Previous
Next
  • Home
  • »
  • Undang-Undang
  • »
  • 1997
  • » Undang-Undang Bea Perolehan Hak Atas Tanah Dan Bangunan (UU 21 thn 1997)

1997

Undang-Undang Bea Perolehan Hak Atas Tanah Dan Bangunan (UU 21 thn 1997)

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 21 Tahun 1997 Tentang Bea Perolehan Hak Atas Tanah Dan Bangunan :
LEMBARAN NEGARA
REPUBLIK INDONESIA
No. 44, 1997 (Penjelasan dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3688)

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 21 TAHUN 1997
TENTANG
BEA PEROLEHAN HAK ATAS TANAH DAN BANGUNAN

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
,

Menimbang: a. bahwa Negara Republik Indonesia adalah Negara hukum berdasarkan Pancasila dan
Undang-Undang Dasar 1945, dalam perkembangannya telah menghasilkan pembangunan yang pesat
dalam kehidupan nasional yang perlu dilanjutkan dengan dukungan Pemerintah dan seluruh potensi
masyarakat, karena itu menempatkan perpajakan sebagai salah satu perwujudan kewajiban kenegaraan
yang merupakan sarana peran serta dalam pembiayaan Negara dan pembangunan nasional;
b. bahwa baik tanah yang mempunyai fungsi sosial sebagai karunia Tuhan Yang Maha Esa maupun
bangunan memberikan keuntungan dan atau kedudukan sosial ekonomi yang lebih baik bagi orang
pribadi atau badan yang memperoleh suatu hak atasnya, oleh karena itu wajar bila mereka yang
memperoleh hak atas tanah dan atau bangunan diwajibkan membayar pajak kepada Negara;
c. bahwa dengan berlakunya Undang-undang tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, maka
hak-hak atas tanah menurut hukum barat menjadi tidak berlaku lagi, oleh karena itu pungutan Bea Balik
Nama atas pemindahan harta tetap berdasarkan Ordonansi Bea Balik Nama menurut Staatsblad 1924
Nomor 291 tidak dapat dilaksanakan;
d. bahwa terhadap orang pribadi atau badan yang memperoleh hak atas tanah dan atau bangunan,
berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku perlu dikenakan pajak dengan nama Bea
Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan;
e. bahwa berdasarkan pertimbangan tersebut pada huruf a, huruf b, huruf c, dan huruf d perlu dibentuk
Undang-undang tentang Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan;

Mengingat:   1. Pasal 5 ayat (1), Pasal 20 ayat (1), Pasal 23 ayat (2), dan Pasal 33 ayat (3)
Undang-Undang Dasar 1945;

Dengan Persetujuan
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA

MEMUTUSKAN:

Menetapkan:    UNDANG-UNDANG TENTANG BEA PEROLEHAN HAK ATAS TANAH DAN
BANGUNAN.

BAB I
KETENTUAN UMUM

Pasal 1
Dalam Undang-undang ini yang dimaksud dengan:
1. Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan adalah pajak yang dikenakan atas perolehan hak atas
tanah dan atau bangunan, yang selanjutnya disebut pajak;
2. Perolehan hak atas tanah dan atau bangunan adalah perbuatan atau peristiwa hukum yang
mengakibatkan diperolehnya hak atas tanah dan atau bangunan oleh orang pribadi atau badan;
3. Hak atas tanah adalah hak atas tanah sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Nomor 5 Tahun
1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria dan peraturan perundang-undangan yang berlaku;
4. Surat Tagihan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan, yang dapat disingkat STB, adalah surat
untuk melakukan tagihan pajak dan atau sanksi administrasi berupa bunga dan atau denda;
5. Surat Ketetapan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan Kurang Bayar, yang dapat disingkat
SKBKB, adalah surat keputusan yang menentukan besarnya jumlah pajak yang terutang, jumlah
kekurangan pembayaran pokok pajak, besarnya sanksi administrasi, dan jumlah yang masih harus
dibayar;
6. Surat Ketetapan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan Kurang Bayar Tambahan, yang dapat
disingkat SKBKBT, adalah surat keputusan yang menentukan tambahan atas jumlah pajak yang telah
ditetapkan;
7. Surat Ketetapan bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan Lebih Bayar, yang dapat disingkat
SKBLB, adalah surat keputusan yang menentukan jumlah kelebihan pembayaran pajak karena jumlah
pajak yang telah dibayar lebih besar daripada pajak yang seharusnya terutang;
8. Surat Ketetapan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan Nihil, yang dapat disingkat SKBN,
adalah surat keputusan yang menentukan jumlah pajak yang terutang sama besarnya dengan jumlah
pajak yang dibayar;
9. Surat Setoran Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan, yang dapat disingkat SSB, adalah surat
yang oleh Wajib Pajak digunakan untuk melakukan pembayaran atau penyetoran pajak yang terutang ke
Kas Negara atau tempat lain yang ditetapkan oleh Menteri dan sekaligus untuk melaporkan data
perolehan hak atas tanah dan atau bangunan;
10. Surat Keputusan Pembetulan adalah surat keputusan untuk membetulkan kesalahan tulis, kesalahan
hitung dan atau kekeliruan dalam penerapan peraturan perundang-undangan perpajakan yang terdapat
dalam Surat Ketetapan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan Kurang Bayar, Surat Ketetapan
Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan Kurang Bayar Tambahan, Surat Ketetapan Bea
Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan Lebih Bayar, Surat Ketetapan Bea Perolehan Hak atas Tanah
dan Bangunan Nihil, atau Surat Tagihan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan;
11. Surat Keputusan Keberatan adalah surat keputusan atas keberatan terhadap Surat Ketetapan Bea
Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan Kurang Bayar Tambahan, Surat Ketatapan Bea Perolehan
Hak atas Tanah dan Bangunan Lebih Bayar, atau Surat Ketetapan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan
Bangunan Nihil yang diajukan oleh Wajib Pajak;
12. Putusan Banding adalah putusan Badan Penyelesaian Sengketa Pajak atas banding terhadap Surat
Keputusan Keberatan yang diajukan oleh Wajib Pajak;
13. Menteri adalah Menteri Keuangan Republik Indonesia.

BAB II
OBJEK PAJAK

Pasal 2
(1) Yang menjadi objek pajak adalah perolehan hak atas tanah dan atau bangunan.
(2) Perolehan hak atas tanah dan atau bangunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
a. Pemindahan hak karena:
1) jual beli;
2) tukar menukar;
3) hibah;
4) hibah wasiat;
5) pemasukan dalam perseroan atau badan hukum lainnya;
6) pemisahan hak yang mengakibatkan peralihan;
7) penunjukan pembeli dalam lelang;
8) pelaksanaan putusan hakim yang mempunyai kekuatan hukum tetap;
9) hadiah.
b. Pemberian hak baru karena:
1) kelanjutan pelepasan hak;
2) di luar pelepasan hak.
(3) Hak atas tanah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah:
a. hak milik;
b. hak guna usaha;
c. hak guna bangunan;
d. hak pakai;
e. hak milik atas satuan rumah susun;
f. hak pengelolaan.

Pasal 3
(1) Objek pajak yang tidak dikenakan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan adalah objek pajak
yang diperoleh:
a. perwakilan diplomatik, konsulat berdasarkan asas perlakuan timbal balik;
b. Negara untuk penyelenggaraan pemerintahan dan atau untuk pelaksanaan pembangunan guna
kepentingan umum;
c. badan atau perwakilan organisasi internasional yang ditetapkan oleh Menteri;
d. orang pribadi atau badan karena konversi hak dan perbuatan hukum lain dengan tidak adanya
perubahan nama;
e. karena wakaf;
f. karena warisan;
g. untuk digunakan kepentingan ibadah.
(2) Objek pajak yang diperoleh karena hibah wasiat dan hak pengelolaan pengenaan pajaknya diatur
dengan Peraturan Pemerintah.

BAB III
SUBJEK PAJAK

Pasal 4
(1) Yang menjadi subjek pajak adalah orang pribadi atau badan yang memperoleh hak atas tanah dan
atau bangunan.
(2) Subjek pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang dikenakan kewajiban membayar pajak
menjadi Wajib Pajak menurut Undang-undang ini.

BAB IV
TARIF PAJAK

Pasal 5
Tarif pajak ditetapkan sebesar 5% (lima persen).

BAB V
DASAR PENGENAAN
DAN CARA PENGHITUNGAN PAJAK

Pasal 6
(1) Dasar pengenaan pajak adalah Nilai Perolehan Objek Pajak.
(2) Nilai Perolehan Objek Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dalam hal:
a. jual beli adalah harga transaksi;
b. tukar menukar adalah nilai pasar objek pajak tersebut;
c. hibah adalah nilai pasar objek pajak tersebut;
d. pemasukan dalam perseroan atau badan hukum lainnya adalah nilai pasar objek pajak tersebut;
e. pemisahan hak yang mengakibatkan peralihan adalah nilai pasar objek pajak tersebut;
f. penunjukan pembeli dalam lelang adalah harga transaksi yang tercantum dalam Risalah Lelang;
g. peralihan hak karena pelaksanaan putusan hakim yang mempunyai kekuatan hukum tetap adalah nilai
pasar objek pajak tersebut;
h. pemberian hak baru atas tanah sebagai kelanjutan dari pelepasan hak adalah nilai pasar objek pajak
tersebut;
i. pemberian hak baru atas tanah di luar pelepasan hak adalah nilai pasar objek pajak tersebut.
(3) Apabila Nilai Perolehan Objek Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak diketahui atau lebih
rendah daripada Nilai Jual Objek Pajak yang digunakan dalam pengenaan Pajak Bumi dan Bangunan
pada tahun terjadinya perolehan, dasar pengenaan pajak yang dipakai adalah Nilai Jual Objek Pajak
Pajak Bumi dan Bangunan.
(4) Apabila Nilai Jual Objek Pajak Pajak Bumi dan Bangunan sebagaimana dimaksud pada ayat (3)
belum ditetapkan, Menteri dapat menetapkan besarnya Nilai Jual Objek Pajak Pajak Bumi dan
Bangunan.

Pasal 7
(1) Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak ditetapkan sebesar Rp30.000.000,00 (tiga puluh juta
rupiah).
(2) Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diubah
dengan Peraturan Pemerintah.

Pasal 8
(1) Nilai Perolehan Objek Pajak Kena Pajak adalah Nilai Perolehan Objek Pajak dikurangi dengan Nilai
Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak.
(2) Besarnya pajak yang terutang dihitung dengan cara mengalikan tarif pajak dengan Nilai Perolehan
Objek Kena Pajak.

BAB VI
SAAT DAN TEMPAT PAJAK YANG TERUTANG

Pasal 9
(1) Saat yang menentukan pajak yang terutang atas perolehan hak atas tanah dan atau bangunan untuk:
a. jual beli adalah sejak tanggal dibuat dan ditandatanganinya akta;
b. tukar menukar adalah sejak tanggal dibuat dan ditandatanganinya akta;
c. hibah adalah sejak tanggal dibuat dan ditandatanganinya akta;
d. pemasukan dalam perseroan atau badan hukum lainnya adalah sejak tanggal dibuat dan
ditandatanganinya akta;
e. pemisahan hak yang mengakibatkan peralihan adalah sejak tanggal dibuat dan ditandatanganinya
akta;
f. lelang adalah sejak tanggal penunjukan pemenang lelang;
g. putusan hakim adalah sejak tanggal putusan pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum yang
tetap;
h. hibah wasiat adalah sejak tanggal yang bersangkutan mendaftarkan peralihan haknya ke Kantor
Pertanahan;
i. pemberian hak baru atas tanah sebagai kelanjutan dari pelepasan hak adalah sejak tanggal
diterbitkannya surat keputusan pemberian hak;
j. pemberian hak baru di luar pelepasan hak adalah sejak tanggal diterbitkannya surat keputusan
pemberian hak;
k. hadiah adalah sejak tanggal dibuat dan ditandatanganinya akta.
(2) Pajak yang terutang harus dilunasi pada saat terjadinya perolehan hak sebagaimana dimaksud pada
ayat (1).
(3) Tempat pajak yang terutang adalah di wilayah Kabupaten Daerah Tingkat II, atau Kotamadya Daerah
Tingkat II, atau Propinsi Daerah Tingkat I untuk Kotamadya Administratif yang meliputi letak tanah dan
atau bangunan.

BAB VII
PEMBAYARAN, PENETAPAN,
DAN PENAGIHAN

Pasal 10
(1) Wajib Pajak wajib membayar pajak yang terutang dengan tidak mendasarkan pada adanya surat
ketetapan pajak.
(2) Pajak yang terutang dibayar di Bank Persepsi atau Kantor Pos dan Giro atau tempat pembayaran lain
yang ditunjuk oleh Menteri.
(3) Tata cara pembayaran pajak diatur lebih lanjut dengan Keputusan Menteri.

Pasal 11
(1) Dalam jangka waktu 5 (lima) tahun sesudah saat terutangnya pajak, Direktur Jenderal Pajak dapat
menerbitkan Surat Ketetapan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan Kurang Bayar apabila
berdasarkan hasil pemeriksaan atau keterangan lain ternyata jumlah pajak yang terutang kurang dibayar.
(2) Jumlah kekurangan pajak yang terutang dalam Surat Ketetapan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan
Bangunan Kuran Bayar sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditambah dengan sanksi administrasi
berupa bunga sebesar 2% (dua persen) sebulan untuk jangka waktu paling lama 24 (dua puluh empat)
bulan, dihitung mulai saat terutangnya pajak sampai dengan diterbitkannya Surat Ketetapan Bea
Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan Kurang Bayar.

Pasal 12
(1) Dalam jangka waktu 5 (lima) tahun sesudah saat terutangnya pajak, Direktur Jenderal Pajak dapat
menerbitkan Surat Ketetapan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan Kurang Bayar Tambahan
apabila ditemukan data baru dan atau data yang semula belum terungkap yang menyebabkan
penambahan jumlah pajak yang terutang setelah diterbitkannya Surat Ketetapan Bea Perolehan Hak atas
Tanah dan Bangunan Kurang Bayar.
(2) Jumlah kekurangan pajak yang terutang dalam Surat Ketetapan Bea Perolehan hak atas Tanah dan
Bangunan Kurang Bayar Tambahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditambah dengan sanksi
administrasi berupa kenaikan sebesar 100% (seratus persen) dari jumlah kekurangan pajak tersebut,
kecuali Wajib Pajak melaporkan sendiri sebelum dilakukan tindakan pemeriksaan.

Pasal 13
(1) Direktur Jenderal Pajak dapat menerbitkan Surat Tagihan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan
Bangunan apabila:
a. pajak yang terutang tidak atau kurang dibayar;
b. dari hasil pemeriksaan Surat Setoran Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan terdapat
kekurangan pembayaran pajak sebagai akibat salah tulis dan atau salah hitung;
c. Wajib Pajak dikenakan sanksi administrasi berupa denda dan atau bunga.
(2) Jumlah pajak yang terutang yang tidak atau kurang dibayar dalam Surat Tagihan Bea Perolehan Hak
atas Tanah dan Bangunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dan huruf b ditambah sanksi
administrasi berupa bunga sebesar 2% (dua persen) sebulan untuk jangka waktu paling lama 24 (dua
empat) bulan sejak saat terutangnya pajak.
(3) Surat Tagihan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan sebagiamana dimaksud pada ayat (1)
mempunyai kekuatan hukum yang sama dengan surat ketetapan pajak.

Pasal 14
(1) Surat Ketetapan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan Kurang Bayar, Surat Ketetapan Bea
Perolehan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan, dan Surat Keputusan Pembetulan, Surat
Keputusan Keberatan maupun Putusan Banding yang menyebabkan jumlah pajak yang harus dibayar
bertambah, merupakan dasar penagihan pajak.
(2) Pajak yang terutang berdasarkan Surat Ketetapan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan
Kurang Bayar Surat Ketetapan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan, Kurang Bayar Tambahan,
Surat Tagihan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan, dan Surat Keputusan Pembetulan, Surat
Keputusan Keberatan maupun Putusan Banding yang menyebabkan jumlah pajak yang harus dibayar
bertambah, harus dilunasi dalam jangka waktu paling lama 1 (satu) bulan sejak diterima oleh Wajib
Pajak.
(3) Tata cara penagihan pajak diatur dengan Keputusan Menteri.

Pasal 15
Jumlah pajak yang terutang berdasarkan Surat Ketetapan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan
Kurang Bayar, Surat Ketetapan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan Kurang Bayar Tambahan,
Surat Tagihan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan, dan Surat Keputusan Pembetulan, Surat
Keputusan Keberatan maupun Putusan Banding yang menyebabkan jumlah pajak yang harus dibayar
bertambah, yang tidak atau kurang dibayar pada waktunya dapat ditagih dengan Surat Paksa.

BAB VIII
KEBERATAN, BANDING, DAN PENGURANGAN
Pasal 16
(1) Wajib Pajak dapat mengajukan keberatan hanya kepada Direktur Jenderal Pajak atas suatu:
a. Surat Ketetapan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan Kurang Bayar;
b. Surat Ketetapan bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan Kurang Bayar Tambahan;
c. Surat Ketetapan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan Lebih Bayar;
d. Surat Ketetapan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan Nihil.
(2) Keberatan diajukan secara tertulis dalam bahasa Indonesia dengan mengemukakan jumlah pajak
yang terutang menurut perhitungan Wajib Pajak dengan disertai alasan-alasan yang jelas.
(3) Keberatan harus diajukan dalam jangka waktu paling lama 3 (tiga) bulan sejak tanggal diterimanya
Surat Ketetapan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan Kurang Bayar atau Surat Ketetapan Bea
Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan Kurang Bayar Tambahan atau Surat Ketetapan Bea Perolehan
Hak atas Tanah dan Bangunan Lebih Bayar atau Surat Ketetapan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan
Bangunan Nihil oleh Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1), kecuali apabila Wajib Pajak
dapat menunjukkan bahwa jangka waktu itu tidak dapat dipenuhi karena keadaan di luar kekuasaannya.
(4) Keberatan yang tidak memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) tidak
dianggap sebagai Surat Keberatan sehingga tidak dipertimbangkan.
(5) Tanda penerimaan Surat Keberatan yang diberikan oleh pejabat Direktorat Jenderal Pajak yang
ditunjuk untuk itu atau tanda pengiriman Surat Keberatan melalui pos tercatat menjadi tanda bukti
penerimaan Surat Keberatan tersebut bagi kepentingan Wajib Pajak.
(6) Apabila diminta oleh Wajib Pajak untuk keperluan pengajuan keberatan, Direktur Jenderal Pajak wajib
memberikan keterangan secara tertulis hal-hal yang menjadi dasar pengenaan pajak.
(7) Pengajuan keberatan tidak menunda kewajiban membayar pajak dan pelaksanaan penagihan pajak.

Pasal 17
(1) Direktur Jenderal Pajak dalam jangka waktu paling lama 12 (dua belas) bulan sejak tanggal Surat
Keberatan diterima, harus memberi keputusan atas keberatan yang diajukan.
(2) Sebelum surat keputusan diterbitkan, Wajib Pajak dapat menyampaikan alasan tambahan atau
penjelasan tertulis.
(3) Keputusan Direktur Jenderal Pajak atas keberatan dapat berupa mengabulkan seluruhnya atau
sebagian, menolak, atau menambah besarnya jumlah pajak yang terutang.
(4) Apabila jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) telah lewat dan Direktur Jenderal Pajak
tidak memberi suatu keputusan, keberatan yang diajukan tersebut dianggap dikabulkan.

Pasal 18
(1) Wajib Pajak dapat mengajukan permohonan banding hanya kepada Badan Penyelesaian Sengketa
Pajak terhadap keputusan mengenai keberatannya yang ditetapkan oleh Direktur Jenderal Pajak.
(2) Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diajukan secara tertulis dalam bahasa Indonesia
dengan disertai alasan-alasan yang jelas dalam jangka waktu paling lama 3 (tiga) bulan sejak keputusan
keberatan diterima, dilampiri salinan dari surat keputusan tersebut.
(3) Pengajuan permohonan banding tidak menunda kewajiban membayar pajak dan pelaksanaan
penagihan pajak.

Pasal 19
Apabila pengajuan keberatan atau permohonan banding dikabulkan sebagian atau seluruhnya, kelebihan
pembayaran pajak ditambah imbalan bunga sebesar 2% (dua persen) sebulan untuk jangka waktu paling
lama 24 (dua puluh empat) bulan.

Pasal 20
(1) Atas permohonan Wajib Pajak, Menteri dapat memberikan pengurangan pajak yang terutang karena
hal-hal tertentu.
(2) Ketentuan mengenai pemberian pengurangan pajak yang terutang sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) diatur dengan Keputusan Menteri.

BAB IX
PENGEMBALIAN KELEBIHAN PEMBAYARAN
Pasal 21
(1) Wajib Pajak dapat mengajukan permohonan pengembalian atas kelebihan pembayaran pajak kepada
Direktur Jenderal Pajak.
(2) Direktur Jenderal Pajak dalam jangka waktu paling lama 12 (dua belas) bulan sejak diterimanya
permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memberikan keputusan.

Pasal 22
(1) Direktur Jenderal Pajak setelah melakukan pemeriksaan menerbitkan:
a. Surat Ketetapan bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan Lebih Bayar, apabila jumlah pajak
yang dibayar ternyata lebih besar daripada jumlah pajak yang terutang atau dilakukan pembayaran pajak
yang tidak seharusnya terutang;
b. Surat Ketetapan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan Nihil, apabila jumlah pajak yang
dibayar saman dengan jumlah pajak yang terutang.
(2) Apabila dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (2) telah terlampaui dan
Direktur Jenderal Pajak tidak memberi keputusan, permohonan kelebihan pembayaran pajak dianggap
dikabulkan serta Surat Ketetapan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan Lebih Bayar harus
diterbitkan dalam jangka waktu paling lama 1 (satu) bulan.
(3) Pengembalian kelebihan pembayaran pajak dilakukan dalam jangka waktu paling lama 2 (dua) bulan
sejak diterbitkannya Surat Ketetapan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan Lebih Bayar.
(4) Apabila pengembalian kelebihan pembayaran pajak dilakukan setelah lewat jangka waktu 2 (dua)
bulan, Direktur Jenderal Pajak memberikan imbalan bunga sebesar 2% (dua persen) sebulan atas
keterlambatan pembayaran kelebihan pembayaran pajak.
(5) Tata cara pengembalian kelebihan pembayaran pajak diatur dengan Keputusan Menteri.

BAB
PEMBAGIAN HASIL PENERIMAAN PAJAK

Pasal 23
(1) Hasil penerimaan pajak merupakan penerimaan Negara yang dibagi antara Pemerintah Pusat dan
Pemerintah Daerah dengan imbangan pembagian sekurang-kurangnya 80% (delapan puluh persen)
untuk Pemerintah Daerah Tingkat II dan Pemerintah Daerah Tingkat I.
(2) Bagian penerimaan Pemerintah Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sebagian besar
diberikan kepada Pemerintah Daerah Tingkat I.
(3) Bagian penerimaan Pemerintah Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sebagian besar
diberikan kepada Pemerintah Daerah Tingkat II.
(4) Imbangan pembagian hasil penerimaan pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2)
diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.

BAB XI
KETENTUAN BAGI PEJABAT

Pasal 24
(1) Pejabat Pembuat Akta Tanah/Notaris hanya dapat menandatangani akta pemindahan hak atas tanah
dan atau bangunan setelah Wajib Pajak menyerahkan bukti pembayaran pajak.
(2) Kepala Kantor Lelang Negara hanya dapat menandatangani risalah lelang perolehan hak atas tanah
dan atau bangunan setelah Wajib Pajak menyerahkan bukti pembayaran pajak.
(3) Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten/Kotamadya hanya dapat melakukan pendaftaran hak atas
tanah atau pendaftaran peralihan hak atas tanah setelah Wajib Pajak menyerahkan bukti pembayaran
pajak.

Pasal 25
(1) Pejabat Pembuat Akta Tanah/Notaris dan Kepala Kantor Lelang Negara melaporkan pembuatan akta
atau risalah lelang perolehan hak atas tanah dan atau bangunan kepada Direktorat Jenderal Pajak
selambat-lambatnya pada tanggal 10 (sepuluh) bulan berikutnya.
(2) Tata cara pelaporan bagi pejabat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan
Pemerintah.

Pasal 26
(1) Pejabat Pembuat Akta Tanah/Notaris dan Kepala Kantor Lelang Negara, yang melanggar ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat (1) dan ayat (2), dikenakan sanksi administrasi berupa
denda sebesar Rp5.000.000,00 (lima juta rupiah) untuk setiap pelanggaran.
(2) Pejabat Pembuat Akta Tanah/Notaris dan Kepala Kantor Lelang Negara, yang melanggar ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 ayat (1), dikenakan sanksi administrasi berupa denda sebesar
Rp100.000,00 (seratus ribu rupiah) untuk setiap laporan.
(3) Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten/Kotamadya, yang melanggar ketentuan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 24 ayat (3), dikenakan sanksi menurut peraturan perundang-undangan yang
berlaku.
(4) Besarnya sanksi administrasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dapat ditinjau
kembali dengan Peraturan Pemerintah.

BAB XII
KETENTUAN PENUTUP

Pasal 27
Dengan berlakunya Undang-undang ini, Ordonansi Bea Balik Nama Staatsblad 1924 Nomor 291 dengan
segala perubahannya sepanjang mengenai pungutan Bea Balik Nama atas pemindahan harta tetap yang
berupa tanah dan atau bangunan, dinyatakan tidak berlaku.

Pasal 28
Undang-undang ini mulai berlaku sejak tanggal 1 Januari 1998.

Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-undang ini dengan
penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.

Disahkan di Jakarta
pada tanggal 29 Mei 1997
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

SOEHARTO
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 29 Mei 1997
MENTERI NEGARA SEKRETARIS NEGARA
REPUBLIK INDONESIA,

MOERDIONO


Silahkan download versi PDF nya sbb:
bea_perolehan_hak_atas_tanah_bangunan_(uu_21_thn_21.pdf
(ogi/Carapedia)
Pencarian Terbaru

Apakah dalam pembuatan akta jual beli ada pajak2 yang harus dibayar.

Tambahkan komentar baru
Komentar Sebelumnya (0)
Belum ada komentar untuk produk ini.