelatihan kerja swasta wajib memperoleh izin
Menteri.
(2) Untuk memperoleh izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1), lembaga pelatihan kerja swasta harus
berbentuk badan hukum Indonesia dan mengikuti tata cara perizinan sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
(3) Tata cara perizinan penyelenggaraan pelatihan kerja oleh lembaga pelatihan kerja swasta ditetapkan
oleh Menteri.

Pasal 125
Penyelenggara pelatihan kerja wajib memenuhi persyaratan:
a. tersedianya tenaga kepelatihan;
b. tersedianya dana bagi kelangsungan kegiatan penyelenggaraan pelatihan kerja;
c. kurikulum;
d. akreditasi;
e. sarana dan prasarana pelatihan kerja.

Pasal 126
(1) Pemerintah dapat menghentikan pelaksanaan penyelenggaraan pelatihan kerja, apabila di dalam
pelaksanaannya ternyata:
a. tidak sesuai dengan arah pelatihan kerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 119;
b. tidak memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 125.
(2) Penghentian pelaksanaan penyelenggaraan pelatihan kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
dapat mengakibatkan dicabutnya izin penyelenggaraan pelatihan kerja.

Pasal 127
(1) Tenaga kerja berhak memperoleh pengakuan kualifikasi keterampilan dan/atau keahlian kerja setelah
mengikuti pelatihan kerja yang diselenggarakan Pemerintah, atau swasta, atau perusahaan.
(2) Pengakuan kualifikasi keterampilan atau keahlian kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
dilakukan melalui sertifikasi keterampilan atau keahlian kerja.
(3) Sertifikasi keterampilan atau keahlian kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (2), dapat diikuti oleh
tenaga kerja yang berpengalaman kerja.
(4) Untuk melaksanakan sertifikasi keterampilan atau keahlian kerja dibentuk lembaga sertifikasi
berdasarkan profesi yang unsurnya terdiri dari Pemerintah, asosiasi profesi, asosiasi perusahaan, serikat
pekerja, dan pakar di bidangnya.

Pasal 128
Pelatihan kerja yang pesertanya terdapat tenaga kerja penyandang cacat dilaksanakan dengan
memperhatikan jenis, derajat kecacatan, dan kemampuan tenaga kerja penyandang cacat yang
bersangkutan.

Pasal 129
Untuk mendukung peningkatan pelatihan kerja dalam rangka pembangunan ketenagakerjaan,
dikembangkan sistem pelatihan kerja nasional.

Pasal 130
Pemerintah melakukan pembinaan program dan informasi pelatihan kerja, baik yang diselenggarakan
oleh Pemerintah, swasta, maupun perusahaan.

Pasal 131
(1) Untuk memenuhi kebutuhan tenaga kerja pada pasar kerja dan dunia usaha, pelatihan kerja dapat
diselenggarakan dengan sistem pemagangan.
(2) Pemagangan dimaksudkan untuk meningkatkan dan/atau mengembangkan keterampilan atau
keahlian kerja dengan bekerja secara langsung dalam proses produksi barang atau jasa di perusahaan.

Pasal 132
(1) Pemagangan wajib diselenggarakan berdasarkan program pemagangan yang disusun berdasarkan
persyaratan dan kualifikasi jabatan.
(2) Program pemagangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dapat dilaksanakan secara berjenjang
sesuai dengan jenjang jabatan dalam perusahaan.

Pasal 133
(1) Pemagangan dilaksanakan atas dasar perjanjian pemagangan antara peserta dan pengusaha.
(2) Perjanjian pemagangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), sekurang-kurangnya memuat
ketentuan hak serta kewajiban peserta dan pengusaha serta jangka waktu pemagangan.
(3) Pemagangan yang diselenggarakan tidak melalui perjanjian pemagangan sebagaimana dimaksud
pada ayat (2), dianggap tidak sah dan status peserta dianggap sebagai pekerja perusahaan.

Pasal 134
Tenaga kerja yang telah mengikuti program pemagangan berhak atas pengakuan kualifikasi keterampilan
atau keahlian kerja dari perusahaan atau Pemerintah.

Pasal 135
Pemagangan dapat dilaksanakan di perusahaan sendiri maupun bekerjasama dengan tempat
penyelenggarakan pelatihan kerja atau perusahaan lain, baik di dalam maupun di luar wilayah Indonesia.

Pasal 136
(1) Pemagangan yang dilaksanakan di luar wilayah Indonesia harus mendapat izin dari Menteri.
(2) Untuk memperoleh izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1), penyelenggara pemagangan harus
berbentuk badan hukum Indonesia sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang
berlaku.
(3) Tata cara perizinan pemagangan di luar wilayah Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan
ayat (2), diatur lebih lanjut oleh Menteri.

Pasal 137
(1) Penyelenggaraan pemagangan ke luar wilayah Indonesia wajib memperhatikan:
a. harkat dan martabat bangsa Indonesia;
b. penguasaan keterampilan dan keahlian yang lebih tinggi;
c. perlindungan dan kesejahteraan peserta pemagangan.
(2) Pemerintah dapat menghentikan pelaksanaan pemagangan ke luar wilayah Indonesia apabila di
dalam pelaksanaannya ternyata tidak sesuai dengan ketentuan tersebut pada ayat (1).

Pasal 138
(1) Pemerintah dapat mewajibkan kepada perusahaan yang memenuhi persyaratan yang ditetapkan oleh
Pemerintah untuk melaksanakan pelatihan kerja pemagangan.
(2) Dalam menetapkan persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Pemerintah harus
memperhatikan kepentingan perusahaan.

Pasal 139
(1) Untuk memberikan saran dan pertimbangan dalam penetapan kebijakan pelatihan kerja dan
pemagangan dibentuk Dewan Pelatihan Kerja Nasional yang terdiri dari unsur Tripartit yang diperluas.
(2) Anggota Dewan Pelatihan Kerja Nasional sebagaimana dimaksud pada ayat (1), diangkat dan
diberhentikan oleh Presiden.

Pasal 140
(1) Pembinaan pelatihan kerja dan pemagangan ditujukan ke arah peningkatan relevansi, kualitas, dan
efisiensi penyelenggaraan pelatihan kerja dan pemagangan dalam rangka meningkatkan produktivitas.
(2) Peningkatan produktivitas sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dilakukan melalui pengembangan
budaya produktif, etos kerja, teknologi, dan efisiensi kegiatan ekonomi, menuju terwujudnya produktivitas
nasional.

Pasal 141
(1) Untuk memberikan saran dan pertimbangan dalam penetapan kebijakan peningkatan produktivitas
nasional, dibentuk lembaga produktivitas nasional.
(2) Anggota lembaga produktivitas nasional sebagaimana dimaksud pada ayat (1), diangkat dan
diberhentikan oleh Presiden.

Pasal 142
Ketentuan mengenai:
a. tata cara penetapan standar kualifikasi keterampilan atau keahlian kerja;
b. organisasi, tata kerja, dan akreditasi lembaga sertifikasi keterampilan atau keahlian kerja;
c. bentuk, mekanisme, dan kelembagaan sistem pelatihan kerja nasional;
d. persyaratan perusahaan yang diwajibkan melaksanakan pemagangan;
e. organisasi dan tata kerja Dewan Pelatihan Kerja Nasional;
f. organisasi dan tata kerja lembaga produktivitas nasional;
diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.

BAB IX
PELAYANAN PENEMPATAN
TENAGA KERJA

Pasal 143
(1) Pelayanan penempatan tenaga kerja diarahkan untuk menempatkan tenaga kerja yang tepat pada
pekerjaan yang tepat sesuai dengan keterampilan, keahlian, dan kemampuan.
(2) Pelayanan penempatan tenaga kerja dilaksanakan dengan memperhatikan kodrat, harkat, martabat,
perlindungan, dan kesejahteraan tenaga kerja tanpa diskriminasi.

Pasal 144
Setiap tenaga kerja mempunyai hak dan kesempatan yang sama untuk memperoleh pelayanan
penempatan tenaga kerja di dalam dan/atau di luar wilayah Indonesia.

Pasal 145
Pelayanan penempatan tenaga kerja dapat diselenggarakan oleh Pemerintah dan/atau masyarakat.

Pasal 146
(1) Pelayanan penempatan tenaga kerja yang diselenggarakan oleh masyarakat hanya dapat dilakukan
atas dasar izin Menteri.
(2) Untuk memperoleh izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1), penyelenggara pelayanan penempatan
tenaga kerja oleh masyarakat harus dibentuk badan hukum Indonesia sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan yang berlaku.
(3) Tata cara perizinan penyelenggaraan pelayanan penempatan tenaga kerja oleh masyarakat
ditetapkan oleh Menteri.

Pasal 147
(1) Penyelenggara pelayanan penempatan tenaga kerja oleh masyarakat wajib memenuhi persyaratan:
a. adanya tenaga kerja yang akan ditempatkan;
b. tersedianya dana bagi kelangsungan kegiatan penyelenggaraan pelayanan penempatan tenaga kerja;
c. jaminan perlindungan bagi tenaga kerja yang ditempatkan;
d. informasi pasar kerja bagi tenaga kerja yang akan ditempatkan;
e. tersedianya sarana dan prasarana pendidikan dan pelatihan kerja bagi tenaga kerja yang akan
ditempatkan.
(2) Jaminan perlindungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c, meliputi:
a. perjanjian penempatan secara tertulis antara penyelenggara dan pengguna tenaga kerja;
b. perjanjian penempatan secara tertulis antara penyelenggara dan tenaga kerja;
c. perjanjian kerja secara tertulis antara pengguna dan tenaga kerja;
d. perlindungan keselamatan dan kesehatan kerja serta kesejahteraan tenaga kerja mulai keberangkatan
dari daerah asal, selama bekerja, sampai dengan kembali ke daerah asal.

Pasal 148
(1) Pemerintah dapat menghentikan pelaksanaan penyelenggaraan pelayanan penempatan tenaga kerja
apabila di dalam pelaksanaannya ternyata:
a. tidak sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 143;
b. tidak sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 147.
(2) Penghentian pelaksanaan penyelenggaraan pelayanan penempatan tenaga kerja sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), dapat mengakibatkan dicabutnya izin penyelenggara pelayanan penempatan
tenaga kerja.

Pasal 149
Penyelenggara pelayanan penempatan tenaga kerja dapat menetapkan standar dan/atau persyaratan
kualifikasi bagi tenaga kerja yang akan ditempatkan sesuai dengan persyaratan jabatan yang akan
ditempati.

Pasal 150
(1) Penyelenggara pelayanan penempatan tenaga kerja ke luar wilayah Indonesia harus memiliki
rencana penempatan tenaga kerja yang disahkan oleh Menteri.
(2) Rencana penempatan tenaga kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (1), sekurang-kurangnya
memuat keterangan tentang:
a. negara tujuan;
b. jumlah tenaga kerja yang akan ditempatkan;
c. jenis jabatan;
d. kualifikasi keterampilan dan keahlian.

Pasal 151
Ketentuan mengenai persyaratan, tata cara perizinan, hak, kewajiban, dan pelaporan penyelenggara oleh
masyarakat serta persyaratan tenaga kerja dalam pelayanan penempatan tenaga kerja di dalam dan/atau
di luar wilayah Indonesia, diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.

BAB X
TENAGA KERJA
WARGA NEGARA ASING

Pasal 152
(1) Tenaga kerja warga negara asing hanya dapat bekerja di wilayah Indonesia atas dasar izin Menteri.
(2) Penggunaan tenaga kerja warga negara asing dilaksanakan secara selektif dalam rangka
pendayagunaan tenaga kerja Indonesia secara optimal dan alih teknologi.
(3) Perusahaan yang menggunakan tenaga kerja warga negara asing wajib memiliki izin Menteri.

Pasal 153
(1) Perusahaan yang mempekerjakan tenaga kerja warga negara asing wajib memiliki rencana
penggunaan tenaga kerja warga negara asing yang disahkan oleh Menteri.
(2) Rencana penggunaan tenaga kerja warga negara asing sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
sekurang-kurangnya memuat keterangan:
a. alasan penggunaan tenaga kerja warga negara asing;
b. jabatan dan/atau kedudukan tenaga kerja warga negara asing dalam struktur organisasi perusahaan
yang bersangkutan;
c. jangka waktu penggunaan tenaga kerja warga negara asing;
d. penunjukan tenaga kerja warga negara Indonesia sebagai pendamping tenaga kerja warga negara
asing yang dipekerjakan.
(3) Tata cara pengesahan rencana penggunaan tenaga kerja warga negara asing ditetapkan oleh
Menteri.

Pasal 154
Dalam rangka pendayagunaan dan penyediaan tenaga kerja yang sesuai dengan pembangunan
nasional, Menteri menetapkan jabatan dan standar kompetensi bagi setiap tenaga kerja warga negara
asing yang bekerja di perusahaan.
Pasal 155
Perusahaan yang mempekerjakan tenaga kerja warga negara asing wajib:
a. menunjuk tenaga kerja warga negara Indonesia sebagai tenaga pendamping tenaga kerja warga
negara asing yang dipekerjakan;
b. melaksanakan pendidikan dan pelatihan kerja bagi tenaga kerja warga Negara Indonesia
sebagaimana dimaksud pada huruf a, yang sesuai dengan jabatan yang diduduki oleh tenaga kerja
warga negara asing.

Pasal 156
(1) Setiap perusahaan yang mempekerjakan tenaga kerja warga negara asing dikenakan pungutan untuk
setiap tenaga kerja warga negara asing yang dipekerjakan.
(2) Besarnya pungutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.

Pasal 157
Ketentuan mengenai persyaratan, tata cara perizinan, perencanaan, pengendalian dan pengawasan,
jenis jabatan, dan pelaporan dalam penggunaan tenaga kerja warga negara asing, diatur lebih lanjut
dengan Peraturan Pemerintah.

BAB XI
TENAGA KERJA
DI DALAM HUBUNGAN KERJA SEKTOR INFORMAL
DAN DI LUAR HUBUNGAN KERJA

Pasal 158
(1) Setiap tenaga kerja yang bekerja di dalam hubungan kerja sektor informal dan di luar hubungan kerja
berhak untuk memperoleh jaminan sosial tenaga kerja.
(2) Jaminan sosial tenaga kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dilaksanakan sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Pasal 159
(1) Setiap tenaga kerja yang bekerja di dalam hubungan kerja sektor informal dan di luar hubungan kerja
berhak untuk memperoleh keselamatan kerja dalam melakukan pekerjaan.
(2) Keselamatan kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dilaksanakan sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Pasal 160
(1) Pembinaan dan pengembangan terhadap tenaga kerja yang bekerja di dalam hubungan kerja sektor
informal dan di luar hubungan kerja dilakukan oleh Menteri.
(2) Dalam melakukan pembinaan dan pengembangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Menteri
dapat mengikutsertakan dunia usaha dan masyarakat.
(3) Pembinaan dan pengembangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dilaksanakan dengan:
a. memasyarakatkan dan membudayakan tenaga kerja bekerja mandiri;
b. meningkatkan keterampilan teknis dan manajerial tenaga kerja mandiri;
c. peningkatan keterampilan dan keahlian kerja melalui lembaga pendidikan dan pelatihan, serta
konsultasi bagi tenaga kerja bekerja mandiri;
d. menyediakan tenaga penyuluh (4) Pembinaan dan pengembangan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) diarahkan untuk perlindungan dan peningkatan kesejahteraan tenaga kerja yang bekerja di dalam
hubungan kerja sektor informal dan di luar hubungan kerja.
(5) Ketentuan mengenai tata cara pembinaan dan pengembangan serta perlindungan dan peningkatan
kesejahteraan tenaga kerja yang bekerja di dalam hubungan kerja sektor informal dan di luar hubungan
kerja diatur oleh Menteri.

BAB XII
PEMBINAAN

Pasal 161
(1) Pemerintah melakukan pembinaan terhadap segala kegiatan yang berhubungan dengan
ketenagakerjaan.
(2) Pembinaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dapat mengikutsertakan unsur dunia usaha dan
masyarakat.
(3) Pembinaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dan ayat (2), dilaksanakan secara terpadu dan
terkoordinasi.

Pasal 162
Pembinaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 161 diarahkan untuk:
a. mewujudkan perencanaan tenaga kerja dan informasi ketenagakerjaan;
b. mendayagunakan tenaga kerja secara optimal serta penyediaan tenaga kerja yang sesuai dengan
pembangunan nasional;
c. mewujudkan terselenggaranya pelatihan kerja yang berkesinambungan guna meningkatkan
kemampuan, keahlian dan produktivitas tenaga kerja;
d. menyediakan informasi pasar kerja, pelayanan penempatan tenaga kerja yang sesuai dengan bakat,
minat, dan kemampuan tenaga kerja pada pekerjaan yang tepat;
e. menyelenggarakan sertifikasi keterampilan dan keahlian tenaga kerja sesuai dengan standar;
f. mewujudkan tenaga kerja bekerja mandiri;
g. menciptakan hubungan yang harmonis dan terpadu antara pelaku proses produksi barang dan jasa
yang diwujudkan dalam Hubungan Industrial Pancasila;
h. mewujudkan kondisi yang harmonis dan dinamis dalam hubungan kerja yang meliputi terjaminnya hak
pengusaha dan pekerja; dan
i. memberikan perlindungan tenaga kerja yang meliputi keselamatan dan kesehatan kerja, norma kerja,
pengupahan, jaminan sosial tenaga kerja, serta syarat kerja.

Pasal 163
Dalam rangka pembinaan, Pemerintah dapat melakukan kerja sama internasional di bidang
ketenagakerjaan sesuai dengan kepentingan nasional.

Pasal 164
(1) Dalam rangka pembinaan, Pemerintah dapat memberikan penghargaan kepada orang yang telah
berjasa dalam bidang ketenagakerjaan.
(2) Penghargaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diberikan dalam bentuk piagam, tanda
jasa, uang, dan/atau bentuk penghargaan lainnya.

Pasal 165
Ketentuan mengenai pelaksanaan pembinaan ketenagakerjaan yang meliputi jenis-jenis pembinaan,
sasaran, keikutsertaan dunia usaha dan masyarakat, dan pemberian penghargaan, diatur lebih lanjut
dengan Peraturan Pemerintah.

BAB XIII
PENGAWASAN

Pasal 166
Pengawasan terhadap segala kegiatan yang berhubungan dengan ketenagakerjaan yang dilakukan
masyarakat, perusahaan, dan instansi pemerintah dilaksanakan oleh Menteri.

Pasal 167
Ketentuan mengenai pengawasan ketenagakerjaan dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.

BAB XIV
PENYERAHAN URUSAN

Pasal 168
(1) Pemerintah dapat menyerahkan sebagian urusan di bidang ketenagakerjaan kepada Pemerintah
Daerah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
(2) Ketentuan penyerahan sebagian urusan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur lebih lanjut
dengan Peraturan Pemerintah.

BAB XV
PENYIDIKAN

Pasal 169
(1) Selain penyidik pejabat Polisi Negara Republik Indonesia, juga kepada pejabat pegawai negeri sipil
tertentu di lingkungan instansi pemerintah yang lingkup tugas dan tanggung jawabnya di bidang
ketenagakerjaan diberi wewenang khusus sebagai penyidik sebagaimana dimaksud dalam
Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana untuk melakukan penyidikan tindak
pidana sebagaimana diatur dalam Undang-undang ini.
(2) Penyidik pejabat pegawai negeri sipil tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berwenang:
a. melakukan pemeriksaan atas kebenaran laporan serta keterangan tentang tindak pidana di bidang
ketenagakerjaan;
b. melakukan pemeriksaan terhadap orang yang diduga melakukan tindak pidana di bidang
ketenagakerjaan;
c. meminta keterangan dan bahan bukti dari orang atau badan hukum sehubungan dengan tindak pidana
di bidang ketenagakerjaan;
d. melakukan pemeriksaan atau penyitaan bahan atau barang bukti dalam perkara tindak pidana di
bidang ketenagakerjaan;
e. melakukan pemeriksaan atas surat dan/atau dokumen lain tentang tindak pidana di bidang
ketenagakerjaan;
f. meminta bantuan tenaga ahli dalam rangka pelaksanaan tugas penyidikan tindak pidana di bidang
ketenagakerjaan;
g. menghentikan penyidikan apabila tidak terdapat cukup bukti yang membuktikan tentang adanya tindak
pidana di bidang ketenagakerjaan.
(3) Kewenangan penyidik pejabat pegawai negeri sipil tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
dilaksanakan menurut Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana.

BAB XVI
SANKSI ADMINISTRATIF DAN
KETENTUAN PIDANA

Bagian Pertama
Sanksi Administratif

Pasal 170
(1) Menteri mengenakan sanksi administrative atas pelanggaran terhadap ketentuan-ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22, Pasal 23 ayat (1), Pasal 37 ayat (1), Pasal 46, Pasal 103 ayat
(1), Pasal 104 ayat (1), Pasal 105 ayat (1), Pasal 110 ayat (2) dan ayat (3), Pasal 116 ayat (3), Pasal
125, Pasal 126, Pasal 132, Pasal 137, Pasal 138 ayat (1), dan Pasal 150, Undang-undang ini serta
peraturan pelaksanaannya.
(2) Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa:
a. teguran;
b. peringatan tertulis;
c. denda;
d. pembatasan kegiatan usaha;
e. pembekuan kegiatan usaha;
f. pembatalan persetujuan;
g. pembatalan pendaftaran;
h. penghentian sementara sebagian atau seluruh alat produksi;
i. pencabutan izin.
(3) Ketentuan mengenai sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur
lebih lanjut oleh Menteri.
Bagian Kedua
Ketentuan Pidana

Pasal 171
Barang siapa:
a. tidak memberikan kesempatan yang sama kepada tenaga kerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal
5;
b. tidak memberikan perlakuan yang sama kepada pekerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6;
dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan/atau denda paling banyak
Rp400.000.000,- (empat ratus juta rupiah).

Pasal 172
Barangsiapa menghalang-halangi pekerjanya untuk membentuk dan/atau menjadi pengurus atau
anggota serikat pekerja pada perusahaan dan/atau membentuk dan menjadi anggota gabungan serikat
pekerja sesuai dengan sektor usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 dipidana dengan pidana
penjara paling lama 2 (dua) tahun dan denda paling banyak RP200.000.000,- (dua ratus juta rupiah).

Pasal 173
Barangsiapa tidak memiliki peraturan perusahaan yang disahkan oleh Menteri sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 39 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan/atau denda
paling banyak Rp100.000.000,- (seratus juta rupiah).

Pasal 174
Barangsiapa yang tidak memenuhi ketentuan tentang pengesahan perubahan peraturan perusahaan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44 ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling banyak 6 (enam)
bulan dan/atau denda paling banyak Rp50.000.000,- (lima puluh juta rupiah).

Pasal 175
Barangsiapa tidak memberitahukan dan menjelaskan isi peraturan perusahaan kepada pekerjanya
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45, dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) bulan
dan/atau denda paling banyak Rp50.000.000,- (lima puluh juta rupiah).

Pasal 176
(1) Barangsiapa tidak membayar upah pekerja selama pekerja mogok kerja sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 77 ayat (1), dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan denda paling
banyak Rp100.000.000,- (seratus juta rupiah).
(2) Selain sanksi pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1), hakim dapat menjatuhkan putusan
membayar upah pekerja.

Pasal 177
Barangsiapa:
a. melakukan mogok kerja tanpa memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 78 ayat (1);
b. melakukan tindakan yang bersifat pembalasan terhadap mogok kerja sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 79 ayat (2);
c. melakukan penutupan perusahaan (lock-out) tanpa memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 83 ayat (1);
dipidana dengan pidana kurungan paling lama 6 (enam) bulan atau denda paling banyak Rp50.000.000,-
(lima puluh juta rupiah).

Pasal 178
Barangsiapa:
a. mempekerjakan anak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 95 ayat (1);
b. mempekerjakan anak tanpa perlindungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 96 ayat (2);
dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan denda paling banyak Rp200.000.000,-
(dua ratus juta rupiah).
Pasal 179
Barangsiapa mempekerjakan orang muda pada pekerjaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 97 ayat
(1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan denda paling banyak
Rp100.000.000,- (seratus juta rupiah).

Pasal 180
Barangsiapa:
a. mempekerjakan pekerja wanita pada pekerjaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 98 ayat (1);
b. tanpa izin mempekerjakan pekerja wanita pada waktu tertentu malam hari sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 98 ayat (3);
c. mempekerjakan pekerja wanita yang sedang hamil dan/atau sedang menyusui pada waktu tertentu
malam hari sebagaimana dimaksud dalam Pasal 99;
dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan denda paling banyak Rp100.000.000,-
(seratus juta rupiah).

Pasal 181
Barangsiapa:
a. melaksanakan waktu kerja melebihi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam pasal 100 ayat (1) dan
ayat (2);
b. tidak membayar upah lembur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 100 ayat (3);
c. mempekerjakan pekerja melebihi waktu kerja lembur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 100 ayat
(4);
dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan/atau denda paling banyak
Rp100.000.000,- (seratus juta rupiah).

Pasal 182
Barangsiapa tidak memberikan waktu istirahat kerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 102 ayat (2)
dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan/atau denda paling banyak
Rp100.000.000,- (seratus juta rupiah).

Pasal 183
(1) Barangsiapa:
a. tidak memberikan kesempatan sepatutnya kepada pekerja wanita untuk menyusukan bayinya pada
jam kerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 104 ayat (2);
b. tidak memberi istirahat pekerja wanita sebelum dan/atau sesudah melahirkan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 104 ayat (3);
c. tidak memberi istirahat kepada pekerja wanita yang mengalami gugur kandungan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 104 ayat (4);
d. tidak memberi perpanjangan istirahat kepada pekerja wanita sebelum saat melahirkan anak
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 104 ayat (5);
dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan/atau denda paling banyak
Rp100.000.000,- (seratus juta rupiah).
(2) Selain sanksi pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, hakim dapat menjatuhkan
putusan membayar upah lembur pekerja.

Pasal 184
(1) Barangsiapa:
a. mempekerjakan pekerja pada hari libur resmi yang ditetapkan oleh Pemerintah sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 107 ayat (1) di luar ketentuan ayat (2);
b. mempekerjakan pekerja pada hari libur resmi tanpa memberikan upah lembur sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 107 ayat (3);
dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan/atau denda paling banyak
Rp100.000.000,- (seratus juta rupiah).
(2) Selain sanksi pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, hakim dapat menjatuhkan
putusan membayar upah lembur pekerja.
Pasal 185
Barangsiapa tidak memberikan perlindungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 108 ayat (1) dipidana
dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan/atau dengan paling banyak Rp100.000.000,-
(seratus juta rupiah).

Pasal 186
(1) Barangsiapa membayar upah lebih rendah dari upah minimum sebagaimana dimaksud dalam Pasal
111 ayat (4), dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan denda paling banyak
Rp200.000.000,- (dua ratus juta rupiah).
(2) Selain sanksi pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1), hakim dapat menjatuhkan putusan
membayar upah pekerja.

Pasal 187
Barangsiapa melakukan diskriminasi dalam penetapan upah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 113
ayat (2), dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan denda paling banyak
Rp200.000.000,- (dua ratus juta rupiah).

Pasal 188
(1) Barangsiapa tidak membayar upah kepada pekerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 114 ayat (2)
dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan denda paling banyak Rp200.000.000,-
(dua ratus juta rupiah).
(2) Selain sanksi pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hakim dapat menjatuhkan putusan
membayar upah pekerja.

Pasal 189
Barangsiapa tanpa izin menyelenggarakan pelatihan kerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 124 ayat
(1) dipidana dengan pidana kurungan paling lama 6 (enam bulan) atau denda paling banyak
Rp50.000.000,- (lima puluh juta rupiah).

Pasal 190
Barangsiapa tanpa izin melaksanakan pemagangan di luar wilayah Indonesia sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 136 dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan denda paling banyak
Rp100.000.000,- (seratus juta rupiah).

Pasal 191
Barangsiapa tanpa izin menyelenggarakan pelayanan penempatan tenaga kerja sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 146 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan denda paling
banyak Rp100.000.000,- (seratus juta rupiah).

Pasal 192
Barangsiapa menyelenggarakan pelayanan penempatan tenaga kerja dengan tidak memenuhi
persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 147 ayat (1), dipidana dengan pidana kurungan paling
lama 6 (enam) bulan atau denda paling banyak Rp50.000.000,- (lima puluh juta rupiah).

Pasal 193
Barangsiapa menyelenggarakan pelayanan penempatan tenaga kerja yang tidak memenuhi jaminan
perlindungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 147 ayat (2), dipidana dengan pidana penjara paling
lama 1 (satu) tahun dan denda paling banyak Rp100.000.000,-(seratus juta rupiah).

Pasal 194
Tenaga kerja warga negara asing yang bekerja tanpa izin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 152 ayat
(1), dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan denda paling banyak
Rp100.000.000,- (seratus juta rupiah).

Pasal 195
Barangsiapa tanpa izin mempekerjakan tenaga kerja warga negara asing sebagaimana dimaksud dalam
pasal 152 ayat (3), dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan denda paling banyak
Rp200.000.000,- (dua ratus juta rupiah).

Pasal 196
Barangsiapa mempekerjakan tenaga kerja warga negara asing yang tidak memenuhi ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 155, dipidana dengan pidana kurungan paling lama 6 (enam) bulan
atau denda paling banyak Rp50.000.000,- (lima puluh juta rupiah).

BAB XVII
KETENTUAN PERALIHAN

Pasal 197
Semua peraturan perundang-undangan yang mengatur ketenagakerjaan tetap berlaku sepanjang tidak
bertentangan dan/atau belum diganti dengan peraturan yang baru berdasarkan undang-undang ini.

BAB XVIII
KETENTUAN PENUTUP

Pasal 198
Pada saat mulai berlakunya Undang-undang ini, maka:
a. Ordonansi tentang Pengerahan Orang Indonesia Untuk Melakukan Pekerjaan Di Luar Indonesia
(Staatsblad Tahun 1887 Nomor 8);
b. Ordonansi tanggal 17 Desember 1925 Peraturan tentang Pembatasan Kerja Anak Dan Kerja Malam
Bagi Wanita (Staatsblad Tahun 1925 Nomor 647);
c. Ordonansi Tahun 1926 Peraturan mengenai Kerja Anak-anak Dan Orang Muda Di Atas Kapal
(Staatsblad Tahun 1926 Nomor 87);
d. Ordonansi tanggal 4 Mei 1936 tentang Ordonansi untuk Mengatur Kegiatan-kegiatan Mencari Calon
Pekerja (Staatsblad Tahun 1936 Nomor 208);
e. Ordonansi tentang Pemulangan Buruh Yang Diterima Atau Dikerahkan Dari Luar Indonesia
(Staatsblad Tahun 1939 Nomor 545);
f. Ordonansi Nomor 9 Tahun 1949 tentang Pembatasan Kerja Anak-anak (Staatsblad Tahun 1949 Nomor
8);
g. Undang-undang Nomor 1 Tahun 1951 tentang Pernyataan Berlakunya Undang-undang Kerja Tahun
1948 Nomor 12 Dari Republik Indonesia Untuk Seluruh Indonesia (Lembaran Negara Tahun 1951 Nomor
2);
h. Undang-undang Nomor 21 Tahun 1954 tentang Perjanjian Perburuhan Antara Serikat Buruh dan
Majikan (Lembaran Negara Tahun 1954 Nomor 69, Tambahan Lembaran Negara Nomor 598a).
i. Undang-undang Nomor 3 Tahun 1958 tentang Penempatan Tenaga Asing (Lembaran Negara Tahun
1958 Nomor 8);
j. Undang-undang Nomor 7 pnps Tahun 1963 tentang Pencegahan Pemogokan dan/atau Penutupan
(Lock-Out) Di Perusahaan, Jawatan, dan Badan Yang Vital (Lembaran Negara Tahun 1963 Nomor 67);
dan
k. Undang-undang Nomor 14 Tahun 1969 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Mengenai Tenaga Kerja
(Lembaran Negara Tahun 1969 Nomor 55, Tambahan Lembaran Negara Nomor 2912);
dinyatakan tidak berlaku lagi.

Pasal 199
Undang-undang ini mulai berlaku pada tanggal 1 Oktober 1998.

Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-undang ini dengan
penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.

Disahkan di Jakarta
pada tanggal 3 Oktober 1997
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
SOEHARTO
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 3 Oktober 1997
MENTERI NEGARA SEKRETARIS NEGARA
REPUBLIK INDONESIA,

MOERDIONO


Silahkan download versi PDF nya sbb:
ketenagakerjaan_(uu_25_thn_1997)_25.pdf
(ogi/Carapedia)
Pencarian Terbaru

Uu no 25 tahun 1997. Uu no 25 tahun 1997 tentang ketenagakerjaan. Isi uu no 25 tahun 1997. Uu no.25 tahun 1997. Pengertian tenaga kerja menurut uu no 25 tahun 1997. Uu nomor 25 tahun 1997. Http://carapedia.com/ketenagakerjaan_thn_1997_info1424.html.

Uu 25 tahun 1997. Apakah upah menurut undang undang nomor 25 tahun 1997. Pengertian upah menurut undang undang nomor 25 tahun 1997. Uu no 25 tahun 1997 tentang tenaga kerja. Upah menurut uu no 25 tahun 1997. Maksud dari isi uud nomer 25 tahun 1997. Upah menurut uu nomor 25 tahun 1997.

Uu no 25 1997. Upah menurut undang undang nomor 25 tahun 1997. Pengertian perjanjian kerja uu 25 tahun 1997 pasal 1 angka 6. Bunyi uu no 25 tahun 1997. Pengertian kerja menurut uud25 tahun 1997. Pengertian perjanjian kerja menurut uu 25 1997.

Tambahkan komentar baru
Komentar Sebelumnya (0)
Belum ada komentar untuk produk ini.